3 tahun lalu
15 Februari 2014, Club Infinite, London, Inggris
21.55 PM
Jedug jedug jedug …
Suara musik memekakkan telinga, cahaya remang-remang dengan sinar lampu berwarna biru dan merah yang menyorot ke sana ke mari saling berganti, menari di atas langit-langit bersalut kaca lalu turun saling berebut.
Menyapu dinding berlapis wallpaper bermotif klasik yang gelap, di ruangan penuh manusia yang meliuk-liuk mengikuti irama cepat yang diputar sang DJ
Berjalan sempoyongan dan sesekali tanpa sengaja menabrak orang yang dilewatinya, seorang wanita terlihat menyusuri lorong minim cahaya yang mengarah ke kamar mandi, sambil memegangi kepalanya. Ia tak lagi peduli dengan kemeriahan di belakangnya.
Penglihatannya kabur dan berkunang-kunang. Dengan sokongan dinding, ia terus berjalan menyusuri lorong, yang hanya cukup dilewati dua orang yang berpapasan.
“Ah … kenapa aku? … pusing banget,” lirih wanita itu
“Hey! Riana! … what’s up? … oh … What’s the matter? Are you drunk?”
Sayup-sayup, wanita itu dapat mendengar suara familiar di telinganya. Namun, rasa sakit di kepalanya membuat mulutnya terasa enggan untuk menjawab.
Ia membiarkan dua tangan yang tiba-tiba merangkul pundaknya, menuntun langkahnya tanpa mampu ia menolak.
Brukk….
Riana dapat merasakan tubuhnya terhempas ke sebuah tempat yang empuk. Entah itu kasur atau sofa, ia tak lagi mampu membedakannya.
“Buka seragamnya dan bantu dia pakai baju yang aku beli tadi.”
“Baik, Boss.”
“Kamu itu wanita cantik. Sayang banget ‘kan kalo kecantikanmu di sia-siakan, hmm?” bisik suara itu ke telinga Riana.
Hembusan napas yang masuk ke indera penciuman Riana, membuat wanita yang baru saja berusia 21 tahun, itu merasa ingin muntah. Ditambah lagi, sentuhan jari yang menelusuri wajah hingga belahan dadanya.
Riana berusaha mengangkat tangan, untuk menepis tangan kasar yang menyentuhnya. Tapi tangannya terasa berat dan tak mau mengikuti perintah otaknya.
‘Mama … tolong aku … Aku mohon … siapa-pun … to-long … a-ku,’ jerit wanita bernama Riana itu.
Namun sayang, tak ada yang mendengarnya, karena wanita itu hanya mampu berteriak di dalam hati dan hanya bibirnya saja yang berkumat-kamit tanpa suara, seperti merapal mantera.
Rasa takut dan keinginan untuk memberontak, tak dapat Riana realisasikan. Tubuhnya sangat lemah dan tak berdaya.
‘No … please … jangan … saya … mo-hon….’
Berulang kali permohonan itu terucap di hati Riana dan ingin mengatakannya, tapi suaranya seakan tertahan dan tak mau keluar dari tenggorokan.
Hawa dingin mulai menyentuh kulit mulus Riana, saat helai demi helai baju yang melekat padanya, terlepas kasar dari tubuh indahnya. Riana hanya bisa diam tanpa bisa berbuat apapun. Pasrah. Hanya itu yang bisa ia lakukan.
Air mata mengalir di kedua ujung matanya. Menetes membasahi kasur ber-sprei putih yang menjadi tempatnya berbaring
“Kalo kamu beruntung, bukan hanya aku yang untung tapi kamu juga, anak manis,” ucap suara berat dan serak itu.
Sentuhan kembali dirasakan Riana di kedua pipinya. Ia merasa jijik dan ingin sekali menampar tangan itu tapi lagi-lagi, ia tak mampu. Tubuhnya lemas tak berdaya.
Cup
"Bye...," pamit suara serak dan berat itu setelah mengecup dahinya.
Suara tawa serta langkah kaki menjauh yang diakhiri dengan suara pintu yang ditutup, tak membuat Riana merasa lega karena ia tahu ... masa depannya tak lama lagi akan hancur. Walau begitu, ia masih berharap bahwa seseorang akan datang dan menolongnya.
