Di satu club malam yang hingar bingar, duduk lima wanita-wanita cantik yang tengah menikmati alunan musik. Mereka bercanda ria sambil sesekali menggoyangkan tubuh, mengikuti alunan musik yang seronok. "Eh hampir lupa. Jen, bayar dulu uang kalah taruhan lo." Seorang gadis berambut pirang menepuk bahu seorang gadis berambut ikal."Iya. Si Tirta besok nikah sama si janda semok. Lo gagal memikatnya. Duit mana duit?" Seorang gadis bergaun hitam mengulurkan tangannya. Walau dalam keadaan setengah mabuk, ia masih bisa mengikuti obrolan teman-temannya. "Lo ya, Na. Udah mabok parah, masih inget aja sama duit." Si gadis berambut ikal menoyor kening di gadis bergaun hitam. "Ya ingetlah. Seenggaknya gue masih bisa nikmatin duit lo walau gue nggak bisa jadian sama Tirta." Si gadis bergaun hitam tertawa tanpa merasa ada lucu."Tenang aja. Ini gue transferin sekarang ke rekening lo-lo pada." Jennifer membuka tas tangannya. Ia mengeluarkan ponsel dan mengirimkan sejumlah uang ke rekening bank masi
Ketika suara koor sah terdengar, Padma mengucap amin dengan perasaan haru. Akhirnya ia sekarang sudah resmi menjadi istri Tirta. Dari sampingnya ia juga mendengan gumaman amin dari mulut Tirta. Padma dan Tirta saling pandang sejenak sebelum mendengarkan doa nikah yang dipanjatkan oleh penghulu. Lantas mereka melakukan penandatanganan buku nikah dan penyerahan mahar secara simbolis. Selanjutnya mereka melakukan ritual sungkeman pada kedua orang tua."Kalian berdua ingatlah ; bahwa setelah akad ini, tutuplah semua pintu yang berpotensi melemahkan pasangan kalian di mata orang lain. Karena mulai sekarang dan insyallah selama-lamanya kalian telah menjadi satu. Oleh karenanya, kalian harus saling mendukung satu sama lain." Pak Cahyono memberi nasehat pernikahan yang singkat namun tepat. "Kalian berdua harus ingat. Memang benar sebelum menikah kalian sebaiknya membuka mata lebar-lebar, agar dapat melihat kekurangan dan kelebihan pasangan kalian masing-masing. Tapi setelah akad ini, beda l
Padma menatap bayangannya sendiri yang tengah duduk di depan cermin besar. Saat ini, ia berada di kamar sebuah hotel dan tengah dirias oleh Maya, make up artisnya. Ia dirias kembali untuk acara resepsi malam hari. Demi kepraktisan, ia memang meminta dirias di hotel daripada di rumah. Selain Maya yang bertindak sebagai MUA, ada Vincent dan juga Aulia yang bertanggung jawab atas hairdo dan wardrobenya."Acaranya dimulai pukul tujuh 'kan Padma?" Sembari mengoleskan pelembab di wajah dan leher Padma, Maya mengajak Padma berbincang-bincang ringan."Iya, Mbak," sahut Padma kaku. Benaknya penuh dengan bayang-bayang percakapan antara Bu Ratri dengan Bu Nani tadi pagi."Padahal perempuan itu tidak ada istimewa-istimewanya. Bayangkan, janda yang sebelumnya sudah sepuluh tahun berumah tangga. Dulunya juga lusuh dan gemuk seperti ibu-ibu yang sudah beranak tiga."Padma memejamkan mata saat teringat akan kata-kata kejam Bu Ratri. Dikatai seperti ibu-ibu lusuh yang sudah beranak tiga, sungguh melu
"Harus bisa. Melepaskan itu artinya bukan membuang, Padma. Tapi berkompromi alias berdamai dengannya. Kita memang tidak akan bisa membuang masa lalu, karena ia memang ada. Kita hanya perlu membiarkannya di sana. Di tempat lamanya. Setuju?" Tirta menatap lekat-lekat kedua mata Padma. Mencoba memberi kekuatan melalui mata dan genggaman tangannya."Mas, aku ini terlalu sering disakiti, diabaikan, dan dianggap tidak berharga. Makanya aku jadi lupa rasanya bahagia. Aku harap, Mas sabar jikalau sikapku terkadang menyebalkan ya? Aku sulit percaya pada kata sifat bahagia." Walau pahit, Padma menyuarakan isi hatinya."Iya, Padma. Iya. Satu setengah tahun bersamamu, aku semakin mengenal keptibadianmu." Tirta mengguncang-guncang pelan kedua lengan Padma."Aku berjanji. Bila kamu sudah lupa bagaimana rasanya bahagia, semoga denganku, Allah masih mengizinkanmu untuk lagi dan lagi; bahagia bersamaku.""Omeji, so sweet sekali. Eike merinding disco mendengarnya." Vincent menutup mulut dengan kedua t
