Pak Santo lagi-lagi mendecakkan lidah.
"Masa sih, Pak?" "Iya, Mbak. Saya dan Iwan saja dimarahi minggu lalu karena terlambat. Soalnya Iwan ke rumah pacarnya dulu. Mau memberi surprise ulang tahun katanya. Akibatnya kami terlambat hampir satu jam lamanya. Habislah kami berdua dimarahi." Kali ini, Pak Nurdin ikut curhat.
"Parah sekali Pak Tirta ini ya, Pak? Tidak ada pengertiannya sama sekali?" Padma berdecak.
Sewaktu kecil, Tirta memang terkenal tepat waktu dan perfectionist. Dalam kerja kelompok saja, murid yang terlambat akan ia catat namanya dan dilaporkan pada guru. Belum lagi kalau ada tugas praktek prakarya. Semua karyanya harus presisi. Kalau melenceng sedikit saja, akan ia ulang dari awal. Ternyata sifat Tirta tidak berubah sedari dulu.
"Ya parah tidak parah sih, Mbak. Kalau alasan kita masuk akal dan jujur, Pak Tirta sih memaklumi. Terus tetap diberi tip juga. Terkadang dikasih makanan kalau kebetulan ada. Tapi kalau kita ketahuan bohong, beugh, tidak ada ampun. Pokoknya telinga kita siap siaga saja mendengar omelan-omelan pedasnya." Pak Sapto yang menjawab.
"Waduh, masalah lagi ini kayaknya ini, Mbak." Pak Santo menepuk keningnya. Di depan ada plang razia dan juga petugas berseragam. Beberapa kendaraan besar tampak terpakir di pinggir jalan. Sementara beberapa pria yang diduga adalah supir, sibuk adu mulut dengan petugas berseragam. Sepertinya mereka semua akan ditilang.
"Lho... lho... lho... kita juga ikut disuruh berhenti ini, Mbak," seru Pak Santo panik.
"Iya, nggak apa-apa, Pak. Polisi-polisi itu hanya melaksanakan tugas. Kalau dokumen-dokumen lengkap untuk apa kita takut? Nanti juga dilepas kalau mereka tidak menemukan kesalahan."
Padma menenangkan, lalu menghentikan truk di lokasi yang ditunjuk petugas.
"Iya kalau dilepas begitu saja. Pengalaman Bapak sih, kita sudah benar pun, ada saja yang dicari salahnya," gerutu Pak Santo. Padma diam saja. Karena apa yang Pak Santo katakan itu memang ada benarnya.
"Selamat pagi, Pak. Wah, Ibu rupanya." Padma tersenyum tipis, saat sang petugas terperangah melihatnya duduk di kursi pengemudi.
"Selamat pagi, Pak Polisi." Padma menjawab sopan.
"Ibu bisa turun sebentar? Saya ingin memeriksa SIM Ibu dan juga kelengkapan dokumen truk ini." Sang polisi menengadah. Ia kesulitan berkomunikasi dengan posisi seperti ini.
"Bisa, Pak. Sebentar," jawab Padma, lalu membuka dashbord untuk mengeluarkan dokumen resmi.
SIM, STNK, surat jalan dan beberapa dokumen lainnya memang sengaja ia letakkan dalam satu tempat. Setelahnya ia membuka pintu truk dan turun dengan hati-hati. Dari pintu sebelah Pak Santo dan Pak Nurdin mengikuti. Kini Padma berhadapan dengan polisi muda yang memandanginya dengan tatapan skeptis.
"Ya ampun, Bu. Kenapa Ibu mengendarai truk begini? Suami Ibu ke mana?" Sang polisi muda memeriksa dokumen yang diserahkan Padma dengan air muka prihatin.
"Ada di rumah, Pak. Sedang selingkuh dengan pacar barunya," sahut Padma kalem. Agar urusan cepat selesai Padma memberi jawaban yang mengundang simpati. Pak Santo dan Pak Nurdin saling berpandangan. Mereka tidak menyangka kalau Padma akan menjawab selugas ini. Sang polisi muda menghela napas panjang.
