"Apa maksud kalian berdua? Kok kalian bisa mengatakan tidak mirip? Kalau tidak mirip bapaknya, jadi mirip siapa? Mirip tetangga?" Bu Nursyam mencak-mencak. Ia emosi karena cucunya dikatakan tidak mirip dengan sang putra."Eh, bukan begitu maksud saya, besan. Andika ini tentu saja mirip dengan Dimas. Hanya saja lebih mirip lagi dengan ibunya." Bik Painah menjelaskan dengan suara tergagap. "Lebih mirip katamu? Lebih mirip dari mana? Hidung anakmu itu yang nampak hanya lubangnya saja. Sementara Andika, hidungnya mancung begini. Masa Andika kamu bilang lebih mirip dengan anakmu?" Bu Nursyam benar-benar mengamuk. Ia tidak terima kalau gen cucunya dikatakan lebih mirip dengan Puspita. Padma meringis. Kalau mau bicara jujur, apa yang dikatakan oleh Bik Painah itu benar. Terlepas dari masalah hidung, Andika memang sedikit lebih mirip dengan Puspita. Lebih mirip lagi dengan Faiz alias kembaran. Mancungnya Andika ini tampak khas karena di pertengahan tulang hidung sedikit membengkok. Type hid
"Sudah, Bu! Jangan membuat keributan di rumah sakit. Lagi pula Ibu yang salah. Untuk apa Ibu mencampuri urusan orang? Ayo kita pergi." Pak Samin menghela lengan sang istri. Ia harus memisahkan istrinya dengan Padma."Pergi ke mana? Orang kita sedang menunggu panggilan dokter. Lagi pula Padma yang salah. Dia menghina anak kita." Bu Nursyam menepis lengan Pak Samin. Ia tidak mau mengalah."Saya hanya mengklarifikasi apa yang Ibu tuduhkan. Pun kalau saya mau, saya bisa saja membalas Ibu dengan kata-kata yang lebih kejam. Tapi saya tidak sampai hati mengucapkannya. Saya tidak dididik untuk menjadikan kekurangan orang lain sebagai cemoohan," tukas Padma tegas. Dari sudut mata Padma memindai kehadiran Tirta. Tirta tampak berdiri di samping Nurse Station. Melihat cara berdiri Tirta yang bersedekap, sepertinya Tirta sudah berdiri cukup lama di sana. Kini Tirta mulai berjalan mendekat. Bu Nursyam tidak mengetahui keberadaan Tirta. Karena ia berdiri membelakangi Tirta."Mau membalas saya? Ya ba
"Wah, pinggangnya kebesaran lagi ini." Sebastian Gunawan menggeleng-gelengkan kepalanya."Iyakah, Bas?" Padma meringis. Ia memang diet mati-matian dan berolah raga secara teratur bulan-bulan terakhir ini. Dirinya ingin tampil cetar membahana badai di hari pernikahannya."Ya iyalah. Nih, lihat. Longgarnya sampai lima sentimeter." Sebastian menunjuk meteran berwarna kuning di tangannya."Tiga kali kamu fitting pakaian, tiga kali pula harus dikecilkan. Dietmu benar-benar berhasil ya?" Sebastian mengacungkan jempolnya."Maaf ya, Bas. Karena kamu jadi harus bolak-balik mengecilkan gaunku. Tapi aku memang harus, Bas. Aku ingin tampil sempurna di hari bahagiaku." Padma merangkapkan tangan di dada. Sebastian Gunawan ini dulu seniornya di kampus. Makanya walaupun Sebastian sekarang telah sukses menjadi seorang perancang busana terkenal, hubungan mereka berdua tetap santai."Duh, kok kamu minta maaf terus sih? Lebaran masih lama kali." Sebastian memutar bola."Lagian 'kan memang sudah menjadi t
"Iya, sudah sana." Bu Nani mengangguk. Sejurus kemudian Tirta keluar dari fitting room, Bu Nani melambaikan tangan. Sebaiknya ia menanyakan tentang aksi balas dendam sang putra sebelum terlambat. Padma memang bukan perempuan ideal yang ia harapkan menjadi menantunya. Namun ia juga tidak mau Tirta menyakiti hatinya. Ia sudah mengenal Padma sedari bayi merah. Sedungguhnya Padma itu perempuan yang baik."Iya, Bu." Tirta mendekati sang ibu dengan langkah lebar-lebar. "Tir, apa benar kamu--""Ingat ya, Bude. Bude jangan pernah mengatakan soal aksi balas dendam Tirta ini dengan siapa pun. Apalagi pada Mas Tirta sendiri. Karena kalau Mas Tirta tahu, bahwa aku sudah membuka rahasianya, aku akan diamuk habis-habisan olehnya. Pun, nantinya Bude akan disalahkan oleh pihak keluarga Padma. Karena mereka akan menganggap kalau Bude bekerjasama dengan Tirta. Jadi, anggap saja Bude tidak tahu apa-apa. Habis perkara.""Apa benar apa, Bu? Kok Ibu bicaranya sepotong-sepotong?" "Apa benar... semua pers
