Tubuh Riana membeku. Napasnya tertahan. Dipejamkannya matanya dengan erat beberapa saat untuk menetralkan degup jantungnya.
“Trisha? Itu kamu, ‘kan?” Lagi, suara itu memanggil namanya. Suara yang sangat ia kenal.
Riana menelan salivanya dan perlahan memutar tubuh. Ia tersenyum dan membuka kacamata hitamnya.
“Dimas? Kamu dah selesai operasinya?” tanya Riana mengalihkan pembicaraan
Dimas mengangguk dan meraih tangan calon istrinya itu. “Hmm. Kamu ngapain di sini?”
“Nona Trisha Meriana!”
Riana dan Dimas menoleh, melihat ke arah suster. Riana melipat bibirnya lalu kembali berpaling pada Dimas
“Aku harus masuk. Kalo gak, tuh suster bakal terus teriak-teriak,” ujar Riana dan mulai melangkah tapi Dimas tak mau melepas pegangannya
“Sha? Kamu ada masalah?”
Riana mendesah. Ia tersenyum dan menatap lekat lelaki yang selama lebih hampir 2 tahun ini menjadi
Prakk….AKHHHHHH!!!!Ponsel mahal berwarna emas itu terlempar jauh berantakan. Suara jeritan kekesalan Xian Lie menggema di seluruh kamar hotel mewahnya. Matanya menyala penuh amarah. Rambutnya pun acak-acakan karena digaruknya kasar.“Riana … RIANA!!! Selalu Riana! AKHHH!!!” amuk Xian Lie seraya mengepalkan kedua tangannya. “You gone to that bitch again, right? Eric?! Huh?! ... Erghh!!!"Xian Lie berjalan cepat menuju kamar Eric. Ia berdiri di tengah kamar Eric dan melihat sekeliling kamar itu. Tatapannya berakhir pada benda pipih berlambang apel tak utuh yang ada di meja kerja Eric.Ia kembali melangkah lebar dan dengan cepat mengambil laptop milik Eric yang ada di atas meja. Ia mengangkat tinggi laptop berisi semua pekerjaan Eric dan siap membuangnya. Namun kemudian, matanya berkedip cepat. Sorot matanya terpancar keraguan untuk melakukannya.“No … no
When you're high on emotionAnd you're losing your focusAnd you feel too exhausted to prayDon't get lost in the momentOr give up when you're closestAll you need is somebody to sayIt's okay not to be okayIt's okay not to be okayWhen you're down and you feel ashamedIt's okay not to be okayLagu milik Demi Lavato menjadi penanda panggilan yang masuk ke ponsel Riana. Dengan malas, Riana bangun dan berjalan menuju meja riasnya, lalu mengambil benda pipih miliknya.“Ayu?” gumam Riana, membaca nama si pemanggil. “Ya, Yu’?” sahut Riana setelah benda pipih itu ia tempelkan di telinga“Okay. Aku berangkat bentar lagi.”Riana menutup panggilannya dan mendesah. Tubuhnya masih terasa lelah karena hanya tidur beberapa jam.Ting Tong….Riana mengerutkan alis. Ia melihat jam yang ada di
Riana dan Ayu saling berpandangan. Design motif pada kain yang mereka minta, sangat berbeda dari design yang Riana buat.“Pak … ini bukan pesanan kami,” ujar Riana pada kepala produksi yang menemuinya.Lelaki paruh baya itu mengerutkan alis dan memeriksa map di tangannya, yang berisi keterangan pesanan Riana dan mencocokkannya dengan kain yang saat ini ada pada gawangan (tempat untuk menyampirkan kain)“Bu … jelas-jelas ini pesanan Ibu. Kenapa bilang beda? Ibu mau mangkir, ya?!” tuduh lelaki itu dengan suara naik satu oktafRiana menggeleng. Ia membuka map miliknya dan memberikan salinan sketsa motif, yang ia kirim kepada lelaki itu“Pak, ini design saya, plus keterangannya. Mana yang butuh cepat dan mana yang buat bulan depan, sekalian kuantitinya,” terang Riana yang diangguki Ayu, asisten pribadi Riana“Bu! Awalnya memang ibu kirim yang ini, tapi bukannya ibu rubah lagi kemarin. Ini b
Eric tak menjawab. Ia mengambil kembali botol Whiskey dari tangan Dave dan menuangnya pada gelas, yang sudah ia isi dengan es batu.“Eric, why—”“Mind your own business, Dave,” potong Eric cepat dan berjalan menuju sofa. “Sebaiknya kamu mulai cari tahu kain apa yang Riana butuhkan dan—”“Kain Sutra, 8 yard, untuk hari Rabu depan.”Eric yang hendak duduk di sofa, tak jadi menempatkan bokongnya di sana. Ia berdiri tegak dan memutar tubuhnya menatap Dave kesal“What? Aku sudah kasih kamu infonya,” ujar Dave dengan mimik tanpa dosa“No bonus for you.”Dave melongo. Ia terkejut dan tak percaya mendengar perkataan Eric. No bonus? No way!“Eric, aku kasih kamu info soal Riana, aku juga kasih kamu info soal kainnya. Lalu apa lagi? Kenapa sih kamu suka main-main sama bonusku?” protes Dave“I count you, guilty. IF &hellip
