Hari ini, 12 Oktober 2018, Jakarta, Indonesia
Glamorous Haute Couture
14.30 PM
Tak pernah terbersit di pikiran Riana, bahwa ia akan kembali bertemu dengan mantan suaminya. 3 tahun yang lalu, saat surat perceraian itu disodorkan padanya dan lelaki itu memaksanya menandatangani surat penyerahan hak asuh putranya, dunianya hancur berkeping-keping.
Ia melakukan berbagai usaha agar bayangan lelaki itu dan putra semata wayangnya, menghilang dari pikirannya. Namun, semua terasa berat baginya. Siang dan malam yang menjadi pikirannya adalah buah hatinya. Ia menangis dan meratap karena merindukan bayi kecilnya itu.
Jika bukan karena insiden mengerikan yang mengembalikan ingatan yang selama ini hilang darinya, ia pasti masih menjadi Riana yang gagal move on dari Eric dan melupakan tujuannya, mengapa ia harus jauh-jauh berkuliah ke negeri Ratu Elizabeth itu.
Lalu kini, 3 tahun setelah semua kejadian itu, saat ia telah mampu menata kembali hidupnya, takdir seakan mengujinya. Lelaki itu ... mantan suaminya, berada di kantornya. Di hadapannya. Hanya saja ... dia tak sendiri melainkan bersama seorang wanita.
“Hmm, saya rasa cukup. Terima kasih banyak atas waktunya, Nona….” Wanita berambut panjang dengan body spanyol itu berdiri. Ia memicingkan mata bulatnya seraya mengulurkan tangan ke arah Riana yang masih memakai gaun pengantin sederhana namun sangat pas membentuk tubuh designer muda itu.
Riana ikut berdiri. Ia menyambut uluran tangan itu dengan senyum profesional. “Trisha. Trisha Meriana.”
“Trisha … hmm … nice name. Aku Xian Lie, calon istri Eric Jenkins," sahut wanita itu seraya menoleh sebentar ke arah lelaki yang duduk di sebelahnya. "Maaf baru memperkenalkan diri,” ujar wanita bernama Xian Lie itu lagi dengan senyum menawan.
“Okay then, tolong kabari kalau sudah selesai. Maaf sudah mengganggu waktu … pre-wedding Anda,” lanjut Xian Lie.
Riana tersenyum ramah dan mengangguk. “Tidak apa-apa. Sudah tugas saya untuk memberikan waktu bagi klien VIP Haute Couture kami,” sahut Riana.
Xian Lie tak melepas senyumnya. Ia mengangguk lalu mengambil tas kecilnya dan melihat ke arah sang tunangan yang sedari tadi terus menatap Riana.
“Ekhem … Baby, let’s go.” Xian Lie berdehem untuk menarik perhatian Eric.
Lelaki itu tak bergeming di tempatnya, “Kamu duluan. Aku masih ada perlu dengan nona … Trisha,” sahut lelaki berjas mewah itu sambil mengangkat satu alisnya. Ia masih menatap Riana dari posisi duduknya. Eric dengan gayanya yang elegan, memangku satu kakinya lalu menyatukan kedua tangan di atas paha.
Xian Lie melipat bibir dan melirik sejenak ke arah Riana. Ia lantas melihat jam yang melingkar manis di pergelangannya.
“But, Babe … you have to….” Xian Lie tak meneruskan perkataannya. Ia pun segera menutup mulut, saat Eric melirik ke arahnya dengan tajam mengintimidasi. “O-okay. I-I’ll go first.”
“Hmm.”
Deheman dingin Eric meyakinkan Xian Lie untuk segera beranjak dari tempatnya. Ia berjalan enggan, keluar dari ruangan bernuansa putih dengan manekin yang berjajar rapi menghadap ke pintu itu.
Lebih lama ia berada di sana, bisa dipastikan Eric akan marah besar padanya . Mungkin, ia juga akan kehilangan posisinya sebagai tunangan lelaki itu yang selama lebih dari 3 tahun ini ia pertahankan dengan susah payah.
Riana menghela napas. Ia kembali duduk. Wajahnya sangat datar dan sikapnya pun professional. Namun di dalam, ia berusaha dengan keras mengendalikan debaran jantung yang sedari tadi terus berpacu, sejak Eric menginjakkan kaki di kantornya.
