“Dokter! Ba-bagaimana Ana dan bayinya?” tanya Diane dengan wajah kuatirnya, menyambut dokter yang baru saja keluar dari ruang operasi setelah menangani Riana
Dokter senior itu menarik lurus bibirnya. “Bayinya selamat tapi harus mendapat perawatan intensif selama beberapa minggu. Barat badannya hanya 1,900 gram dan … cairan ketuban juga pecah terlalu cepat, jadi ada gangguan di pernapasannya. Saat ini sudah ditangani dokter anak.”
“Oh, God!” seru Diane terkejut dan menutup mulutnya dengan tangan, “Lalu bagaimana dengan Ana, Dok?”
Dokter laki-laki tersebut mendesah. Ekspresi wajahnya membuat Diane semakin cemas. “Nona Trisha … kehilangan banyak darah. Beliau … masih belum sadarkan diri. Berdoalah agar dia bisa melewati malam ini.”
Kepala Diane terasa berputar. Matanya berkaca-kaca. Tatapannya beralih pada pintu ruang operasi yang tertutup.
“Saya … permisi dulu,” pamit dokter itu. Diane tak menjawab. Tubuhnya terasa lemas. Ben menghampiri wanita paruh baya yang juga bibinya itu dan memapahnya ke kursi tunggu
“Ana … no … please … be safe … huhuhu … I beg you…,” tangis Diane
Gemeletak suara pantofel yang bergesekan dengan lantai granit terdengar semakin dekat. Diane mengangkat wajahnya. Dua orang lelaki yang ia tunggu telah datang
“Diane?” sapa Dave. Eric pun memandang wajah Diane yang sembab dan mengerutkan alis
“Master … A-ana … sh-she—”
“How’s the baby?” potong Eric. Diane tak meneruskan perkataannya. Mulutnya menganga. Wajah tuannya tak ada sedikitpun gurat kekhawatiran saat ia menyebut nama Ana.
“Diane! How’s the baby? You lost your voice?” ulang Eric dingin dengan nada suara yang sedikit tinggi
Diane menelan ludah. Ia menata suasana hati dan ekspresinya. “Bayinya … bayinya baik-baik saja tapi masih harus dirawat di NICU.”
Alis Eric bertaut. “Di NICU? Apa ada masalah?”
“Tidak ada, Tuan. Hanya saja berat badannya kurang, ketuban Ana pecah duluan jadi ada masalah dengan penapasannya tapi sekarang—”
“Setahuku kehamilannya baru 8 bulan. Kenapa dia sudah melahirkan?” Lagi, Eric memotong perkataan Diane
“Sa-saya juga tidak tahu, Tuan. Tadi saya hanya mendengar suara seperti piring pecah lalu saya cepat ke luar kamar dan … melihat Ana sudah berdiri di tangga. Ketubannya sudah pecah. Saya suruh Ben siapkan mobil lalu saya dengar Ana bilang katanya perutnya sakit terus dia … dia pingsan, Tuan,” cerita Diane sambil menahan air matanya. Beberapa kali ia mengusap hidung dan matanya bergantian.
Eric menghela napas dan berkacak pinggang. Dave menepuk bahu sahabat sekaligus atasannya itu untuk memberi dukungan mental.
“Eric … jangan kuatir. Aku yakin—”
Ceklek....
Eric, Dave, Diane dan sopir bernama Ben itu berbalik. Pintu ruang operasi terbuka. Sebuah bed dengan Ana berbaring di atasnya, didorong ke luar oleh 2 orang suster.
Mata Eric otomatis tertuju pada wajah pucat wanita yang kini menjadi ibu anaknya itu. Tangan Ana masih tertancap jarum infus dan sebuah jarum lain juga berada di tangan lainnya. Terhubung dengan pouch darah di atasnya.
Diane kembali menangis. Tubuh Ana lunglai tak berdaya di atas bed. Ia hanya bisa menutup mulutnya dengan tangan agar sang majikan tak lagi menegurnya. Hatinya teriris melihat keadaan wanita itu
Dave menatap Eric dan mendesah. Tak ada eskpresi apapun yang ia dapat di wajah sahabatnya itu.
“Dave, ke NICU!” titah Eric sembari melangkah pergi. Berlawanan arah dengan bed yang membawa Riana.
