Mellisa melihat ekspresi Dokter Yusac yang tampak tersenyum. Tidak terlihat ada sesuatu yang mengganggu."Tapi, apa yang kalian bicarakan sebenarnya. adakah sesuatu yang penting untuk dibicarakan?"Dokter Yusac memiringkan kepalanya, menatap lekat pada Mellisa yang gelisah."Mellisa, apakah saat ini ada yang lebih penting dari keadaan ayahmu? Aku bahkan tidak bisa tidur dengan kondisi ayahmu ini. Ah, baiklah, tidak mengapa jika kau ingin tahu. Sebenarnya, tidak ada apapun yang kami bicarakan kemarin. Ia hanya ingin berkenalan denganku, lalu berbincang sedikit soal perjodohan keluarga.""Lalu...apa.dia mengatakan sesuatu?""Tidak, dia hanya mengatakan kau tidak bisa menerima perjodohan ini dan aku bukanlah orang yang memaksakan kehendak."Mellisa menelan ludah. Sisi dokter Yusac yang lain yang bisa ia kagumi adalah kedewasaan dan kematangan berpikir. Yah...selain profesinya yang juga sebagai seorang dokter."Apakah itu berarti...kau sungguh tidak keberatan dengan hubungan kami dan bers
Mellisa kikuk sendiri, ia membicarakan Dokter Yusac pelan, bagaimana bisa dokter itu mendengar ucapannya. Wajahnya memerah seketika. Langkah kakinya dipercepat agar bisa lepas dari suasana itu.Ia mulai meresapi kejadian ini sedikit demi sedikit. Sudah jelas apa yang dilakukan pria itu sangat menolong hidupnya, ia tak bisa mengingkari. Akan tetapi apakah ia kan menerima keputusan ini?Mellisa masih belum bisa memutuskan.#Baskoro bersama Intan menyiapkan perbekalan yang akan dibawa ke Thailand. Merekalah orang yang paling sibuk dal momen seperti ini. Putri sulung andalan Tuan Abraham ini menangani hampir seluruh tanggung jawab keluarga. Mereka terengah karena sangat letih setelah mengepak banyak sekali barang bawaan. Lalu mereka duduk berdampingan di ruang tengah."Bisa nggak sih pijat punggung aku sebentar," rengek Intan pada Baskoro."Pijat punggungku dulu nanti baru punggungmu," jawab Baskoro tak mau kalah.""Mana bisa, kau suka berkelit kalau sudah enakan, pake alasan ngantuk seg
"Humm, kau sungguh akan memijitku setelah lewat tengah malam? lupakan saja, sudah tidak berminat lagi," ujar Intan dengan cemberut."Hei, maafkan aku. Oke, aku akan membayarmu besok."Intan mengangguk, dan Baskoro melanjutkan tidurnya di sofa ruang tamu.Tak lama kemudian setelah Intan beranjak menuju kamarnya, dering panggilan ponsel berbunyi lagi. Baskoro segera mengambil ponsel itu dan mengangkat panggilan."Malam malam begini, ngapain sih?" ujarnya dan duduk dari tidurnya, terkejut karena ada panggilan di malam hari."Halo, ada apa?" katanya berbisik seolah tak mau ada yang mendengar. Melihat gelagat Baskoro, Intan malah berdiri di balik dinding untuk mencuri dengar."Mas, kapan mas pulang ke desa? Ayah sakit dan ingin bertemu denganmu. Bisakah kau menemui ayahku? Kau tahu sendiri kalau ayah selalu saja bertanya tentangmu.""Uhmm, baiklah...aku akan menemui ayahmu segera, oke?" jawab Baskoro masih dengan suara lirih lalu memutuskan panggilan. Sepasang mata yang melihatnya, memend
Intan sedikit terpekik saat melihat darah keluar dari kening Bastian setelah kejadian ia menekan pedal rem mendadak. Ia tak menyangka putranya tidak memakai sabuk pengaman. Lebih tepatnya, ia sama sekali tidak perhatian dengan Bastian saat naik kendaraan tadi. Pikirannya sedang kacau, bahkan dalam masalah yang belum pasti."Maafkan Mommy, sayang. Ini memang salah Mommy," ujarnya dengan menyapu aliran darah itu perlahan dengan menggunakan tissue.Iapun segera melaju menuju apotek terdekat untuk membeli plester dan juga obat yang dibutuhkan."Apakah sakit?" tanya Intan kemudian. Pikirkan yang sejak tadi berfokus pada Baskoro sekarang tiba tiba lenyap, tergantikan dengan rasa khawatir pada Bastian yang terluka akibat kecerobohan yang ia lakukan.Di apotek, setelah membeli beberapa obat, Intan melihat Mellisa yang duduk termenung seorang diri. Gadis itu menatap layar ponselnya dengan pandangan kosong, seolah memikirkan sesuatu.Bahkan setelah lama Intan melihatnya, gadis itu masih tidak