Bukan karena ia masih mencintai lelaki itu, tapi karena ia masih ingat bagaimana perlakuan ayah putranya itu padanya saat terakhir kali mereka bertemu.
“Apa yang bisa saya bantu, Tuan? Kalau soal merubah design, saya rasa kita harus—”
“Kamu tahu bukan itu yang ingin kubicarakan,” potong Eric dengan suara baritone-nya yang menawan dan penuh kharisma.
Riana menaikkan alis. “Oh, baiklah. Kalau begitu … apa yang bisa saya bantu? Apa yang ingin Anda bicarakan dengan saya, Tuan Jenkins?”
Eric memainkan rahangnya. Tangannya terkepal. Sikap dan nada bicara Riana sangatlah berubah. Netra hijaunya terus memandang lurus ke arah wanita itu.
“Selama ini … kau di sini?”
Riana menarik lurus bibirnya. Ia mengangguk untuk memutus tatapan Eric yang menatapnya lekat.
Tak ada jawaban panjang yang biasa Riana lakukan saat dulu mereka masih bersama. Well … kalau berada di satu apartemen selama 20 menit di setiap kunjungan bisa dikatakan bersama.
Dulu, mata Riana selalu memancarkan binar cinta untuk Eric tapi kini, lelaki itu tak lagi mendapatinya. Yang ada hanya tatapan dan ekspresi wajah datar.
Eric menurunkan tatapannya. Ia mengangguk perlahan sambil mengerucutkan bibirnya. Lelaki itu juga menurunkan kakinya. Ia kemudian berdiri dan berjalan ke jendela. Sambil memasukkan kedua tangannya ke saku celana, ia menatap jauh ke luar jendela.
“Evan … dia merindukanmu.”
Deg
Oh ... iya, benar! ia masih belum bisa melupakan nama itu. Sampai akhir hayatpun ia tak akan pernah bisa menyingkirkan nama itu dari kehidupannya.
Ia bisa melupakan lelaki bernama Eric Jenkins. Tapi, tidak nama itu. Nama itu selalu ada di hatinya. Setiap malam, dalam tidurnya ia selalu menyebutnya. Nama yang membuatnya meratap, namun juga yang membuatnya tegar untuk bisa berdiri di atas kakinya sendiri seperti saat ini.
Eric berbalik. Ia kembali menatap Riana. Tatapan lembut yang dulu sangat diharapkan Riana dari seorang Eric Fransisco Jenkins, kini ditunjukkan lelaki itu setelah 3 tahun mereka berpisah.
“Riana … aku tahu kamu masih menyayangi Evan," ujar Eric, dan aku, sambung Eric di dalam hatinya. "Ikutlah denganku. Evan pasti sangat senang melihatmu,” lanjut Eric penuh harap dengan nada suara lembut yang tak pernah Riana dengar sebelumnya.
Selama 33 tahun masa hidupnya, hari ini adalah hari pertama bagi seorang Eric Jenkins, berbicara tanpa nada perintah pada seorang wanita selain ibunya. Eric bisa melihat sekelebat perubahan pada sorot mata Riana saat mendengar nama putra mereka, Evan, disebut.
“Evan selalu bertanya tentangmu dan—”
“Kalau saya tidak salah ingat, setelah Anda memaksa saya menyerahkan hak asuh Evan pada Anda, Anda juga memberi ultimatum agar saya tidak lagi muncul di hadapan Evan selamanya, Tuan Jenkins,” sambar Riana cepat. Wajahnya kembali dingin. Tatapannya pun datar. Otaknya masih jelas mengingat salah satu hari yang paling menyakitkan itu.
Eric terpaku. Ia menelan salivanya dengan berat lalu menunduk beberapa saat. Riana benar dan itu adalah salah satu tindakan yang paling disesalinya.
Eric kembali melihat Riana. Ia berjalan perlahan mendekati meja kerja mantan istrinya itu. Ekspresi wajah laki-laki itu, tak bisa digambarkan. Riana pun menjadi yang pertama menyaksikan ekspresi tak biasa dari salah satu penguasa dunia fashion itu
Eric meletakkan satu tangannya di meja Riana dan satu tangan lagi pada handrest kursi yang diduduki Riana. Ia membungkuk dan menatap wanita yang juga balik menatapnya dengan sorot tenang itu.
