Padma mendengar itu.
Namun, ia memilih mengindahkan omelan Bulik Fatimah dan langsung melintasi jalan setapak.
Di ujung jalan setapak itu, berdiri megah rumah masa kecilnya yang luas dan asri.
Ayahnya dulu sengaja membangun rumah di belakang toko agar bisa mengawasinya selama bekerja. Ibunya sudah meninggal saat ia masih berusia dua belas tahun. Makanya ayahnya memiliki tugas ganda. Menjadi seorang ayah sekaligus ibu untuknya.
"Lihat anakmu, Mas. Orang tua sedang bicara, tapi dia malah pergi begitu saja. Tidak ada sopan-santunnya sama sekali." Padma masih bisa mendengar omelan buliknya tatkala ia sudah sampai di teras rumah.
Tapi, ia tak peduli!
Pintu rumah sekonyong-konyong terbuka. Bik Parni berdiri di ambang pintu.
"Oalah, Mbak Padma sudah pulang toh. Apa kabar, Mbak?" sambutnya, hangat.Padma tersenyum haru tatkala melihat pengasuhnya itu kini mengembangkan lengan. Bik Parni adalah ibu kedua baginya.
"Baik, Bik." Padma menghambur memeluk Bik Parni. Seketika Padma menghidu aroma khas yang menguar dari tubuh Bik Parni. Aroma bedak dingin racikan sendiri dan jamu-jamuan ini kembali melemparkan Padma ke masa lalu.
"Bibik sendiri bagaimana? Padma rindu sekali pada Bibik." Padma melepaskan rangkulannya setelah puas memeluk Bik Parni.
"Bibik sehat. Bibik juga rindu pada Mbak Padma. Rumah jadi sepi setelah Non Padma pergi," ujar Bik Parni.
"Ah masa? Apa kehadiran Bulik Timah belum cukup membuat rumah ini semarak?" Padma menggoda Bik Parni.
"Hush! Jangan kencang-kencang suaranya, Mbak. Bisa disetrap tujuh hari tujuh malam kita kalau ketahuan mengghibahi Bu Fatimah." Bik Parni tertawa.
"Ehem... ehem..."
Suara batuk penuh makna yang terdengar dari balik punggungnya, membuat Padma refleks berbalik. Ada seorang pemuda gagah yang berdiri di belakangnya. Padma mengamati sang pemuda beberapa saat sebelum berseru kaget.
"Danang. Kamu Danang putra Bik Parni kan?" Padma menunjuk sang pemuda. Ia kaget karena remaja yang dulu berseragam putih biru saat ia tinggalkan, kini sudah menjadi pria dewasa.
"Hehehe. Iya, Mbak. Saya Danang yang dulu. Mbak Padma hebat masih bisa mengenali saya setelah sekian tahun berlalu."
"Ingat dong. Wajahmu tidak banyak berubah. Usia hanya membuatmu menjadi semakin gagah." Kiran mengacungkan jempolnya.
"Ah, Mbak Padma bisa saja." Pujian Padma membuat Danang terbahak. Waktu berlalu, namun anak majikannya ini tetap ramah dan membumi seperti dulu.
"Salim dulu sama Mbak Padma, baru mengobrol, Nang." Bik Parni memperingati putranya.
"Siap, Ibu Emak Komandan." Danang membuat gerakan hormat ala militer." Setelahnya ia menyalami Padma sopan. Padma terkekeh. Danang juga masih seperti dulu. Doyan ngebayol seperti ibunya.
"Eh sebentar ya, Mbak." Danang merogoh ponsel di sakunya.
"Siapa?" bisik Bik Parni pelan.
"Mas Tirta, Bu." Danang membuat gerakan mulut tanpa suara pada ibunya.
"Oh, si boss galak rupanya. Dari kecil dulu si Tirta memang tidak ada manis-manisnya kalau berbicara." Bik Parni menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Dari kecil dulu? Berarti boss Danang ini orang yang Bibik kenal ya? Apa saya juga kenal?" Padma penasaran.