Pagi kembali datang. Mata lentik itu mulai mengerjap dan terbuka. Senyum merekah di bibir designer muda dalam naungan Glamorous Haute Couture itu. Tubuhnya terasa segar namun....Krucukkk krucukkk....Perutnya berteriak minta di isi. Riana mendesah. Semalam ia tak sempat makan malam. Tak heran, perutnya saat ini protes minta jatah.“Morning, Sayang. Udah bangun?”Riana terlonjak kaget. Matanya terbuka lebar dan melihat ke arah suara. Dimas tersenyum manis dan berjalan mendekat sambil membawa nampan berisi susu dan roti isi.“Mas, ke-kenapa ada di sini? Ini … ini jam berapa?” tanya Riana gugup sambil memegangi selimut dan melihat jam di atas nakas, di sebelah tempat tidurnya“Jam 7. Kamu lapar, ‘kan? Semalam kamu nyenyak banget. Susah dibangunin. Jadi sekarang, isi dulu perutmu terus mandi, hmm?” ujar Dimas lembut seraya mengusap sayang kepala Riana.
“Jadi, apa kamu sudah menemukan jawabannya?” tanya dokter Ariek, setelah beberapa waktu Riana duduk di hadapannya.Riana terpaksa kembali ke psikolognya hari itu, karena dokter Ariek hanya memberinya resep untuk beberapa hari saja.“Dokter, saya tahu apa tujuan saya. Hanya saja … mungkin saya tidak … tidak bisa mengutarakannya sekarang,” sahut Riana. Ia menerbitkan sedikit senyumnya dan menunduk.Ia memang punya tujuan. Dan tujuan itu adalah … menghancurkan keluarga Irawan Santosa, yang telah membuat ia, adiknya dan ibunya menderita. Tidak. Lebih dari itu. Mereka sudah menyebabkan adiknya, Ryan dan juga ibunya, meninggal.Dokter Ariek mengangguk dan tersenyum. “Baiklah. Aku tidak akan memaksa. Lalu … bagaimana pekerjaanmu? Semua lancar?”Riana kembali mengangguk. dokter Ariek terlihat puas. “Baiklah. Itu bagus. Kamu tidak lagi merasa mual muntah atau … tiba-tiba ingin mara
“Look what you’ve done, Wendy! Ck ...," decak Irawan kesal.Wendy menoleh dan menatap suaminya dengan alis berkerut."Kamu tuh … bisa gak sih … sekaliii aja, jangan bikin orang naik darah, hmm? Kalo gak ngejek orang, mulutmu gatal, ya?” sergah Irawan pada istrinya.Wendy terhenyak mendengar hardikan suaminya. Ia mendengkus dan menatap tajam lelaki yang telah menjadi suaminya, selama lebih dari 26 tahun itu.“Apa kamu bilang? … IRAWAN! Kamu jangan seenaknya aja ngomong, ya! Aku ‘kan—”“Enough! I’m done! You make me lose my appetite,” sambar Irawan dan meletakkan alat makannya. Lelaki itu berdiri dan meninggalkan istrinya seorang diri di ruang makan.Wendy menatap geram suaminya dan mengepalkan kedua tangannya. Kekesalannya pada Riana bertambah.“Trishaa … you damn woman! ERGHHH!!” geram Wendy. Wajahnya yang telah berpoles make up tebal d
Ayu menelan kembali perkataannya, karena suara ketokan di pintu kaca kantor Riana. Ayu menoleh, tampak asisten Ellena menunggu di depan pintu.Riana, designer muda bertubuh ramping itu mengangguk, mempersilahkan asisten atasannya itu masuk.“Maaf, Bu. Anda dipanggil bu Ellena ke kantornya,” info wanita itu sopanRiana tersenyum dan mengangguk. “Oke. Terima kasih. Aku akan ke sana sebentar lagi.”Asisten Ellena itu mengangguk dan berbalik pergi. Ayu kembali melihat ke arah Riana dan hendak berbicara. Namun, Riana sudah meraih gagang telepon dan menelepon seseorang“Nis, tolong nanti ambilkan aku sampel kain batik Gorga, ya? Kalo aku gak ada, taruh aja dimejaku … makasih,” pinta Riana pada seseorang di telepon“Bu, Ayu—”“Aku harus ke ruangan bu Ellena. Pikirkan yang aku bilang tadi,” sambar Riana dan berlalu pergi.***