Di satu club malam yang hingar bingar, duduk lima wanita-wanita cantik yang tengah menikmati alunan musik. Mereka bercanda ria sambil sesekali menggoyangkan tubuh, mengikuti alunan musik yang seronok. "Eh hampir lupa. Jen, bayar dulu uang kalah taruhan lo." Seorang gadis berambut pirang menepuk bahu seorang gadis berambut ikal."Iya. Si Tirta besok nikah sama si janda semok. Lo gagal memikatnya. Duit mana duit?" Seorang gadis bergaun hitam mengulurkan tangannya. Walau dalam keadaan setengah mabuk, ia masih bisa mengikuti obrolan teman-temannya. "Lo ya, Na. Udah mabok parah, masih inget aja sama duit." Si gadis berambut ikal menoyor kening di gadis bergaun hitam. "Ya ingetlah. Seenggaknya gue masih bisa nikmatin duit lo walau gue nggak bisa jadian sama Tirta." Si gadis bergaun hitam tertawa tanpa merasa ada lucu."Tenang aja. Ini gue transferin sekarang ke rekening lo-lo pada." Jennifer membuka tas tangannya. Ia mengeluarkan ponsel dan mengirimkan sejumlah uang ke rekening bank masi
Ketika suara koor sah terdengar, Padma mengucap amin dengan perasaan haru. Akhirnya ia sekarang sudah resmi menjadi istri Tirta. Dari sampingnya ia juga mendengan gumaman amin dari mulut Tirta. Padma dan Tirta saling pandang sejenak sebelum mendengarkan doa nikah yang dipanjatkan oleh penghulu. Lantas mereka melakukan penandatanganan buku nikah dan penyerahan mahar secara simbolis. Selanjutnya mereka melakukan ritual sungkeman pada kedua orang tua."Kalian berdua ingatlah ; bahwa setelah akad ini, tutuplah semua pintu yang berpotensi melemahkan pasangan kalian di mata orang lain. Karena mulai sekarang dan insyallah selama-lamanya kalian telah menjadi satu. Oleh karenanya, kalian harus saling mendukung satu sama lain." Pak Cahyono memberi nasehat pernikahan yang singkat namun tepat. "Kalian berdua harus ingat. Memang benar sebelum menikah kalian sebaiknya membuka mata lebar-lebar, agar dapat melihat kekurangan dan kelebihan pasangan kalian masing-masing. Tapi setelah akad ini, beda l
Padma menatap bayangannya sendiri yang tengah duduk di depan cermin besar. Saat ini, ia berada di kamar sebuah hotel dan tengah dirias oleh Maya, make up artisnya. Ia dirias kembali untuk acara resepsi malam hari. Demi kepraktisan, ia memang meminta dirias di hotel daripada di rumah. Selain Maya yang bertindak sebagai MUA, ada Vincent dan juga Aulia yang bertanggung jawab atas hairdo dan wardrobenya."Acaranya dimulai pukul tujuh 'kan Padma?" Sembari mengoleskan pelembab di wajah dan leher Padma, Maya mengajak Padma berbincang-bincang ringan."Iya, Mbak," sahut Padma kaku. Benaknya penuh dengan bayang-bayang percakapan antara Bu Ratri dengan Bu Nani tadi pagi."Padahal perempuan itu tidak ada istimewa-istimewanya. Bayangkan, janda yang sebelumnya sudah sepuluh tahun berumah tangga. Dulunya juga lusuh dan gemuk seperti ibu-ibu yang sudah beranak tiga."Padma memejamkan mata saat teringat akan kata-kata kejam Bu Ratri. Dikatai seperti ibu-ibu lusuh yang sudah beranak tiga, sungguh melu
"Harus bisa. Melepaskan itu artinya bukan membuang, Padma. Tapi berkompromi alias berdamai dengannya. Kita memang tidak akan bisa membuang masa lalu, karena ia memang ada. Kita hanya perlu membiarkannya di sana. Di tempat lamanya. Setuju?" Tirta menatap lekat-lekat kedua mata Padma. Mencoba memberi kekuatan melalui mata dan genggaman tangannya."Mas, aku ini terlalu sering disakiti, diabaikan, dan dianggap tidak berharga. Makanya aku jadi lupa rasanya bahagia. Aku harap, Mas sabar jikalau sikapku terkadang menyebalkan ya? Aku sulit percaya pada kata sifat bahagia." Walau pahit, Padma menyuarakan isi hatinya."Iya, Padma. Iya. Satu setengah tahun bersamamu, aku semakin mengenal keptibadianmu." Tirta mengguncang-guncang pelan kedua lengan Padma."Aku berjanji. Bila kamu sudah lupa bagaimana rasanya bahagia, semoga denganku, Allah masih mengizinkanmu untuk lagi dan lagi; bahagia bersamaku.""Omeji, so sweet sekali. Eike merinding disco mendengarnya." Vincent menutup mulut dengan kedua t