Riana duduk tak bergeming, menunggu apa yang akan dilakukan ayah putranya itu. Iya … Ia tak lagi gentar menghadapi lelaki itu.
“Kamu … sungguh tak ingin melihat anak kita?” tanya Eric memastikan
“Seperti yang Anda tahu, saya selalu menepati janji saya,” tegas Riana. Kedua bola mata wanita yang berhasil meraih gelar Best Asian Fashion Young Designers itu, menunjukkan keseriusan dalam ucapannya
Keduanya saling beradu pandang. Eric memicingkan matanya dan menatap lekat mata indah wanita itu. Berusaha membaca isi hati wanita yang dulu tergila-gila padanya itu.
“Kau … berubah.”
Riana tak menjawab. Ia juga tak memutus tatapannya pada Eric yang masih memandangnya begitu intens dan dengan jarak yang sangat dekat.
'Sungguh konyol kalau kau berharap aku masih Riana yang dulu, yang begitu bodohnya menerima semua perlakuanmu,' ejek Riana di dalam hatinya.
“Perlukah saya ingatkan, kalau 3 tahun sudah berlalu, Tuan? Semua pasti berubah. Riana yang dulu … sudah mati, Tuan Jenkins,” sahut Riana. “Dan yang berbicara di hadapan Anda saat ini … adalah Trisha Meriana, designer dari Glamorous.”
Eric mendengkus kecewa. Lelaki itu menegakkan tubuhnya dan memundurkan langkah. Diedarkannya pandangannya ke seluruh ruangan berukuran setengah dari kantornya itu lalu memasukkan satu tangannya ke saku dan satu tangan lainnya mengusap hidung mancungnya.
Ia kemudian menoleh ke arah Riana. Sorot kekecewaan terpancar di mata CEO sekaligus pewaris tunggal perusahaan fashion ternama, The Royal Group London itu.
“Thank you for your time ... Miss Trisha,” ucap Eric kemudian. Ia lantas berbalik dan melangkah keluar dengan langkah lebar, meninggalkan ruangan Riana
Riana menghela napas dan mengembuskannya perlahan. Ia menatap pintu dan menggelengkan kepala. Sungguh! Ia tak ingin memiliki hubungan apapun dengan lelaki itu.
Bagi Riana, Eric hanyalah masa lalu. Seperti halnya dengan satu-satunya foto Eric yang ia miliki dan ia bakar menjadi abu, demikian pula kenangan Eric telah sirna dari benaknya. Setidaknya, begitulah menurutnya.
Riana tersenyum kecut. 3 tahun ia tak mau lagi peduli kabar mantan suami dan anaknya. Namun sekarang, ia justru harus merancang busana bagi calon istri sang mantan. Sungguh lucu, bukan?
Eric menuruni tangga dengan cepat. Semua sapaan dari karyawan Glamorous Haute Couture yang berpapasan dengannya, tak ia hiraukan. Dalam pikirannya, hanya bayang wajah dan sikap dingin Riana yang bermunculan. Riana yang dulu, yang polos, bertutur kata lembut dan selalu berusaha mencari perhatiannya, telah menghilang.
Sampai di depan lobby gedung 3 lantai itu, sopir Eric sudah menyambutnya dengan membukakan pintu mobil.
Eric menempatkan bokongnya di jok penumpang dengan kasar. Sangat terlihat di wajahnya bahwa lelaki itu sedang dalam mode bad mood.
"Babe, should we--"
Eric mengangkat satu tangannya. Aura dingin yang dipancarkan Eric, memaksa Xian Lie menutup mulut. Rasa kesal, jengkel dan amarah terpaksa harus wanita itu pendam dan samarkan dengan senyum. Merajuk? Ia tak berani melakukannya. Ia tak ingin diturunkan di tengah jalan. Apalagi di kota yang tak ia kenal ini.
Eric mengambil ponselnya. Menekan panggilan cepat dan menaruh benda pipih itu di telinganya.
"Dave? Ke Jakarta sekarang. Aku ada tugas buat kamu."