Diane menatap sedih dan kecewa pada anak asuhannya itu. Ia tak menyangka, bocah laki-laki yang dulu sangat ramah dan mudah menaruh belas kasihan pada orang lain, kini berubah menjadi sosok tanpa hati. Begitu tega pada wanita yang sudah berjuang melahirkan putranya.
“What happen to you, Eric? Why? … why you so heartless?” isak Diane.
***
12 Desember 2014, The Portland Hospital, London
10.25 AM
Selama 2 bulan, Riana tak bisa langsung menyusui putranya karena kondisinya yang masih terkulai lemah dan menjalani transfusi darah. Ya … itulah alasan Diane. Yang Riana tahu, ia masih sanggup untuk menggunakan tangannya tapi menurut Diane, ia masih belum boleh menggendong bayinya.
Ia sangat ingin memeluk manusia mini yang mewarisi mata lelaki yang ia cintai itu. Selama 2 bulan ini, ia harus puas hanya dengan melihat dan menyentuh bayinya yang ada dalam gendongan Diane
“Diane … please. Aku ingin gendong anakku. Aku bisa, sungguh,” pinta Riana memohon sembari mengulurkan kedua tangannya ke arah Diane
Diane mendesah. “Sayang … belum saatnya. Tunggu dokter yang izinkan, ya? Kamu harus pulih dulu. Oke?”
Jawaban yang sama harus kembali Riana telan. Hatinya merintih karena rindu. Bayi itu … putranya ... dia adalah hidupnya. Satu-satunya sumber kekuatan dan penghiburannya di saat ia lemah dan sedih karena merindukan lelaki itu tapi, ia pun harus dijauhkan darinya.
Ini sungguh tak adil! Tidak! Aku tidak boleh putus asa! Aku harus cepat sembuh supaya aku bisa menggendong putraku! Iya! Begitulah tekad Riana.
Hari yang di nanti Riana tiba. Ia diizinkan pulang dan bisa merawat bayinya. Sepanjang perjalanan, hatinya berbunga karena sang buah hati ada dalam dekapannya.
Riana menikmati hari-harinya menjadi seorang ibu. Ia rindu ayah bayinya yang datang hanya beberapa hari sekali selama 20 menit untuk menggendong putra mereka tapi, itu sudah lebih dari cukup bagi Riana. Ia tak mengharap lebih.
***
30 April 2015, South Bank Tower Penthouse
Tanpa terasa, 4 bulan sudah berlalu. Putranya kini berumur 6 bulan. Saatnya bagi si kecil Evan untuk makan makanan pendamping ASI.
Pagi-pagi, saat pekatnya malam mengabur berganti terang, Riana turun ke dapur dan mulai membuatkan putranya bubur halus.
Ia mendapat resep dari sang bunda dengan berbohong bahwa ia ingin memberi resep itu untuk sahabatnya yang baru melahirkan.
Ia terpaksa melakukannya karena hingga kini, ia masih tak memberitahu ibunya tentang kehamilan dan pernikahannya, seperti permintaan Eric.
Bukan! Bukan permintaan. Lebih tepatnya itu adalah syarat. Syarat yang tak boleh ia langgar jika ingin anaknya mendapat pengakuan sebagai bagian dari keluarga Jenkins.
“Ahh … aku harap aku berhasil,” gumamnya. Rasa lelah karena hanya tidur beberapa jam untuk mengurus bayinya, tak menyurutkan semangat Riana untuk membuat makanan sehat bagi putranya
“Ow … kamu bangun pagi sekali, An?” sapa Diane
Riana berbalik. Senyumnya yang indah merekah, menyamarkan mata lelah dan lingkar hitam di bawah matanya
“Iya. Hari ini Evan sudah pas 6 bulan. Aku sengaja mau buatin dia bubur,” sahut Riana dan melanjutkan kegiatannya
“Ahh … iya! Hahaha … aduh, maafin aku, An. Aku lupa," ujar Diana sambil menepuk tangannya dan tertawa. "Sini … biar aku saja. Kamu sebaiknya tidur lagi. Evan lagi tidur, 'kan? Ibu menyusui tidak boleh kurang tidur."
“Hahaha … tidak usah. Sebentar lagi selesai. Aku ingin anakku makan buatanku sendiri,” jawab Riana dengan senyum lebar
“Oww … kamu memang ibu yang baik, An,” ucap Diane dengan senyumnya yang terlihat dipaksakan dan mata yang berkaca-kaca
“Diane? What’s wrong?” Riana menoleh lalu memegang lengan Diane. Ada rasa bersalah di dalam hatinya. “Diane … maafkan aku. Bukannya aku gak mau anakku makan masakanmu tapi, aku cuma ingin—”
“An, aku paham. Aku paham. Itu keinginan semua ibu. Aku tidak marah.”
