6 bulan setelah perceraian,
17 Oktober 2015, Berlin, Jerman
20.38 PM
Riana berdiri di depan sebuah tong pembakaran. Beberapa foto yang selama ini ia simpan, digenggamnya erat. Matanya yang berkaca-kaca memandang kosong ke depan.
Pengalaman pahit dan rasa sakit yang ia alami di masa lalu, masih terus bergelayut dan membayangi wanita yang kini meluruskan rambut ikalnya itu
Air mata kembali terbentuk di matanya. Kenangan manis bersama ibu dan sang adik yang sangat ia sayangi membuatnya tak bisa menahan diri.
Jemari lentik yang menggenggam lembaran foto-foto itu semakin kuat mengepal di kedua sisi tubuhnya. Rahang wanita itu mengeras, matanya memerah dan bibirnya menipis. Rasa sakit dan kecewa yang sekian lama bertumpuk di dalam hatinya, menumbuhkan amarah dan kebencian yang mendalam
Satu-satunya foto sang mantan suami yang ia miliki serta foto sebuah keluarga yang tampak bahagia, menjadi kusut tak berbentuk karena eratnya cengkeraman Riana.
“An ... apa kamu yakin ini jalan terbaik? Kamu yakin … kamu mau balik ke Jakarta? Kenapa gak ke Malang aja? Usaha Bunda bisa sia-sia kalo sampai mereka tahu kamu masih hidup, An.” Sebuah suara dari belakang, membuyarkan lamunan Riana
Wanita cantik itu menyeringai. “Selama ini, aku hidup seperti sampah. Mengandalkan bantuan orang supaya bisa makan dan sekolah. Bahkan … aku harus jadi pemulung supaya bisa beli obat Mama.” Riana melemparkan satu per satu foto yang telah kusut itu ke tong pembakaran. “Tapi mereka … MASIH GAK PERNAH PUAS! Mama … SATU-SATUNYA ORANG YANG AKU SAYANG, MEREKA AMBIL JUGA DARI AKU!!!“ geram Riana tanpa melihat lawan bicaranya. Dadanya naik turun dengan cepat karena emosi dan matanya penuh kebencian.
“Jadi … kamu balik ke Indo bukan supaya kamu bisa memulai hidup baru tapi … mau balas dendam sama mereka. Gitukah, An? ?” tanya Farida cepat. Wanita berperawakan langsing itu tak menjawab. Farida menjadi gusar karena dugaannya sepertinya benar
Riana berbalik. Ia menatap wanita berkerudung di depannya itu dengan tatapan tajam dan alis menyatu. “Maksudmu … kamu minta aku diam aja setelah apa yang mereka lakuin ke aku, mamaku dan Ryan, ‘gitu? hehh?!" jawab Riana dengan suara meninggi lalu memutar tubuhnya lagi membelakangi Farida
“An … bukan itu maksudku tapi mereka itu jauh di atas kamu!"
"Aku gak peduli. Aku gak takut sama mereka. Aku juga gak minta bantuanmu," ketus Riana sambil melipat tangannya di depan dada
Farida mendesah. Akhir-akhir ini, Riana semakin sensitif. "An, aku hanya kuatir sama kamu. Aku gak bisa ikut kamu ke Jakarta. Masa residensiku belum selesai dan kamu bakal sendirian di Jakarta nanti. Kalo … kalo terjadi sesuatu sama kamu di sana, gimana? Sapa nanti yang bantu kamu?”
Riana melirik ke belakang, ke arah sang sahabat yang berdiri satu langkah di belakangnya. “Aku tidak minta kamu balik Indo bareng aku. Aku juga sudah besar. Aku bisa urus diriku sendiri,” sambar Riana cepat
Farida menggelengkan kepala dan mengigit bibir bawahnya. Ditatapnya punggung Riana dengan tatapan sendu. Ia mengerti, rasa sakit dan kepedihan yang Riana alami di masa kecil ditambah kejadian pahit akibat ulah mantan suaminya, menorehkan luka yang besar di hati wanita yang biasa disapa Ana itu. Ia juga ingin membalas mereka tapi apalah dirinya yang kini hanyalah seorang yatim piatu
Dengan mata berkaca-kaca, Farida maju mendekati sang sahabat. “An, apa … apa kamu tidak bisa melupakannya saja, hmm? Please, An,” bujuk Farida kemudian dengan nada dan ekspresi memohon
Riana menaikkan alisnya. Ia menoleh dan menatap Farida yang sudah berdiri di sampingnya dengan mata membulat. Riana mendengus. “Apa kamu bilang? Melupakan? Hahaha … Id, kamu tahu apa yang paling aku sesali?“ Riana mengangkat sudut bibirnya dengan sinis lalu melihat ke arah tong pembakaran yang membara.