‘Tuhan … tolong aku…,’ lirih Riana di dalam hati sebelum kesadarannya benar-benar menghilang dan hanya kegelapan yang menyelimutinya
Ruang VVIP Club Infinite
22.15 PM
“Dave!”
Seorang lelaki berperawakan tinggi dan sedikit kurus, datang menghampiri atasannya yang sedang duduk di bagian tengah sofa, sambil memijit pangkal hidungnya
“Yes, Boss. What is it?”
“Bawa aku pulang!" titah Eric dengan suara parau
Alis Dave, sang asisten, menyatu. Mereka baru saja duduk selama setengah jam dan sedang membicarakan masalah penting, yang menyangkut bisnis bernilai jutaan dollar. Tapi, atasannya sudah mengajaknya pulang sebelum ada kesepakatan?
“Boss, but we—”
“Take me home! Now!” suara lelaki dengan jenggot yang sedikit lebat memenuhi dagunya itu, sedikit mengeras dengan nada perintah yang tegas, tak mau dilawan.
“Ehm … o-okay,” sahut Dave, lalu mengalungkan tangan atasannya itu ke pundaknya, serta membantu lelaki yang adalah CEO perusahaan tempatnya bekerja itu berdiri.
“Oh, Mr. Jenkins. Where are you going?”
Langkah Dave terhenti. Ia mendongak. Klien perusahaan yang mereka tunggu sudah berdiri di depan pintu ruang VVIP itu
“Mr. Santosa, we are sorry. My boss is not feeling well right now. So, we—”
“Oh, Anda tidak enak badan?” ulang lelaki bernama lengkap Irawan Santosa itu balik bertanya, dan memotong perkataan Dave.
Alis Irawan bertaut dan memandang heran calon partnernya, Eric Fransisco Jenkins. Pebisnis tampan di bidang fashion dan kosmetik itu, terlihat tak lagi mampu mengangkat kepala ataupun membuka matanya dengan benar
“Yes. I’m … sorry … I—”
“That’s okay, Mr. Jenkins. That’s okay. Kebetulan … saya sudah pesan kamar untuk Mr. Jenkins. Biar asisten saya yang mengantar dan kita, Mr. Clarkson….” Irawan beralih menatap Dave sambil tersenyum. “Kita akan meneruskan rapat. Bagaimana? Sekali jalan dua pulau terlampaui,” tawar Irawan kemudian.
Dave menoleh pada atasan sekaligus sahabatnya itu. Wajah Eric tampak memerah, dengan mata yang tak lagi fokus dan sesekali memejamkan mata.
“Eric?” tanya Dave menunggu jawaban sang atasan.
Eric yang merasa pusing, mengangguk menanggapi. Dengan senang hati, Dave menyerahkan atasannya pada asisten Irawan, calon partner bisnisnya.
“Good, let’s get to the business,” ujar Irawan dan diangguki Dave
***
16 Februari 2014, The Royal Hotel, London, Inggris
09.40 AM
Pagi datang dengan cepat. Sinar matahari yang masuk di sela-sela korden, membelai lembut sebagian wajah seorang wanita yang berbaring miring dengan mata masih tertutup.
Jajaran indah bulu matanya yang panjang dan lentik, kulit mulus tanpa noda, serta bibirnya yang merah samar, membuatnya terlihat sangat cantik.
Ehmm….
Wanita itu menggeliat. Perlahan, ia membuka matanya dan mengerjap. Ia menatap sekitar. Ia dapat merasakan lembutnya kain putih yang menutupi tubuhnya
Selama beberapa saat, ia memegangi kepalanya dan mengeryit. Kepala dan seluruh tubuhnya terasa nyeri
“Akh … kenapa badanku sakit … semua? Oh, Riana. You took too much last night ... aufff, ” gumam gadis bernama Riana itu memarahi diri sendiri, dengan mata setengah terbuka
Mata Riana berhenti pada lengannya. Alisnya menyatu. Ia melihat kedua lengan dan dadanya yang tak terbungkus apapun, yang dipenuhi tanda merah. Matanya terbuka lebar karena syok.