"Bukannya cuma kenal, Mbak. Tapi sangat kenal malahan." Bik Parni tertawa.
"Mbak dulu selalu debat kusir kalau bertemu dengan si Tirta ini. Tirta anak Pak Cahyono. Itu lho, yang punya showroom mobil. Dulu Mbak suka ikut Bapak kalau membeli mobil-mobil bak terbuka bukan?" Bik Parni mengingatkan.
"Oh, Mas Tirta gendut ya?" Padma langsung teringat pada sosok tambun galak yang tidak pernah mau mengalah.
"Nah iya. Tapi Tirta sekarang tidak gendut lagi, Mbak. Malah guanteng poll. Cuma ya itu. Gualaknya itu membuatnya berat jodoh. Ndak ada anak gadis yang berani mendekatinya. Kecuali Mbak Nunik, sih. Mbak Nunik masih terus berusaha mendekati Tirta walau selalu diacuhkan." Bik Parni dengan semangat membagi bahan gosip.
"Nunik? Nuniknya Bulik Timah?" Padma membulatkan mata. Nunik adalah putri bungsu Bulik Timah alias sepupunya.
"Iya, Mbak. Nunik siapa lagi?" Bik Parni memutar bola mata.
"Nunik itu 'kan seumuran dengan Danang. Baru dua puluh dua tahun. Sementara Mas Tirta itu usianya satu tahun di atas saya. Ketuaan Mas Tirta untuk Nunik, Bik."
"Ya namanya udah kadung suka, Mbak. Lagi pula Tirta belum nampak tua. Begini pokoknya." Bik Parni mengacungkan jempolnya.
"Iya, Mas. Saya segera kembali ke proyek. Sudah saya kondisikan semuanya. Bahan-bahan akan dikirim oleh TB Berkah Sukses Makmur besok pagi pukul sembilan tepat. Pasti, Mas. Pokoknya besok pagi bahan-bahan sudah akan tiba di proyek. Siap, Mas. Saya yang akan bertanggung jawab." Danang menutup ponsel. Titah atasannya harus segera dilaksanakan.
"Saya kembali ke proyek dulu ya, Mbak. Atasan saya sudah marah-marah." Danang pun berlalu dengan langkah bergegas.
"Tuh kan, apa Bibik bilang. Tirta itu selain galak, juga ngoyo kerja. Ayo, Mbak istirahat di kamar saja. Kamar Mbak Padma sudah saya bersihkan." Bik Parni berjalan mendahului Padma. Sesampainya di pintu kamar berbahan jati, ia pun membuka pintu.
"Nah, susunannya masih sama seperti yang terakhir Mbak tinggalkan bukan?" Bik Parni melebarkan pintu kamar.
"Bibik hidupkan dulu ac-nya ya?" Bik Parni meraih remote pendingin udara dan menekan tombol on. Seketika ruangan terasa sejuk dengan aroma khas lavender yang menguar di udara. Bik Parni masih menggunakan pengharum ruangan favoritnya.
"Iya, Bik. Sama. Terima kasih karena Bibik telah merawat kamar ini dengan baik." Padma yakin kamarnya ini pasti masih rajin dibersihkan. Tidak ada bau apak mau pun aroma lembab di dalamnya.
"Sama-sama, Mbak. Bibik tinggal ke dapur dulu ya? Bisa ngamuk Bu Timah kalau Bibik meninggalkan dapur lama-lama." Bik Parni berpamitan.
"Ah, leganya." Padma membaringkan tubuhnya di atas kasur. Ketika memandang dinding sebelah kiri, Padma tersenyum. Ia membalas senyum sang ibu dalam bentuk potret berpigura.
"Apa kabar, Bu? Padma sudah pulang sekarang. Temani Padma menjalani hari-hari berikutnya ya, Bu? Padma kangen sama Ibu." Padma beringsut dari ranjang. Ia berjalan ke dinding dan melepaskan tautan pengait photo. Selanjutnya Padma mendekap photo sang ibu dan kembali ke peraduan.
