Share

2. Lalat Bertemu Sampah.

"Padma!" Dimas yang merasa malu, berteriak. "Aku bisa maju sampai taraf ini juga karena kemampuanku sendiri, Padma. Bukan melulu karena bantuanmu."

Padma tersenyum sinis pada pria yang dulu sangat dicintainya itu. "Betul. Tapi tanpa semua support sistem dariku, apa kamu bisa menjadi seorang sarjana? Tanpa relasi-relasi bapak yang kukenalkan padamu, apa bisa kamu mendapat proyek-proyek raksasa? Coba jawab dengan jujur." Padma mengeluarkan taringnya. Sudah cukup sepuluh tahun ini ia bodoh karena cinta mati pada Dimas. Cinta telah membuatnya buta dan tuli atas semua perbuatan buruk suaminya.

"Jadi kamu menyesal telah membantuku dulu?" tuduh Dimas kesal. Tapi, sebenarnya ia gusar karena Padma telah membuka kartunya di hadapan Puspita. Wibawanya bisa hilang di mata gadis belia ini! 

"Tidak, Mas. Aku tidak pernah menyesal telah berbuat baik pada sesama manusia. Yang aku sesalkan adalah bahwa aku terlalu naif. Aku berpikir bahwa dengan seringnya aku membantu orang, maka orang yang kubantu minimal pasti punya adab. Nyatanya beberapa dari mereka malah mengigit tanganku. Tangan yang telah menyuapi mereka makan," pungkas Padma dengan suara gemetar.

Entah mengapa, ingatan saat ia memergoki Dimas dan Puspita yang tengah bercinta di ranjangnya kembali terputar--membangkitkan trauma. 

Hanya saja, Puspita dan Dimas tak sadar akan itu.

Keduanya kini merasa malu. Padma memukul hati mereka berdua secara telak. Namun tentu saja mereka tidak mau memperlihatkannya.

Terlanjur basah, mandi saja sekalian!  

"Aku dulu tidak pernah memintamu membantuku bukan? Kamu sendiri yang mau. Lagi pula aku juga tidak menerima bantuanmu dengan gratis. Aku kamu paksa dalam tanda kutip untuk memacari dan menikahimu. Padahal sedikit pun aku tidak tertarik pada gadis culun sepertimu. Tapi aku harus, karena ingin membalas budimu. Kita impas, Padma. Jadi tidak perlu ada kata sesal menyesal di sini. Kita sama-sama berkorban." Dimas memutuskan untuk jujur. Toh mulai hari ini ia sudah tidak punya hubungan apapun dengan Padma. Harta gono-gini juga sudah ia dapatkan. Jadi ia tidak perlu takut rugi apapun lagi. 

"Hahahaha....."

Mendengar kata-kata Dimas, Padma menyusut dua butir air mata yang jatuh ke pipinya. Ia sekarang baru menyadari akan nasehat ayahnya dulu. 

"Dimas itu tidak mencintaimu, Padma. Dia hanya memanfaatkan rasa cintamu. Laki-laki seperti ini suatu waktu pasti akan meninggalkanm, jikalau kamu sudah tidak berguna untuknya Percayalah pada Bapak, Nduk," ucap ayahnya kala itu.

Padma sungguh menyesal tak mendengarkannya.

Namun, nasi telah jadi bubur. 

Oleh karena itu, ia menegakkan bahunya setegas yang ia bisa. "Ini adalah air mata penyesalanku yang terakhir untukmu, Mas. Untuk selanjutnya aku bersumpah. Bahkan kamu hanya akan melihatku tertawa bahagia setelah aku membuang cinta tidak berhargamu ini. Kamu dan perempuan ini sama. Sama-sama sampah! Makanya kalian berdua cocok satu sama lain!"

Cih!

Padma meludah sebelum berlalu. Ia mengangkat dagunya tinggi, sembari berjalan cepat menuju pintu gerbang Pengadilan Agama. Ia takut kalau nantinya ia akan meraung-raung merutuki kebodohannya di tempat ini. Tidak boleh! Ia tidak akan menunjukkan kekalahannya di depan dua penghianat ini. 

Beberapa saat kemudian, mobil Dimas di belakangnya.

Padma pun pura-pura sibuk menelepon dan mengacuhkan keduanya.

