Share

6. Bertemu Musuh Lama.

Pak Santo lagi-lagi mendecakkan lidah. 

"Masa sih, Pak?"

"Iya, Mbak. Saya dan Iwan saja dimarahi minggu lalu karena terlambat. Soalnya Iwan ke rumah pacarnya dulu. Mau memberi surprise ulang tahun katanya. Akibatnya kami terlambat hampir satu jam lamanya. Habislah kami berdua dimarahi." Kali ini, Pak Nurdin ikut curhat. 

"Parah sekali Pak Tirta ini ya, Pak? Tidak ada pengertiannya sama sekali?" Padma berdecak.

Sewaktu kecil, Tirta memang terkenal tepat waktu dan perfectionist. Dalam kerja kelompok saja, murid yang terlambat akan ia catat namanya dan dilaporkan pada guru. Belum lagi kalau ada tugas praktek prakarya. Semua karyanya harus presisi. Kalau melenceng sedikit saja, akan ia ulang dari awal. Ternyata sifat Tirta tidak berubah sedari dulu.

"Ya parah tidak parah sih, Mbak. Kalau alasan kita masuk akal dan jujur, Pak Tirta sih memaklumi. Terus tetap diberi tip juga. Terkadang dikasih makanan kalau kebetulan ada. Tapi kalau kita ketahuan bohong, beugh, tidak ada ampun. Pokoknya telinga kita siap siaga saja mendengar omelan-omelan pedasnya." Pak Sapto yang menjawab.

"Waduh, masalah lagi ini kayaknya ini, Mbak." Pak Santo menepuk keningnya. Di depan ada plang razia dan juga petugas berseragam. Beberapa kendaraan besar tampak terpakir di pinggir jalan. Sementara beberapa pria yang diduga adalah supir, sibuk adu mulut dengan petugas berseragam. Sepertinya mereka semua akan ditilang. 

"Lho... lho... lho... kita juga ikut disuruh berhenti ini, Mbak," seru Pak Santo panik. 

"Iya, nggak apa-apa, Pak. Polisi-polisi itu hanya melaksanakan tugas. Kalau dokumen-dokumen lengkap untuk apa kita takut? Nanti juga dilepas kalau mereka tidak menemukan kesalahan."

Padma menenangkan, lalu menghentikan truk di lokasi yang ditunjuk petugas.

"Iya kalau dilepas begitu saja. Pengalaman Bapak sih, kita sudah benar pun, ada saja yang dicari salahnya," gerutu Pak Santo. Padma diam saja. Karena apa yang Pak Santo katakan itu memang ada benarnya. 

"Selamat pagi, Pak. Wah, Ibu rupanya." Padma tersenyum tipis, saat sang petugas terperangah melihatnya duduk di kursi pengemudi. 

"Selamat pagi, Pak Polisi." Padma menjawab sopan.

"Ibu bisa turun sebentar? Saya ingin memeriksa SIM Ibu dan juga kelengkapan dokumen truk ini." Sang polisi menengadah. Ia kesulitan berkomunikasi dengan posisi seperti ini.

"Bisa, Pak. Sebentar," jawab Padma, lalu membuka dashbord untuk mengeluarkan dokumen resmi.

SIM, STNK, surat jalan dan beberapa dokumen lainnya memang sengaja ia letakkan dalam satu tempat. Setelahnya ia membuka pintu truk dan turun dengan hati-hati. Dari pintu sebelah Pak Santo dan Pak Nurdin mengikuti. Kini Padma berhadapan dengan polisi muda yang memandanginya dengan tatapan skeptis.

"Ya ampun, Bu. Kenapa Ibu mengendarai truk begini? Suami Ibu ke mana?" Sang polisi muda memeriksa dokumen yang diserahkan Padma dengan air muka prihatin.

"Ada di rumah, Pak. Sedang selingkuh dengan pacar barunya," sahut Padma kalem. Agar urusan cepat selesai Padma memberi jawaban yang mengundang simpati. Pak Santo dan Pak Nurdin saling berpandangan. Mereka tidak menyangka kalau Padma akan menjawab selugas ini. Sang polisi muda menghela napas panjang.

"Yang sabar ya, Bu. Hidup memang tidak bisa diprediksi. Ini dokumen-dokumennya. Hati-hati di jalan dan tetap semangat." Sang polisi muda mengepalkan tangan.

"Harus semangat." Padma ikut mengepalkan tangan. Ia lalu menerima dokumen dan kembali menaiki truk.

Pak Santo dan Pak Nurdin cengar-cengir. Sekarang mereka sudah tahu apa alasan Padma menjawab segamblang itu. 

"Mbak Padma cerdas, ya? Cara berpikirnya begini?" Pak Nurdin mengacungkan jempolnya.

"Biar cepat saja urusannya, Pak. Bapak mau kita tiba tepat waktu bukan?" Padma pun menginjak pedal gas kian dalam. Tak urung tubuh ketiganya melaju ke depan.

