Wulan sedikit kecewa, ia sungguh tak mengerti bahwa Baskoro masih dalam kondisi lajang dan pria ini masih tak tergerak untuk melihatnya barang sedikit. Padahal, ia sudah berusaha keras untuk bisa tampil layaknya orang kota dengan penampilan yang menawan. Sementara Baskoro sedikit bergidik ngeri dengan sikap dan penampilan Wulan yang sudah berubah. Berulang kali wanita ini bersikap seperti menggoda dan membuatnya merasa canggung."Wulan, kau sangat berubah sekarang ini," kata Baskoro saat mereka berada di gate away Bandara. Ia ingin mengingatkan Wulan yang dulu, gadis desa yang tahu batasan sesungguhnya. Terlebih lagi, kondisi pernikahannya yang sudah kacau sejak awal."Aku? Berubah? Bukankah manusia memang bisa berubah? Bagiku, selama perubahan itulah yang kita inginkan, maka apa salahnya?" jawab Wulan dan memberikan segelas capuccino yang tadinya dibelinya."Tapi...apa yang kau inginkan sebenarnya? Aku sungguh tak mengerti.""Mas, apa sih enaknya punya suami pincang? Meskipun dia a
"Mas, aku sangat capek dan perjalanan ke kampung masih cukup jauh. Belum lagi kita akan tiba menjelang malam dan tidak mungkin untuk melakukan perjalanan ke kampung di tengah malam. Kau tahu sendiri bagaimana jalan kesana itu, tidak mungkin akan ada sopir yang mau mengantarkan kita," balas Wulan kukuh dengan argumentasinya."Aku sudah mempersiapkan perjalanan yang nyaman untukmu karena aku tahu kau pasti letih kalau tidak beristirahat terlebih dahulu di Surabaya. Hmm?"Baskoro melihat sepintas wajah Wulan yang memohon. Memang benar, perjalanan ke kampung halaman Wulan cukup sepi dan rawan perampokan. Tentunya tidak akan ada sopir yang mau memasuki kampung tersebut lewat tengah malam."Baiklah. Terserah padamu saja. Tapi lepaskan tanganmu dan jangan main sentuh seenaknya," kata Baskoro sedikit kasar. Ia tak pernah sekasar ini pada Wulan sebelumnya."Mas...jangan marah dong. Aku bermaksud baik dan tidak punya tujuan apa apa kok," ujarnya dengan menunduk kecewa.Baskoro melihatnya, mera
Sebuah spekulasi dimainkan, Wulan mencoba mencari perhatian Baskoro. Hanya satu malam, mungkin saja bisa mengubah segalanya saat ini. Untuk itu, ia tak mungkin menyia nyiakan kesempatan yang begitu sempurna.Memiliki Baskoro, adalah tujuan yang telah lama ia impikan. Tak perduli, apakah ini membuatnya terlihat gila, atau memang ia telah kehilangan rasa hormat sebagai seorang wanita."Wulan, tidak perlu mendramatisir keadaan ini. Kita sudah sama sama mengerti, tak ada jalan lain kecuali saling melupakan dan tidak akan pernah bertemu kembali. Esok hari, setelah aku mengunjungi ayahmu, anggap saja inilah kunjunganku untuk terakhir kalinya dan juga pertemuan kita yang terakhir."Baskoro mengambil jaketnya, lalu beranjak dari tempat itu menuju pintu."Apa kau ingin aku mati saja? Apalagi yang harus kulakukan untuk membuat kau melihatku sebagai wanita?!" pekik Wulan sedikit panik.Wulan sungguh berusaha keras untuk mendapatkan perhatian Baskoro."Ada apa denganmu? Apakah tidak ada pekerjaan
Ia sungguh melihat dengan jelas siapa yang ada di dalam gambar ponsel itu adalah Baskoro, akan tetapi ia belum bisa tahu siapa wanita yang ada di dalam ponsel tersebut."Maaf, Bu. Saya tidak sengaja melihatnya dan merasa sedikit terganggu sehingga saya memotretnya. Maaf, jika potret ini tidak pantas."Intan berusaha tenang, menyembunyikan rasa terkejutnya apalagi rasa kecewa yang luar biasa. Akan tetapi, skandal ini tidak boleh tersebar begitu saja sehingga merusak reputasi mereka berdua, Intan dan Baskoro.Satu satunya jalan adalah sedikit berbohong kepada Puspita."Ouh, ini... sebenarnya ini cuma keluarga dekatnya dan bukan siapa siapa. Tolong untuk tidak bergosip dan hapus saja gambar ini, oke?" ujarnya dan memberikan senyuman ringan pada Puspita.Setelah itu Intan segera bersiap untuk pergi."Oh, ya. Rahasiakan foto ini dan hapus dengan baik. Jangan sampai orang lain berpikiran yang bukan bukan, aku berharap kau bisa menjaga reputasi atasanmu dengan baik. Aku akan segera bekerja t
