"Mau ke mana kamu, Nik?" Padma menyapa Nunik yang berjalan ke arah rak sepatu. Nunik tampak cantik dan rapi dengan kemeja berwarna fushia serta celana jeans yang membungkus kaki indahnya. Tas selempang berwarna hitam, melengkapi gayanya yang muda dan trendy. "Mau keluar," sahut Nunik singkat sambil mengenakan sepatu kets-nya."Keluarnya ke mana? Sudah izin ibumu belum? Nanti ibumu marah lagi lho." Padma ingat kalau dua hari lalu Bulik Fatimah mengamuk karena Nunik keluar rumah tanpa berpamitan padanya terlebih dahulu. "Suka-suka aku lah mau ke mana. Mbak tidak usah mengatur-atur aku. Urus saja urusan Mbak sendiri," sahut Nunik ketus. Padma terdiam. Akhir-akhir ini sikap Nunik memang berubah. Jika biasanya ia ceria dan ramah, sekarang menjadi ketus dan pelit bicara. "Mbak bukan ingin mengatur-aturmu. Mbak cuma tanya lho.""Aku juga cuma jawab kok. Dasar penghianat," gumam Nunik kesal.Padma berjengit. Kalimat dasar penghianat yang digumamkan Nunik memberi suatu clue. Pasti ini ada k
Tirta mengetuk-ngetuk jemari di meja bernomor 15. Saat ini dirinya dan Padma tengah menunggu Jennifer. Client yang ingin bekerjasama dengan PT. Karya Graha Mandiri. Jennifer memiliki tanah yang cukup luas untuk membangun sebuah perumahan. Untuk itu Jeniffer ingin bekerjasana dengan PT. Karya Graha Mandiri sebagai developernya. Namun sebelum mengukuhkan kerjasama, Jennifer ingin membahas beberapa hal dulu dengannya. Makanya ia mengajak Padma menemaninya. Ia tidak nyaman bertemu berduaan saja dengan Jennifer yang agresif. Traumanya berdekatan dengan perempuan, bisa kambuh kalau Jennifer mulai bergenit-genit ria seperti beberapa waktu lalu.Tirta memindai jam dinding di kafe. Pukul 18.40 WIB. Masih ada waktu sekitar 20 menit lagi dari janji temu yang disepakati. Tirta mengernyitkan alis saat melihat Padma terus bergerak-gerak di sampingnya. Sedari masuk ke dalam kafe tadi, Padma tampak gelisah. Seperti ada sesuatu yang mengganggu pikirannya."Kamu kenapa, Padma? Ambeien?" Tirta menegur
"Hallo, Pak Tirta." Jennifer mengulurkan tangan. Ia bermaksud menyalami Tirta."Hallo juga, Bu Jenni." Tirta berdiri dari kursi . Ia menjabat sekilas uluran tangan Jennifer dan buru-buru melepaskannya. Setelahnya ia mengelap telapak tangan ke sisi celana panjangnya. Kebiasaannya ini sudah terbentuk belasan tahun lalu, setiap kali ia bersalaman dengan perempuan-perempuan muda."Apa kabar, Mbak Padma?" Jennifer kini menyalami Padma yang ikut berdiri."Kabar baìk, Bu Jenni." Padma menyalami Jennifer sopan.Ketika giliran Anna menyalami Tirta, Anna menggelitik telapak tangan Tirta sambil tersenyum nakal. Tirta melepaskan jabat tangan Anna dengan sedikit menyentaknya. Ia kemudian mengelap telapak tangannya ke sisi celana berkali-kali sebelum kembali duduk.Tatkala akan menyalami Padma, Anna hanya menyentuh tangannya sekilas. Jelas sekali Anna tidak menganggapnya penting."Pak Tirta ini dulunya teman satu sekolah Anna ya? Tadi di jalan Anna sempat memberitahu saya." Jennifer membuka obrola
"Oh iya, saya hampir lupa. Untung kamu ingatkan." Tirta menyambar umpan Padma dengan segera."Saya akan menelepon Bu Ida dulu. Kamu jelaskan saja semua yang ditanyakan oleh Bu Jenni." Setelah mengambil ponselnya, Tirta pun berlalu. Ia akan mencari udara segar sebentar sebelum kembali menghadapi Jennifer."Jadi setelah mengantongi Izin-izin tersebut, baru kami sebagai pihak pengembang akan mendapat Nomor Induk Berusaha atau BIB. Gunanya adalah untuk-""Tidak usah menjelaskan detailnya lagi, Mbak Padma. Saya adalah seorang pebisnis. Saya paham sekali mengenai masalah birokrasi." Jennifer mengangkat tangannya. "Saya tadi hanya berbasa-basi demi mengakrabkan diri dengan atasanmu saja," timpal Jennifer lagi. Padma bungkam. Kata-kata Jennifer terdengar ambigu. Ia tidak tahu harus meresponnya seperti apa. Lebih aman kalau ia menunggu lanjutan kalimat Jennifer saja. "Eh, saya boleh menanyakan sesuatu di luar masalah pekerjaan tidak, Mbak Padma?""Boleh kok, Bu." Padma mengangguk sopan. Duga