"Wuih, gaskeun, Mbak." Pak Nurdin dan Pak Santo terbahak. Padma ikut tertawa. Ah, rasanya sudah lama sekali ia tidak tertawa selepas ini. Ayahnya benar. Bahwa rasa sakit akan meninggalkan kita, jika kita mampu melepaskannya. Oleh karenanya lepaskanlah semuanya atau selamanya kita akan terseret. Untungnya ia sekarang memilih untuk melepasnya.

***

Tak lama, Padma menurunkan laju kendaraan saat mendekati pintu gerbang proyek.

Mereka tiba pada pukul 09. 25 WIB.

Terlambat dua puluh lima menit karena macet.

Kesibukan para pekerja sudah terlihat pada pukul sembilan pagi ini. Helm-helm berwarna kuning, putih, merah, biru dan oranye berseliweran. Yang terbanyak tentu saja helm berwarna kuning yang merupakan helm subkontraktor pekerja. 

"Itu Mas Danang dan Pak Tirta." Pak Nurdin menunjuk dua orang berhelm putih yang tampaknya sedang berbincang-bincang.

Hanya saja, Padma terkejut.

Tirta benar-benar berubah! Padma sama sekali tidak mengenalinya apabila Pak Nurdin tidak memberitahunya.

Anak remaja bertumbuh tambun dan berkulit legam, tidak tampak sedikit pun pada laki-laki di depannya ini.

Yang terlihat sekarang adalah pria tinggi besar dengan proporsi tubuh ideal. Kulitnya kuning langsat nan sehat.

Wajah bulat Tirta sekarang tirus dengan rahang persegi yang tegas. Hidungnya ikut ramping seiring panca indranya yang lain. Lagi-lagi Bik Parni benar. Tirta sekarang sangat gagah dan tampan.

"Apa yang kita takutkan untungnya tidak terjadi 'kan, Pak? Tuh lihat Pak Tirta sedang ngobrol-ngobrol sengan Mas Danang," pungkas Padma lega. Mendengar kata-katanya Pak Nurdin sontak tertawa.

"Mbak Padma jangan tertipu dengan sekilas penampakan. Kelihatannya saja itu Pak Tirta dan Mas Danang mengobrol biasa. Padahal Mas Danang sedang dimarahi. Lihat, Pak Tirta menunjuk-nunjuk tumpukan semen yang menipis." Pak Nurdin terkekeh. Istimewa ia melihat Danang celingukan ke kanan kiri. Setelah melihat kehadiran mereka, baru lah air muka Danang lega.

Ia bergegas menghampiri truk diikuti oleh Tirta. "Lihat, Mas. Bahan-bahannya sudah datang. Hanya terlambat dua puluh lima menit saja," ujar Danang setelah memindai jam tangannya.

"Hanya terlambat dua puluh lima menit kamu bilang? Ha--nya?" Tirta memenggal suku katanya.

"Bagi proyek ini, dua puluh lima menit itu adalah waktu yang berharga. Kamu tidak melihat puluhan tukang-tukang yang menganggur itu? Kalikan berapa jumlah waktu mereka yang terbuang?" Amukan Tirta membuat Padma melengos. Ia tidak tega melihat Danang yang tengah dimarahi. Perlahan Padma memundurkan duduknya. Ia menyamarkan diri dengan hanya memperlihatkan ujung kepalanya. Dengan begitu Tirta tidak akan mengetahui keberadaannya.

Sementara Pak Nurdin dan Pak Santo mencari aman. Keduanya dengan cepat melansir bahan-bahan, dibantu oleh tukang-tukang yang lain.

"Lagi pula kalau dirunut, sebenarnya kamu yang paling salah. Kenapa kamu baru melapor, setelah bahan-bahan nyaris habis? Harusnya kamu menginformasikannya pada saya jauh-jauh hari."

Mendengar omelan itu, Padma meringis. Walau menyebalkan apa yang Tirta katakan memang benar. 

"Kalau kamu tidak punya inisiatif kerja, ganti saja helm putih dua strip kamu itu dengan helm berwarna kuning!" 

Pedasnya mulut Tirta memang bisa membuat orang mati gaya.

"Pak Man juga. Baru beberapa hari lalu Pak Man berjanji untuk mengantar bahan tepat waktu. Tapi nyatanya tetap saja terlambat. Apa alasan Bapak terlambat kali ini?"

"Astaghfirullahaladzim!" Padma kaget saat pintu mobil digedor dari samping.

Jawab... tidak ... jawab... tidak...

"Pak Man. Bapak dengar saya?"

Maksa amat si Tirta ini!

"Saya tidak pernah menjanjikan apa pun pada Anda!" sahut Padma dongkol.

Hening.

"Bukan Anda, tapi Pak Maman."

Ck! Sadar juga akhirnya ini orang.

"Jelas bukan. Karena saya tidak berkumis apalagi berjakun seperti Pak Maman," sahut Padma galak.

Lo jual, gue borong deh! Dia sudah siap berdebat sekarang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status