Share

4. Merindukan Masa Lalu.

Padma mendengar itu.

Namun, ia memilih mengindahkan omelan Bulik Fatimah dan langsung melintasi jalan setapak.

Di ujung jalan setapak itu, berdiri megah rumah masa kecilnya yang luas dan asri.

Ayahnya dulu sengaja membangun rumah di belakang toko agar bisa mengawasinya selama bekerja. Ibunya sudah meninggal saat ia masih berusia dua belas tahun. Makanya ayahnya memiliki tugas ganda. Menjadi seorang ayah sekaligus ibu untuknya.

"Lihat anakmu, Mas. Orang tua sedang bicara, tapi dia malah pergi begitu saja. Tidak ada sopan-santunnya sama sekali." Padma masih bisa mendengar omelan buliknya tatkala ia sudah sampai di teras rumah.

Tapi, ia tak peduli!

Pintu rumah sekonyong-konyong terbuka. Bik Parni berdiri di ambang pintu. 

"Oalah, Mbak Padma sudah pulang toh. Apa kabar, Mbak?" sambutnya, hangat.

Padma tersenyum haru tatkala melihat pengasuhnya itu kini mengembangkan lengan. Bik Parni adalah ibu kedua baginya. 

"Baik, Bik." Padma menghambur memeluk Bik Parni. Seketika Padma menghidu aroma khas yang menguar dari tubuh Bik Parni. Aroma bedak dingin racikan sendiri dan jamu-jamuan ini kembali melemparkan Padma ke masa lalu. 

"Bibik sendiri bagaimana? Padma rindu sekali pada Bibik." Padma melepaskan rangkulannya setelah puas memeluk Bik Parni. 

"Bibik sehat. Bibik juga rindu pada Mbak Padma. Rumah jadi sepi setelah Non Padma pergi," ujar Bik Parni.

"Ah masa? Apa kehadiran Bulik Timah belum cukup membuat rumah ini semarak?" Padma menggoda Bik Parni.

"Hush! Jangan kencang-kencang suaranya, Mbak. Bisa disetrap tujuh hari tujuh malam kita kalau ketahuan mengghibahi Bu Fatimah." Bik Parni tertawa. 

"Ehem... ehem..."

Suara batuk penuh makna yang terdengar dari balik punggungnya, membuat Padma refleks berbalik. Ada seorang pemuda gagah yang berdiri di belakangnya. Padma mengamati sang pemuda beberapa saat sebelum berseru kaget.

"Danang. Kamu Danang putra Bik Parni kan?" Padma menunjuk sang pemuda. Ia kaget karena remaja yang dulu berseragam putih biru saat ia tinggalkan, kini sudah menjadi pria dewasa.

"Hehehe. Iya, Mbak. Saya Danang yang dulu. Mbak Padma hebat masih bisa mengenali saya setelah sekian tahun berlalu." 

"Ingat dong. Wajahmu tidak banyak berubah. Usia hanya membuatmu menjadi semakin gagah." Kiran mengacungkan jempolnya. 

"Ah, Mbak Padma bisa saja." Pujian Padma membuat Danang terbahak. Waktu berlalu, namun anak majikannya ini tetap ramah dan membumi seperti dulu. 

"Salim dulu sama Mbak Padma, baru mengobrol, Nang." Bik Parni memperingati putranya.

"Siap, Ibu Emak Komandan." Danang membuat gerakan hormat ala militer." Setelahnya ia menyalami Padma sopan. Padma terkekeh. Danang juga masih seperti dulu. Doyan ngebayol seperti ibunya.

"Eh sebentar ya, Mbak." Danang merogoh ponsel di sakunya.

"Siapa?" bisik Bik Parni pelan.

"Mas Tirta, Bu." Danang membuat gerakan mulut tanpa suara pada ibunya.

"Oh, si boss galak rupanya. Dari kecil dulu si Tirta memang tidak ada manis-manisnya kalau berbicara." Bik Parni menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Dari kecil dulu? Berarti boss Danang ini orang yang Bibik kenal ya? Apa saya juga kenal?" Padma penasaran.

"Bukannya cuma kenal, Mbak. Tapi sangat kenal malahan." Bik Parni tertawa.

"Mbak dulu selalu debat kusir kalau bertemu dengan si Tirta ini. Tirta anak Pak Cahyono. Itu lho, yang punya showroom mobil. Dulu Mbak suka ikut Bapak kalau membeli mobil-mobil bak terbuka bukan?" Bik Parni mengingatkan.

"Oh, Mas Tirta gendut ya?" Padma langsung teringat pada sosok tambun galak yang tidak pernah mau mengalah.