Saat mobil telah mensejajrinya, Padma mendengar suara pintu kaca mobil yang dibuka.

Padma tahu bahwa Puspita masih berupaya mengejeknya dengan membuka kaca mobil.

Walau pura-pura tudak melihat, Padma yakin bahwa Puspita pasti melakukan drama bersama Dimas di dalam sana untuk memanas-manasinya. 

"Tutup kaca mobilnya, Pita." Padma sempat mendengar hardikan Dimas pada Puspita di tengah deru lalu lintas. Padma tahu. Sedikit banyak Dimas pasti malu melihat tingkah norak Puspita. Setelah mobil Dimas berlalu, Padma menghentikan pembicaan pura-pura satu arahnya. Dadanya masih bergemuruh memikirkan pengakuan Dimas. Jujur, egonya terluka. Istimewa Dimas mengatakan semuanya di depan Puspita. Harga dirinya seperti dibanting ke tanah. 

Padma tersenyum tanpa merasa lucu.

Selama 10 tahun ia telah mati-matian memperjuangkan cinta, termasuk menjual aset-aset yang ia dapatkan dari ayahnya untuk membiayai bisnis yang baru dirintis Dimas.

Ia juga terus melakukan terapi kesuburan dan hormon dengan harapan agar ia bisa hamil.

Akibatnya ia pun mengalami kelebihan berat badan secara drastis. Setelah semua pengorbanannya, kini ia dicampakkan oleh Dimas begitu saja? Menyedihkan!

Mencoba meredakan kekecewaan, Padma memandangi lalu lintas siang hari.

Dengan khusyuk, ia menghitung satu persatu mobil yang berlalu lalang.

Satu, dua, tiga, empat, lima hingga berjumlah tiga puluh tiga.

Pada hitungan empat puluh tujuh ia sudah bisa mengatasi emosinya.

Srak!

Padma meraih ponsel. Ia bermaksud mengorder taksi online.

Namun belum sempat menekan tombol pesan, pandangannya teralihkan pada sesuatu di ujung jalan.

Matanya seketika berair saat melihat sebuah mobil truk pengangkut semen berhenti tidak jauh dari tempatnya berdiri. Ia sangat mengenali truk itu. Tatkala pintu truk terbuka dan sesosok pria paruh baya turun dengan susah payah, Padma berseru parau.

"Bapak!" Padma berlari menghampiri sang ayah yang seketika mengembangkan kedua tangannya. 

 "Nduk!"

"Padma minta ampun, Pak. Ampun karena Padma dulu tidak mendengarkan Bapak. Ampun karena dulu Padma memusuhi Bapak. Padma menyesal, Pak. Ampun, Pak. Ampun." Padma memeluk erat ayahnya dengan tubuh gemetar. Sepuluh tahun berumah tangga, baru kali inilah Padma mengadu. Biasanya ia selalu menyimpan masalah rumah tangganya sendirian.

"Tidak apa-apa, Nduk. Jadikan semua yang kamu lalui sebagai pelajaran berharga dalam hidup. Lupakan semuanya. Lupakan masa lalu. Sebentar ya, Bapak mau mengambil sesuatu dulu." Pak Manan melonggarkan pelukan emosional sang putri. Ia tidak mau terlarut dalam kesedihan. Ia harus memberi semangat pada putrinya yang sedang terpuruk.

"Iwan, bawa sini kembangnya," seru Pak Manan pada sang supir. Padma kembali sesengukan ketika melihat supir ayahnya membawa sebuah buket bunga besar. 

"Padmasari Wijayanti, dulu laki-laki itu membawamu pergi dengan setangkai bunga mawar dari halaman rumah orang. Hari ini, Bapak membawamu kembali pulang dengan sepelukan bunga yang jauh lebih harum dan mahal karena dibeli dengan uang. Ayo kita pulang, Nduk. Jangan mengontrak lagi. Rumah Bapak adalah rumahmu juga. Mari kita pulang." 

"Iya, Pak. Iya. Padma mau pulang sekarang," balas Padma cepat.

Ya, mulai hari ini, Padma akan menghapus kenangannya sebagai istri mengabdi yang dikhianati.

Dia akan kembali menjadi dirinya yang sesungguhnya dan juga akan membuat keluarganya bangga!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status