Taman di belakang mansion Jenkins tampak meriah. Balon berwarna putih berada tepat di sisi flower arc dan meja yang ada di sisi kiri taman.
Mengambil tema Rustic , gaya yang menghadirkan kesan alami dan didominasi oleh kayu-kayu, batu, tanaman menjuntai, serta lampu-lampu bolam klasik, membawa suasana terkesan akrab.
Suami dari para sahabat Riana, tampak berbincang akrab dengan Eric, Sir Edmund, Boby dan ayah Riana, Iwan, Alex, Andrew, DD (adik Dylan) serta kedua asisten Eric. Tak ketinggalan, kedua orangtua Dylan juga hadir. Canda tawa acap kali terdengar disertai ledekan. Begitu riuh dan menyenangkan.
Riana yang berada di jendela kamarnya, tersenyum bahagia melihat keakraban yang terjalin. Tak berhubungan darah, namun mereka lebih karib daripada saudara.
Yang lebih menyejukkan hatinya, sikap Eric terhadap orang yang baru pertama kali ia temui, tak sekaku dan sedingin dulu. Senyum sudah mampu suaminya urai walau hanya setipis kain.
Putranya j
sampai jumpa di novel berikutnya, ya.... (semoga lolos. Amiin)
Diana Arabelle Konrad, yang baru saja kembali setelah menjalani perawatan intensif karena trauma kehilangan suami dan calon bayinya, memutuskan untuk berangkat ke Praiano, sebuah kota kecil yang berada di Amalfi Coast, Italia, setelah mendengar bahwa resort yang didirikan almarhum suaminya terancam bangkrut. DD, begitu ia biasa disapa, bertekad untuk mempertahankan resort yang menyimpan kenangannya bersama almarhum sang suami. Hingga pada suatu hari, tanpa sengaja ia membantu seorang pria tak dikenal yang pingsan dengan wajah yang babak belur. Pria itu kemudian mengaku kehilangan ingatannya. Tak ingin sesuatu terjadi pada lelaki itu, DD memutuskan untuk menerimanya tinggal di resort. “Kau ingin aku membantumu?” “Kau bisa?” “Tentu saja. Tapi, aku mau imbalan.” “Imbalan?” Lelaki yang diselamatkannya itu mengangguk. Senyumnya begitu menawan namun menyimpan sejuta misteri. DD berdehem dan membetulkan duduknya.
Hari ini, 12 Oktober 2018, Jakarta, Indonesia Glamorous Haute Couture 14.30 PM Tak pernah terbersit di pikiran Riana, bahwa ia akan kembali bertemu dengan mantan suaminya. 3 tahun yang lalu, saat surat perceraian itu disodorkan padanya dan lelaki itu memaksanya menandatangani surat penyerahan hak asuh putranya, dunianya hancur berkeping-keping. Ia melakukan berbagai usaha agar bayangan lelaki itu dan putra semata wayangnya, menghilang dari pikirannya. Namun, semua terasa berat baginya. Siang dan malam yang menjadi pikirannya adalah buah hatinya. Ia menangis dan meratap karena merindukan bayi kecilnya itu. Jika bukan karena insiden mengerikan yang mengembalikan ingatan yang selama ini hilang darinya, ia pasti masih menjadi Riana yang gagal move on dari Eric dan melupakan tujuannya, mengapa ia harus jau
3 tahun lalu15 Februari 2014, Club Infinite, London, Inggris21.55 PMJedug jedug jedug …Suara musik memekakkan telinga, cahaya remang-remang dengan sinar lampu berwarna biru dan merah yang menyorot ke sana ke mari saling berganti, menari di atas langit-langit bersalut kaca lalu turun saling berebut.Menyapu dinding berlapis wallpaper bermotif klasik yang gelap, di ruangan penuh manusia yang meliuk-liuk mengikuti irama cepat yang diputar sang DJBerjalan sempoyongan dan sesekali tanpa sengaja menabrak orang yang dilewatinya, seorang wanita terlihat menyusuri lorong minim cahaya yang mengarah ke kamar mandi, sambil memegangi kepalanya. Ia tak lagi peduli dengan kemeriahan di belakangnya.Penglihatannya kabur dan berkunang-kunang. Dengan sokongan dinding, ia terus berjalan me
