"Padma!" Dimas yang merasa malu, berteriak. "Aku bisa maju sampai taraf ini juga karena kemampuanku sendiri, Padma. Bukan melulu karena bantuanmu."
Padma tersenyum sinis pada pria yang dulu sangat dicintainya itu. "Betul. Tapi tanpa semua support sistem dariku, apa kamu bisa menjadi seorang sarjana? Tanpa relasi-relasi bapak yang kukenalkan padamu, apa bisa kamu mendapat proyek-proyek raksasa? Coba jawab dengan jujur." Padma mengeluarkan taringnya. Sudah cukup sepuluh tahun ini ia bodoh karena cinta mati pada Dimas. Cinta telah membuatnya buta dan tuli atas semua perbuatan buruk suaminya.
"Jadi kamu menyesal telah membantuku dulu?" tuduh Dimas kesal. Tapi, sebenarnya ia gusar karena Padma telah membuka kartunya di hadapan Puspita. Wibawanya bisa hilang di mata gadis belia ini!
"Tidak, Mas. Aku tidak pernah menyesal telah berbuat baik pada sesama manusia. Yang aku sesalkan adalah bahwa aku terlalu naif. Aku berpikir bahwa dengan seringnya aku membantu orang, maka orang yang kubantu minimal pasti punya adab. Nyatanya beberapa dari mereka malah mengigit tanganku. Tangan yang telah menyuapi mereka makan," pungkas Padma dengan suara gemetar.
Entah mengapa, ingatan saat ia memergoki Dimas dan Puspita yang tengah bercinta di ranjangnya kembali terputar--membangkitkan trauma.
Hanya saja, Puspita dan Dimas tak sadar akan itu.
Keduanya kini merasa malu. Padma memukul hati mereka berdua secara telak. Namun tentu saja mereka tidak mau memperlihatkannya.
Terlanjur basah, mandi saja sekalian!
"Aku dulu tidak pernah memintamu membantuku bukan? Kamu sendiri yang mau. Lagi pula aku juga tidak menerima bantuanmu dengan gratis. Aku kamu paksa dalam tanda kutip untuk memacari dan menikahimu. Padahal sedikit pun aku tidak tertarik pada gadis culun sepertimu. Tapi aku harus, karena ingin membalas budimu. Kita impas, Padma. Jadi tidak perlu ada kata sesal menyesal di sini. Kita sama-sama berkorban." Dimas memutuskan untuk jujur. Toh mulai hari ini ia sudah tidak punya hubungan apapun dengan Padma. Harta gono-gini juga sudah ia dapatkan. Jadi ia tidak perlu takut rugi apapun lagi.
"Hahahaha....."
Mendengar kata-kata Dimas, Padma menyusut dua butir air mata yang jatuh ke pipinya. Ia sekarang baru menyadari akan nasehat ayahnya dulu.
"Dimas itu tidak mencintaimu, Padma. Dia hanya memanfaatkan rasa cintamu. Laki-laki seperti ini suatu waktu pasti akan meninggalkanm, jikalau kamu sudah tidak berguna untuknya Percayalah pada Bapak, Nduk," ucap ayahnya kala itu.
Padma sungguh menyesal tak mendengarkannya.
Namun, nasi telah jadi bubur.
Oleh karena itu, ia menegakkan bahunya setegas yang ia bisa. "Ini adalah air mata penyesalanku yang terakhir untukmu, Mas. Untuk selanjutnya aku bersumpah. Bahkan kamu hanya akan melihatku tertawa bahagia setelah aku membuang cinta tidak berhargamu ini. Kamu dan perempuan ini sama. Sama-sama sampah! Makanya kalian berdua cocok satu sama lain!"
Cih!
Padma meludah sebelum berlalu. Ia mengangkat dagunya tinggi, sembari berjalan cepat menuju pintu gerbang Pengadilan Agama. Ia takut kalau nantinya ia akan meraung-raung merutuki kebodohannya di tempat ini. Tidak boleh! Ia tidak akan menunjukkan kekalahannya di depan dua penghianat ini.
Beberapa saat kemudian, mobil Dimas di belakangnya.
Padma pun pura-pura sibuk menelepon dan mengacuhkan keduanya.
Saat mobil telah mensejajrinya, Padma mendengar suara pintu kaca mobil yang dibuka.
Padma tahu bahwa Puspita masih berupaya mengejeknya dengan membuka kaca mobil.
Walau pura-pura tudak melihat, Padma yakin bahwa Puspita pasti melakukan drama bersama Dimas di dalam sana untuk memanas-manasinya.