“Melupakan … semua kejadian itu … selama 7 tahun. 7 TAHUN! Dan selama itu, bisa-bisanya AKU JALAN-JALAN, SENENG-SENENG, TERUS JADI KAYAK ORANG BODOH NGEJAR COWOK YANG TERNYATA ORANG BRENGSEK! DAN GAK INGET SAMA SEKALI SOAL SEMUA KEJADIAN ITU!” lanjut Riana penuh emosi
“An! ANA! I’m sorry … I’m sorry.” Ida segera menarik wanita itu masuk dalam pelukannya. Hatinya terasa teriris melihat perubahan emosi Riana yang begitu drastis. Dari seorang yang sabar, ramah dan suka bercanda menjadi dingin, ketus dan mudah marah
Tangisan Riana bagai pisau yang menusuk sanubari Farida. Ia sangat menyayangi sahabatnya itu. Sejak kecil, Riana selalu ada untuknya. Riana mau berteman dengannya tak peduli status yang disandangnya
Ia adalah anak orang berada dan orangtuanya memiliki jabatan tinggi di pemerintahan. Banyak yang berteman dengannya tapi karena status yang dimilikinya bukan karena benar-benar ingin menjadi temannya tapi, tidak dengan Riana.
Gadis kecil yang memiliki senyum menawan itu, memperlakukannya sama dengan yang lain. Tak menjujungnya tinggi seperti “teman-teman”nya yang lain, membelanya saat ia di bully karena kasus ayahnya yang korupsi mencuat, menemaninya saat ibundanya harus masuk rumah sakit dan banyak lagi.
“Baiklah, An … lakukan apa yang mau kamu lakukan. Aku … akan selalu mendukungmu,” ucap Farida sambil mengusap lembut punggung Riana. Ia menyerah. Tekad Riana sudah bulat. Ia tak akan bisa mengubahnya
Dekapan Riana yang semakin erat, menjadi ungkapan terima kasih gadis itu pada sang sahabat. Ia merasa beruntung mendapatkan teman seperti Farida. Yang selalu ada saat ia membutuhkannya. Bahkan, saat 2 kali maut hampir menjemputnya, Farida datang dan menjadi penyelamatnya.
“Aku hanya berharap, kamu juga mau belajar untuk move on, okay? Dan kalo kamu merasa gak mampu … jangan lupa … aku akan selalu ada buat kamu. Kapanpun itu.”
Riana melepas pelukannya dan menghapus air mata yang membasahi pipinya. Ia menunduk lalu memejamkan mata. Sebenarnya, ia juga ingin bisa melupakan semua yang ia alami tapi, semua kenangan baik di Jakarta maupun di London, tersimpan sangat rapi di hardisk otaknya dan semuanya berisi memori menyakitkan yang sulit untuk dihapus.
Jika otak bisa beroperasi seperti komputer, maka ia akan menekan tombol Alt+Del agar memori itu hilang selamanya dan setiap malam ia pasti bisa tidur dengan tenang, tak akan lagi mengalami mimpi buruk.
“An … aku mohon. Jawab aku,” pinta Farida memohon. Ia tak ingin Riana membuang sia-sia masa mudanya
Riana mengangguk. “Iya … aku akan coba.” Jawaban Riana membawa senyum di bibir Farida. Walau di dalam hati, dokter muda itu merasa keberatan tapi demi kepuasan batin sahabatnya, Farida hanya bisa merestuinya.
“Lalu … apa rencanamu?”
“Aku belum tahu … yang aku tahu … aku ingin mereka merasakan rasa sakit … Seperti. Yang sudah. Mereka lakukan ke mama, Ryan … dan aku,” sahut Riana sambil mengeratkan gigi dan bibirnya. Sorot mata Riana tajam menyeramkan
Farida tertegun. Ini pertama kalinya ia melihat ekspresi lain dari Riana. Kepolosan, keluguan dan keramahan hilang dari wajah cantik sahabatnya itu. Riana … burung merpati polos itu, kini telah berubah menjadi singa betina yang terganggu tidurnya.
“Ehm, okay … lalu apa kamu yakin kalo om-mu penyebab bunda meniggal?”
Riana mengangguk. “Aku bukan Riana yang dulu lagi, Id. Aku bukan Riana yang ceroboh yang menelan mentah-mentah informasi yang kudapat tanpa aku selidiki dulu.”