Setengah jam kemudian Padma tertidur dan bermimpi indah. Ia bertemu dengan ibunya dan berlari-lari di taman bunga. Satu hal yang pasti, ia harus bangkit agar tak malu saat menghadapi almarhumah ibunya nanti setelah meninggal!
Dan dimulai dari ... memperhatikan penampilannya kembali. Dia tak akan hanya menggunakan pakaian lusuh yang ia paksa terima karena Dimas memintanya untuk menghemat.
Hanya saja, tak semudah yang ia pikirkan.
"Ya ampun, sesak banget kemeja ini." Padma menghembuskan napasnya yang tertahan.
Akibatnya, beberapa kancing kemeja yang sebelumnya memang terpasang ala kadarnya pun menganga. Fixed. Kemeja ini tidak bisa dikenakan!
Padma lantas membuka lemari.
Ia bermaksud mencari kemeja lain dari tumpukan pakaian.
Kalau untuk bawahan, ia sudah menemukannya. Kulot lamanya kebetulan berpinggang karet. Jadi aman untuk ukuran pinggangnya yang sekarang melebar. Baru saja bermaksud mencari kemeja lain, pintu kamarnya diketuk.
Toktoktok!
"Siapa?" Padma bersedekap di depan lemari yang terbuka.
Buru-buru, ia melindungi bagian depan tubuhnya yang belum tertutup sempurna.
"Aku Nunik, Mbak Ma." Mendengar itu, Padma lega.Sepupunya, rupanya. "Sebentar ya, Nik." Padma membuka pintu kamar dengan satu tangan melindungi area dadanya. Di ambang pintu Nunik tersenyum manis. Sepupunya ini memang memiliki ekspresi ramah sedari dulu. Kepulangannya semalam disambut hangat oleh Ninik. Berbanding terbalik dengan ibunya yang jelas-jelas tampak keberatan."Kenapa bajunya, Mbak?" Nunik menahan tawa. Penampakan Padma mirip dengan iklan minyak ikan zaman dulu. Kemejanya kesempitan."Tidak usah banyak basa-basi kamu. Tawamu sudah menjelaskan segalanya." Padma menjawil hidung bangir Nunik. "Maaf, Mbak. Saya cuma bercanda. Eh, salah juga. Tidak boleh membawa-bawa fisik dalam candaan ya? Maafkan diriku ya, Mbak?" Nunik merapatkan kedua tangannya ke dada. Meminta maaf dengan ekspresi sedih berlebihan."Heleh, lebay kamu." Padma menoyor kening Nunik pelan. Sedari kecil ia memang sayang pada sepupunya ini. Rentang usia mereka yang terpaut jauh, membuatnya menyayangi Nunik se
Pak Santo lagi-lagi mendecakkan lidah. "Masa sih, Pak?" "Iya, Mbak. Saya dan Iwan saja dimarahi minggu lalu karena terlambat. Soalnya Iwan ke rumah pacarnya dulu. Mau memberi surprise ulang tahun katanya. Akibatnya kami terlambat hampir satu jam lamanya. Habislah kami berdua dimarahi." Kali ini, Pak Nurdin ikut curhat. "Parah sekali Pak Tirta ini ya, Pak? Tidak ada pengertiannya sama sekali?" Padma berdecak.Sewaktu kecil, Tirta memang terkenal tepat waktu dan perfectionist. Dalam kerja kelompok saja, murid yang terlambat akan ia catat namanya dan dilaporkan pada guru. Belum lagi kalau ada tugas praktek prakarya. Semua karyanya harus presisi. Kalau melenceng sedikit saja, akan ia ulang dari awal. Ternyata sifat Tirta tidak berubah sedari dulu."Ya parah tidak parah sih, Mbak. Kalau alasan kita masuk akal dan jujur, Pak Tirta sih memaklumi. Terus tetap diberi tip juga. Terkadang dikasih makanan kalau kebetulan ada. Tapi kalau kita ketahuan bohong, beugh, tidak ada ampun. Pokoknya