"Tutup kaca mobilnya, Pita." Padma sempat mendengar hardikan Dimas pada Puspita di tengah deru lalu lintas. Padma tahu. Sedikit banyak Dimas pasti malu melihat tingkah norak Puspita. Setelah mobil Dimas berlalu, Padma menghentikan pembicaan pura-pura satu arahnya. Dadanya masih bergemuruh memikirkan pengakuan Dimas. Jujur, egonya terluka. Istimewa Dimas mengatakan semuanya di depan Puspita. Harga dirinya seperti dibanting ke tanah.
Padma tersenyum tanpa merasa lucu.
Selama 10 tahun ia telah mati-matian memperjuangkan cinta, termasuk menjual aset-aset yang ia dapatkan dari ayahnya untuk membiayai bisnis yang baru dirintis Dimas.
Ia juga terus melakukan terapi kesuburan dan hormon dengan harapan agar ia bisa hamil.
Akibatnya ia pun mengalami kelebihan berat badan secara drastis. Setelah semua pengorbanannya, kini ia dicampakkan oleh Dimas begitu saja? Menyedihkan!
Mencoba meredakan kekecewaan, Padma memandangi lalu lintas siang hari.
Dengan khusyuk, ia menghitung satu persatu mobil yang berlalu lalang.
Satu, dua, tiga, empat, lima hingga berjumlah tiga puluh tiga.
Pada hitungan empat puluh tujuh ia sudah bisa mengatasi emosinya.
Srak!
Padma meraih ponsel. Ia bermaksud mengorder taksi online.
Namun belum sempat menekan tombol pesan, pandangannya teralihkan pada sesuatu di ujung jalan.
Matanya seketika berair saat melihat sebuah mobil truk pengangkut semen berhenti tidak jauh dari tempatnya berdiri. Ia sangat mengenali truk itu. Tatkala pintu truk terbuka dan sesosok pria paruh baya turun dengan susah payah, Padma berseru parau.
"Bapak!" Padma berlari menghampiri sang ayah yang seketika mengembangkan kedua tangannya.
"Nduk!"
"Padma minta ampun, Pak. Ampun karena Padma dulu tidak mendengarkan Bapak. Ampun karena dulu Padma memusuhi Bapak. Padma menyesal, Pak. Ampun, Pak. Ampun." Padma memeluk erat ayahnya dengan tubuh gemetar. Sepuluh tahun berumah tangga, baru kali inilah Padma mengadu. Biasanya ia selalu menyimpan masalah rumah tangganya sendirian.
"Tidak apa-apa, Nduk. Jadikan semua yang kamu lalui sebagai pelajaran berharga dalam hidup. Lupakan semuanya. Lupakan masa lalu. Sebentar ya, Bapak mau mengambil sesuatu dulu." Pak Manan melonggarkan pelukan emosional sang putri. Ia tidak mau terlarut dalam kesedihan. Ia harus memberi semangat pada putrinya yang sedang terpuruk.
"Iwan, bawa sini kembangnya," seru Pak Manan pada sang supir. Padma kembali sesengukan ketika melihat supir ayahnya membawa sebuah buket bunga besar.
"Padmasari Wijayanti, dulu laki-laki itu membawamu pergi dengan setangkai bunga mawar dari halaman rumah orang. Hari ini, Bapak membawamu kembali pulang dengan sepelukan bunga yang jauh lebih harum dan mahal karena dibeli dengan uang. Ayo kita pulang, Nduk. Jangan mengontrak lagi. Rumah Bapak adalah rumahmu juga. Mari kita pulang."
"Iya, Pak. Iya. Padma mau pulang sekarang," balas Padma cepat.
Ya, mulai hari ini, Padma akan menghapus kenangannya sebagai istri mengabdi yang dikhianati.
Dia akan kembali menjadi dirinya yang sesungguhnya dan juga akan membuat keluarganya bangga!