“Sungguh?”
Diane mengangguk meyakinkan. Ia menepuk lengan Riana dan beranjak dari dapur mewah itu. Meninggalkan Riana yang masih tampak bingung dengan sikap aneh Diane beberapa hari ini. Terutama hari ini.
Semburat senja perlahan menghilang dan berganti gelapnya malam serta kerlip acak lampu-lampu kota, saat Riana mendengar suara langkah yang sangat ia kenal dan rindukan, datang mendekat.
Riana berdiri membuai bayi di dekat perapian dan menghadap ke arah London Eye. Ia terlihat sangat keibuan dengan dress batik rumahan yang biasa disebut daster yang ia bawa dari Indonesia. Riana berbalik dan menyambut ayah bayinya itu dengan senyum yang indah di wajah lelahnya
“Eric … kamu datang?” sambut Riana. “Evan baru saja tidur.”
Eric berhenti dan berdiri 2 langkah di samping Riana. Ia melihat putranya dan mengangguk
“Hari ini Evan sudah 6 bulan jadi aku mulai kasih dia bubur,” kata Riana dengan senyum bangga. “Sepertinya dia suka bubur buatanku. Hehehe….”
Eric mengalihkan tatapannya pada Riana beberapa saat lalu kembali menatap bayinya. Tak berapa lama, ia mengangkat tangan lalu menjentikkan jarinya
Cetek….
Diane mendekat. Riana menaikkan alis dengan wajah polosnya. Menatap "suami" dan pelayannya bergantian
“Diane, bawa Evan ke kamarnya,” titah Eric pelan. Ia tak ingin membangunkan bayi montok itu
Diane mengangguk dan melangkah maju untuk mengambil Evan dari tangan ibunya.
“Tunggu! Eric? Ada apa? Kamu … ingin bicara? Kamu bisa katakan sekarang. Aku masih ingin gendong Evan,” tolak Riana lembut sambil tersenyum manis dan terus membuai buah hatinya
“Diane!” tegas Eric dan melirik mantan pengasuhnya itu
Diane mengangguk pada Riana. Memberi kode untuk menurut perkataan lelaki penguasa dunia fashion itu.
Dengan berat hati, Riana memberikan putranya pada Diane. Hatinya mulai tak tenang. Seolah sesuatu yang buruk akan terjadi padanya
“Duduk!” perintah Eric yang entah kapan sudah duduk di sofa yang terletak beberapa meter di sampingnya. Riana mengangguk lalu berjalan dan duduk berseberangan dengan lelaki itu
“Ada ap—”
Plok....
“Tanda tangan," suruh Eric. Suaranya pelan tapi terdengar tegas
Alis Riana kembali bertaut. Ia mengambil amplop yang dilempar Eric ke meja kaca itu. Tanpa ia sadari, tangannya mulai gemetar. Jantungnya berdegup tak karuan. Riana menelan ludah lalu membuka amplop itu
[DIVORCE AGREEMENT]
***
2 Bulan kemudian
19 Juni 2015, Kensington Palace Garden, London
23.15 PM
Sudah sejam lebih Eric duduk di bawah sinar lampu belajar di kantornya yang gelap. Tangannya masih membolak-balik berkas yang ia terima dari Dave, asisten pribadinya, sore tadi.
“Eric … Riana … dia juga dijebak. Sama kayak kamu. hanya saja, dia diberi obat tidur dosis tinggi bukan obat perangsang. Untunglah nyawanya tak melayang saat itu. Kita … sudah salah paham. Ayahmu juga tak bersalah. Dia datang ke hotel pagi itu bukan untuk memergokimu dan Riana tapi justru untuk nolong kamu supaya kejadian itu tidak sampai ke media.”
Laporan Dave terus terngiang di benaknya. Riana … ia tak bersalah. Tak bersalah! Ia juga dijebak! Tapi ... dengan begitu teganya ia menambah hukuman gadis itu dengan semua sikap dan perlakuannya
Aarggh!!!
Glodak … brakkk … gedebuk!
Semua yang ada di atas meja Eric berjatuhan. Wajahnya tampak kusut dengan rambut yang berantakan. Napasnya tersengal karena amarah yang tak dapat ia tahan.