"Kalau gitu, turun sekarang!" Bukannya takut, Tirta malah menghardiknya.Padma lantas berdecak. Sebenarnya ia malas sekali berurusan kembali dengan Tirta. Pengalaman mengajarkan bahwa mereka tidak boleh ada di tempat yang sama lebih dari lima menit. Karena ujung-ujangnya mereka pasti akan saling serang satu sama lain!"Masih belum mau turun? Apa perlu saya yang menurunkan Anda dari atas sana?""Tidak perlu, Pak. Berat soalnya," sahut Padma ketus. Ia memang mengumpulkan niat dulu sebelum bersilat lidah. Padma membuka pintu truk dan bersiap-siap untuk turun."Sok-sok-an mau menurunkanku. Yang ada ngejengkang kamunya." Padma menggerutu. Bobotnya sekarang 80 kilogram. Bukan 40 kilogram seperti sepuluh tahun yang lalu. "Susah banget kalau turunnya buru-buru begini." Padma gugup karena dipandangi oleh orang banyak. Akibatnya kakinya tergelincir saat menginjak undakan. Padma memekik ngeri. Bayangan dirinya tersungkur di hadapan Tirta membuatnya memejamkan mata. Ajaib! Alih-alih merasakan k
"Kamu mendesain rumah Pak Warsito itu sepuluh tahun yang lalu. Namun konsepmu sudah sangat modern dan matang. Dengan bantuan teknologi saat ini, aku yakin, ide-idemu akan lebih berkembang. Lagi pula kamu desainer yang belum terkenal, jadi lebih murah gajinya. Itu pertimbangan utama saya mengajakmu bekerjasama." Kembali, Tirta menjelaskan pertimbangannya merekrut Padma. "Masih terlalu aneh," Padma tidak percaya."Yang aneh itu kamu. Kenyataan terpampang di depan matamu, tapi tidak bisa kamu lihat. Sebaliknya ilusi yang di belakangmu, mati-matian kamu percayai. Bangun, Mpeng. Bangun. Mau berapa lama lagi kamu baru sadar?" Tirta bertepuk tangan tepat di depan wajah Padma."Sadar? Memangnya aku pingsan apa?" Padma membelalakkan mata."Pertanyaan itu hanya kamu sendiri yang bisa menjawabnya. Aku tanya sekali lagi. Kamu menerima tawaran saya atau tidak? Saya tidak akan bertanya dua kali."Terima... jangan... terima... jangan...?"Oke. Aku terima." Padma mengangguk mantap. Ia sudah sesu
Padma memilih tidak menjawab.Ia malu karena aibnya sudah diketahui Tirta. Namun tak urung ia mengikuti juga langkah-langkah ringan Tirta. Sepuluh menit berlalu. Mereka akhirnya tiba di perumahan yang Tirta maksud. Syukurlah. Kalau harus berjalan lebih jauh lagi, rasanya ia tidak sanggup. Kakinya sudah tidak mau bekerjasama untuk melangkah "Itu perumahannya. Kita jalan dari sini saja." Tirta membawa Padma ke jalan yang baru dibuat."Kamu tahu tidak, kalau kita berjalan kaki setidaknya 30 menit setiap hari, akan membuat jantung kita sehat. Lewat sini." Tirta membawa Padma masuk ke dalam rumah contoh."Nah, kalau kita menambahnya dengan aktivitas fisik selama 150 menit entah dengan jalan cepat, bersepeda, atau menari saja, itu akan lebih baik. Jika digabungkan dengan mengonsumsi lebih banyak sayur, buah dan makanan nabati, kamu pasti bisa menjadi langsing." "Mimpi. Mustahil aku bisa selangsing dulu," ucap Padma sedih. Ia tahu apa yang Tirta katakan mustahil bisa terwujud."Selangsing
