"Kamu juga menikungku soal Pak Arman Hadiwijaya, bukan? Sebelumnya, Pak Arman itu akan berinvestasi di perusahaanku. Namun, di saat-saat terakhir, ia berubah pikiran. Minggu lalu aku baru tahu kalau Pak Arman sudah berinvestasi di PT. Karya Graha Mandiri. Bukti sudah di depan mata, tapi kamu masih juga tidak mau mengaku, heh!"Teringat pada kesempatan terakhirnya untuk menyelamatkan perusahaan yang disabotase Tirta, emosi Dimas kembali memuncak. Sekonyong-konyong Dimas menghantamkan kepalan tangannya sekuat tenaga ke wajah Tirta.Akibatnya kepala Tirta terdorong ke belakang. Kuda-kudanya goyah. Tirta mundur beberapa langkah, hingga punggungnya menabrak tembok. Telinga Tirta berdenging. Pelipis dan tulang pipinya terasa perih dan berdenyut. Pelipisnya terluka oleh kepalan tangan Tirta yang menggunakan batu cincin. Tirta mengibas-ngibaskan kepala. Mencoba menghilangkan rasa pusing karena kerasnya pukulan Dimas.Ketika Dimas kembali mendekat dan kepalan tangan terangkat, Tirta dengan cep
"Farid, panggil ambulance! Kirim manusia tidak berguna ini ke rumah sakit. Saya tidak mau dia mati di kantor." Tirta menghempaskan tubuh Dimas ke samping agar tidak menghalangi jalan."Baik, Pak." Alih-alih Farid, Bermanlah yang menjawab perintah atasannya. Farid terlalu shock melihat kebrutalan atasannya. Pak Tirta yang biasanya rapi dan santun, saat ini seperti orang yang berbeda. Tatapan matanya beringas dengan pakaian penuh noda darah."Siap, Pak. Akan kami urus semuanya." Farid, yang sudah pulih dari keterkejutannya, langsung bersikap profesional. Dibantu oleh tiga orang staff kantor, Farid menggotong tubuh Dimas ke depan untuk memudahkan evakuasi saat ambulance datang."Kalian semua kembali bekerja. Dramanya sudah selesai," tegas Tirta. Perintahnya membuat kerumunan membelah. Para staff kembali ke meja masing-masing. Sekarang hanya tinggal Padma yang masih berdiri terpaku."Mengapa kamu melanggar perintahku, Padma? Bukankah aku memintamu menunggu di dalam ruangan?" Tirta mendeka
"Tidak bisa dibiarkan ini. Seenaknya saja mereka menganiaya orang. Kita lapor polisi saja, Pak!" Bu Nursyam mengamuk. Ia tidak terima anaknya dihajar hingga babak belur seperti ini. Ia mengelus-elus luka Dimas sejenak sebelum kembali ke kursi. Dimas baru siuman dan saat ini sedang tidur."Yang salah itu, Mas Dimas, Bu. Mas Dimas datang ke kantor Mas Tirta dan membuat rusuh di sana," Lestari menjelaskan duduk persoalannya."Dimas ke sana kan karena suami istri itu mencuranginya. Mana boleh mereka main hajar saja," bantah Bu Nursyam. "Apa ada bukti kalau Mbak Padma dan Mas Tirta mencurangi Mas Dimas, Bu?" sela Lestari."Dimas bilang mereka memang curang, kok. Mau bukti apa lagi?" tantang Bu Nursyam."Astaga, Ibu. Dalam hukum tidak bisa dengan katanya-katanya saja. Harus ada bukti yang otentik. Pun, misalnya ada, Mas Dimas hanya perlu membuat laporan ke kantor polisi agar laporan Mas Dimas bisa diproses sesuai hukum yang berlaku. Bukannya dengan merusuh dan menantang orang berduel. Mas