"Yang sabar ya, Bu. Hidup memang tidak bisa diprediksi. Ini dokumen-dokumennya. Hati-hati di jalan dan tetap semangat." Sang polisi muda mengepalkan tangan.
"Harus semangat." Padma ikut mengepalkan tangan. Ia lalu menerima dokumen dan kembali menaiki truk.
Pak Santo dan Pak Nurdin cengar-cengir. Sekarang mereka sudah tahu apa alasan Padma menjawab segamblang itu.
"Mbak Padma cerdas, ya? Cara berpikirnya begini?" Pak Nurdin mengacungkan jempolnya.
"Biar cepat saja urusannya, Pak. Bapak mau kita tiba tepat waktu bukan?" Padma pun menginjak pedal gas kian dalam. Tak urung tubuh ketiganya melaju ke depan.
"Wuih, gaskeun, Mbak." Pak Nurdin dan Pak Santo terbahak. Padma ikut tertawa. Ah, rasanya sudah lama sekali ia tidak tertawa selepas ini. Ayahnya benar. Bahwa rasa sakit akan meninggalkan kita, jika kita mampu melepaskannya. Oleh karenanya lepaskanlah semuanya atau selamanya kita akan terseret. Untungnya ia sekarang memilih untuk melepasnya.
***
Tak lama, Padma menurunkan laju kendaraan saat mendekati pintu gerbang proyek.
Mereka tiba pada pukul 09. 25 WIB.
Terlambat dua puluh lima menit karena macet.
Kesibukan para pekerja sudah terlihat pada pukul sembilan pagi ini. Helm-helm berwarna kuning, putih, merah, biru dan oranye berseliweran. Yang terbanyak tentu saja helm berwarna kuning yang merupakan helm subkontraktor pekerja.
"Itu Mas Danang dan Pak Tirta." Pak Nurdin menunjuk dua orang berhelm putih yang tampaknya sedang berbincang-bincang.
Hanya saja, Padma terkejut.
Tirta benar-benar berubah! Padma sama sekali tidak mengenalinya apabila Pak Nurdin tidak memberitahunya.
Anak remaja bertumbuh tambun dan berkulit legam, tidak tampak sedikit pun pada laki-laki di depannya ini.
Yang terlihat sekarang adalah pria tinggi besar dengan proporsi tubuh ideal. Kulitnya kuning langsat nan sehat.
Wajah bulat Tirta sekarang tirus dengan rahang persegi yang tegas. Hidungnya ikut ramping seiring panca indranya yang lain. Lagi-lagi Bik Parni benar. Tirta sekarang sangat gagah dan tampan.
"Apa yang kita takutkan untungnya tidak terjadi 'kan, Pak? Tuh lihat Pak Tirta sedang ngobrol-ngobrol sengan Mas Danang," pungkas Padma lega. Mendengar kata-katanya Pak Nurdin sontak tertawa.
"Mbak Padma jangan tertipu dengan sekilas penampakan. Kelihatannya saja itu Pak Tirta dan Mas Danang mengobrol biasa. Padahal Mas Danang sedang dimarahi. Lihat, Pak Tirta menunjuk-nunjuk tumpukan semen yang menipis." Pak Nurdin terkekeh. Istimewa ia melihat Danang celingukan ke kanan kiri. Setelah melihat kehadiran mereka, baru lah air muka Danang lega.
Ia bergegas menghampiri truk diikuti oleh Tirta. "Lihat, Mas. Bahan-bahannya sudah datang. Hanya terlambat dua puluh lima menit saja," ujar Danang setelah memindai jam tangannya.
"Hanya terlambat dua puluh lima menit kamu bilang? Ha--nya?" Tirta memenggal suku katanya.
