Baru mencapai ruang tamu, telinga Padma panas mendengar celoteh Bulik Fatimah. Saat ini Bulik Fatimah tengah menonton televisi bersama Nunik."Ibu kok bicaranya begitu sih?" Nunik menegur keras sang ibu."Lho memangnya kenapa? Padma diet mati-matian dan berdandan habis-habisan begini pasti ada tujuannya bukan? Apalagi tujuannya kalau bukan ingin mencari pengganti Dimas." Bulik Fatimah mengejek Padma sinis. Ia tahu maksud dan tujuan Padma. Dirinya juga seorang perempuan."Bulik salah. Saya diet dan berdandan, tujuannya adalah untuk kesehatan dan kenyamanan diri saya sendiri. Bulik, tidak semua orang yang diet dan berdandan itu bertujuan untuk mencari perhatian laki-laki. Ada yang bertujuan untuk menumbuhkan rasa percaya diri seperti Padma. Ada juga yang menjadi bahagia setiap kali ia melihat pantulan dirinya sendiri di cermin. Tidak semua orang mempunyai pikiran seperti Bulik. Yang setiap kali berdandan adalah untuk mencari perhatian laki-laki, seperti yang dulu Bulik lakukan terhadap
Padma memarkirkan kendaraan pada Djournal Cafe. Di kafe inilah dirinya dan Pak Arief, client-nya membuat janji temu. Rencananya mereka akan mematangkan konsep interior rumah yang baru Pak Arief beli. Setelahnya mereka akan melihat bahan-bahan material dan mebel yang serasi dengan konsep yang sudah disepakati. Menilik mobil-mobil di parkiran sepertinya kafe belum terlalu ramai pada pukul empat sore ini.Rasa sejuk pendingin udara menerpa kulit Padma tatkala ia mendorong pintu kaca. Dugaannya benar. Kafe hanya diisi oleh segelintir orang. Di meja tiga ada empat orang anak remaja yang duduk berkelompok sambil bersenda gurau. Beberapa meja lagi diisi oleh dua pasangan muda yang sedang makan sambil berbisik-bisik mesra.Padma lega karena suasana di kafe ini jadi tidak terlalu berisik. Untung saja jam kerjanya di kantor Tirta ini fleksibel. Tirta memperbolehkannya meninggalkan kantor sewaktu-waktu apabila dirinya harus menemui client. Padma langsung berjalan menuju meja nomor 16 yang telah
"Jaga sikap dong, Dim. Kalau kamu tidak cocok dengan desain Bu Padma, tidak masalah. Jangan bertingkah seperti oramg yang tidak punya etika ah." Pak Arief kelimpungan. Ia sama sekali tidak menyangka kalau Dimas bisa bersikap sefrontal ini. Ia jadi menyesal membawa Dimas menemui Padma."Tidak apa-apa kalau Pak Dimas tidak menyukai selera saya. Saya mengerti, tidak semua orang memiliki selera yang bagus." Padma menanggapi kritikan Dimas dengan santai."Ngomong apa kamu? Kamu mengatai saya tidak memiliki selera yang bagus? Kamu lah yang seleranya rendahan!" Dimas menggebrak meja. Ia kesal luar biasa setelah melihat kenyataan di depan matanya. Sebenarnya sudah hampir dua bulan ini penjualan unit-unit clusternya mandek. Issue-issue yang beredar mengatakan hal ini terjadi karena sebagian besar customernya pindah ke developer lain. Mereka beramai-ramai menyerbu cluster-cluster milik P.T Graha Karya Mandiri, di mana developernya adalah perusahaan properti milik Tirta.Dan kabarnya pula, Padma
Padma yang duduk terkantuk-kantuk menegakkan kepala saat pintu ruangan terbuka. Sosok Bulik Fatimah muncul dengan tangan menenteng rantang empat susun berbahan stainless. Ayahnya dini hari kemarin mengeluh sakit dada. Setelah dibawa ke UGD, ayahnya harus menjalani rawat inap karena mengalami serangan jantung. Makanya semalaman ia ikut menginap di rumah sakit."Bulik datang dengan siapa?" tanya Padma dengan suara lirih. Ayahnya baru saja tertidur."Dengan, Iwan," bisik Bulik Fatimah sambil meletakkan rantang empat susun yang menguarkan aroma lezat di atas meja pasien. Setelahnya ia menghempaskan pinggul di samping Padma."Sudah jam tiga sore, Padma. Kamu tidak makan siang? Sana, makan dulu di kantin rumah sakit. Bapakmu biar Bulik saja yang menjaga," usul Bulik Fatimah.Tumben sekali buliknya perhatian padanya. Eh, tapi tidak juga. Buliknya membawa banyak makanan. Tapi malah menyuruhnya makan di kantin."Padma belum lapar, Bulik. Nanti saja." Padma kembali menguap. Alih-alih makan yang
"Kamu sudah dewasa. Usiamu bahkan di atas Mbak. Kamu pasti sudah tahu konsekuensi dari perbuatanmu. Yang Mbak kasihani itu, Tari. Dia sangat mencintai dan mempercayaimu. Dihianati oleh orang terdekat itu sakitnya sampai ke ulu hati, Lik. Pula yang Mbak takutkan, jikalau suatu saat Tari tahu bahwa Mbak mengetahui perihal keluarga barumu ini, Tari pasti akan menghujat Mbak.""Mbak tidak perlu takut. Mbak tidak ada hubungan dengan masalah ini. Mbak juga tidak perlu merasa bersalah. Tari itu juga tidak baik-baik amat kok pada Mbak Padma. Dia itu--" Malik menghentikan kalimat yang sudah ada di ujung lidahnya. Terlalu riskan jikalau ia membeberkan semua kebenarannya. Pun sudah tidak ada gunanya juga bagi Padma, jikalau semua kebenaran itu ia sibak. Lebih baik ia tutup mulut saja. Jikalau pun suatu Saat kebenaran itu akan terkuak, setidaknya bukan dari mulutnya. "Dia itu apa, Lik?" Padma mengerutkan dahi. Ia penasaran karena Malik menghentikan pembicaraan di tengah-tengah kalimat."Dia itu.