"Dari mana kamu tahu kalau Padma tidak mandul? Hasil test toh menyatakan kalau Padma yang mandul. Bukan Mas-mu," ucap Bu Nursyam heran."Ibu ingat tidak, lima tahun lalu keadaan Tari seperti apa?" Lestari mulai membuka cerita. "Lima tahun lalu?" Bu Nursyam menatap langit-langit, mencoba menghadirkan ingatan masa lalu."Enam tahun kalau dihitung dari sekarang, Bu. Semuanya dimulai saat Mas Malik dari perusahaan," Lestari memberi petunjuk."Malik dipecat... kalau tidak salah, kamu sedang kuliah S2," Bu Nursyam menggali ingatan."Betul, Bu. Mas Malik dipecat, Tari baru mulai kuliah, dan Chelsea baru berusia satu tahun. Masa-masa yang sangat sulit bagi Tari dan Mas Malik," tutur Lestari dengan pandangan menerawang. Ia mengingat masa lalu yang suram."Siang itu Mbak Padma menelepon Tari untuk mengambil hasil lab di rumah sakit. Mbak Padma sedang merawat Ibu di kampung. Ibu sedang sakit waktu itu. Ingat tidak, Bu?""Iya, Ibu ingat. Ibu terkena demam berdarah. Padma menginap seminggu di kamp
"Kamu duduk saja, Ma. Jangan mondar-mandir terus. Nanti kamu kecapekan." Bu Nani menarik lengan Padma. Hari ini, mereka mengadakan selamatan kecil-kecilan karena perusahaan Tirta mendapatkan penghargaan Bisnis Indonesia Awards. Oleh karenanya, keluarga besar mereka berkumpul bersama."Tidak capek kok, Bu. Padma cuma membantu menata peralatan makan," ujar Padma menenangkan."Tidak perlu, Ma. Bik Siti, Mbak Hanum, dan Dek Retno itu piawai sekali mengurus dapur. Mereka tidak memerlukan bantuanmu. Sebaiknya kamu duduk di depan saja. Ibu ingin memperkenalkan kamu dengan beberapa kerabat dari luar kota. Ayo, Ma."Bu Nani menggandeng lengan Padma. Sejurus kemudian terdengar pujian bertubi-tubi yang ditujukan untuk Padma. Para kerabat ikut senang karena Bu Nani memiliki menantu yang cantik dan cerdas. Apalagi saat mereka tahu bahwa Padma sedang mengandung. Segala puja dan puji kembali ditujukan untuk Padma.Erina, yang baru saja keluar dari toilet, menatap adegan penuh kasih sayang itu dengan
"Kamu bertengkar dengan Tirta, ya, Padma?" Padma menghentikan gerakannya yang akan mengambil minyak goreng. Bulik Fatimah mengajukan pertanyaannya secara tiba-tiba."Tidak bertengkar kok, Bulik. Hanya sedang berselisih paham saja," sahut Padma singkat."Bukannya Bulik ingin ikut campur urusanmu, tapi kalau Bulik boleh memberi nasihat: jangan suka kabur dari rumah setiap kamu dan pasangan bertengkar. Selesaikanlah berdua saja, tanpa ada telinga lain yang ikut mendengar. Nanti masalah kecil bisa melebar ke mana-mana. Karena apa? Karena pihak-pihak lain sudah ikut campur di dalamnya. Misalnya bapakmu dan juga kedua orang tua Tirta. Mengerti, Padma?""Mengerti, Bulik." Padma melanjutkan memasukkan minyak goreng ke dalam troli."Sampai hari ini, Bulik tidak bilang pada bapakmu kalau kamu menginap di sini karena berselisih paham dengan Tirta. Kalau bapakmu tahu, Bulik pasti dimarahi karena tidak bicara jujur," imbuh Bulik Fatimah lagi."Iya, Bulik. Terima kasih karena tidak mengadukan Padma
"Masuk," seru Padma saat pintu kamarnya diketuk tiga kali."Mbak, ada Mas Tirta di depan." Pintu terbuka, menghadirkan Nunik di ambang pintu."Bilang saja Mbak tidak ada, Nik, seperti kemarin." Padma menjawab sambil terus bermain game. Sudah tiga hari ini ia menginap di rumah orang tuanya, dan setiap kali Tirta berkunjung, Padma tidak mau menemuinya."Tidak bisa, Mbak. Sekarang kan ada Pakde. Pakde yang memintaku memanggil Mbak." Nunik meringis. Ia tidak bisa lagi memenuhi permintaan Padma karena sudah ada Pakdenya."Kalau begitu bilang saja Mbak sedang tidak enak badan," jawab Padma sekenanya. Ia masih belum mau bertemu dengan Tirta. Mentalnya belum kuat."Aku coba ya, Mbak. Tapi kalau tidak berhasil, jangan salahkan aku ya?" kata Nunik sambil menutup pintu. Padma pun melanjutkan game-nya, hanya saja pikirannya sudah tidak fokus seperti semula. Beberapa saat kemudian, pintu kamarnya dibuka begitu saja, tanpa ada suara ketukan."Bagaimana, Nik? Berhasil tidak kamu mengusir Mas Tirta?"
