"Surat cerainya sudah Bu Padma pegang, bukan? Jadi, mulai hari ini dan seterusnya, Ibu jangan mencari-cari alasan untuk bisa berhubungan dengan Pak Dimas lagi, ya."
Padma yang tengah memeluk akta cerainya kala keluar dari pintu Pengadilan Agama Jakarta kelas 1A , sontak terkejut mendengar suara penuh kepuasan yang terdengar dari balik punggungnya.
Dengan cepat, ia menghapus jejak-jejak air mata di pipi. Pemilik suara ini pasti Puspita! Remaja 18 tahun yang baru saja menamatkan Sekolah Menengah Atas-nya dan juga anak Bik Painah--mantan Asisten Rumah Tangga Padma.
Dan juga, gadis yang telah mempupuskan mahligai rumah tangga Padma dan sang mantan.
Setelah menarik napas panjang dua kali, Padma berbalik. "Memangnya kamu siapanya Mas Dimas sampai kamu berani mengultimatum saya?" balasnya dingin.
Dipandanginya Puspita yang kini perutnya mulai membukit di samping Dimas. Pria itu tampak serba salah, karena digandeng erat oleh sang gadis remaja.
Ya, mereka bercerai karena Dimas telah menghamili Puspita.
Dimas beralasan bahwa selain dirinya khilaf, ia juga dijebak oleh Puspita. Katanya, kerinduannya akan kehadiran seorang anak, telah membuat Dimas menyetujui tawaran win-win solution dari Puspita yang bersedia melahirkan anak yang mana nantinya akan ia berikan pada mereka suami istri asuh. Sebagai gantinya, Dimas harus memberikan sejumlah uang sebagai biaya kompensasi pengorbanannya.
Tapi, masalah muncul saat Puspita membantah semua isi perjanjian tersebut.
Kepada Bik Painah, Puspita mengatakan bahwa ia telah dirayu oleh Dimas. Dimas berjanji akan menikahinya jikalau ia hamil. Makanya ia bersedia menjadi kekasih gelap Dimas. Masalah makin meruncing tatkala Bik Painah menuntut agar putrinya dinikahi. Jikalau tidak, Bik Painah akan membawa kasus ini ke ranah hukum. Begitulah, karena sesuatu dan lain hal dirinya dan Dimas sepakat untuk bercerai setelah 10 tahun pernikahan.
"Saya--" Puspita kini tampak gelagapan. Dirinya memang bukan siapa-siapa Dimas saat ini. Ia hanya kebetulan sedang mengandung anak Dimas.
Terlebih tatapan mantan majikan ibunya ini membuat nyalinya ciut.
"Saya adalah calon istri Pak Dimas. Jadi saya berhak memperingati Bu Padma." Walau jantungnya ketar-ketir, Puspita mencoba untuk tidak kalah gertak. Ibunya bilang. Jikalau ia ingin menjadi nyonya besar, makan ia harus punya nyali yang jauh lebih besar.
"Calon istri. Calon itu artinya bakal akan, tetapi belum terjadi. Jadi sampai saat ini kamu bukan siapa-siapanya Mas Dimas. Tapi, kalau menjadi pelakor plus penghianat, kamu memang sudah," imbuh Padma datar. Ucapan Padma membuat selebar wajah Puspita memerah. Ia sadar kalau Bu Padma menyindirnya.
"Ingat-ingat janji Ibu ini, ya? Awas saja kalau Ibu masih mencari-cari alasan agar bisa berhubungan kembali dengan Pak Dimas." Puspita mengancam dengan suara mencicit. Sebenarnya ia sungkan bersikap tidak tahu balas budi seperti ini pada Padma. Namun nasehat sang ibu yang memintanya untuk tidak boleh takut pada Padma, terus terngiang di telinganya. Ia tidak mau lagi hidup susah seperti dulu. Makanya ia harus berani menghadapi siapa pun sekarang!
Padma tersenyum miris.
Puspita jelas masih bocah walau serakah. Karakternya belum sepenuhnya terbangun. Ia tidak ingin debat kusir dengan anak ingusan. Toh, yang salah bukan hanya Puspita. Dimas lah yang lebih bersalah. Karena Dimas adalah seorang laki-laki dewasa berusia 38 tahun.
Rentang usia dua puluh tahun, membuat Puspita lebih cocok menjadi anaknya!