"Bagi proyek ini, dua puluh lima menit itu adalah waktu yang berharga. Kamu tidak melihat puluhan tukang-tukang yang menganggur itu? Kalikan berapa jumlah waktu mereka yang terbuang?" Amukan Tirta membuat Padma melengos. Ia tidak tega melihat Danang yang tengah dimarahi. Perlahan Padma memundurkan duduknya. Ia menyamarkan diri dengan hanya memperlihatkan ujung kepalanya. Dengan begitu Tirta tidak akan mengetahui keberadaannya.
Sementara Pak Nurdin dan Pak Santo mencari aman. Keduanya dengan cepat melansir bahan-bahan, dibantu oleh tukang-tukang yang lain.
"Lagi pula kalau dirunut, sebenarnya kamu yang paling salah. Kenapa kamu baru melapor, setelah bahan-bahan nyaris habis? Harusnya kamu menginformasikannya pada saya jauh-jauh hari."
Mendengar omelan itu, Padma meringis. Walau menyebalkan apa yang Tirta katakan memang benar.
"Kalau kamu tidak punya inisiatif kerja, ganti saja helm putih dua strip kamu itu dengan helm berwarna kuning!"
Pedasnya mulut Tirta memang bisa membuat orang mati gaya.
"Pak Man juga. Baru beberapa hari lalu Pak Man berjanji untuk mengantar bahan tepat waktu. Tapi nyatanya tetap saja terlambat. Apa alasan Bapak terlambat kali ini?"
"Astaghfirullahaladzim!" Padma kaget saat pintu mobil digedor dari samping.
Jawab... tidak ... jawab... tidak...
"Pak Man. Bapak dengar saya?"
Maksa amat si Tirta ini!
"Saya tidak pernah menjanjikan apa pun pada Anda!" sahut Padma dongkol.
Hening.
"Bukan Anda, tapi Pak Maman."
Ck! Sadar juga akhirnya ini orang.
"Jelas bukan. Karena saya tidak berkumis apalagi berjakun seperti Pak Maman," sahut Padma galak.
Lo jual, gue borong deh! Dia sudah siap berdebat sekarang.
"Kalau gitu, turun sekarang!" Bukannya takut, Tirta malah menghardiknya.Padma lantas berdecak. Sebenarnya ia malas sekali berurusan kembali dengan Tirta. Pengalaman mengajarkan bahwa mereka tidak boleh ada di tempat yang sama lebih dari lima menit. Karena ujung-ujangnya mereka pasti akan saling serang satu sama lain!"Masih belum mau turun? Apa perlu saya yang menurunkan Anda dari atas sana?""Tidak perlu, Pak. Berat soalnya," sahut Padma ketus. Ia memang mengumpulkan niat dulu sebelum bersilat lidah. Padma membuka pintu truk dan bersiap-siap untuk turun."Sok-sok-an mau menurunkanku. Yang ada ngejengkang kamunya." Padma menggerutu. Bobotnya sekarang 80 kilogram. Bukan 40 kilogram seperti sepuluh tahun yang lalu. "Susah banget kalau turunnya buru-buru begini." Padma gugup karena dipandangi oleh orang banyak. Akibatnya kakinya tergelincir saat menginjak undakan. Padma memekik ngeri. Bayangan dirinya tersungkur di hadapan Tirta membuatnya memejamkan mata. Ajaib! Alih-alih merasakan k
"Kamu mendesain rumah Pak Warsito itu sepuluh tahun yang lalu. Namun konsepmu sudah sangat modern dan matang. Dengan bantuan teknologi saat ini, aku yakin, ide-idemu akan lebih berkembang. Lagi pula kamu desainer yang belum terkenal, jadi lebih murah gajinya. Itu pertimbangan utama saya mengajakmu bekerjasama." Kembali, Tirta menjelaskan pertimbangannya merekrut Padma. "Masih terlalu aneh," Padma tidak percaya."Yang aneh itu kamu. Kenyataan terpampang di depan matamu, tapi tidak bisa kamu lihat. Sebaliknya ilusi yang di belakangmu, mati-matian kamu percayai. Bangun, Mpeng. Bangun. Mau berapa lama lagi kamu baru sadar?" Tirta bertepuk tangan tepat di depan wajah Padma."Sadar? Memangnya aku pingsan apa?" Padma membelalakkan mata."Pertanyaan itu hanya kamu sendiri yang bisa menjawabnya. Aku tanya sekali lagi. Kamu menerima tawaran saya atau tidak? Saya tidak akan bertanya dua kali."Terima... jangan... terima... jangan...?"Oke. Aku terima." Padma mengangguk mantap. Ia sudah sesu