"Tidak usah membawa-bawa orang lain. Ngapain, Mas, menyuruh Herman ke sini?" Padma berkacak pinggang."Lho, kok ngapain? Ya, agar Herman menjelaskan semuanya, lah. Kamu mendengarnya dari Herman, bukan?" Tirta menjawab dengan sabar. Padahal, emosinya sudah sampai di ubun-ubun. Ia akan menghabisi Herman setelah semua kesalahpahaman ini terurai. Ia janji!"Bapak akan meninggalkan kalian berdua untuk menyelesaikan masalah ini. Ingat, gunakan akal sehat, bukan emosi. Mengerti, Padma, Tirta?" Pak Manan memberi nasihat sebelum berlalu."Baik, Pak," sahut Padma dan Tirta bersamaan."Aku bukan mendengarnya dari Herman," Padma menyambung pembicaraan. Setelah tidak ada telinga lain yang mendengar, Padma jadi lebih leluasa mengekspresikan diri."Bukan? Lantas dari mana?" tanya Tirta heran. Seingatnya, hanya dengan Herman ia pernah membuat janji karena emosi sesaat itu."Dari mulut Mas sendiri," Padma tersenyum pahit."Dari mulutku? Kapan kamu mendengarnya? Puluhan tahun yang lalu?" Tirta meminta
Lima bulan kemudian."Gue heran lo tetap bisa cantik paripurna begini meski sedang hamil gede ya, Ma? Nggak kayak gue dulu. Hidung gue jadi cutbray dan pipi juga jadi baggy." Wilma mengamati Padma yang tengah makan empek-empek dengan lahap. Dari kemarin, sahabatnya ini mengidam empek-empek, makanya mereka membawa Padma ke gerai ini karena empek-empeknya terkenal enak."Bukan main istilah lo, Wil. Hidung cutbray, pipi baggy. Itu bentuk wajah atau model celana?" Padma terkekeh."Kalo gue sih, hidung dan pipi baik-baik aja. Mekar-mekar dikit lah. Yang parah cuma leher sama ketek gue. Kayak dakian parah euy. Gue gosok-gosok pake scrub, kagak ngaruh. Malu banget gue sama laki gue. Takut dipikir gue jorok." Ririn turut membagi pengalamannya."Kalo gue sih, semua aman sentosa sejahtera. Cuma, badan gue membengkak kayak gajah. Gue naik berat badan 24 kilogram, sodara-sodara. Berasa jadi Hulk setiap kali gue hamil." Yesi meringis mengingat masa-masa di kala hamil besar."Eh, lo tahu nggak kaba
"Kalau Ibu selama ini punya salah padamu, Ibu minta maaf ya, Padma. Tapi tolong, jangan penjarakan Tari. Karena saat ini hanya dialah satu-satunya harapan kami. Tari adalah tulang punggung keluarga, karena Dimas... ya, begitulah." Bu Nursyam menghela napas berat. Masalah tidak ada henti-hentinya membombardir keluarganya akhir-akhir ini. Maka dari itu, hari ini ia menebalkan muka dan diam-diam menemui Padma di kediaman orang tuanya."Di penjara atau tidaknya Tari, itu bukan wewenang saya, Bu. Para penyidiklah yang memutuskannya," Padma memberi jawaban diplomatis."Betul. Memang bukan wewenangmu. Tapi kalau kamu mencabut laporan atas Tari, kasus akan dianggap selesai, bukan?" bujuk Bu Nursyam lagi."Ibu salah lagi. Bukan saya yang melaporkan Tari, tapi pihak rumah sakit. Jadi, yang berhak mencabut ataupun melanjutkan perkara adalah pihak rumah sakit, bukan saya," ucap Padma dingin."Ya, kalau begitu kamu tinggal minta pihak rumah sakit untuk mencabut gugatan. Kan yang mengadu pada pihak