Farida mengerutkan alis. Ia tak mengerti. Selama 6 bulan ini, Riana tak pernah kembali ke Indonesia. Bagaimana dia bisa yakin tentang kabar penyebab ibunya meninggal? Otak Farida mulai berputar mencari jawaban tapi sepertinya ia tak perlu menunggu lama soal itu.
“3 Bulan lalu, 5 hari setelah mama meninggal, aku di telepon pakde Yayang. Dia cerita semuanya. Terus terang waktu aku dengar itu, aku benar-benar marah tapi … aku masih bisa mengontrol. Aku juga gak langsung percaya gitu aja. Aku ingin balik Indo tapi ... aku masih baru di perusahaan.
Berkat jasa temen kerjaku di kantor, aku bisa sewa orang buat cari tahu dan 5 hari lalu aku dapat hasilnya. Dan … ya … karena orang tak tahu diri itu!” jelas Riana kemudian. Mata wanita itu kembali membara bila mengingat setiap laporan dan bukti yang ia dapat.
Farida menitikkan kembali air matanya dan dengan cepat ia menghapusnya. “Okay, then. how about Eric?"
"Eric? He's nothing but my past." Jawaban Riana membawa senyuman di bibir FArida
"Hmm ... jangan inget dia lagi," sahut Farida. "So ... tell me … apa yang bisa aku bantu.”
Riana menghela napas lalu tersenyum. Ia meraih tangan Farida dan menepuknya lembut. ”Saat ini ... tolong bantu aku beresin barang-barang ini.”
Farida menaikkan alis dan membuka mulutnya. Menatap Riana yang kini berkedip ke arahnya sambil tersenyum. Dokter muda itu mendengus. “Ogah!”
“Hei! Katanya mau bantu!”
Farida berdiri dan menjundu dahi Riana. “Eh, Maimunah! Aku aja gak bisa beresin barang aku sendiri, apalagi beresin barangmu yang gak karuan kayak kapal pecah. Gak tahu mana tempat CD, mana tempat kaos kaki. Cih! Ogah! Bye! Aku balik rumah sakit!” ujar Farida dan berlari pergi.
“IDAAA!!! WOIII!! BALIIIKK!!!” teriak ibu satu anak itu. Bibirnya mengerucut kesal. Ia memutar kepala dan melihat sekelilingnya. Bukan hanya kapal pecah tapi kapal pecah yang terkena tornado.
20 Oktober 2015, Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, Indonesia
17.25 PM
Sepatu high heel berwarna hitam dan celana kulot berwarna merah berayun indah seiring langkah kaki pemakainya. Dengan crop top berwarna senada, wanita itu berjalan bak model di atas catwalk.
Mata lelaki yang melihatnya, membulat mendamba, mata wanita menatap kagum dan tak jarang yang memicing iri. Dengan wajah tanpa ekspresi, pemilik tinggi 165cm itu itu terus berjalan menuju pintu keluar di mana sopir yang dikirim perusahaan tempatnya bekerja, sudah datang menjemput
Sampai di pintu keluar, senyum wanita itu perlahan terbit. Ia menatap langit senja di balik kaca mata hitamnya lalu memejamkan mata dan menghirup dalam-dalam udara kota Jakarta yang sudah lebih dari 2 dekade ia tinggalkan
“Jakarta … I’m back,” gumam wanita cantik yang mengganti nama aslinya, Ananta Dewi Pradipta, menjadi Trisha Meriana itu
“Eh … Bu Trisha, ya?”
Riana membuka matanya. Seorang laki-laki dengan baju safari hitam berdiri di hadapannya sambil tersenyum ramah. Riana mengangguk
“Saya Benu, Bu. Sopir yang disuruh bu Ellena untuk jemput Ibu,” ucap lelaki itu memperkenalkan diri dengan sopan
“Oh … okay.”
Perjalanan menuju apartemen yang disediakan perusahaan tempatnya bekerja, lumayan jauh. Karena lelah, Riana tertidur di kursi penumpang. Akhirnya, mobil MPV luxury buatan Jepang itu masuk ke sebuah halaman gedung yang tinggi dan terlihat mewah.
“Bu! … Bu! Maaf … kita sudah sampai,” info si sopir dengan sedikit mengeraskan suara agar Riana terbangun
Riana mengerjap. Ia menoleh dan melihat gedung yang berdiri megah di depannya dari kaca mobil. Wanita itu terkekeh dan menggelengkan kepala. Ia sudah meminta Ellena untuk memberinya apartemen sederhana tapi justru mendapat apartemen yang ia yakin harga sewanya tak murah
“Ck … pasti si Ida … haihh…,”desah Riana
“Oh … Ibu bilang apa?”