"Mas Dimas pernah berselingkuh dengan teman kampusnya saat reuni, klien bahkan anak magang di kantornya. Waktu itu saya selalu memaafkan Mas Dimas, karena saya sangat mencintainya. Pula saya sudah tidak bisa pulang. Saya sudah terlanjur omong besar pada bapak saya, bahwa saya tidak akan pernah menginjakkan kaki ke rumahnya lagi. Makanya saya selalu bertahan dengan harapan, bahwa suatu saat Mas Dimas akan berubah kalau kami sudah punya anak. Hingga masalah ini terjadi. Puspita hamil dan minta dinikahi. Apa lagi yang harus saya lakukan selain meminta cerai bukan, Pak?" ucap Padma lirih. "Anak itu benar-benar keterlaluan." Pak Samin menarik napas panjang. Ia sudah tidak berhasrat untuk membujuk Padma untuk rujuk kembali. Putranya benar-benar tidak bisa dimaafkan lagi."Pak, ayo kita pulang. Mas Dimas bilang dia membawa Ibu ke sini." Lestari tergopoh-gopoh menyerbu ke dalam rumah. "Biar saja Ibu ke sini. Toh Ibu sudah lama juga tidak bertemu dengan Padma. Kamu juga, kan? Ayo mengobrolla
"Kabar Ibu sih sangat baik. Apalagi setelah tahu kalau Ibu akan mempunyai seorang cucu." See? Dugaan Padma tepat, bukan?"Jangan berbicara seperti itu, Bu." Pak Samin menatap tajam sang istri. Bu Nursyam melengos. Ia merasa tidak bersalah karena mengatakan hal yang sebenarnya. "Ya sudah. Kalau begitu kita ke rumah sakit sekarang. Rematik Bapak kambuh lagi 'kan? Cepetan, Pita sudah menunggu di mobil." Bu Nursyam beringsut dari sofa. "Untuk apa si Pita itu ikut?" Lestari protes. Ia sangat tidak menyukai abege tersebut. Usia Puspita memang nyaris separuh usianya. Tapi culasnya luar biasa. "Kenapa rupanya kalau Pita ikut? Pita bilang perutnya begah. Makanya Ibu bawa saja ke rumah sakit sekalian. Ibu takut calon cucu Ibu nanti kenapa-kenapa. Lagian kamu kenapa sih anti sekali dengan Pita. Ingat dia itu calon kakak iparmu." Bu Nursyam mengomeli anak perempuannya. "Astaga, Bu. Ibu tidak tahu saja betapa liciknya si Pita itu." Lestari menghembuskan napas kasar.Tin! Di luar rumah suara
"Lho... lho... lho... kok kita jalan lurus? Mas sudah lupa alamat rumahku ya?" Padma protes saat Tirta terus melaju. Padahal seharusnya ia membelokkan kendaraan ke kanan."Kita singgah ke rumah makan depan sebentar." Tirta melajukan kanderaan beberapa meter lagi, sebelum parkir di tempat yang sudah disediakan."Ngapain kita ke sini? Aku tidak lapar, Mas." Padma lagi-lagi protes."Aku yang lapar. Ayo turun." Tirta mematikan mesin dan keluar dari mobil. Tanpa banyak bicara lagi, Padma mengekori langkah Tirta. Ia sadar. Dirinya ini hanya menumpang. Tidak seharusnya ia banyak protes."Kita duduk di meja sudut sana saja, supaya tidak terlalu berisik." Tirta mendahului Padma berjalan menuju meja nomor dua belas. Padma setuju dengan pilihan Tirta. Karena meja-meja yang mereka lewati rata-rata di isi oleh pengunjung yang duduk berkelompok. Suara riuh rendah yang berasal dari canda tawa mereka, membuat ruangan menjadi berisik. Seorang pelayan berseragam batik dengan sigap segera memberikan buk