"Wah, pinggangnya kebesaran lagi ini." Sebastian Gunawan menggeleng-gelengkan kepalanya."Iyakah, Bas?" Padma meringis. Ia memang diet mati-matian dan berolah raga secara teratur bulan-bulan terakhir ini. Dirinya ingin tampil cetar membahana badai di hari pernikahannya."Ya iyalah. Nih, lihat. Longgarnya sampai lima sentimeter." Sebastian menunjuk meteran berwarna kuning di tangannya."Tiga kali kamu fitting pakaian, tiga kali pula harus dikecilkan. Dietmu benar-benar berhasil ya?" Sebastian mengacungkan jempolnya."Maaf ya, Bas. Karena kamu jadi harus bolak-balik mengecilkan gaunku. Tapi aku memang harus, Bas. Aku ingin tampil sempurna di hari bahagiaku." Padma merangkapkan tangan di dada. Sebastian Gunawan ini dulu seniornya di kampus. Makanya walaupun Sebastian sekarang telah sukses menjadi seorang perancang busana terkenal, hubungan mereka berdua tetap santai."Duh, kok kamu minta maaf terus sih? Lebaran masih lama kali." Sebastian memutar bola."Lagian 'kan memang sudah menjadi t
"Iya, sudah sana." Bu Nani mengangguk. Sejurus kemudian Tirta keluar dari fitting room, Bu Nani melambaikan tangan. Sebaiknya ia menanyakan tentang aksi balas dendam sang putra sebelum terlambat. Padma memang bukan perempuan ideal yang ia harapkan menjadi menantunya. Namun ia juga tidak mau Tirta menyakiti hatinya. Ia sudah mengenal Padma sedari bayi merah. Sedungguhnya Padma itu perempuan yang baik."Iya, Bu." Tirta mendekati sang ibu dengan langkah lebar-lebar. "Tir, apa benar kamu--""Ingat ya, Bude. Bude jangan pernah mengatakan soal aksi balas dendam Tirta ini dengan siapa pun. Apalagi pada Mas Tirta sendiri. Karena kalau Mas Tirta tahu, bahwa aku sudah membuka rahasianya, aku akan diamuk habis-habisan olehnya. Pun, nantinya Bude akan disalahkan oleh pihak keluarga Padma. Karena mereka akan menganggap kalau Bude bekerjasama dengan Tirta. Jadi, anggap saja Bude tidak tahu apa-apa. Habis perkara.""Apa benar apa, Bu? Kok Ibu bicaranya sepotong-sepotong?" "Apa benar... semua pers
Di satu club malam yang hingar bingar, duduk lima wanita-wanita cantik yang tengah menikmati alunan musik. Mereka bercanda ria sambil sesekali menggoyangkan tubuh, mengikuti alunan musik yang seronok. "Eh hampir lupa. Jen, bayar dulu uang kalah taruhan lo." Seorang gadis berambut pirang menepuk bahu seorang gadis berambut ikal."Iya. Si Tirta besok nikah sama si janda semok. Lo gagal memikatnya. Duit mana duit?" Seorang gadis bergaun hitam mengulurkan tangannya. Walau dalam keadaan setengah mabuk, ia masih bisa mengikuti obrolan teman-temannya. "Lo ya, Na. Udah mabok parah, masih inget aja sama duit." Si gadis berambut ikal menoyor kening di gadis bergaun hitam. "Ya ingetlah. Seenggaknya gue masih bisa nikmatin duit lo walau gue nggak bisa jadian sama Tirta." Si gadis bergaun hitam tertawa tanpa merasa ada lucu."Tenang aja. Ini gue transferin sekarang ke rekening lo-lo pada." Jennifer membuka tas tangannya. Ia mengeluarkan ponsel dan mengirimkan sejumlah uang ke rekening bank masi
Ketika suara koor sah terdengar, Padma mengucap amin dengan perasaan haru. Akhirnya ia sekarang sudah resmi menjadi istri Tirta. Dari sampingnya ia juga mendengan gumaman amin dari mulut Tirta. Padma dan Tirta saling pandang sejenak sebelum mendengarkan doa nikah yang dipanjatkan oleh penghulu. Lantas mereka melakukan penandatanganan buku nikah dan penyerahan mahar secara simbolis. Selanjutnya mereka melakukan ritual sungkeman pada kedua orang tua."Kalian berdua ingatlah ; bahwa setelah akad ini, tutuplah semua pintu yang berpotensi melemahkan pasangan kalian di mata orang lain. Karena mulai sekarang dan insyallah selama-lamanya kalian telah menjadi satu. Oleh karenanya, kalian harus saling mendukung satu sama lain." Pak Cahyono memberi nasehat pernikahan yang singkat namun tepat. "Kalian berdua harus ingat. Memang benar sebelum menikah kalian sebaiknya membuka mata lebar-lebar, agar dapat melihat kekurangan dan kelebihan pasangan kalian masing-masing. Tapi setelah akad ini, beda l