"Mbak Lia, mencium sesuatu yang aneh, tidak?" Padma mengendus-endus udara."Mencium apa, Padma?" Aulia ikut mengendus. Namun, ia tidak mencium bau yang aneh. Seantero ruangan dipenuhi wewangian lavender dan vanila, aroma khas hotel yang bertujuan menciptakan suasana rileks dan nyaman."Mencium aroma busuk, Mbak Lia." Padma memberi kode pada Aulia."Eh iya ya. Seluruh ruangan harum semerbak mewangi. Ini kok tiba-tiba ada semilir aroma busuk ya?" Aulia yang sudah menangkap umpan Padma langsung beraksi. Ia mengendus-endus udara hingga ke tempat Bu Ratri dan Erina berdiri."Oh, dari sini ternyata sumber baunya, Mbak. Hoek... hoek... Busuk banget ih, aromanya." Aulia berakting seperti orang yang ingin muntah."Oh, dari sana toh baunya. Campuran antara busuk hati dan busuk mulut memang dahsyat ya, aromanya? Kalah baunya jamban." Padma memijit hidungnya kala melewati Bu Ratri dan Erina."Ayo, kita ke touch up-nya di sana aja, Mbak Lia. Nanti kita ketempelan bau busuk pula." Padma mengangkat
Menit-menit berikutnya, acara berjalan khidmat dan lancar. Tamu-tamu mulai berdatangan dan mengucapkan selamat. Para staf dari EO hilir mudik memeriksa semua hal demi kelancaran acara. Begitu juga dengan para waiters, yang semuanya bekerja sama dengan baik, dikoordinir oleh seorang manajer.Sementara itu, di atas pelaminan berlatar belakang tirai sutra gading yang dihiasi dengan kilauan lampu-lampu kristal, Tirta dan Padma duduk berdampingan. Padma, dengan tatapan bermimpi, mengelus pelaminan indah yang saat ini tengah ia duduki. Ia menyentuh rangkaian bunga mawar putih, lili, dan anggrek yang diselipkan di sana-sini."Kamu kenapa, Padma?" Tirta menahan lengan Padma yang masih menelusuri dekorasi pelaminan."Aku ingin meyakinkan diri kalau semua ini bukan mimpi," Padma memandang Tirta dengan haru."Tentu saja bukan, Ma. Ini semua nyata, Sayangku." Tirta mendekatkan dahinya pada dahi Padma, menyatukannya sepenuh cinta sambil berbisik lembut. Hati Padma melambung dipanggil sayang oleh T
"Gile bener lo, Ma. Habis nikah aura lo aur-auran. Di servis Tirta luar dalam pasti ini." Wilma menyeringai mesum. Ia ikut senang melihat sahabatnya berbahagia. Saat ini dirinya, Yesi dan Padma tengah berolah raga di Healty Gym. Setelah menikah, Padma memang makin rutin berolah raga. Ia maklum. Padma sepertinya ingin benar-benar membahagiakan Tirta. Hasil kerja keras Padma juga tidak main-main. Padma sekarang memiliki berat badan ideal. Dari total bobot seluruhnya yang 80 kilogram, menjadi 50 kilogram dalam kurun waktu kurang lebih satu setengah tahun. Sewaktu menikah dengan Tirta, bobot Padma sudah turun menjadi 58 kilogram. Tiga bulan menikah, bobotnya kembali berhasil dipangkas menjadi 50 kilogram. Sungguh pencapaian yang luar biasa. "Bener. Baru tiga bulan nikah aja, muka lo sekarang bersinar-sinar senantiasa. Vitamin Tirta pasti cocok itu." Yesi ikut memuji. Ia menjawil gemas pipi Padma yang memerah."Bersinar-sinar. Lo pikir muka gue lampu petromaks." Padma menepis tangan jahi
"Apa maksudmu mengirim photo-photo itu kepadaku? Kamu tidak sedang ingin menjebakku bukan?""Oh, jadi kamu tidak ingin aku bantu untuk mendapatkan, Mas Tirta? Sudah menyerah ini ceritanya?" Sosok misterius itu tersenyum mengejek."Menyerah? Hah, yang benar saja. Puluhan tahun aku berkorban, masa aku menyerah begitu saja dengan si gajah bengkak? Eh sekarang gajahnya sudah kurus ya? Gajah langsing deh kalau begitu. Hehehe." Di ujung telepon seseorang tertawa tanpa merasa lucu."Nah, kalau begitu gunakan photo-photo ini sebagai senjata.""Kenapa kamu ingin menghancurkan mereka berdua? Apa untungnya bagimu? Mari kita saling terus terang saja.""Aku dendam karena perempuan itu telah membuat Mas Tirta mengusir aku dan ibuku waktu itu. Walaupun sebenarnya ini tidak perlu. Toh, suatu saat nanti Mas Tirta akan menendangnya sendiri.""Kenapa begitu?""Karena Mas Tirta itu tidak sungguh-sungguh mencintai perempuan itu. Mas Tirta hanya ingin balas dendam. Asal kamu tahu. Perempuan yang membuat M