Intan sedikit terpekik saat melihat darah keluar dari kening Bastian setelah kejadian ia menekan pedal rem mendadak. Ia tak menyangka putranya tidak memakai sabuk pengaman. Lebih tepatnya, ia sama sekali tidak perhatian dengan Bastian saat naik kendaraan tadi. Pikirannya sedang kacau, bahkan dalam masalah yang belum pasti."Maafkan Mommy, sayang. Ini memang salah Mommy," ujarnya dengan menyapu aliran darah itu perlahan dengan menggunakan tissue.Iapun segera melaju menuju apotek terdekat untuk membeli plester dan juga obat yang dibutuhkan."Apakah sakit?" tanya Intan kemudian. Pikirkan yang sejak tadi berfokus pada Baskoro sekarang tiba tiba lenyap, tergantikan dengan rasa khawatir pada Bastian yang terluka akibat kecerobohan yang ia lakukan.Di apotek, setelah membeli beberapa obat, Intan melihat Mellisa yang duduk termenung seorang diri. Gadis itu menatap layar ponselnya dengan pandangan kosong, seolah memikirkan sesuatu.Bahkan setelah lama Intan melihatnya, gadis itu masih tidak
Mellisa membalas tatapan tajam mata Intan. Ia sungguh kehabisan kata kata untuk membalas apa yang Intan ucapkan.Tentu saja, mengambil resiko semacam ini sungguh tidak mungkin ia lakukan. Yang paling mungkin adalah, ia harus menahan semua keinginan hatinya demi ayahnya."Bagaimana? Apakah kau bersedia?" katanya dengan melonggarkan cekalannya pada gadis itu."Mellisa, kau bahkan seorang perawat kesehatan yang paling tahu kondisi seorang pasien. Paling mengerti betapa pentingnya kondisi psikologis seorang pasien untuk bisa sembuh dari apa yang ia derita. Lalu bagaimana denganmu? Apakah kau sungguh sudah dibutakan?" bisik Intan di telinga Mellisa. Ia sungguh ingin membuka mata hati Mellisa demi untuk hari hari yang tidak akan membuatnya menyesal.Setelah berkata demikian, Intan melangkah pergi meninggalkan Mellisa berdiri terpaku melihatnya pergi.Mellisa mulai ingin memahami dirinya, apakah sungguh ia sudah dibutakan atas cinta seorang Indra?Mellisa meremas telapak tangannya, dan merem
"Menikah?" ekspresi Intan sungguh terkejut. Bahkan dirinya dan juga Baskoro berencana cepat menikah, tapi ayahnya selalu banyak alasan. Tapi lihatlah ayahnya malah tiba tiba menikah."Kenap Apa kau tidak setuju kalau kami cepat menikah. Dengan begitu, tentu saja Anita tidak akan banyak merepotkan mu lagi. Ayah akan menjaga dan merawatnya, mengantarnya ke rumah sakit dan juga yang lainnya. Apalagi kami juga bisa ke Thailand bersama sama," terang Abraham dengan penuh antusias.Intan mau tak mau harus tersenyum."Bagaimana mungkin aku tidak setuju, Ayah.. Aku malah merasa senang kalau itu cepat terjadi, setelah itu...," belum selesai mengatakannya Intan teringat Baskoro yang menurutnya cukup meragukan."Dan kalian segera menikah juga bukan? Tapi ayah menikah sederhana saja, adapun pernikahan kalian, harus dirayakan dengan sangat meriah," kata ayahnya lagi.Intan tersenyum miris. Suasana hatinya sungguh buruk."Tenang saja Yah, cepat atau lambat semua akan terjadi juga, "katanya kemudian.