"Kita ini sudah tua, Nan. Jangan terlalu ngoyo lagi dalam bekerja." Bu Nani menasehati Pak Manan."Aku ini orangnya tidak bisa diam berpangku tangan, Nani. Kalau cuma malas-malasan di rumah, bisa-bisa aku malah tambah sakit-sakitan. Belum lagi jadi pikun, karena otakku tidak dipakai bekerja." Pak Manan menanggapi santai nasehat Bu Nani."Kamu itu sama persis dengan Mas Cahyono. Tidak bisa duduk diam di rumah. Padahal sudah ada Tirta dan banyak staff yang membantu di kantor. Kalian ini sudah aki-aki, tapi masih merasa sok muda." Bu Nani memberengut. Ternyata bukan hanya suaminya seorang aki-aki yang sok jago. Pak Manan pun mempunyai kelakuan yang kurang lebih sama."Lah kami memang benar kok. Menurut penelitian, orang-orang tua yang kebanyakan bengong di rumah itu lebih cepat pikun dan sakit-sakitan lho." Pak Manan bersikukuh dengan pendapatnya."Penelitian-penelitian apa itu?" Bu Nani mendengkus. Bukan hanya sifat sok jagonya Pak Manan yang sama dengan suaminya. Ternyata sifat keras
"Eh, kamu jangan bilang pada Tirta kalau Ibu menceritakan hal ini padamu ya, Ma?" kata Bu Nani."Tidak dong, Bu. Padma akan menyimpan cerita ini untuk kita berdua saja," janji Padma. Bertepatan dengan itu, perawat telah keluar dari ruangan sang ayah. Padma segera menghampiri sang perawat yang telah selesai memeriksa ayahnya."Bagaimana keadaan ayah saya, Suster?""Semuanya dalam keadaan baik, Mbak. Tensi dan gula darah bapak sudah mulai stabil angkanya. Pertahankan agar angka-angka ini tidak melonjak dengan minum obat teratur dan istirahat yang cukup ya, Mbak?""Baik, Sus. Kapan ayah saya bisa pulang ya?""Kalau soal itu nanti Mbak tanyakan saja saat visit sore-nya dokter Lukas." Sang perawat pun berlalu setelah tugasnya selesai. Melalui sudut mata, Padma memindai kalau Tirta dan Erina telah kembali dari apotik. Padma masuk ke dalam ruangan. Ayahnya memanggilnya."Bapak lapar, Ma. Bapak kepingin makan bubur ayam Mat Sani. Perawat tadi bilang Bapak sudah boleh makan makanan luar asalka
Padma memandangi kepadatan lalu lintas dengan tatapan kosong. Sungguh, ia masih merasa tidak enak dengan Erina apalagi Ninis. Tuduhan Ninis tadi mencuil harga dirinya."Kamu kenapa bengong melulu dari tadi? Tidak nyaman saya setiri?" Tirta melirik Padma yang duduk melamun di sampingnya. Perjalanan sudah hampir berjalan lima belas menit. Namun tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Padma. Ia terus membisu dengan tatapan lurus ke depan."Tidak kok, Mas. Aku hanya merasa tidak enak pada Ninis saja," aku Padma terus terang."Kamu ini kebanyakan tidak enaknya jadi orang. Tadi dengan Erina. Dan sekarang dengan Ninis. Berhenti terus memikirkan perasaan orang lain, Padma. Bisa sakit kuning nanti kamu lama-lama." Tirta melirik Padma sekilas, sebelum kembali berkonsentrasi berkendara."Bukan begitu, Mas. Aku takut nanti Ninis menduga hal yang tidak-tidak terhadapku," terang Padma."Hal yang tidak-tidak itu apa misalnya?""Yah... misalnya Ninis jadi menduga kalau Mas menolaknya karena