27 Maret 2014, South Bank Tower Penthouse, London11.00 AMAcara pernikahan yang seharusnya berisi pesta, tarian, kebahagiaan, senyuman, tawa serta berbagai hidangan dan minuman, tak tampak di ruang tamu yang berukuran 5m x 7,5m itu.Bahkan, pernikahan itu hanya terdiri dari 5 orang saja. Eric, Riana, Dave yang adalah asisten pribadi Eric, seorang pelayan dan petugas pencatatan sipil.“Baiklah. Semua sudah selesai. Selamat, Tuan Jenkins!” ucap petugas pencatatan sipil itu sambil berdiri dan mengulurkan tangannya, pada lelaki pewaris perusahaan Royal Group, yang menjadi mempelai pria hari ini.Tanpa ekspresi, Eric berdiri dengan elegan. Ia menyambut uluran tangan lelaki, yang baru saja mengesahkan pernikahannya, dengan wanita yang sebulan lalu ia ambil kesuciannya itu.“Thank you. I think, you know how you are going to behave after this,” sahut Eric masih
29 Oktober 2014, Top Floor, Royal Tower, Croydon (Wilayah paling selatan London, Inggris)17. 05 PMTok … tok….Eric dengan eskpresi datar yang menjadi ciri khasnya, mengangkat wajah dan melihat pintu mahogany ber-cat putih yang berdiri megah beberapa meter di depannya.Tanpa melepas gagang pulpen yang ada di antara jari telunjuk dan jari tengahnya, ia mengulurkan tangan pada sebuah alat yang mirip interkom lalu menekan salah satu tombol“Come in!”CeklekWanita muda dengan balutan blazer hitam dan rok span yang memperlihatkan setengah pahanya, masuk ke dalam ruangan luas dengan minim furniture itu. Ia membungkuk hormat pada lelaki yang duduk di balik meja besar dan yang tampak sibuk menulis sesuatu“Ada apa?” tanya Eric tanpa mengangkat wajahnya“Tuan Jenkins
“Dokter! Ba-bagaimana Ana dan bayinya?” tanya Diane dengan wajah kuatirnya, menyambut dokter yang baru saja keluar dari ruang operasi setelah menangani RianaDokter senior itu menarik lurus bibirnya. “Bayinya selamat tapi harus mendapat perawatan intensif selama beberapa minggu. Barat badannya hanya 1,900 gram dan … cairan ketuban juga pecah terlalu cepat, jadi ada gangguan di pernapasannya. Saat ini sudah ditangani dokter anak.”“Oh, God!” seru Diane terkejut dan menutup mulutnya dengan tangan, “Lalu bagaimana dengan Ana, Dok?”Dokter laki-laki tersebut mendesah. Ekspresi wajahnya membuat Diane semakin cemas. “Nona Trisha … kehilangan banyak darah. Beliau … masih belum sadarkan diri. Berdoalah agar dia bisa melewati malam ini.”Kepala Diane terasa berputar. Matanya berkaca-kaca. Tatapannya beralih pada pintu ruang operasi yang tertutup.“Saya … permisi du
6 bulan setelah perceraian,17 Oktober 2015, Berlin, Jerman20.38 PMRiana berdiri di depan sebuah tong pembakaran. Beberapa foto yang selama ini ia simpan, digenggamnya erat. Matanya yang berkaca-kaca memandang kosong ke depan.Pengalaman pahit dan rasa sakit yang ia alami di masa lalu, masih terus bergelayut dan membayangi wanita yang kini meluruskan rambut ikalnya ituAir mata kembali terbentuk di matanya. Kenangan manis bersama ibu dan sang adik yang sangat ia sayangi membuatnya tak bisa menahan diri.Jemari lentik yang menggenggam lembaran foto-foto itu semakin kuat mengepal di kedua sisi tubuhnya. Rahang wanita itu mengeras, matanya memerah dan bibirnya menipis. Rasa sakit dan kecewa yang sekian lama bertumpuk di dalam hatinya, menumbuhkan amarah dan kebencian yang mendalamSatu-satunya foto sang mantan suami yang ia miliki serta foto
2,5 tahun kemudian (Masa kini)12 Oktober 2018, The Ritz Carlton Hotel Presidential Suite, Jakarta21.40 PMTak … tak … tak….Detak sepatu high heel yang bersinggungan dengan lantai dan terdengar semakin dekat, tak dihiraukan Eric yang sedang duduk di balik meja kerja yang ada di kamar utama suite-nya. Ia terus mengetik sesuatu di depan layar kotak berlambang apel tak utuh itu“Babe … some wine?”Sebuah gelas kaca seperti Brandy Snifter, terulur di depannya. Dengan jemari putih nan lentik bercat kuku merah yang selaras dengan warna wine di dalam gelas bertangkai kecil itu, sungguh tampak menggoda.Eric mengangkat matanya, menyorot ke arah si empunya jari. Tatapannya tajam menusuk. Senyuman di bibir bergincu merah Xian Lie, memudar. Ia segera menarik tangannya dan melipat bibir.