"Ana ... I'm sorry. Please, come back."
Hahh ... hahh....
"Ana ... I'm sorry ... I'm sorry...."
Keesokan harinya, Eric memerintahkan Dave untuk mencari Riana namun, hingga lebih dari sebulan, tak ada kabar dari gadis itu.
"Dave ... keep looking. You should find her!"
6 bulan setelah perceraian,17 Oktober 2015, Berlin, Jerman20.38 PMRiana berdiri di depan sebuah tong pembakaran. Beberapa foto yang selama ini ia simpan, digenggamnya erat. Matanya yang berkaca-kaca memandang kosong ke depan.Pengalaman pahit dan rasa sakit yang ia alami di masa lalu, masih terus bergelayut dan membayangi wanita yang kini meluruskan rambut ikalnya ituAir mata kembali terbentuk di matanya. Kenangan manis bersama ibu dan sang adik yang sangat ia sayangi membuatnya tak bisa menahan diri.Jemari lentik yang menggenggam lembaran foto-foto itu semakin kuat mengepal di kedua sisi tubuhnya. Rahang wanita itu mengeras, matanya memerah dan bibirnya menipis. Rasa sakit dan kecewa yang sekian lama bertumpuk di dalam hatinya, menumbuhkan amarah dan kebencian yang mendalamSatu-satunya foto sang mantan suami yang ia miliki serta foto
2,5 tahun kemudian (Masa kini)12 Oktober 2018, The Ritz Carlton Hotel Presidential Suite, Jakarta21.40 PMTak … tak … tak….Detak sepatu high heel yang bersinggungan dengan lantai dan terdengar semakin dekat, tak dihiraukan Eric yang sedang duduk di balik meja kerja yang ada di kamar utama suite-nya. Ia terus mengetik sesuatu di depan layar kotak berlambang apel tak utuh itu“Babe … some wine?”Sebuah gelas kaca seperti Brandy Snifter, terulur di depannya. Dengan jemari putih nan lentik bercat kuku merah yang selaras dengan warna wine di dalam gelas bertangkai kecil itu, sungguh tampak menggoda.Eric mengangkat matanya, menyorot ke arah si empunya jari. Tatapannya tajam menusuk. Senyuman di bibir bergincu merah Xian Lie, memudar. Ia segera menarik tangannya dan melipat bibir.
Netra Riana membelalak. Suara itu. Ia sangat mengenal suara itu. Riana mendongak dan betul, itu dia!“Eric?” panggilnya tanpa sadar. Eric melebarkan matanya. Ia juga tak menduga, wanita yang ia tubruk adalah Riana. Wanita yang selalu bergentayangan di benaknya“A-ana?”Riana segera menarik diri, menjauh dari lelaki itu lalu mengangguk. “Thanks,” ucap Riana yang kemudian berbalik dan bersiap pergi namun, tangan Eric lebih dulu mencekal lengannya“Wait!” seru EricRiana diam di tempatnya. Ia menoleh dan melihat tangan Eric masih memeganginya. Wanita itutak berucap dan tak juga bergeming.Dengan canggung, Eric melepas tangan dan menjilat bibirnya yang terasa kering. Ia ingin berucap namun tak tahu di mana ia harus memulai“Maaf, saya masih ada urusan. Permisi, Tuan,” pamit Riana dan melangkah pergi namun, kembali langkahnya terhenti.Seorang wanita ber make up
Wajah Riana berubah tegang. Ia menelan kasar salivanya. "Apa mungkin, si tua bangka ini sudah tahu siapa Aku? Gak! Gak mungkin!" batin Riana. Pikiran wanita itu mulai kalut. Keringat dingin mulai menerobos keluar dari pori-pori dahinya. Irawan mengerutkan alis saat melihat ekspresi wanita cantik di hadapannya itu. Melihat gelagat aneh Riana, Irawan perlahan mengulurkan tangan hendak menyentuh bahu mantan istri Eric Jenkins itu namun membuat wanita itu semakin gugup “Trisha? … Ada apa? Apa kamu sakit?” Riana mengerjap. Melihat tangan Irawan yang hampir menyentuhnya, reflek, satu kaki wanita itu melangkah mundur dan kembali menatap waspada, adik dari ayah kandungnya itu. Rasa mual kembali menyerang Riana. Ia berpaling dari Irawan lalu melihat ke sana ke mari, mencari celah untuk pergi. Ia ingin segera menjauh dari lelaki bernama Irawan Santosa itu. Mengerti penolakan Riana, Irawan pun menarik tangannya dan tersenyum. "Sorry ... eh, tapi ... apa