"A-aku ke-napa? Tan-tanda apa ini? Tung-tunggu ... ke-kenapa a-aku ... telan-jang?" gumam wanita itu lagi.
Ia perlahan duduk dan membuka selimut yang menutupi tubuhnya. Tubuhnya seketika bergetar. Tanda merah itu tidak hanya di dada dan lengannya tapi juga ... seluruh tubuhnya.
"A-aku ... penyakit apa ini?"
Sebuah kilatan bayangan yang terjadi semalam, perlahan mulai muncul satu demi satu, yang kemudian berputar bagai rol film di dalam benaknya. Mata Riana seketika bertambah lebar.
Hmppgh!
Wanita itu terkesiap dan menutup mulutnya. Matanya yang indah mulai berkaca-kaca. Dengan tangan bergetar, ia kembali membuka selimut serta melebarkan kedua kakinya. Darah!
"No ... No...." Kepalanya menggeleng cepat. Cairan bening itu menetes tanpa permisi membasahi kedua pipinya.
Sreg … sreg….
Tubuh Riana membeku. Pergerakan di sampingnya membuat lehernya terasa kaku, tapi tetap ia paksakan untuk menoleh. Dengan harapan itu hanya ilusi.
Tangan yang ia gunakan untuk memegang selimutnya, bertambah erat mencengkeram selimut tak bersalah itu.
Air mata Riana kian deras mengalir. Itu bukan ilusi! Ada seseorang di sampingnya. Digelengkannya kepalanya dengan cepat. Tak ingin percaya dengan yang ada di depan matanya saat ini.
“No … No … AHHH!!!” jerit Riana
“ARGHH!!! … WHAT IS IT?!” sentak kaget lelaki yang tidur di samping Riana. Lelaki itu memaksakan diri untuk duduk, dengan mata yang masih setengah terpejam dan mengusak rambutnya kasar
“AHHHHH!!!” Teriakan Riana bertambah kencang. Wanita itu membalikkan badan sambil memegangi kedua sisi kepalanya, serta menutup matanya dengan erat
Jeritan Riana, membuat mata lelaki itu terbuka lebar. Tampaknya ia mulai sadar dengan keadaannya yang telanjang. Ia segera menarik selimut dan menutupi bagian privasinya yang berdiri tegak dan gagah memberi hormat, namun tak tertutup sehelai benang itu.
Riana perlahan menaruh kembali tubuhnya ke kasur, sambil menangis terisak dan memeluk tubuhnya sendiri.
Selama 21 tahun, ia menjaga kesuciannya demi lelaki yang nantinya akan ia sebut “SUAMI”. Tapi, tanpa ia duga, acara ulang tahunnya kemarin malam, juga menjadi malam ia kehilangan miliknya yang berharga.
Pikirannya dibanjiri dengan rasa bersalah pada sang ibu, yang begitu mewanti-wanti dirinya untuk menjaga diri tapi nyatanya … ia tak mampu!
“DIAM!” sentak lelaki itu
Riana tersentak kaget dan segera menutup mulut. Tak ada keberanian yang tersisa di dalam dirinya untuk membuka mata ataupun mulutnya.
Masih sesenggukan, Riana terus mencoba tak mengeluarkan suara. Ia tahu dan kenal siapa lelaki itu. Ia tahu benar bagaimana lelaki itu saat marah
“Dengar, aku tidak tahu apa kamu bagian dari rencana mereka atau bukan tapi….” Kembali lelaki itu mengeluarkan suaranya. Namun, kali ini dengan suara yang dalam dan berkharisma, “Aku akan selidiki ini. Untuk sementara—”
Tok … tok…
Lelaki itu terdiam. Riana kembali membatu. Keduanya saling bertatapan dan bersamaan menatap pintu yang masih tertutup
“Stay here!” titah lelaki itu sambil berdiri.
“Ahh!” jerit Riana lagi. Selimut yang menutupi bagian pribadi lelaki itu, melorot. Dan Riana kembali harus melihat pemandangan yang tak seharusnya ia lihat.
“Ck!” decak lelaki itu dan memutar malas kedua bola mata hijaunya, lalu menyambar kemeja dan boxernya yang tergeletak di lantai dan berjalan menuju pintu.
“Siapa?!”