Padma menatap bayangannya sendiri yang tengah duduk di depan cermin besar. Saat ini, ia berada di kamar sebuah hotel dan tengah dirias oleh Maya, make up artisnya. Ia dirias kembali untuk acara resepsi malam hari. Demi kepraktisan, ia memang meminta dirias di hotel daripada di rumah. Selain Maya yang bertindak sebagai MUA, ada Vincent dan juga Aulia yang bertanggung jawab atas hairdo dan wardrobenya."Acaranya dimulai pukul tujuh 'kan Padma?" Sembari mengoleskan pelembab di wajah dan leher Padma, Maya mengajak Padma berbincang-bincang ringan."Iya, Mbak," sahut Padma kaku. Benaknya penuh dengan bayang-bayang percakapan antara Bu Ratri dengan Bu Nani tadi pagi."Padahal perempuan itu tidak ada istimewa-istimewanya. Bayangkan, janda yang sebelumnya sudah sepuluh tahun berumah tangga. Dulunya juga lusuh dan gemuk seperti ibu-ibu yang sudah beranak tiga."Padma memejamkan mata saat teringat akan kata-kata kejam Bu Ratri. Dikatai seperti ibu-ibu lusuh yang sudah beranak tiga, sungguh melu
"Harus bisa. Melepaskan itu artinya bukan membuang, Padma. Tapi berkompromi alias berdamai dengannya. Kita memang tidak akan bisa membuang masa lalu, karena ia memang ada. Kita hanya perlu membiarkannya di sana. Di tempat lamanya. Setuju?" Tirta menatap lekat-lekat kedua mata Padma. Mencoba memberi kekuatan melalui mata dan genggaman tangannya."Mas, aku ini terlalu sering disakiti, diabaikan, dan dianggap tidak berharga. Makanya aku jadi lupa rasanya bahagia. Aku harap, Mas sabar jikalau sikapku terkadang menyebalkan ya? Aku sulit percaya pada kata sifat bahagia." Walau pahit, Padma menyuarakan isi hatinya."Iya, Padma. Iya. Satu setengah tahun bersamamu, aku semakin mengenal keptibadianmu." Tirta mengguncang-guncang pelan kedua lengan Padma."Aku berjanji. Bila kamu sudah lupa bagaimana rasanya bahagia, semoga denganku, Allah masih mengizinkanmu untuk lagi dan lagi; bahagia bersamaku.""Omeji, so sweet sekali. Eike merinding disco mendengarnya." Vincent menutup mulut dengan kedua t
"Mbak Lia, mencium sesuatu yang aneh, tidak?" Padma mengendus-endus udara."Mencium apa, Padma?" Aulia ikut mengendus. Namun, ia tidak mencium bau yang aneh. Seantero ruangan dipenuhi wewangian lavender dan vanila, aroma khas hotel yang bertujuan menciptakan suasana rileks dan nyaman."Mencium aroma busuk, Mbak Lia." Padma memberi kode pada Aulia."Eh iya ya. Seluruh ruangan harum semerbak mewangi. Ini kok tiba-tiba ada semilir aroma busuk ya?" Aulia yang sudah menangkap umpan Padma langsung beraksi. Ia mengendus-endus udara hingga ke tempat Bu Ratri dan Erina berdiri."Oh, dari sini ternyata sumber baunya, Mbak. Hoek... hoek... Busuk banget ih, aromanya." Aulia berakting seperti orang yang ingin muntah."Oh, dari sana toh baunya. Campuran antara busuk hati dan busuk mulut memang dahsyat ya, aromanya? Kalah baunya jamban." Padma memijit hidungnya kala melewati Bu Ratri dan Erina."Ayo, kita ke touch up-nya di sana aja, Mbak Lia. Nanti kita ketempelan bau busuk pula." Padma mengangkat
Menit-menit berikutnya, acara berjalan khidmat dan lancar. Tamu-tamu mulai berdatangan dan mengucapkan selamat. Para staf dari EO hilir mudik memeriksa semua hal demi kelancaran acara. Begitu juga dengan para waiters, yang semuanya bekerja sama dengan baik, dikoordinir oleh seorang manajer.Sementara itu, di atas pelaminan berlatar belakang tirai sutra gading yang dihiasi dengan kilauan lampu-lampu kristal, Tirta dan Padma duduk berdampingan. Padma, dengan tatapan bermimpi, mengelus pelaminan indah yang saat ini tengah ia duduki. Ia menyentuh rangkaian bunga mawar putih, lili, dan anggrek yang diselipkan di sana-sini."Kamu kenapa, Padma?" Tirta menahan lengan Padma yang masih menelusuri dekorasi pelaminan."Aku ingin meyakinkan diri kalau semua ini bukan mimpi," Padma memandang Tirta dengan haru."Tentu saja bukan, Ma. Ini semua nyata, Sayangku." Tirta mendekatkan dahinya pada dahi Padma, menyatukannya sepenuh cinta sambil berbisik lembut. Hati Padma melambung dipanggil sayang oleh T