"Anda kenapa? Pusing?" Sepasang lengan yang kuat menyanggah tubuh Padma yang oleng."Sedikit." Padma mengerjap-ngerjapkan mata untuk menghilangkan rasa pusingnya. Ia baru saja turun dari mesin treadmill. Makanya ia merasa jalannya mengambang."Padahal tadi saya baik-baik saja saat treatmill." Padma memegang lengan orang yang menolongnya erat-erat, saat rasa mengambang itu kembali melanda. Ruangan seperti berputar, sementara kakinya otomatis ingin terus melangkah. Padma memejamkan mata. Dengan demikian ia berharap rasa pusingnya sedikit berkurang."Oh, Anda baru siap treadmill ya? Mari kita duduk dulu. Anda anggota baru ya di sini?" Penolongnya yang bersuara bariton nan empuk, membantunya duduk di kursi panjang. "Sekarang buka mata Anda dan minum dulu." Padma merasa sesuatu yang dingin digenggamkan pada tangan kanannya. Perlahan Padma membuka mata. Seketika tatapannya membentur seraut wajah belia nan tampan yang balas menatapnya ramah. "Saya... baik-baik saja sekarang, Dek. Terima k
"Masalah kita tidak ada hubungannya dengan Mas Tirta. Aku mengusirmu karena aku memang tidak tertarik berbicara lebih lama denganmu. Tidak ada faedahnya."Padma yang sudah gerah dengan sikap Dimas, langsung menembak pada sasaran. Orang seperti Dimas ini memang harus ditegasi agar tidak kian semena-mena."Sok kecakepan kamu. Baru kurusan sedikit saja perasaan seperti princess," ejek Dimas geram. Ia tidak terima dicueki oleh Padma, padahal dulu dirinya adalah pusat dunia Padma."Biar otakmu terbuka, aku tunjukkan kamu satu hal. Tirta itu tidak sungguh-sungguh tertarik padamu. Dia cuma sedang menyuapi egonya. Dulu ia selalu kalah denganku dalam segala hal, kecuali soal uang. Sekarang dia mendekatimu, karena ia ingin membuktikan kalau dia juga bisa mendapatkanmu walaupun cuma bekasan. Ingatlah, Padma. Kelak si Tirta dan lelaki mana pun itu, pasti akan meninggalkanmu, jikalau kamu tidak bisa memberi mereka keturunan."Padma membalas pernyataan kurang ajar Dimas dengan dua tamparan keras. K
"Tidak perlu kukatakan, Mas. Mengucapkannya kembali hanya akan membuatku kembali sakit hati." Dengan halus, Padma melepas tangan Tirta dari dagunya. "Mas tahu tidak, saat mendengar hinaan dari orang yang kita cintai itu sakitnya berkali-kali lipat lho. Rasanya langsung nyes gitu ke hati."Aku tahu. Karena aku dulu juga mengalaminya, batin Tirta."Setelah semua yang Dimas lakukan padamu, kamu masih mencintainya?" Tirta tersenyum pahit. Cinta memang buta. "Sekarang tentu tidak, Mas. Tapi kalau dulu, iya," aku Padma pahit."Sebelum dia menghamili Puspita, aku sering memergoki Mas Dimas berselingkuh tipis-tipis. Saat ketahuan, biasanya ia akan meminta maaf dan mengaku khilaf. Lantas ia berjanji tidak akan mengulanginya lagi." Padma tersenyum pahit. Rasanya kejadian-kejadian itu baru terjadi kemarin. "Dan kamu percaya?" Tirta menaikkan satu alisnya."Mau tidak mau ya harus percaya, Mas." Padma tersenyum pahit. "Lha wong aku tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini selain Mas Dimas. M
"Apartemen-apartemen di sini bagus-bagus ya, Mas?" Padma mengamati lobby apartemen The Kanopolis dengan seksama. Lobby modern minimalis ini mengusung konsep seperti dinding pasir yang tertiup angin. Sehingga membentuk Gelombang-gelombang yang sangat cantik. Ditambah dengan indirect lighting yang mewah, kesannya menjadi sangat hangat dan romantis. "Kamu suka?" Tirta membawa Padma berjalan menuju lift."Suka sekali. Ideku langsung menyala melihat setiap detail-detail intetiornya," aku Padma jujur."Apartemen ini dulu kami developernya. Aku menyisakan satu unit untukku pribadi, tepat lima tahun yang lalu," imbuh Tirta seraya menekan tombol lift."Aku akui, hasil kerja PT. Karya Graha Mandiri memang bagus."Begitu juga dengan design interiornya. Sebenarnya tanpa dirinya bergabung menjadi desain interior exclusive PT. Karya Graha Mandiri pun, team desain interior yang lama sudah mumpuni secara skill. Bisa dikatakan Tirta hanya membuang-buang uang saat menghire-nya."Kita ke lantai 18 ya