27 Maret 2014, South Bank Tower Penthouse, London11.00 AMAcara pernikahan yang seharusnya berisi pesta, tarian, kebahagiaan, senyuman, tawa serta berbagai hidangan dan minuman, tak tampak di ruang tamu yang berukuran 5m x 7,5m itu.Bahkan, pernikahan itu hanya terdiri dari 5 orang saja. Eric, Riana, Dave yang adalah asisten pribadi Eric, seorang pelayan dan petugas pencatatan sipil.“Baiklah. Semua sudah selesai. Selamat, Tuan Jenkins!” ucap petugas pencatatan sipil itu sambil berdiri dan mengulurkan tangannya, pada lelaki pewaris perusahaan Royal Group, yang menjadi mempelai pria hari ini.Tanpa ekspresi, Eric berdiri dengan elegan. Ia menyambut uluran tangan lelaki, yang baru saja mengesahkan pernikahannya, dengan wanita yang sebulan lalu ia ambil kesuciannya itu.“Thank you. I think, you know how you are going to behave after this,” sahut Eric masih
29 Oktober 2014, Top Floor, Royal Tower, Croydon (Wilayah paling selatan London, Inggris)17. 05 PMTok … tok….Eric dengan eskpresi datar yang menjadi ciri khasnya, mengangkat wajah dan melihat pintu mahogany ber-cat putih yang berdiri megah beberapa meter di depannya.Tanpa melepas gagang pulpen yang ada di antara jari telunjuk dan jari tengahnya, ia mengulurkan tangan pada sebuah alat yang mirip interkom lalu menekan salah satu tombol“Come in!”CeklekWanita muda dengan balutan blazer hitam dan rok span yang memperlihatkan setengah pahanya, masuk ke dalam ruangan luas dengan minim furniture itu. Ia membungkuk hormat pada lelaki yang duduk di balik meja besar dan yang tampak sibuk menulis sesuatu“Ada apa?” tanya Eric tanpa mengangkat wajahnya“Tuan Jenkins
“Dokter! Ba-bagaimana Ana dan bayinya?” tanya Diane dengan wajah kuatirnya, menyambut dokter yang baru saja keluar dari ruang operasi setelah menangani RianaDokter senior itu menarik lurus bibirnya. “Bayinya selamat tapi harus mendapat perawatan intensif selama beberapa minggu. Barat badannya hanya 1,900 gram dan … cairan ketuban juga pecah terlalu cepat, jadi ada gangguan di pernapasannya. Saat ini sudah ditangani dokter anak.”“Oh, God!” seru Diane terkejut dan menutup mulutnya dengan tangan, “Lalu bagaimana dengan Ana, Dok?”Dokter laki-laki tersebut mendesah. Ekspresi wajahnya membuat Diane semakin cemas. “Nona Trisha … kehilangan banyak darah. Beliau … masih belum sadarkan diri. Berdoalah agar dia bisa melewati malam ini.”Kepala Diane terasa berputar. Matanya berkaca-kaca. Tatapannya beralih pada pintu ruang operasi yang tertutup.“Saya … permisi du
6 bulan setelah perceraian,17 Oktober 2015, Berlin, Jerman20.38 PMRiana berdiri di depan sebuah tong pembakaran. Beberapa foto yang selama ini ia simpan, digenggamnya erat. Matanya yang berkaca-kaca memandang kosong ke depan.Pengalaman pahit dan rasa sakit yang ia alami di masa lalu, masih terus bergelayut dan membayangi wanita yang kini meluruskan rambut ikalnya ituAir mata kembali terbentuk di matanya. Kenangan manis bersama ibu dan sang adik yang sangat ia sayangi membuatnya tak bisa menahan diri.Jemari lentik yang menggenggam lembaran foto-foto itu semakin kuat mengepal di kedua sisi tubuhnya. Rahang wanita itu mengeras, matanya memerah dan bibirnya menipis. Rasa sakit dan kecewa yang sekian lama bertumpuk di dalam hatinya, menumbuhkan amarah dan kebencian yang mendalamSatu-satunya foto sang mantan suami yang ia miliki serta foto
2,5 tahun kemudian (Masa kini)12 Oktober 2018, The Ritz Carlton Hotel Presidential Suite, Jakarta21.40 PMTak … tak … tak….Detak sepatu high heel yang bersinggungan dengan lantai dan terdengar semakin dekat, tak dihiraukan Eric yang sedang duduk di balik meja kerja yang ada di kamar utama suite-nya. Ia terus mengetik sesuatu di depan layar kotak berlambang apel tak utuh itu“Babe … some wine?”Sebuah gelas kaca seperti Brandy Snifter, terulur di depannya. Dengan jemari putih nan lentik bercat kuku merah yang selaras dengan warna wine di dalam gelas bertangkai kecil itu, sungguh tampak menggoda.Eric mengangkat matanya, menyorot ke arah si empunya jari. Tatapannya tajam menusuk. Senyuman di bibir bergincu merah Xian Lie, memudar. Ia segera menarik tangannya dan melipat bibir.