Wulan sedikit kecewa, ia sungguh tak mengerti bahwa Baskoro masih dalam kondisi lajang dan pria ini masih tak tergerak untuk melihatnya barang sedikit. Padahal, ia sudah berusaha keras untuk bisa tampil layaknya orang kota dengan penampilan yang menawan. Sementara Baskoro sedikit bergidik ngeri dengan sikap dan penampilan Wulan yang sudah berubah. Berulang kali wanita ini bersikap seperti menggoda dan membuatnya merasa canggung."Wulan, kau sangat berubah sekarang ini," kata Baskoro saat mereka berada di gate away Bandara. Ia ingin mengingatkan Wulan yang dulu, gadis desa yang tahu batasan sesungguhnya. Terlebih lagi, kondisi pernikahannya yang sudah kacau sejak awal."Aku? Berubah? Bukankah manusia memang bisa berubah? Bagiku, selama perubahan itulah yang kita inginkan, maka apa salahnya?" jawab Wulan dan memberikan segelas capuccino yang tadinya dibelinya."Tapi...apa yang kau inginkan sebenarnya? Aku sungguh tak mengerti.""Mas, apa sih enaknya punya suami pincang? Meskipun dia a
"Mas, aku sangat capek dan perjalanan ke kampung masih cukup jauh. Belum lagi kita akan tiba menjelang malam dan tidak mungkin untuk melakukan perjalanan ke kampung di tengah malam. Kau tahu sendiri bagaimana jalan kesana itu, tidak mungkin akan ada sopir yang mau mengantarkan kita," balas Wulan kukuh dengan argumentasinya."Aku sudah mempersiapkan perjalanan yang nyaman untukmu karena aku tahu kau pasti letih kalau tidak beristirahat terlebih dahulu di Surabaya. Hmm?"Baskoro melihat sepintas wajah Wulan yang memohon. Memang benar, perjalanan ke kampung halaman Wulan cukup sepi dan rawan perampokan. Tentunya tidak akan ada sopir yang mau memasuki kampung tersebut lewat tengah malam."Baiklah. Terserah padamu saja. Tapi lepaskan tanganmu dan jangan main sentuh seenaknya," kata Baskoro sedikit kasar. Ia tak pernah sekasar ini pada Wulan sebelumnya."Mas...jangan marah dong. Aku bermaksud baik dan tidak punya tujuan apa apa kok," ujarnya dengan menunduk kecewa.Baskoro melihatnya, mera
Sebuah spekulasi dimainkan, Wulan mencoba mencari perhatian Baskoro. Hanya satu malam, mungkin saja bisa mengubah segalanya saat ini. Untuk itu, ia tak mungkin menyia nyiakan kesempatan yang begitu sempurna.Memiliki Baskoro, adalah tujuan yang telah lama ia impikan. Tak perduli, apakah ini membuatnya terlihat gila, atau memang ia telah kehilangan rasa hormat sebagai seorang wanita."Wulan, tidak perlu mendramatisir keadaan ini. Kita sudah sama sama mengerti, tak ada jalan lain kecuali saling melupakan dan tidak akan pernah bertemu kembali. Esok hari, setelah aku mengunjungi ayahmu, anggap saja inilah kunjunganku untuk terakhir kalinya dan juga pertemuan kita yang terakhir."Baskoro mengambil jaketnya, lalu beranjak dari tempat itu menuju pintu."Apa kau ingin aku mati saja? Apalagi yang harus kulakukan untuk membuat kau melihatku sebagai wanita?!" pekik Wulan sedikit panik.Wulan sungguh berusaha keras untuk mendapatkan perhatian Baskoro."Ada apa denganmu? Apakah tidak ada pekerjaan
Ia sungguh melihat dengan jelas siapa yang ada di dalam gambar ponsel itu adalah Baskoro, akan tetapi ia belum bisa tahu siapa wanita yang ada di dalam ponsel tersebut."Maaf, Bu. Saya tidak sengaja melihatnya dan merasa sedikit terganggu sehingga saya memotretnya. Maaf, jika potret ini tidak pantas."Intan berusaha tenang, menyembunyikan rasa terkejutnya apalagi rasa kecewa yang luar biasa. Akan tetapi, skandal ini tidak boleh tersebar begitu saja sehingga merusak reputasi mereka berdua, Intan dan Baskoro.Satu satunya jalan adalah sedikit berbohong kepada Puspita."Ouh, ini... sebenarnya ini cuma keluarga dekatnya dan bukan siapa siapa. Tolong untuk tidak bergosip dan hapus saja gambar ini, oke?" ujarnya dan memberikan senyuman ringan pada Puspita.Setelah itu Intan segera bersiap untuk pergi."Oh, ya. Rahasiakan foto ini dan hapus dengan baik. Jangan sampai orang lain berpikiran yang bukan bukan, aku berharap kau bisa menjaga reputasi atasanmu dengan baik. Aku akan segera bekerja t
Bagaimana mungkin, bagaimana bisa Baskoro sekejam ini disaat hanya tinggal selangkah lagi untuk mereka bisa bersama. Bahkan seharusnya mereka telah terikat dengan hadirnya seorang putra diantara mereka. Tapi apa yang terjadi?Intan merosot terduduk di kursi kerjanya dengan tubuh yang lemas. Membayangkan apa yang mungkin mereka lakukan di hotel membuat hatinya semakin hancur.#Baskoro menatap heran pada Wulan yang tersenyum sendiri menatap ponselnya. Pria itu tak akan mengira kalau sebenarnya Intan baru saja menghubungi Wulan."Aku sudah dapat travelnya. Ayo cepat, hari sudah semakin siang."Wulan mengikuti langkah Baskoro yang tidak perduli bagaimana ia sangat payah mengikuti langkah pria itu menuju area taksi di halaman depan hotel.Pria itu sungguh tidak perduli.Bahkan setelah mereka masuk ke mobil, Baskoro memilih duduk di samping sopir dan membiarkan Wulan seorang diri di bangku belakang. Bersikap acuh dan menikmati tidurnya di dalam taksi. Terlebih lagi ia tidak tidur semalaman