Lestari memegangi dadanya. Telinganya berdenging. Ia panik! Jangan-jangan Padma telah mengetahui kecurangannya."Saya... boleh meminta minum, tidak, Mbak?" pinta Lestari terengah. Ia harus berpikir tenang sebelum bertindak."Tentu saja. Mas, tolong ambilkan air dingin untuk Dek Tari. Ingat ya, Mas. Yang dingin, biar hati Dek Tari bisa adem," sindir Padma. Lestari makin pucat. Sepertinya Padma benar-benar telah mengetahui kecurangannya."Ini, silakan diminum." Tirta menuangkan segelas air dingin dari water jug. Sedari tadi ia diam sambil berjaga-jaga. Ia takut Padma membahayakan dirinya sendiri saat membalas dendam pada Lestari. Padma sedang hamil muda, dan untuk itu, ia harus siap siaga dalam segala situasi.Tanpa perlu disuruh dua kali, Lestari meneguk minumannya dengan rakus. Setelahnya, ia menarik napas panjang beberapa kali untuk menstabilkan emosinya. Setelah merasa lebih tenang, barulah ia bersuara."Mengapa Mbak ingin mensomasi rumah sakit? Apa yang sudah mereka lakukan pada Mb
Selama menunggu Lestari tiba, Padma mengumpulkan tiga lembar hasil lab yang dulu ia terima dari petugas lab di rumah sakit. Ia juga melampirkan satu lembar hasil lab terakhir yang ia terima dari Lestari lima tahun yang lalu. Total ada empat lembar hasil lab di tangannya. Sebelum melakukan tes kesuburan, ia memang sudah lebih dulu melakukan tes hormon, uji ovarium dan ovulasi, serta histerosalpingografi.Hasil ketiga tes ini bagus sekali. Menurut dokter Nastiti, kesehatan reproduksinya normal-normal saja. Hanya hasil tes kesuburannya saja yang sangat buruk. Waktu itu ia putus asa melihat hasilnya, makanya ia tidak kembali lagi ke praktik dokter Nastiti untuk membicarakan soal hasil tes kesuburannya. Ia sudah pasrah menerima nasibnya."Aku tidak menyangka kalau kamu masih menyimpan hasil-hasil lab bertahun lalu, Ma." Tirta yang baru datang dari dapur mendekati Padma. Di tangannya ada segelas susu hangat yang sengaja ia siapkan untuk istri tercintanya. "Minum dulu susunya, Sayang. Supay
"Kalian silakan ke rumah sakit dulu. Kasihan Dika sedang sakit." Melihat keadaan Padma yang tidak stabil, Tirta mengalihkan pembicaraan. "Iya, kami permisi dulu, Pak Tirta, Bu Padma." Puspita dan Bik Painah buru-buru kembali ke rumah sakit."Antar aku ke rumah Dek Tari sekarang, Mas. Aku akan meminta penjelasannya. Anak itu sungguh tidak tahu diuntung!" Padma benar-benar tidak terima dibodohi oleh Lestari."Iya, nanti kita menemui Lestari bersama-sama. Setelah kita pulang, makan dan istirahat. Sekarang kita masuk ke mobil dulu," bujuk Tirta."Aku mau sekarang, tidak mau nanti!" Padma tidak bersedia menunggu. Tirta tidak mengatakan apa pun. Ia membuka pintu mobil dan membantu Padma masuk ke dalam. Sejurus kemudian mobil pun melaju membelah jalan. Sekitar sepuluh menit berkendara, Tirta membelokkan mobilnya. "Lho, kok belok? Rumah Lestari itu di Jalan Thamrin, Mas. Lurus saja." Padma memberitahu alamat rumah Lestari kepada Tirta."Padma, nanti saja kita ke rumah Lestari-nya ya? Kamu i
"Kamu butuh uang untuk membawa Dika ke rumah sakit, Pita?" tanya Padma hati-hati."Iya, Bu. Dika sudah dua hari ini demam tinggi. Saya tidak bisa membawanya berobat karena tidak punya biaya." Dengan menebalkan muka Puspita berterus terang pada Padma. Demi anak, ia bersedia menjilat ludahnya sendiri, meski pernah sesumbar bahwa ia tidak akan pernah memohon lagi pada Padma.Padma bertukar pandang dengan Tirta. Ketika melihat anggukan samar sang suami, Padma pun melaksanakan niatnya. Ia membuka tas dan mengeluarkan ponsel."Nomor rekeningmu yang lama masih aktif tidak, Pita?""Masih, Bu," jawab Puspita sambil menunduk. Ia tidak punya keberanian untuk sekadar menatap wajah mantan majikannya. Padma memanglah sebenar-benarnya orang baik."Saya sudah mengirimkan sejumlah uang untukmu. Saya kira cukup untuk biaya pengobatan Dika. Saya permisi dulu ya, Pita. Semoga Dika segera sembuh." Padma mendekati Dika dan mengelus sayang pipi montok Dika dalam buaian Puspita, yang memang terasa panas."Eh