Riana mengalihkan pandangannya pada si sopir ramah itu. Ia tersenyum dan menggeleng. “Ayo, Pak.”
***
Hari telah gelap saat Riana selesai dengan ritual mandinya. Masih dengan jubah mandinya, ia berjalan santai menuju jendela besar yang ada di kamarnya itu dan memandang indahnya bintang yang bertabur di gelapnya langit kota Jakarta
“Mungkin … aku akan jarang menikmati keindahanmu, bintang,” ucap Riana dan mengukir senyum kecil, “Karena besok, semua akan dimulai.”
2,5 tahun kemudian (Masa kini)12 Oktober 2018, The Ritz Carlton Hotel Presidential Suite, Jakarta21.40 PMTak … tak … tak….Detak sepatu high heel yang bersinggungan dengan lantai dan terdengar semakin dekat, tak dihiraukan Eric yang sedang duduk di balik meja kerja yang ada di kamar utama suite-nya. Ia terus mengetik sesuatu di depan layar kotak berlambang apel tak utuh itu“Babe … some wine?”Sebuah gelas kaca seperti Brandy Snifter, terulur di depannya. Dengan jemari putih nan lentik bercat kuku merah yang selaras dengan warna wine di dalam gelas bertangkai kecil itu, sungguh tampak menggoda.Eric mengangkat matanya, menyorot ke arah si empunya jari. Tatapannya tajam menusuk. Senyuman di bibir bergincu merah Xian Lie, memudar. Ia segera menarik tangannya dan melipat bibir.
Netra Riana membelalak. Suara itu. Ia sangat mengenal suara itu. Riana mendongak dan betul, itu dia!“Eric?” panggilnya tanpa sadar. Eric melebarkan matanya. Ia juga tak menduga, wanita yang ia tubruk adalah Riana. Wanita yang selalu bergentayangan di benaknya“A-ana?”Riana segera menarik diri, menjauh dari lelaki itu lalu mengangguk. “Thanks,” ucap Riana yang kemudian berbalik dan bersiap pergi namun, tangan Eric lebih dulu mencekal lengannya“Wait!” seru EricRiana diam di tempatnya. Ia menoleh dan melihat tangan Eric masih memeganginya. Wanita itutak berucap dan tak juga bergeming.Dengan canggung, Eric melepas tangan dan menjilat bibirnya yang terasa kering. Ia ingin berucap namun tak tahu di mana ia harus memulai“Maaf, saya masih ada urusan. Permisi, Tuan,” pamit Riana dan melangkah pergi namun, kembali langkahnya terhenti.Seorang wanita ber make up
Wajah Riana berubah tegang. Ia menelan kasar salivanya. "Apa mungkin, si tua bangka ini sudah tahu siapa Aku? Gak! Gak mungkin!" batin Riana. Pikiran wanita itu mulai kalut. Keringat dingin mulai menerobos keluar dari pori-pori dahinya. Irawan mengerutkan alis saat melihat ekspresi wanita cantik di hadapannya itu. Melihat gelagat aneh Riana, Irawan perlahan mengulurkan tangan hendak menyentuh bahu mantan istri Eric Jenkins itu namun membuat wanita itu semakin gugup “Trisha? … Ada apa? Apa kamu sakit?” Riana mengerjap. Melihat tangan Irawan yang hampir menyentuhnya, reflek, satu kaki wanita itu melangkah mundur dan kembali menatap waspada, adik dari ayah kandungnya itu. Rasa mual kembali menyerang Riana. Ia berpaling dari Irawan lalu melihat ke sana ke mari, mencari celah untuk pergi. Ia ingin segera menjauh dari lelaki bernama Irawan Santosa itu. Mengerti penolakan Riana, Irawan pun menarik tangannya dan tersenyum. "Sorry ... eh, tapi ... apa
Tubuh Riana membeku. Napasnya tertahan. Dipejamkannya matanya dengan erat beberapa saat untuk menetralkan degup jantungnya.“Trisha? Itu kamu, ‘kan?” Lagi, suara itu memanggil namanya. Suara yang sangat ia kenal.Riana menelan salivanya dan perlahan memutar tubuh. Ia tersenyum dan membuka kacamata hitamnya.“Dimas? Kamu dah selesai operasinya?” tanya Riana mengalihkan pembicaraanDimas mengangguk dan meraih tangan calon istrinya itu. “Hmm. Kamu ngapain di sini?”“Nona Trisha Meriana!”Riana dan Dimas menoleh, melihat ke arah suster. Riana melipat bibirnya lalu kembali berpaling pada Dimas“Aku harus masuk. Kalo gak, tuh suster bakal terus teriak-teriak,” ujar Riana dan mulai melangkah tapi Dimas tak mau melepas pegangannya“Sha? Kamu ada masalah?”Riana mendesah. Ia tersenyum dan menatap lekat lelaki yang selama lebih hampir 2 tahun ini menjadi
