"Tambah lagi ikannya, Mas?" ujar Padma saat melihat lauk Tirta sudah habis. Sementara nasinya masih banyak."Boleh, Ma. Ikan mas arsiknya enak sekali. Rasa andaliman dan asam cikalanya juga seger banget." Tirta dengan semangat menyeruput kuah kuning yang pedas, asam dan sedikit getir itu dengan nikmat. Aroma bumbu ikan mas arsik yang sangat kuat ini, memang menjadi lauk kesukaannya.Tanpa banyak bicara, Padma menyendokkan sepotong ikan berikut kuah kuningnya. Padma diam saja bukan tanpa alasan. Entah mengapa hari ini ia terus mual saat memasak. Mencium aroma bumbu arsik yang biasanya membuatnya berliur, kini malah membuatnya mual. Ia sudah muntah beberapa kali, saat memasak tadi."Ini... Mas." Karena menahan mual, Padma berkeringat dingin. "Aku ke belakang dulu ya?" Padma berlari kecil ke toilet. Tirta sedang makan. Ia tidak boleh membuat suaminya kehilangan selera makan. Di toilet, Padma memuntahkan cairan asam dari lambungnya. Karena tadi ia sudah lebih dulu mengeluarkan isi perutn
"Hallo, Tirta, Padma. Silakan duduk. Ada keluhan apa, Padma?" sapa dokter Hermina ramah."Istri saya tadi baru saja muntah-muntah karena mencium aroma masakan." Alih-alih Padma, Tirtalah yang menjawab."Ayo duduk, Ma." Tirta menarik kursi untuk Padma. Setelah Padma duduk, Tirta menyusul duduk di samping Padma."Tapi saya tidak mungkin hamil, Dokter. Hasil lab dari rumah sakit Harapan Bunda lima tahun lalu, menyatakan kalau saya mandul." Padma langsung memotong keterangan Tirta. Tirta mengedipkan sebelah matanya. Memberi kode pada sang dokter, melalui tatapan mata. "Oke. Kalau boleh saya tahu, kapan Padma terakhir kali menstruasi?" Setelah menerima kode dari Tirta, dokter Hermina lebih hati-hati saat berbicara dengan Padma. "Tiga bulan yang lalu, Dok. Tapi saya tidak mungkin hamil. Saya sudah capek menggunakan testpack dalam sepuluh tahun terakhir." Padma yang sudah mengetahui prosedur pemeriksaan kehamilan, langsung saja menyatakan sikapnya. "Baik. Saya mengerti. Sekarang kita peri
"Apa? Kamu hamil, Padma?" Bu Nani mengulangi pertanyaannya hingga tiga kali. Ia nyaris tidak mempercayai pendengarannya."Iya, Bu. Kami baru saja ke rumah sakit dan ini hasilnya." Padma memberikan amplop putih berisi testpack dan hasil hCG-nya."Alhamdullilah, akhirnya Ibu akan punya cucu." Bu Nani memandangi hasil lab dengan wajah haru."Pak, sebentar lagi kita akan menjadi kakek dan nenek." Bu Nanti menarik lengan Pak Cahyono yang sedang menonton televisi. Mengajak sang suami menari berputar-putar di ruangan. Pak Cahyono dan Tirta saling memandang sebentar sebelum menyerah dalam euphoria sang istri. Ia ikut menari ala kadarnya. Ia tidak mau merusak kebahagiaan istrinya."Oh ya, mulai besok kamu sudah harus mengurangi kesibukanmu di kantor, Ma. Lebih baik lagi kalau kamu tidak usah bekerja lagi," usul Bu Nani. Setelah meluapkan kegembiraan Bu Nani memberi nasehat pada menantunya."Padma suka bekerja, Bu. Aku pikir tidak apa-apa tetap bekerja, asal tidak terlalu lelah." Tirta memberi
"Gayamu, Mas... Mas." Padma menoel dagu Tirta gemas."Ngomong-ngomong dari mana Mas tahu? Aku jadi penasaran." "Dari sini." Tirta mengeluarkan ponsel dari sakunya, lalu membuka aplikasi percakapan dan memperlihatkan beberapa foto candid Padma dan Dimas."Astagfirullahaladzim, kok bisa ya?" Padma meraih ponsel dari tangan Tirta. Ia mengamati dengan seksama beberapa foto yang dikirimkan secara random. "Ini pasti kerjaan Dimas. Dia memang orangnya paling tidak bisa kalah dari orang lain." Padma menggerutu. Tiba-tiba satu pemikiran singgah di benaknya."Berarti saat Mas meneleponku tadi, Mas sudah mendapatkam photo-photo ini dong?""Benar." Tirta mengangguk."Pantas saja tadi Mas bertanya apakah aku bertemu dengan orang lain. Dan bodohnya, aku bilang tidak. Mas pasti menduga kalau aku tukang bohong jadinya." Padma meninju pahanya sendiri. Ekspresinya jelas memperlihatkan penyesalan."Padahal aku cuma takut Mas salah paham kalau aku membicarakannya di telepon. Dan sekarang Mas malah jadi