"Saya tidak bersalah, Pak Polisi. Semua itu terjadi karena ketidaksengajaan. Saya sama sekali tidak bermaksud melukai Ratna," jawab Erina sambil menangis tersedu-sedu.""Anda menusuk perut seseorang dengan pisau buah dan Anda menyebutnya sebuah kecelakaan?!" bentak sang juru periksa."Ya karena memang kecelakaan, Pak Polisi. Saya tidak menusuk Ratna. Dia sendiri yang menerjang ke arah saya," Erina kembali sesenggukan."Jangan menangis terus! Setelah petentengan berani melukai orang, jangan bersikap seperti ayam sayur. Sekarang jawab pertanyaan saya. Kalau Anda tidak bermaksud untuk menyerang, lantas untuk apa Anda menghunus pisau?" cecar sang juru periksa."Untuk menakut-nakuti Herman, Pak Polisi. Dia... sudah jahat pada saya. Saya hanya ingin menggertak Herman saja. Bukan benar-benar ingin membunuhnya. Percayalah Pak Polisi." Dengan ekspresi memelas, Erina merangkapkan kedua tangan di dada, berusaha meyakinkan sang juru periksa kalau dirinya tidak bersalah."Herman bilang ia tidak
"Rin, kamu baru pulang praktek bukan? Sebaiknya kamu istirahat saja. Kamu tadi bilang kalau kamu tidak enak badan." Bu Della memberi kode pada Erina. Naluri keibuannya mengatakan bahwa ada sesuatu yang telah dilakukan Erina di belakangnya. Naluri seorang ibu juga yang membuatnya ingin melindungi sang putri. "I... iya, Bu. Pasien ramai sekali hari ini. Energiku rasanya terserap habis." Erina menangkap kode yang diisyaratkan sang ibu."Tunggu sebentar, Rin. Temani kami dulu di sini. Ada bagian lain yang belum kamu lihat." Tirta menahan Erina yang sudah berdiri dari duduknya. "A... apa itu, Tir?" Erina kian nervous. Perasaannya tidak enak. Ia merasa akan terjadi sesuatu."Untungnya aku sudah mengetahui siapa orang yang telah melakukan kejahatan ini," ucap Tirta lamat-lamat. Kali ini lebar wajah Erina berubah pucat. Ia tidak bisa menyembunyikan ketakutannya lagi. "Siapa orangnya, Tir?" tanya Pak Ahmad penasaran. "Aku permisi dulu." Erina mencondongkan tubuhnya ke depan. Siap untuk mel
"Bu, nanti biar aku saja yang menghidangkan makanan dan minuman kecilnya ya?" Erina keluar dari kamar dengan senyum semringah. Herman baru saja meneleponnya. Herman bilang, Tirta akan ikut dengan kedua orang tuanya ke sini. Tirta suntuk sendirian di apartemen. Sudah tiga hari ini Padma menginap di rumah orang tuanya. Mendapat kabar baik ini ia sangat bahagia. Ini adalah kesempatan baginya untuk mempengaruhi Tirta. Dulu Tirta pasti akan mencarinya jikalau ia sedang galau. Ternyata sekarang pun seperti itu. Tirta masih membutuhkannya rupanya."Tumben. Apa kamu tidak capek?" Bu Della melirik anak gadisnya. Tidak biasanya Erina rajin seperti ini. Biasanya setiap kali pulang praktek, Erina akan langsung beristirahat. "Capek, sih, Bu. Tapi tidak apa-apa. Sudah lama aku tidak bertemu dengan Tirta.""Tirta? Yang mau ke sini itu Pak Yono dan Bu Nani, Rin. Bukan Tirta.""Tapi Tirta ikut kok, Bu. Herman yang bilang. Kayaknya Tirta ribut dengan Padma. Sudah tiga hari Padma menginap di rumah ora