Pulang.Padma merasakan kerinduan yang sangat mendengar kata itu.Dulu, setiap kali Dimas menyakitinya, ia selalu ingin pulang. Tapi, Padma sadar bahwa ia telah membuat pilihan untuk bersama dengan Dimas dan meninggalkan ayahnya. Ia tidak mungkin menjilat ludahnya sendiri.Untungnya, kini semua berbeda.Semilir angin siang menjelang membelai wajah Padma yang duduk di dalam truk. Membuat kenangan masa kecilnya menyerbu bagai air bah.Dulu, dirinya kerap menemani ayahnya mengantar bahan-bahan material ke pelanggan, apabila Pak Samin tidak masuk kerja.Siapa sangka, Pak Samin pada akhirnya menjadi mertuanya. Ya, Pak Samin adalah ayah Dimas. "Dari mana--""Bapak--"Padma dan ayahnya berbicara pada saat yang bersamaan. Setelahnya keduanya tersenyum canggung. Hubungan mereka merenggang setelah perseteruan hebat sepuluh tahun yang lalu. "Kamu duluan berbicara, Nduk. Bapak akan mendengarkan." Pak Manan mengalah. Sesungguhnya tidak berbicara pun, baginya tidak mengapa. Bisa berlama-lama mema
Padma mendengar itu.Namun, ia memilih mengindahkan omelan Bulik Fatimah dan langsung melintasi jalan setapak.Di ujung jalan setapak itu, berdiri megah rumah masa kecilnya yang luas dan asri.Ayahnya dulu sengaja membangun rumah di belakang toko agar bisa mengawasinya selama bekerja. Ibunya sudah meninggal saat ia masih berusia dua belas tahun. Makanya ayahnya memiliki tugas ganda. Menjadi seorang ayah sekaligus ibu untuknya."Lihat anakmu, Mas. Orang tua sedang bicara, tapi dia malah pergi begitu saja. Tidak ada sopan-santunnya sama sekali." Padma masih bisa mendengar omelan buliknya tatkala ia sudah sampai di teras rumah.Tapi, ia tak peduli!Pintu rumah sekonyong-konyong terbuka. Bik Parni berdiri di ambang pintu. "Oalah, Mbak Padma sudah pulang toh. Apa kabar, Mbak?" sambutnya, hangat.Padma tersenyum haru tatkala melihat pengasuhnya itu kini mengembangkan lengan. Bik Parni adalah ibu kedua baginya. "Baik, Bik." Padma menghambur memeluk Bik Parni. Seketika Padma menghidu aroma
"Aku Nunik, Mbak Ma." Mendengar itu, Padma lega.Sepupunya, rupanya. "Sebentar ya, Nik." Padma membuka pintu kamar dengan satu tangan melindungi area dadanya. Di ambang pintu Nunik tersenyum manis. Sepupunya ini memang memiliki ekspresi ramah sedari dulu. Kepulangannya semalam disambut hangat oleh Ninik. Berbanding terbalik dengan ibunya yang jelas-jelas tampak keberatan."Kenapa bajunya, Mbak?" Nunik menahan tawa. Penampakan Padma mirip dengan iklan minyak ikan zaman dulu. Kemejanya kesempitan."Tidak usah banyak basa-basi kamu. Tawamu sudah menjelaskan segalanya." Padma menjawil hidung bangir Nunik. "Maaf, Mbak. Saya cuma bercanda. Eh, salah juga. Tidak boleh membawa-bawa fisik dalam candaan ya? Maafkan diriku ya, Mbak?" Nunik merapatkan kedua tangannya ke dada. Meminta maaf dengan ekspresi sedih berlebihan."Heleh, lebay kamu." Padma menoyor kening Nunik pelan. Sedari kecil ia memang sayang pada sepupunya ini. Rentang usia mereka yang terpaut jauh, membuatnya menyayangi Nunik se
Pak Santo lagi-lagi mendecakkan lidah. "Masa sih, Pak?" "Iya, Mbak. Saya dan Iwan saja dimarahi minggu lalu karena terlambat. Soalnya Iwan ke rumah pacarnya dulu. Mau memberi surprise ulang tahun katanya. Akibatnya kami terlambat hampir satu jam lamanya. Habislah kami berdua dimarahi." Kali ini, Pak Nurdin ikut curhat. "Parah sekali Pak Tirta ini ya, Pak? Tidak ada pengertiannya sama sekali?" Padma berdecak.Sewaktu kecil, Tirta memang terkenal tepat waktu dan perfectionist. Dalam kerja kelompok saja, murid yang terlambat akan ia catat namanya dan dilaporkan pada guru. Belum lagi kalau ada tugas praktek prakarya. Semua karyanya harus presisi. Kalau melenceng sedikit saja, akan ia ulang dari awal. Ternyata sifat Tirta tidak berubah sedari dulu."Ya parah tidak parah sih, Mbak. Kalau alasan kita masuk akal dan jujur, Pak Tirta sih memaklumi. Terus tetap diberi tip juga. Terkadang dikasih makanan kalau kebetulan ada. Tapi kalau kita ketahuan bohong, beugh, tidak ada ampun. Pokoknya