"Nah iya. Tapi Tirta sekarang tidak gendut lagi, Mbak. Malah guanteng poll. Cuma ya itu. Gualaknya itu membuatnya berat jodoh. Ndak ada anak gadis yang berani mendekatinya. Kecuali Mbak Nunik, sih. Mbak Nunik masih terus berusaha mendekati Tirta walau selalu diacuhkan." Bik Parni dengan semangat membagi bahan gosip. 

"Nunik? Nuniknya Bulik Timah?" Padma membulatkan mata. Nunik adalah putri bungsu Bulik Timah alias sepupunya.

"Iya, Mbak. Nunik siapa lagi?" Bik Parni memutar bola mata.

"Nunik itu 'kan seumuran dengan Danang. Baru dua puluh dua tahun. Sementara Mas Tirta itu usianya satu tahun di atas saya. Ketuaan Mas Tirta untuk Nunik, Bik." 

"Ya namanya udah kadung suka, Mbak. Lagi pula Tirta belum nampak tua. Begini pokoknya." Bik Parni mengacungkan jempolnya.

"Iya, Mas. Saya segera kembali ke proyek. Sudah saya kondisikan semuanya. Bahan-bahan akan dikirim oleh TB Berkah Sukses Makmur besok pagi pukul sembilan tepat. Pasti, Mas. Pokoknya besok pagi bahan-bahan sudah akan tiba di proyek. Siap, Mas. Saya yang akan bertanggung jawab." Danang menutup ponsel. Titah atasannya harus segera dilaksanakan. 

"Saya kembali ke proyek dulu ya, Mbak. Atasan saya sudah marah-marah." Danang pun berlalu dengan langkah bergegas.

"Tuh kan, apa Bibik bilang. Tirta itu selain galak, juga ngoyo kerja. Ayo, Mbak istirahat di kamar saja. Kamar Mbak Padma sudah saya bersihkan." Bik Parni berjalan mendahului Padma. Sesampainya di pintu kamar berbahan jati, ia pun membuka pintu.

"Nah, susunannya masih sama seperti yang terakhir Mbak tinggalkan bukan?" Bik Parni melebarkan pintu kamar. 

"Bibik hidupkan dulu ac-nya ya?" Bik Parni meraih remote pendingin udara dan menekan tombol on. Seketika ruangan terasa sejuk dengan aroma khas lavender yang menguar di udara. Bik Parni masih menggunakan pengharum ruangan favoritnya. 

"Iya, Bik. Sama. Terima kasih karena Bibik telah merawat kamar ini dengan baik." Padma yakin kamarnya ini pasti masih rajin dibersihkan. Tidak ada bau apak mau pun aroma lembab di dalamnya. 

"Sama-sama, Mbak. Bibik tinggal ke dapur dulu ya? Bisa ngamuk Bu Timah kalau Bibik meninggalkan dapur lama-lama." Bik Parni berpamitan. 

"Ah, leganya." Padma membaringkan tubuhnya di atas kasur. Ketika memandang dinding sebelah kiri, Padma tersenyum. Ia membalas senyum sang ibu dalam bentuk potret berpigura. 

"Apa kabar, Bu? Padma sudah pulang sekarang. Temani Padma menjalani hari-hari berikutnya ya, Bu? Padma kangen sama Ibu." Padma beringsut dari ranjang. Ia berjalan ke dinding dan melepaskan tautan pengait photo. Selanjutnya Padma mendekap photo sang ibu dan kembali ke peraduan.

Setengah jam kemudian Padma tertidur dan bermimpi indah. Ia bertemu dengan ibunya dan berlari-lari di taman bunga. Satu hal yang pasti, ia harus bangkit agar tak malu saat menghadapi almarhumah ibunya nanti setelah meninggal!

Dan dimulai dari ... memperhatikan penampilannya kembali. Dia tak akan hanya menggunakan pakaian lusuh yang ia paksa terima karena Dimas memintanya untuk menghemat.

Hanya saja, tak semudah yang ia pikirkan.

"Ya ampun, sesak banget kemeja ini." Padma menghembuskan napasnya yang tertahan.

Akibatnya, beberapa kancing kemeja yang sebelumnya memang terpasang ala kadarnya pun menganga. Fixed. Kemeja ini tidak bisa dikenakan!

Padma lantas membuka lemari.

Ia bermaksud mencari kemeja lain dari tumpukan pakaian.

Kalau untuk bawahan, ia sudah menemukannya. Kulot lamanya kebetulan berpinggang karet. Jadi aman untuk ukuran pinggangnya yang sekarang melebar. Baru saja bermaksud mencari kemeja lain, pintu kamarnya diketuk.

 Toktoktok!

"Siapa?" Padma bersedekap di depan lemari yang terbuka.

Buru-buru, ia melindungi bagian depan tubuhnya yang belum tertutup sempurna. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status