"Saat laki-laki di sampingmu itu masih sah menjadi suami saya pun, saya tidak pernah ingin lagi berhubungan dengannya sejak kebejatan kalian berdua ketahuan. Jangan takut. Saya bukan type perempuan murahan yang kalap cakar-cakaran memperebutkan laki-laki yang tak kalah murahannya."
Setelah berkata demikian, Padma membalikkan badan. Ia melewati Puspita dan Dimas tanpa melihat wajah keduanya. Setelah akta cerai ada di tangannya, ia memang tidak mau lagi berhubungan dengan orang-orang dari masa lalunya.
Hidupnya mulai kembali dari 0 di usia 34 tahun.
Hanya saja, siapa sangka suara cempreng Puspita kembali menggema dan menghentikan langkah Padma?
"Bagaimana mau cakar-cakaran kalau laki-lakinya saja sudah memilih saya? Makanya diet, Bu. Biar Ibu terlihat lebih menarik di mata lawan jenis. Jangan sudah mandul, eh sebelas dua belas dengan gajah lagi."
"Cukup, Pita." Dimas tampak memperingati Puspita.
Sayangnya, gadis itu malah memanyunkan bibir--tak sadar bahwa dirinya telah menyinggung hal yang paling sensitif bagi Padma.
Penghinaan secara fisik sangat melukai hatinya!
Padma lantas membalikkan badan dan menghampiri Puspita dengan langkah-langkah panjang.
Tajamnya tatapan mata Padma yang seolah-olah ingin memakannya, membuatnya Puspita terkesiap.
Buru-buru, ia melesakkan tubuh pada Dimas karena ngeri melihat bengisnya air muka Padma! Namun, ia terkejut kala mendengar ucapan wanita yang selama ini membayar biaya sekolahnya itu.
"Saya dulu lebih langsing darimu. Bukan hanya langsing, tapi juga jauh lebih kaya," ucapnya, "Saya dulu meminta ayah saya untuk membiayai kuliah laki-laki yang kau banggakan itu."
Padma mendekatkan wajahnya pada Puspita yang refleks mundur dua langkah. Amarah yang terbias pada air muka Padma menggentarkannya.
Karena Padma juga maju dua langkah, jarak wajah keduanya kini hanya sejengkal. Puspita bisa merasakan deruan napas hangat Padma.
"Saya juga mengajari laki-laki ini mengendarai motor dan mobil hingga mahir dengan motor dan mobil saya pribadi. Saya memberi laki-laki ini uang jajan yang seharusnya saya nikmati, demi membuat laki-laki ini punya harga diri saat mentraktir saya makan di luar. Saya bahkan berseteru hebat dengan ayah saya, tatkala beliau tidak setuju saya menikah muda. Tapi kamu tahu sendiri bukan, apa balasan yang dia berikan pada saya?"
Untuk pertama kalinya, Padma membeberkan jati diri Dimas yang sebenarnya pada Puspita.
Pemujaan berlebihan Puspita pada Dimas membuatnya muak!
"Oh, satu lagi. Laki-laki ini dulunya adalah anak supir truk toko material ayah saya. Saya yang membiayainya hingga jadi orang seperti yang kamu lihat sekarang," ucapnya yang membuat kedua orang di depannya terkesiap.