Padma memilih tidak menjawab.Ia malu karena aibnya sudah diketahui Tirta. Namun tak urung ia mengikuti juga langkah-langkah ringan Tirta. Sepuluh menit berlalu. Mereka akhirnya tiba di perumahan yang Tirta maksud. Syukurlah. Kalau harus berjalan lebih jauh lagi, rasanya ia tidak sanggup. Kakinya sudah tidak mau bekerjasama untuk melangkah "Itu perumahannya. Kita jalan dari sini saja." Tirta membawa Padma ke jalan yang baru dibuat."Kamu tahu tidak, kalau kita berjalan kaki setidaknya 30 menit setiap hari, akan membuat jantung kita sehat. Lewat sini." Tirta membawa Padma masuk ke dalam rumah contoh."Nah, kalau kita menambahnya dengan aktivitas fisik selama 150 menit entah dengan jalan cepat, bersepeda, atau menari saja, itu akan lebih baik. Jika digabungkan dengan mengonsumsi lebih banyak sayur, buah dan makanan nabati, kamu pasti bisa menjadi langsing." "Mimpi. Mustahil aku bisa selangsing dulu," ucap Padma sedih. Ia tahu apa yang Tirta katakan mustahil bisa terwujud."Selangsing
"Mas Dimas pernah berselingkuh dengan teman kampusnya saat reuni, klien bahkan anak magang di kantornya. Waktu itu saya selalu memaafkan Mas Dimas, karena saya sangat mencintainya. Pula saya sudah tidak bisa pulang. Saya sudah terlanjur omong besar pada bapak saya, bahwa saya tidak akan pernah menginjakkan kaki ke rumahnya lagi. Makanya saya selalu bertahan dengan harapan, bahwa suatu saat Mas Dimas akan berubah kalau kami sudah punya anak. Hingga masalah ini terjadi. Puspita hamil dan minta dinikahi. Apa lagi yang harus saya lakukan selain meminta cerai bukan, Pak?" ucap Padma lirih. "Anak itu benar-benar keterlaluan." Pak Samin menarik napas panjang. Ia sudah tidak berhasrat untuk membujuk Padma untuk rujuk kembali. Putranya benar-benar tidak bisa dimaafkan lagi."Pak, ayo kita pulang. Mas Dimas bilang dia membawa Ibu ke sini." Lestari tergopoh-gopoh menyerbu ke dalam rumah. "Biar saja Ibu ke sini. Toh Ibu sudah lama juga tidak bertemu dengan Padma. Kamu juga, kan? Ayo mengobrolla
"Kabar Ibu sih sangat baik. Apalagi setelah tahu kalau Ibu akan mempunyai seorang cucu." See? Dugaan Padma tepat, bukan?"Jangan berbicara seperti itu, Bu." Pak Samin menatap tajam sang istri. Bu Nursyam melengos. Ia merasa tidak bersalah karena mengatakan hal yang sebenarnya. "Ya sudah. Kalau begitu kita ke rumah sakit sekarang. Rematik Bapak kambuh lagi 'kan? Cepetan, Pita sudah menunggu di mobil." Bu Nursyam beringsut dari sofa. "Untuk apa si Pita itu ikut?" Lestari protes. Ia sangat tidak menyukai abege tersebut. Usia Puspita memang nyaris separuh usianya. Tapi culasnya luar biasa. "Kenapa rupanya kalau Pita ikut? Pita bilang perutnya begah. Makanya Ibu bawa saja ke rumah sakit sekalian. Ibu takut calon cucu Ibu nanti kenapa-kenapa. Lagian kamu kenapa sih anti sekali dengan Pita. Ingat dia itu calon kakak iparmu." Bu Nursyam mengomeli anak perempuannya. "Astaga, Bu. Ibu tidak tahu saja betapa liciknya si Pita itu." Lestari menghembuskan napas kasar.Tin! Di luar rumah suara