"Kalau gitu, turun sekarang!" Bukannya takut, Tirta malah menghardiknya.Padma lantas berdecak. Sebenarnya ia malas sekali berurusan kembali dengan Tirta. Pengalaman mengajarkan bahwa mereka tidak boleh ada di tempat yang sama lebih dari lima menit. Karena ujung-ujangnya mereka pasti akan saling serang satu sama lain!"Masih belum mau turun? Apa perlu saya yang menurunkan Anda dari atas sana?""Tidak perlu, Pak. Berat soalnya," sahut Padma ketus. Ia memang mengumpulkan niat dulu sebelum bersilat lidah. Padma membuka pintu truk dan bersiap-siap untuk turun."Sok-sok-an mau menurunkanku. Yang ada ngejengkang kamunya." Padma menggerutu. Bobotnya sekarang 80 kilogram. Bukan 40 kilogram seperti sepuluh tahun yang lalu. "Susah banget kalau turunnya buru-buru begini." Padma gugup karena dipandangi oleh orang banyak. Akibatnya kakinya tergelincir saat menginjak undakan. Padma memekik ngeri. Bayangan dirinya tersungkur di hadapan Tirta membuatnya memejamkan mata. Ajaib! Alih-alih merasakan k
"Kamu mendesain rumah Pak Warsito itu sepuluh tahun yang lalu. Namun konsepmu sudah sangat modern dan matang. Dengan bantuan teknologi saat ini, aku yakin, ide-idemu akan lebih berkembang. Lagi pula kamu desainer yang belum terkenal, jadi lebih murah gajinya. Itu pertimbangan utama saya mengajakmu bekerjasama." Kembali, Tirta menjelaskan pertimbangannya merekrut Padma. "Masih terlalu aneh," Padma tidak percaya."Yang aneh itu kamu. Kenyataan terpampang di depan matamu, tapi tidak bisa kamu lihat. Sebaliknya ilusi yang di belakangmu, mati-matian kamu percayai. Bangun, Mpeng. Bangun. Mau berapa lama lagi kamu baru sadar?" Tirta bertepuk tangan tepat di depan wajah Padma."Sadar? Memangnya aku pingsan apa?" Padma membelalakkan mata."Pertanyaan itu hanya kamu sendiri yang bisa menjawabnya. Aku tanya sekali lagi. Kamu menerima tawaran saya atau tidak? Saya tidak akan bertanya dua kali."Terima... jangan... terima... jangan...?"Oke. Aku terima." Padma mengangguk mantap. Ia sudah sesu
Padma memilih tidak menjawab.Ia malu karena aibnya sudah diketahui Tirta. Namun tak urung ia mengikuti juga langkah-langkah ringan Tirta. Sepuluh menit berlalu. Mereka akhirnya tiba di perumahan yang Tirta maksud. Syukurlah. Kalau harus berjalan lebih jauh lagi, rasanya ia tidak sanggup. Kakinya sudah tidak mau bekerjasama untuk melangkah "Itu perumahannya. Kita jalan dari sini saja." Tirta membawa Padma ke jalan yang baru dibuat."Kamu tahu tidak, kalau kita berjalan kaki setidaknya 30 menit setiap hari, akan membuat jantung kita sehat. Lewat sini." Tirta membawa Padma masuk ke dalam rumah contoh."Nah, kalau kita menambahnya dengan aktivitas fisik selama 150 menit entah dengan jalan cepat, bersepeda, atau menari saja, itu akan lebih baik. Jika digabungkan dengan mengonsumsi lebih banyak sayur, buah dan makanan nabati, kamu pasti bisa menjadi langsing." "Mimpi. Mustahil aku bisa selangsing dulu," ucap Padma sedih. Ia tahu apa yang Tirta katakan mustahil bisa terwujud."Selangsing
"Mas Dimas pernah berselingkuh dengan teman kampusnya saat reuni, klien bahkan anak magang di kantornya. Waktu itu saya selalu memaafkan Mas Dimas, karena saya sangat mencintainya. Pula saya sudah tidak bisa pulang. Saya sudah terlanjur omong besar pada bapak saya, bahwa saya tidak akan pernah menginjakkan kaki ke rumahnya lagi. Makanya saya selalu bertahan dengan harapan, bahwa suatu saat Mas Dimas akan berubah kalau kami sudah punya anak. Hingga masalah ini terjadi. Puspita hamil dan minta dinikahi. Apa lagi yang harus saya lakukan selain meminta cerai bukan, Pak?" ucap Padma lirih. "Anak itu benar-benar keterlaluan." Pak Samin menarik napas panjang. Ia sudah tidak berhasrat untuk membujuk Padma untuk rujuk kembali. Putranya benar-benar tidak bisa dimaafkan lagi."Pak, ayo kita pulang. Mas Dimas bilang dia membawa Ibu ke sini." Lestari tergopoh-gopoh menyerbu ke dalam rumah. "Biar saja Ibu ke sini. Toh Ibu sudah lama juga tidak bertemu dengan Padma. Kamu juga, kan? Ayo mengobrolla