"Padma!" Dimas yang merasa malu, berteriak. "Aku bisa maju sampai taraf ini juga karena kemampuanku sendiri, Padma. Bukan melulu karena bantuanmu."Padma tersenyum sinis pada pria yang dulu sangat dicintainya itu. "Betul. Tapi tanpa semua support sistem dariku, apa kamu bisa menjadi seorang sarjana? Tanpa relasi-relasi bapak yang kukenalkan padamu, apa bisa kamu mendapat proyek-proyek raksasa? Coba jawab dengan jujur." Padma mengeluarkan taringnya. Sudah cukup sepuluh tahun ini ia bodoh karena cinta mati pada Dimas. Cinta telah membuatnya buta dan tuli atas semua perbuatan buruk suaminya."Jadi kamu menyesal telah membantuku dulu?" tuduh Dimas kesal. Tapi, sebenarnya ia gusar karena Padma telah membuka kartunya di hadapan Puspita. Wibawanya bisa hilang di mata gadis belia ini! "Tidak, Mas. Aku tidak pernah menyesal telah berbuat baik pada sesama manusia. Yang aku sesalkan adalah bahwa aku terlalu naif. Aku berpikir bahwa dengan seringnya aku membantu orang, maka orang yang kubantu mi
Pulang.Padma merasakan kerinduan yang sangat mendengar kata itu.Dulu, setiap kali Dimas menyakitinya, ia selalu ingin pulang. Tapi, Padma sadar bahwa ia telah membuat pilihan untuk bersama dengan Dimas dan meninggalkan ayahnya. Ia tidak mungkin menjilat ludahnya sendiri.Untungnya, kini semua berbeda.Semilir angin siang menjelang membelai wajah Padma yang duduk di dalam truk. Membuat kenangan masa kecilnya menyerbu bagai air bah.Dulu, dirinya kerap menemani ayahnya mengantar bahan-bahan material ke pelanggan, apabila Pak Samin tidak masuk kerja.Siapa sangka, Pak Samin pada akhirnya menjadi mertuanya. Ya, Pak Samin adalah ayah Dimas. "Dari mana--""Bapak--"Padma dan ayahnya berbicara pada saat yang bersamaan. Setelahnya keduanya tersenyum canggung. Hubungan mereka merenggang setelah perseteruan hebat sepuluh tahun yang lalu. "Kamu duluan berbicara, Nduk. Bapak akan mendengarkan." Pak Manan mengalah. Sesungguhnya tidak berbicara pun, baginya tidak mengapa. Bisa berlama-lama mema
Padma mendengar itu.Namun, ia memilih mengindahkan omelan Bulik Fatimah dan langsung melintasi jalan setapak.Di ujung jalan setapak itu, berdiri megah rumah masa kecilnya yang luas dan asri.Ayahnya dulu sengaja membangun rumah di belakang toko agar bisa mengawasinya selama bekerja. Ibunya sudah meninggal saat ia masih berusia dua belas tahun. Makanya ayahnya memiliki tugas ganda. Menjadi seorang ayah sekaligus ibu untuknya."Lihat anakmu, Mas. Orang tua sedang bicara, tapi dia malah pergi begitu saja. Tidak ada sopan-santunnya sama sekali." Padma masih bisa mendengar omelan buliknya tatkala ia sudah sampai di teras rumah.Tapi, ia tak peduli!Pintu rumah sekonyong-konyong terbuka. Bik Parni berdiri di ambang pintu. "Oalah, Mbak Padma sudah pulang toh. Apa kabar, Mbak?" sambutnya, hangat.Padma tersenyum haru tatkala melihat pengasuhnya itu kini mengembangkan lengan. Bik Parni adalah ibu kedua baginya. "Baik, Bik." Padma menghambur memeluk Bik Parni. Seketika Padma menghidu aroma
"Aku Nunik, Mbak Ma." Mendengar itu, Padma lega.Sepupunya, rupanya. "Sebentar ya, Nik." Padma membuka pintu kamar dengan satu tangan melindungi area dadanya. Di ambang pintu Nunik tersenyum manis. Sepupunya ini memang memiliki ekspresi ramah sedari dulu. Kepulangannya semalam disambut hangat oleh Ninik. Berbanding terbalik dengan ibunya yang jelas-jelas tampak keberatan."Kenapa bajunya, Mbak?" Nunik menahan tawa. Penampakan Padma mirip dengan iklan minyak ikan zaman dulu. Kemejanya kesempitan."Tidak usah banyak basa-basi kamu. Tawamu sudah menjelaskan segalanya." Padma menjawil hidung bangir Nunik. "Maaf, Mbak. Saya cuma bercanda. Eh, salah juga. Tidak boleh membawa-bawa fisik dalam candaan ya? Maafkan diriku ya, Mbak?" Nunik merapatkan kedua tangannya ke dada. Meminta maaf dengan ekspresi sedih berlebihan."Heleh, lebay kamu." Padma menoyor kening Nunik pelan. Sedari kecil ia memang sayang pada sepupunya ini. Rentang usia mereka yang terpaut jauh, membuatnya menyayangi Nunik se