"Lho, si Padma kok bisa hamil ya? Padahal dia 'kan mandul?" Bu Nursyam kaget saat melihat unggahan mantan menantunya."Hamil? Masa sih, Bu? Mana, coba Bapak lihat." Pak Samin yang tengah menonton televisi, menoleh ke samping. Ia penasaran."Ini, coba lihat, Pak." Bu Nursyam menggeser duduknya, agar lebih mendekati sang suami.""Nih... nih... lihat Instagram Padma. Ia membagikan unggahan suaminya. Tulisan yang diketik: Cantiknya istri dan calon ibu anakku. Itu artinya si Padma sedang hamil, kan?" ucap Bu Nursyam."Berarti Padma tidak mandul dong. Jadi yang mandul siapa? Apa Dimas ya?" Pak Samin menduga-duga."Bapak ini sembarangan saja berbicara!" Bu Nursyam memukul paha sang suami jengkel."Orang kita sudah punya Dika kok sekarang. Bagaimana bisa si Dimas yang mandul?" Bu Nursyam memelototi Pak Samin."Memang kita sudah punya Dika. Tapi Ibu merasa ada yang aneh tidak?" Pak Samin menoleh ke kanan dan kiri terlebih dahulu sebelum bicara."Ngapain Bapak celingukan begitu? Si Pita sedang
"Nanti saja Tari cerita ya, Pak. Tari mau tidur dulu," ucap Lestari lesu."Baiklah. Pikirkan semuanya baik-baik. Kalau pun toh pada akhirnya kamu memilih bercerai, Bapak mendukung apa pun keputusanmu. Begitu juga sebaliknya." Pak Samin menepuk-nepuk bahu sang putri yang mencelos. Ia memahami pergulatan batin putrinya."Kalau Ibu marah karena Tari memilih bercerai bagaimana, Pak?" pungkas Lestari kecut."Ya, tidak bagaimana-bagaimana. Nanti Bapak yang akan mengurus ibumu. Bapak keluar dulu ya? Biar kamu bisa beristirahat." Pak Samin beringsut dari ranjang dengan susah payah. Ia membutuhkan waktu sendiri, untuk memikirkan permasalahan sang putri. Tepat ketika Pak Samin memutar gagang pintu, Lestari memanggil ayahnya."Pak, jangan membicarakan masalah ini dengan siapa pun ya? Tari belum ingin orang-orang rumah tahu.""Baiklah. Bapak akan menyimpannya sendiri. Bapak keluar ya, Ri? Nanti beritahu Bapak, apa pun keputusanmu. Baru Bapak akan mencari Malik.""Baik, Pak." Lestari mengangguk."
"Jangan capek-capek, Ma. Kamu baru saja datang. Biar Bik Parni saja yang masak." Pak Manan menyidak dapur. Mengetahui sang putri yang baru saja tiba dan sudah berkutat di dapur, ia khawatir. Putrinya sedang hamil muda. Tidak baik kalau sang putri beraktivitas berlebihan."Padma cuma membantu Bik Parni memotong-motong bawang, Pak. Masa begitu saja capek sih? Lagi pula Padma sudah lama tidak memasak di dapur ini. Padma kangen dengan suasananya." Sambil tertawa, Padma menenangkan sang ayah."Mas terlalu berlebihan. Dulu saat aku mengandung Deddy dan Menik, setiap hari aku ke pasar. Aku juga memasak dan membersihkan rumah seorang diri. Toh aku tidak kenapa-kenapa. Deddy dan Menik lahir secara normal dan sehat," Bulik Fatimah yang tengah menggoreng ikan menimpali percakapan antara kakak dan keponakannya. Telinganya gatal mendengar kekhawatiran berlebihan kakaknya."Itu 'kan kamu. Fisik tiap orang berbeda-beda. Pula, waktu itu kamu hamilnya masih muda. Usiamu kalau tidak salah baru 22 dan 2
"Baik, Pak." Padma berlalu. Ia sempat melirik tajam sang bulik sebelum keluar dari ruangan. Setelah di dalam ruangan hanya tinggal dirinya dan sang adik, Pak Manan baru bersuara."Timah, aku mengatakan kalau aku tidak tahu kalau Marlina berpacaran dengan Irfan, karena kenyataannya mereka memang tidak pernah berpacaran. Aku ulangi, tidak pernah berpacaran.""Masa? Mas Irfan bilang kalau mereka pernah berpacaran. Mungkin Mbak Marlina bohong." Fatimah tetap dengan pendiriannya. "Tidak. Yang bohong itu Irfan. Irfan sudah lama menyukai Marlina. Ia memacarimu supaya bisa tetap dekat dengan Marlina. Ketika Marlina menikah denganku, Irfan mengamuk. Ia mengancam Marlina dan bilang bahwa dia akan mengotorimu, kemudian meninggalkanmu. Pada saat itulah Marlina memberitahuku semuanya. Ia takut kamu, yang tergila-gila pada Irfan, akan terluka," Pak Manan menjelaskan duduk persoalannya."Kejadian yang kamu lihat di hotel waktu itu, aku yang mengaturnya. Aku meminta Marlina mengundang Irfan ke hotel