Mellisa membalas tatapan tajam mata Intan. Ia sungguh kehabisan kata kata untuk membalas apa yang Intan ucapkan.Tentu saja, mengambil resiko semacam ini sungguh tidak mungkin ia lakukan. Yang paling mungkin adalah, ia harus menahan semua keinginan hatinya demi ayahnya."Bagaimana? Apakah kau bersedia?" katanya dengan melonggarkan cekalannya pada gadis itu."Mellisa, kau bahkan seorang perawat kesehatan yang paling tahu kondisi seorang pasien. Paling mengerti betapa pentingnya kondisi psikologis seorang pasien untuk bisa sembuh dari apa yang ia derita. Lalu bagaimana denganmu? Apakah kau sungguh sudah dibutakan?" bisik Intan di telinga Mellisa. Ia sungguh ingin membuka mata hati Mellisa demi untuk hari hari yang tidak akan membuatnya menyesal.Setelah berkata demikian, Intan melangkah pergi meninggalkan Mellisa berdiri terpaku melihatnya pergi.Mellisa mulai ingin memahami dirinya, apakah sungguh ia sudah dibutakan atas cinta seorang Indra?Mellisa meremas telapak tangannya, dan merem
"Menikah?" ekspresi Intan sungguh terkejut. Bahkan dirinya dan juga Baskoro berencana cepat menikah, tapi ayahnya selalu banyak alasan. Tapi lihatlah ayahnya malah tiba tiba menikah."Kenap Apa kau tidak setuju kalau kami cepat menikah. Dengan begitu, tentu saja Anita tidak akan banyak merepotkan mu lagi. Ayah akan menjaga dan merawatnya, mengantarnya ke rumah sakit dan juga yang lainnya. Apalagi kami juga bisa ke Thailand bersama sama," terang Abraham dengan penuh antusias.Intan mau tak mau harus tersenyum."Bagaimana mungkin aku tidak setuju, Ayah.. Aku malah merasa senang kalau itu cepat terjadi, setelah itu...," belum selesai mengatakannya Intan teringat Baskoro yang menurutnya cukup meragukan."Dan kalian segera menikah juga bukan? Tapi ayah menikah sederhana saja, adapun pernikahan kalian, harus dirayakan dengan sangat meriah," kata ayahnya lagi.Intan tersenyum miris. Suasana hatinya sungguh buruk."Tenang saja Yah, cepat atau lambat semua akan terjadi juga, "katanya kemudian.
Wulan sedikit kecewa, ia sungguh tak mengerti bahwa Baskoro masih dalam kondisi lajang dan pria ini masih tak tergerak untuk melihatnya barang sedikit. Padahal, ia sudah berusaha keras untuk bisa tampil layaknya orang kota dengan penampilan yang menawan. Sementara Baskoro sedikit bergidik ngeri dengan sikap dan penampilan Wulan yang sudah berubah. Berulang kali wanita ini bersikap seperti menggoda dan membuatnya merasa canggung."Wulan, kau sangat berubah sekarang ini," kata Baskoro saat mereka berada di gate away Bandara. Ia ingin mengingatkan Wulan yang dulu, gadis desa yang tahu batasan sesungguhnya. Terlebih lagi, kondisi pernikahannya yang sudah kacau sejak awal."Aku? Berubah? Bukankah manusia memang bisa berubah? Bagiku, selama perubahan itulah yang kita inginkan, maka apa salahnya?" jawab Wulan dan memberikan segelas capuccino yang tadinya dibelinya."Tapi...apa yang kau inginkan sebenarnya? Aku sungguh tak mengerti.""Mas, apa sih enaknya punya suami pincang? Meskipun dia a
"Mas, aku sangat capek dan perjalanan ke kampung masih cukup jauh. Belum lagi kita akan tiba menjelang malam dan tidak mungkin untuk melakukan perjalanan ke kampung di tengah malam. Kau tahu sendiri bagaimana jalan kesana itu, tidak mungkin akan ada sopir yang mau mengantarkan kita," balas Wulan kukuh dengan argumentasinya."Aku sudah mempersiapkan perjalanan yang nyaman untukmu karena aku tahu kau pasti letih kalau tidak beristirahat terlebih dahulu di Surabaya. Hmm?"Baskoro melihat sepintas wajah Wulan yang memohon. Memang benar, perjalanan ke kampung halaman Wulan cukup sepi dan rawan perampokan. Tentunya tidak akan ada sopir yang mau memasuki kampung tersebut lewat tengah malam."Baiklah. Terserah padamu saja. Tapi lepaskan tanganmu dan jangan main sentuh seenaknya," kata Baskoro sedikit kasar. Ia tak pernah sekasar ini pada Wulan sebelumnya."Mas...jangan marah dong. Aku bermaksud baik dan tidak punya tujuan apa apa kok," ujarnya dengan menunduk kecewa.Baskoro melihatnya, mera