"What? ... Eric, I'm 15 hours away and there's a meeting tomorrow at--"
Tut
Tak menunggu jawaban dari seberang, Eric menutup panggilannya sepihak dan melempar begitu saja ponselnya ke samping.
'Ana ... you still love me.'
3 tahun lalu15 Februari 2014, Club Infinite, London, Inggris21.55 PMJedug jedug jedug …Suara musik memekakkan telinga, cahaya remang-remang dengan sinar lampu berwarna biru dan merah yang menyorot ke sana ke mari saling berganti, menari di atas langit-langit bersalut kaca lalu turun saling berebut.Menyapu dinding berlapis wallpaper bermotif klasik yang gelap, di ruangan penuh manusia yang meliuk-liuk mengikuti irama cepat yang diputar sang DJBerjalan sempoyongan dan sesekali tanpa sengaja menabrak orang yang dilewatinya, seorang wanita terlihat menyusuri lorong minim cahaya yang mengarah ke kamar mandi, sambil memegangi kepalanya. Ia tak lagi peduli dengan kemeriahan di belakangnya.Penglihatannya kabur dan berkunang-kunang. Dengan sokongan dinding, ia terus berjalan me
27 Maret 2014, South Bank Tower Penthouse, London11.00 AMAcara pernikahan yang seharusnya berisi pesta, tarian, kebahagiaan, senyuman, tawa serta berbagai hidangan dan minuman, tak tampak di ruang tamu yang berukuran 5m x 7,5m itu.Bahkan, pernikahan itu hanya terdiri dari 5 orang saja. Eric, Riana, Dave yang adalah asisten pribadi Eric, seorang pelayan dan petugas pencatatan sipil.“Baiklah. Semua sudah selesai. Selamat, Tuan Jenkins!” ucap petugas pencatatan sipil itu sambil berdiri dan mengulurkan tangannya, pada lelaki pewaris perusahaan Royal Group, yang menjadi mempelai pria hari ini.Tanpa ekspresi, Eric berdiri dengan elegan. Ia menyambut uluran tangan lelaki, yang baru saja mengesahkan pernikahannya, dengan wanita yang sebulan lalu ia ambil kesuciannya itu.“Thank you. I think, you know how you are going to behave after this,” sahut Eric masih
29 Oktober 2014, Top Floor, Royal Tower, Croydon (Wilayah paling selatan London, Inggris)17. 05 PMTok … tok….Eric dengan eskpresi datar yang menjadi ciri khasnya, mengangkat wajah dan melihat pintu mahogany ber-cat putih yang berdiri megah beberapa meter di depannya.Tanpa melepas gagang pulpen yang ada di antara jari telunjuk dan jari tengahnya, ia mengulurkan tangan pada sebuah alat yang mirip interkom lalu menekan salah satu tombol“Come in!”CeklekWanita muda dengan balutan blazer hitam dan rok span yang memperlihatkan setengah pahanya, masuk ke dalam ruangan luas dengan minim furniture itu. Ia membungkuk hormat pada lelaki yang duduk di balik meja besar dan yang tampak sibuk menulis sesuatu“Ada apa?” tanya Eric tanpa mengangkat wajahnya“Tuan Jenkins
“Dokter! Ba-bagaimana Ana dan bayinya?” tanya Diane dengan wajah kuatirnya, menyambut dokter yang baru saja keluar dari ruang operasi setelah menangani RianaDokter senior itu menarik lurus bibirnya. “Bayinya selamat tapi harus mendapat perawatan intensif selama beberapa minggu. Barat badannya hanya 1,900 gram dan … cairan ketuban juga pecah terlalu cepat, jadi ada gangguan di pernapasannya. Saat ini sudah ditangani dokter anak.”“Oh, God!” seru Diane terkejut dan menutup mulutnya dengan tangan, “Lalu bagaimana dengan Ana, Dok?”Dokter laki-laki tersebut mendesah. Ekspresi wajahnya membuat Diane semakin cemas. “Nona Trisha … kehilangan banyak darah. Beliau … masih belum sadarkan diri. Berdoalah agar dia bisa melewati malam ini.”Kepala Diane terasa berputar. Matanya berkaca-kaca. Tatapannya beralih pada pintu ruang operasi yang tertutup.“Saya … permisi du