Tubuh Riana membeku. Napasnya tertahan. Dipejamkannya matanya dengan erat beberapa saat untuk menetralkan degup jantungnya.“Trisha? Itu kamu, ‘kan?” Lagi, suara itu memanggil namanya. Suara yang sangat ia kenal.Riana menelan salivanya dan perlahan memutar tubuh. Ia tersenyum dan membuka kacamata hitamnya.“Dimas? Kamu dah selesai operasinya?” tanya Riana mengalihkan pembicaraanDimas mengangguk dan meraih tangan calon istrinya itu. “Hmm. Kamu ngapain di sini?”“Nona Trisha Meriana!”Riana dan Dimas menoleh, melihat ke arah suster. Riana melipat bibirnya lalu kembali berpaling pada Dimas“Aku harus masuk. Kalo gak, tuh suster bakal terus teriak-teriak,” ujar Riana dan mulai melangkah tapi Dimas tak mau melepas pegangannya“Sha? Kamu ada masalah?”Riana mendesah. Ia tersenyum dan menatap lekat lelaki yang selama lebih hampir 2 tahun ini menjadi
Prakk….AKHHHHHH!!!!Ponsel mahal berwarna emas itu terlempar jauh berantakan. Suara jeritan kekesalan Xian Lie menggema di seluruh kamar hotel mewahnya. Matanya menyala penuh amarah. Rambutnya pun acak-acakan karena digaruknya kasar.“Riana … RIANA!!! Selalu Riana! AKHHH!!!” amuk Xian Lie seraya mengepalkan kedua tangannya. “You gone to that bitch again, right? Eric?! Huh?! ... Erghh!!!"Xian Lie berjalan cepat menuju kamar Eric. Ia berdiri di tengah kamar Eric dan melihat sekeliling kamar itu. Tatapannya berakhir pada benda pipih berlambang apel tak utuh yang ada di meja kerja Eric.Ia kembali melangkah lebar dan dengan cepat mengambil laptop milik Eric yang ada di atas meja. Ia mengangkat tinggi laptop berisi semua pekerjaan Eric dan siap membuangnya. Namun kemudian, matanya berkedip cepat. Sorot matanya terpancar keraguan untuk melakukannya.“No … no
When you're high on emotionAnd you're losing your focusAnd you feel too exhausted to prayDon't get lost in the momentOr give up when you're closestAll you need is somebody to sayIt's okay not to be okayIt's okay not to be okayWhen you're down and you feel ashamedIt's okay not to be okayLagu milik Demi Lavato menjadi penanda panggilan yang masuk ke ponsel Riana. Dengan malas, Riana bangun dan berjalan menuju meja riasnya, lalu mengambil benda pipih miliknya.“Ayu?” gumam Riana, membaca nama si pemanggil. “Ya, Yu’?” sahut Riana setelah benda pipih itu ia tempelkan di telinga“Okay. Aku berangkat bentar lagi.”Riana menutup panggilannya dan mendesah. Tubuhnya masih terasa lelah karena hanya tidur beberapa jam.Ting Tong….Riana mengerutkan alis. Ia melihat jam yang ada di
Riana dan Ayu saling berpandangan. Design motif pada kain yang mereka minta, sangat berbeda dari design yang Riana buat.“Pak … ini bukan pesanan kami,” ujar Riana pada kepala produksi yang menemuinya.Lelaki paruh baya itu mengerutkan alis dan memeriksa map di tangannya, yang berisi keterangan pesanan Riana dan mencocokkannya dengan kain yang saat ini ada pada gawangan (tempat untuk menyampirkan kain)“Bu … jelas-jelas ini pesanan Ibu. Kenapa bilang beda? Ibu mau mangkir, ya?!” tuduh lelaki itu dengan suara naik satu oktafRiana menggeleng. Ia membuka map miliknya dan memberikan salinan sketsa motif, yang ia kirim kepada lelaki itu“Pak, ini design saya, plus keterangannya. Mana yang butuh cepat dan mana yang buat bulan depan, sekalian kuantitinya,” terang Riana yang diangguki Ayu, asisten pribadi Riana“Bu! Awalnya memang ibu kirim yang ini, tapi bukannya ibu rubah lagi kemarin. Ini b