Netra Riana membelalak. Suara itu. Ia sangat mengenal suara itu. Riana mendongak dan betul, itu dia!“Eric?” panggilnya tanpa sadar. Eric melebarkan matanya. Ia juga tak menduga, wanita yang ia tubruk adalah Riana. Wanita yang selalu bergentayangan di benaknya“A-ana?”Riana segera menarik diri, menjauh dari lelaki itu lalu mengangguk. “Thanks,” ucap Riana yang kemudian berbalik dan bersiap pergi namun, tangan Eric lebih dulu mencekal lengannya“Wait!” seru EricRiana diam di tempatnya. Ia menoleh dan melihat tangan Eric masih memeganginya. Wanita itutak berucap dan tak juga bergeming.Dengan canggung, Eric melepas tangan dan menjilat bibirnya yang terasa kering. Ia ingin berucap namun tak tahu di mana ia harus memulai“Maaf, saya masih ada urusan. Permisi, Tuan,” pamit Riana dan melangkah pergi namun, kembali langkahnya terhenti.Seorang wanita ber make up
Wajah Riana berubah tegang. Ia menelan kasar salivanya. "Apa mungkin, si tua bangka ini sudah tahu siapa Aku? Gak! Gak mungkin!" batin Riana. Pikiran wanita itu mulai kalut. Keringat dingin mulai menerobos keluar dari pori-pori dahinya. Irawan mengerutkan alis saat melihat ekspresi wanita cantik di hadapannya itu. Melihat gelagat aneh Riana, Irawan perlahan mengulurkan tangan hendak menyentuh bahu mantan istri Eric Jenkins itu namun membuat wanita itu semakin gugup “Trisha? … Ada apa? Apa kamu sakit?” Riana mengerjap. Melihat tangan Irawan yang hampir menyentuhnya, reflek, satu kaki wanita itu melangkah mundur dan kembali menatap waspada, adik dari ayah kandungnya itu. Rasa mual kembali menyerang Riana. Ia berpaling dari Irawan lalu melihat ke sana ke mari, mencari celah untuk pergi. Ia ingin segera menjauh dari lelaki bernama Irawan Santosa itu. Mengerti penolakan Riana, Irawan pun menarik tangannya dan tersenyum. "Sorry ... eh, tapi ... apa
Tubuh Riana membeku. Napasnya tertahan. Dipejamkannya matanya dengan erat beberapa saat untuk menetralkan degup jantungnya.“Trisha? Itu kamu, ‘kan?” Lagi, suara itu memanggil namanya. Suara yang sangat ia kenal.Riana menelan salivanya dan perlahan memutar tubuh. Ia tersenyum dan membuka kacamata hitamnya.“Dimas? Kamu dah selesai operasinya?” tanya Riana mengalihkan pembicaraanDimas mengangguk dan meraih tangan calon istrinya itu. “Hmm. Kamu ngapain di sini?”“Nona Trisha Meriana!”Riana dan Dimas menoleh, melihat ke arah suster. Riana melipat bibirnya lalu kembali berpaling pada Dimas“Aku harus masuk. Kalo gak, tuh suster bakal terus teriak-teriak,” ujar Riana dan mulai melangkah tapi Dimas tak mau melepas pegangannya“Sha? Kamu ada masalah?”Riana mendesah. Ia tersenyum dan menatap lekat lelaki yang selama lebih hampir 2 tahun ini menjadi