6 bulan setelah perceraian,17 Oktober 2015, Berlin, Jerman20.38 PMRiana berdiri di depan sebuah tong pembakaran. Beberapa foto yang selama ini ia simpan, digenggamnya erat. Matanya yang berkaca-kaca memandang kosong ke depan.Pengalaman pahit dan rasa sakit yang ia alami di masa lalu, masih terus bergelayut dan membayangi wanita yang kini meluruskan rambut ikalnya ituAir mata kembali terbentuk di matanya. Kenangan manis bersama ibu dan sang adik yang sangat ia sayangi membuatnya tak bisa menahan diri.Jemari lentik yang menggenggam lembaran foto-foto itu semakin kuat mengepal di kedua sisi tubuhnya. Rahang wanita itu mengeras, matanya memerah dan bibirnya menipis. Rasa sakit dan kecewa yang sekian lama bertumpuk di dalam hatinya, menumbuhkan amarah dan kebencian yang mendalamSatu-satunya foto sang mantan suami yang ia miliki serta foto
2,5 tahun kemudian (Masa kini)12 Oktober 2018, The Ritz Carlton Hotel Presidential Suite, Jakarta21.40 PMTak … tak … tak….Detak sepatu high heel yang bersinggungan dengan lantai dan terdengar semakin dekat, tak dihiraukan Eric yang sedang duduk di balik meja kerja yang ada di kamar utama suite-nya. Ia terus mengetik sesuatu di depan layar kotak berlambang apel tak utuh itu“Babe … some wine?”Sebuah gelas kaca seperti Brandy Snifter, terulur di depannya. Dengan jemari putih nan lentik bercat kuku merah yang selaras dengan warna wine di dalam gelas bertangkai kecil itu, sungguh tampak menggoda.Eric mengangkat matanya, menyorot ke arah si empunya jari. Tatapannya tajam menusuk. Senyuman di bibir bergincu merah Xian Lie, memudar. Ia segera menarik tangannya dan melipat bibir.
Netra Riana membelalak. Suara itu. Ia sangat mengenal suara itu. Riana mendongak dan betul, itu dia!“Eric?” panggilnya tanpa sadar. Eric melebarkan matanya. Ia juga tak menduga, wanita yang ia tubruk adalah Riana. Wanita yang selalu bergentayangan di benaknya“A-ana?”Riana segera menarik diri, menjauh dari lelaki itu lalu mengangguk. “Thanks,” ucap Riana yang kemudian berbalik dan bersiap pergi namun, tangan Eric lebih dulu mencekal lengannya“Wait!” seru EricRiana diam di tempatnya. Ia menoleh dan melihat tangan Eric masih memeganginya. Wanita itutak berucap dan tak juga bergeming.Dengan canggung, Eric melepas tangan dan menjilat bibirnya yang terasa kering. Ia ingin berucap namun tak tahu di mana ia harus memulai“Maaf, saya masih ada urusan. Permisi, Tuan,” pamit Riana dan melangkah pergi namun, kembali langkahnya terhenti.Seorang wanita ber make up
Wajah Riana berubah tegang. Ia menelan kasar salivanya. "Apa mungkin, si tua bangka ini sudah tahu siapa Aku? Gak! Gak mungkin!" batin Riana. Pikiran wanita itu mulai kalut. Keringat dingin mulai menerobos keluar dari pori-pori dahinya. Irawan mengerutkan alis saat melihat ekspresi wanita cantik di hadapannya itu. Melihat gelagat aneh Riana, Irawan perlahan mengulurkan tangan hendak menyentuh bahu mantan istri Eric Jenkins itu namun membuat wanita itu semakin gugup “Trisha? … Ada apa? Apa kamu sakit?” Riana mengerjap. Melihat tangan Irawan yang hampir menyentuhnya, reflek, satu kaki wanita itu melangkah mundur dan kembali menatap waspada, adik dari ayah kandungnya itu. Rasa mual kembali menyerang Riana. Ia berpaling dari Irawan lalu melihat ke sana ke mari, mencari celah untuk pergi. Ia ingin segera menjauh dari lelaki bernama Irawan Santosa itu. Mengerti penolakan Riana, Irawan pun menarik tangannya dan tersenyum. "Sorry ... eh, tapi ... apa