Prakk….AKHHHHHH!!!!Ponsel mahal berwarna emas itu terlempar jauh berantakan. Suara jeritan kekesalan Xian Lie menggema di seluruh kamar hotel mewahnya. Matanya menyala penuh amarah. Rambutnya pun acak-acakan karena digaruknya kasar.“Riana … RIANA!!! Selalu Riana! AKHHH!!!” amuk Xian Lie seraya mengepalkan kedua tangannya. “You gone to that bitch again, right? Eric?! Huh?! ... Erghh!!!"Xian Lie berjalan cepat menuju kamar Eric. Ia berdiri di tengah kamar Eric dan melihat sekeliling kamar itu. Tatapannya berakhir pada benda pipih berlambang apel tak utuh yang ada di meja kerja Eric.Ia kembali melangkah lebar dan dengan cepat mengambil laptop milik Eric yang ada di atas meja. Ia mengangkat tinggi laptop berisi semua pekerjaan Eric dan siap membuangnya. Namun kemudian, matanya berkedip cepat. Sorot matanya terpancar keraguan untuk melakukannya.“No … no
When you're high on emotionAnd you're losing your focusAnd you feel too exhausted to prayDon't get lost in the momentOr give up when you're closestAll you need is somebody to sayIt's okay not to be okayIt's okay not to be okayWhen you're down and you feel ashamedIt's okay not to be okayLagu milik Demi Lavato menjadi penanda panggilan yang masuk ke ponsel Riana. Dengan malas, Riana bangun dan berjalan menuju meja riasnya, lalu mengambil benda pipih miliknya.“Ayu?” gumam Riana, membaca nama si pemanggil. “Ya, Yu’?” sahut Riana setelah benda pipih itu ia tempelkan di telinga“Okay. Aku berangkat bentar lagi.”Riana menutup panggilannya dan mendesah. Tubuhnya masih terasa lelah karena hanya tidur beberapa jam.Ting Tong….Riana mengerutkan alis. Ia melihat jam yang ada di
Riana dan Ayu saling berpandangan. Design motif pada kain yang mereka minta, sangat berbeda dari design yang Riana buat.“Pak … ini bukan pesanan kami,” ujar Riana pada kepala produksi yang menemuinya.Lelaki paruh baya itu mengerutkan alis dan memeriksa map di tangannya, yang berisi keterangan pesanan Riana dan mencocokkannya dengan kain yang saat ini ada pada gawangan (tempat untuk menyampirkan kain)“Bu … jelas-jelas ini pesanan Ibu. Kenapa bilang beda? Ibu mau mangkir, ya?!” tuduh lelaki itu dengan suara naik satu oktafRiana menggeleng. Ia membuka map miliknya dan memberikan salinan sketsa motif, yang ia kirim kepada lelaki itu“Pak, ini design saya, plus keterangannya. Mana yang butuh cepat dan mana yang buat bulan depan, sekalian kuantitinya,” terang Riana yang diangguki Ayu, asisten pribadi Riana“Bu! Awalnya memang ibu kirim yang ini, tapi bukannya ibu rubah lagi kemarin. Ini b
Eric tak menjawab. Ia mengambil kembali botol Whiskey dari tangan Dave dan menuangnya pada gelas, yang sudah ia isi dengan es batu.“Eric, why—”“Mind your own business, Dave,” potong Eric cepat dan berjalan menuju sofa. “Sebaiknya kamu mulai cari tahu kain apa yang Riana butuhkan dan—”“Kain Sutra, 8 yard, untuk hari Rabu depan.”Eric yang hendak duduk di sofa, tak jadi menempatkan bokongnya di sana. Ia berdiri tegak dan memutar tubuhnya menatap Dave kesal“What? Aku sudah kasih kamu infonya,” ujar Dave dengan mimik tanpa dosa“No bonus for you.”Dave melongo. Ia terkejut dan tak percaya mendengar perkataan Eric. No bonus? No way!“Eric, aku kasih kamu info soal Riana, aku juga kasih kamu info soal kainnya. Lalu apa lagi? Kenapa sih kamu suka main-main sama bonusku?” protes Dave“I count you, guilty. IF &hellip