Bagaimana mungkin, bagaimana bisa Baskoro sekejam ini disaat hanya tinggal selangkah lagi untuk mereka bisa bersama. Bahkan seharusnya mereka telah terikat dengan hadirnya seorang putra diantara mereka. Tapi apa yang terjadi?Intan merosot terduduk di kursi kerjanya dengan tubuh yang lemas. Membayangkan apa yang mungkin mereka lakukan di hotel membuat hatinya semakin hancur.#Baskoro menatap heran pada Wulan yang tersenyum sendiri menatap ponselnya. Pria itu tak akan mengira kalau sebenarnya Intan baru saja menghubungi Wulan."Aku sudah dapat travelnya. Ayo cepat, hari sudah semakin siang."Wulan mengikuti langkah Baskoro yang tidak perduli bagaimana ia sangat payah mengikuti langkah pria itu menuju area taksi di halaman depan hotel.Pria itu sungguh tidak perduli.Bahkan setelah mereka masuk ke mobil, Baskoro memilih duduk di samping sopir dan membiarkan Wulan seorang diri di bangku belakang. Bersikap acuh dan menikmati tidurnya di dalam taksi. Terlebih lagi ia tidak tidur semalaman
"A-apa maksudmu, Mas? Bukankah bapak bilang kalau uang itu dari Mas Baskoro? Jangan mengada-ada, kau hanya ingin aku menjauhi Baskoro dengan alasan seperti ini bukan? Samasekali tak masuk akal."Wulan bangkit dengan kesal, lalu berjalan keluar pintu tergesa-gesa. Ia terkejut saat melihat Baskoro berdiri mematung di pintu kamarnya."Mas...," gumamnya."Aku bahkan tidak pernah berpikir untuk memberikan uang kepada kalian, bagaimana bisa aku tidak pernah tahu Intan ternyata sangat perhatian dengan detil seperti ini," lalu Baskoro akhirnya menegaskan.Waluyo juga ternganga melihat Baskoro yang mengatakan hal itu pada Wulan adiknya yang selalu terobsesi dengan Baskoro."Maafkan aku, salahku membohongi bapak bahwa uang ini darimu. Itu karena Intan juga memintaku merahasiakan uang ini darimu dan juga ayahku. Akhirnya...kau terpaksa mendengar juga kenyataan ini.""Tidak mengapa, aku menyukainya bahkan merasa sedikit bersalah. Bahkan orang lain seperti Intan sangat perduli dengan keluargaku."
Bastian merengut mendengar jawaban Intan yang menganggap pendapat Baskoro tidak penting. Baginya figur ayah sangat mendominasi pikirannya."Bukankah kesopanan itu sangat penting, Mommy? Kenapa Mommy bilang begitu?" lirihnya tapi masih bisa terdengar di telinga Intan."Baik, nanti saja Mommy akan menelpon kembali."Intan menuju Mansion, hari semakin sore dan ia harus berjuang bersama Indra sendiri untuk mempersiapkan acara sederhana itu. Ia bisa melihat kebahagiaan ayahnya lagi setelah sekian lama hidup menduda. Ia juga bisa melihat Anita selalu tersenyum saat Abraham menatapnya.Lalu ia mendekati Indra yang termenung di balkon lantai atas seorang diri. Anak itu pasti sedang memikirkan Mellisa dan apa yang mereka hadapi saat ini."Apakah kau masih memikirkannya? Memikirkan apa yang harus kau lakukan saat ini?""Kak, aku merasa sangat patah hati," katanya pelan, hatinya seperti tertusuk duri."Kenapa? Apa kau akan membuat Mellisa merasa guncang dan merasa bersalah kepadamu? Kalau begitu
Bukan membalas ucapan Baskoro, Intan memilih diam dan pergi dari hadapan Baskoro dan ayahnya. Ia samasekali tak ingin melihat Baskoro malam ini. Akan tetapi tentu saja Baskoro tidak menyerah begitu saja. Ia tak mengerti kenapa Intan sampai semarah ini saat ia datang."Intan, kenapa sih?" ujarnya sambil mencekal lengan Intan agar tak terus menjauh.Intan melihatnya sebentar lalu mengibaskan lagi tangannya. Iapun masih melangkah menjauh."Intan, please, jelaskan padaku kenapa kamu marah, oke?" pinta Baskoro dan menggenggam tangan Intan."Lepaskan!" bentak Intan."Tidak mungkin, aku tidak akan melepaskan tanganmu sebelum kau menjelaskan apa yang membuatmu begitu marah.""Aku? Untuk apa aku marah? Seharusnya aku bagaimana dengan tingkahmu?" ketusnya."Tingkahku? Apa maksudmu, Intan? Apa salahku sebenarnya? Selama ini kau selalu berterus terang dalam menegur kesalahanku. Tapi lihatlah ini, kau bahkan tidak mau menjelaskan apa yang sebenarnya membuat kamu sangat marah.""Maksudmu kau bisa