Pak Santo lagi-lagi mendecakkan lidah. "Masa sih, Pak?" "Iya, Mbak. Saya dan Iwan saja dimarahi minggu lalu karena terlambat. Soalnya Iwan ke rumah pacarnya dulu. Mau memberi surprise ulang tahun katanya. Akibatnya kami terlambat hampir satu jam lamanya. Habislah kami berdua dimarahi." Kali ini, Pak Nurdin ikut curhat. "Parah sekali Pak Tirta ini ya, Pak? Tidak ada pengertiannya sama sekali?" Padma berdecak.Sewaktu kecil, Tirta memang terkenal tepat waktu dan perfectionist. Dalam kerja kelompok saja, murid yang terlambat akan ia catat namanya dan dilaporkan pada guru. Belum lagi kalau ada tugas praktek prakarya. Semua karyanya harus presisi. Kalau melenceng sedikit saja, akan ia ulang dari awal. Ternyata sifat Tirta tidak berubah sedari dulu."Ya parah tidak parah sih, Mbak. Kalau alasan kita masuk akal dan jujur, Pak Tirta sih memaklumi. Terus tetap diberi tip juga. Terkadang dikasih makanan kalau kebetulan ada. Tapi kalau kita ketahuan bohong, beugh, tidak ada ampun. Pokoknya
"Kalau gitu, turun sekarang!" Bukannya takut, Tirta malah menghardiknya.Padma lantas berdecak. Sebenarnya ia malas sekali berurusan kembali dengan Tirta. Pengalaman mengajarkan bahwa mereka tidak boleh ada di tempat yang sama lebih dari lima menit. Karena ujung-ujangnya mereka pasti akan saling serang satu sama lain!"Masih belum mau turun? Apa perlu saya yang menurunkan Anda dari atas sana?""Tidak perlu, Pak. Berat soalnya," sahut Padma ketus. Ia memang mengumpulkan niat dulu sebelum bersilat lidah. Padma membuka pintu truk dan bersiap-siap untuk turun."Sok-sok-an mau menurunkanku. Yang ada ngejengkang kamunya." Padma menggerutu. Bobotnya sekarang 80 kilogram. Bukan 40 kilogram seperti sepuluh tahun yang lalu. "Susah banget kalau turunnya buru-buru begini." Padma gugup karena dipandangi oleh orang banyak. Akibatnya kakinya tergelincir saat menginjak undakan. Padma memekik ngeri. Bayangan dirinya tersungkur di hadapan Tirta membuatnya memejamkan mata. Ajaib! Alih-alih merasakan k
"Kamu mendesain rumah Pak Warsito itu sepuluh tahun yang lalu. Namun konsepmu sudah sangat modern dan matang. Dengan bantuan teknologi saat ini, aku yakin, ide-idemu akan lebih berkembang. Lagi pula kamu desainer yang belum terkenal, jadi lebih murah gajinya. Itu pertimbangan utama saya mengajakmu bekerjasama." Kembali, Tirta menjelaskan pertimbangannya merekrut Padma. "Masih terlalu aneh," Padma tidak percaya."Yang aneh itu kamu. Kenyataan terpampang di depan matamu, tapi tidak bisa kamu lihat. Sebaliknya ilusi yang di belakangmu, mati-matian kamu percayai. Bangun, Mpeng. Bangun. Mau berapa lama lagi kamu baru sadar?" Tirta bertepuk tangan tepat di depan wajah Padma."Sadar? Memangnya aku pingsan apa?" Padma membelalakkan mata."Pertanyaan itu hanya kamu sendiri yang bisa menjawabnya. Aku tanya sekali lagi. Kamu menerima tawaran saya atau tidak? Saya tidak akan bertanya dua kali."Terima... jangan... terima... jangan...?"Oke. Aku terima." Padma mengangguk mantap. Ia sudah sesu
Padma memilih tidak menjawab.Ia malu karena aibnya sudah diketahui Tirta. Namun tak urung ia mengikuti juga langkah-langkah ringan Tirta. Sepuluh menit berlalu. Mereka akhirnya tiba di perumahan yang Tirta maksud. Syukurlah. Kalau harus berjalan lebih jauh lagi, rasanya ia tidak sanggup. Kakinya sudah tidak mau bekerjasama untuk melangkah "Itu perumahannya. Kita jalan dari sini saja." Tirta membawa Padma ke jalan yang baru dibuat."Kamu tahu tidak, kalau kita berjalan kaki setidaknya 30 menit setiap hari, akan membuat jantung kita sehat. Lewat sini." Tirta membawa Padma masuk ke dalam rumah contoh."Nah, kalau kita menambahnya dengan aktivitas fisik selama 150 menit entah dengan jalan cepat, bersepeda, atau menari saja, itu akan lebih baik. Jika digabungkan dengan mengonsumsi lebih banyak sayur, buah dan makanan nabati, kamu pasti bisa menjadi langsing." "Mimpi. Mustahil aku bisa selangsing dulu," ucap Padma sedih. Ia tahu apa yang Tirta katakan mustahil bisa terwujud."Selangsing