"Lho... lho... lho... kok kita jalan lurus? Mas sudah lupa alamat rumahku ya?" Padma protes saat Tirta terus melaju. Padahal seharusnya ia membelokkan kendaraan ke kanan."Kita singgah ke rumah makan depan sebentar." Tirta melajukan kanderaan beberapa meter lagi, sebelum parkir di tempat yang sudah disediakan."Ngapain kita ke sini? Aku tidak lapar, Mas." Padma lagi-lagi protes."Aku yang lapar. Ayo turun." Tirta mematikan mesin dan keluar dari mobil. Tanpa banyak bicara lagi, Padma mengekori langkah Tirta. Ia sadar. Dirinya ini hanya menumpang. Tidak seharusnya ia banyak protes."Kita duduk di meja sudut sana saja, supaya tidak terlalu berisik." Tirta mendahului Padma berjalan menuju meja nomor dua belas. Padma setuju dengan pilihan Tirta. Karena meja-meja yang mereka lewati rata-rata di isi oleh pengunjung yang duduk berkelompok. Suara riuh rendah yang berasal dari canda tawa mereka, membuat ruangan menjadi berisik. Seorang pelayan berseragam batik dengan sigap segera memberikan buk
"Iya, kamu memang Tirta," lanjut sang perempuan cantik setelah mengamati Tirta dari jarak dekat."Astaga, aku hampir tidak mengenalimu tadi." Si gadis cantik mendekati Tirta."Kok kamu diam saja sih, Tir? Aku ini Virliana Syamsir alias Anna. Masa sih kamu tidak mengenaliku?"Perempuan cantik nan langsing itu bernama Anna rupanya."Kamu bersikap acuh begini, jangan-jangan karena kamu masih marah padaku yang menolak cintamu dulu ya?" ujar Anna manja."Uhuk!"Padma terbatuk. Ternyata Anna dulu adalah gebetan Tirta. Wajar jika Tirta dulu menyukai Anna. Wajah cantik dan tubuh idealnya memang sedap dipandang mata.Padma kembali melirik Tirta. Sedari tadi, Tirta diam seribu bahasa. Namun Padma dapat melihat keringat yang mulai bermanik di dahinya. Walau tetap diam, rupanya Tirta nervous juga."Aku dulu masih terlalu muda untuk bisa melihat cinta sejati. Makanya aku menolakmu dan menerima cinta Hendry. Tapi sekarang keadaan sudah berbeda, Tir. Aku sudah bebas. Hendry menceraikanku dua tahun
Minggu pagi di stadion GBK. Bersama ratusan pengunjung stadiun GBK yang tengah berlari, Padma berlari sambil mengatur napasnya. Setelah seminggu kembali ke rumah orang tuanya, ia memang sedang semangat-semangatnya mengubah gaya hidup. Ia tidak mau lagi menangisi masa lalunya. "Satu putaran lagi, Ma. Ayo semangat. Kamu tidak mau dibully orang lagi bukan? Ayo kaki dan jantungku sayang, bantu aku menyehatkan kalian semua ya?" Padma menyemangati dirinya sendiri agar memenuhi target. Ia sudah memutari stadion sebanyak empat kali. Tinggal satu putaran lagi. "Ayo, Nduk. Satu putaran lagi. Bapak tunggu di sini." Suara ayahnya yang memanggil-manggil di ujung lintasan, membuat semangat Padma kembali bangkit. Bagaimana ia tidak semangat. Ayahnya melambai-lambaikan sebotol air mineral dan sekotak bekal di kejauhan. Memang sudah lima hari ini ayahnya selalu menyiapkan air mineral dan sarapan sehat untuknya. Hari pertama dan kedua tinggal di rumah, ayahnya tidak mengetahui kegiatan lari paginya.