2,5 tahun kemudian (Masa kini)
12 Oktober 2018, The Ritz Carlton Hotel Presidential Suite, Jakarta
21.40 PM
Tak … tak … tak….
Detak sepatu high heel yang bersinggungan dengan lantai dan terdengar semakin dekat, tak dihiraukan Eric yang sedang duduk di balik meja kerja yang ada di kamar utama suite-nya. Ia terus mengetik sesuatu di depan layar kotak berlambang apel tak utuh itu
“Babe … some wine?”
Sebuah gelas kaca seperti Brandy Snifter, terulur di depannya. Dengan jemari putih nan lentik bercat kuku merah yang selaras dengan warna wine di dalam gelas bertangkai kecil itu, sungguh tampak menggoda.
Eric mengangkat matanya, menyorot ke arah si empunya jari. Tatapannya tajam menusuk. Senyuman di bibir bergincu merah Xian Lie, memudar. Ia segera menarik tangannya dan melipat bibir.
“I-I thought that you, erm ... so I--“
“Kamu lupa aku sedang apa?” potong Eric dengan nada tak suka.
“I-I’m sorry … kamu kayak banyak pikiran. Jadi aku—“
“Urus aja urusan sendiri. Aku gak bisa meladenimu sekarang.”
“Baby ... I’m busy too but I always make time for you. Can you also do that for me? Kita sudah 2 hari di Jakarta tapi … kamu belum ajak aku senang-senang,” protes Xian Lie manja
Eric memainkan rahangnya lalu bersandar. Bibir lelaki itu membentuk senyum sinis. “Kamu tahu kenapa aku mau datang sama kamu ke Indonesia?”
Xian Lie menggeleng. “Ka-karena aku tunanganmu dan kamu mau nemenin aku shoot—“
“Karena ibu. Kalo bukan ibu yang minta, aku gak bakal ikut sama kamu ke sini,” sambar Eric dengan wajah datar namun ada keseriusan di matanya.
Xian Lie menipiskan bibirnya. Ia mendengus. “Hehh ... karena bibi, ya? Tapi Eric...." Xian Lie menatap sendu lelaki di hadapannya itu. "Kita sudah 3 tahun berpasangan. Apa kamu gak ada sedikit aja … sedikiiit aja … perasaan sama aku, hmm?” lanjut Xian Lie seraya meluruskan ibu jari dan telunjuknya serta menekuk ketiga jari lainnya, membentuk simbol "sedikit".
“Get out! I need to work,” usir Eric dan kembali pada laptopnya. Tak mau melihat calon istri pilihan ibunya itu.
“I—“
“GET OUT!” sentak Eric. Xian Lie terkesiap. Ia menelan ludahnya kasar. Bentakan Eric sangat keras.
Selama 10 tahun ia mengenal Eric dan 3 tahun ia menjadi tunangan lelaki itu, ini pertama kalinya lelaki itu membentaknya dan sepertinya, ia tahu alasannya. Diam-diam tangan Xian Lie mengepal. Ia mengangguk ke arah Eric lalu berbalik.
“Tunggu!”
Wajah Xian Lie seketika berbinar. Ia tersenyum cerah lalu memutar tubuhnya ke arah Eric tapi….
“Take the wine with you.”
Sepertinya ia terlalu berharap. Walau kesal, ia tetap mengambil gelas itu tanpa protes dan berlalu pergi.
“Kalo dulu kamu gak maksa aku tunangan sama kamu, mungkin aku masih Eric, sahabatmu,” gumam Eric
Triing … triiingg….
Eric mengerutkan alis. Ia sungguh kesal. Sedari tadi ia mencoba berkonsentrasi bekerja tapi selalu saja ada gangguan.
Diambilnya benda pipih yang ia letakkan di samping laptop dan menggeser tombol hijau lalu menempelkannya ke telinga setelah melihat nama Dave terpampang di layar ponselnya.
“Hmm.”
“Eric, ternyata … mamanya Riana sudah meninggal dan bulan lalu peringatan 1000 harinya.”
Eric terdiam. Tangannya yang ada di atas keyboard laptop berhenti bergerak. “Dari mana kamu tahu?”
“Aku lihat di Instagramnya. Terus … Eric?” Suara Dave terdengar ragu
“Hmm.”
“Ana sudah tunangan.”
“I know.”
“You know? Ohooo … kamu juga cek I*******mnya, ya? Whoah … Eric Jenkins, the social media's hater is now ... surfing the I*******m!” ledek Dave di seberang telepon
“You have less than 15 hours to come to Jakarta.”
Tut
Sepanjang malam Eric tak bisa memejamkan matanya. Pikirannya dipenuhi Riana. Wanita yang dulu ia sia-siakan hanya karena kesalahpahaman.
“Ana…,” lirihnya. Ia mengambil ponselnya dan membuka galeri foto. Ibu jarinya mengusap foto yang tampak diambil secara candid dari samping. Foto seorang wanita yang sedang menggendong bayi dengan memakai daster batik.
“I miss you.”
Perlahan, mata Eric semakin berat. Ia meletakkan ponselnya di atas nakas dan memejamkan mata. Keheningan membawanya masuk ke alam mimpi.
Kedip notifikasi panggilan dengan nama kontak "My Boy" di hape lelaki itu, beberapa kali menyala tapi ia tak mengetahuinya karena ia telah mengubahnya ke mode silent. Sepertinya, Riana telah membuatnya lupa untuk menelepon sang buah hati yang biasanya rutin ia lakukan bila ia pergi ke luar kota.
Sementara itu, Xian Lie yang berada di kamarnya juga tampak belum tidur. Ia berjalan mondar mandir di depan jendela dengan ponsel di tangannya. Sepertinya, ia sedang menunggu telepon seseorang
“Erghh! Lama banget sih!”
Tak sabar, Xian Lie pun menekan nomor kontak yang ia simpan di ponselnya. Ia harus menunggu beberapa saat sebelum panggilannya diterima
“Hallo! Hei! Lama banget sih angkat teleponnya?! Kamu mau tunggu aku jamuran, baru kamu mau angkat telepon, iya?!” omel wanita itu setengah berbisik
“Dengar, aku mau kamu terus awasin wanita itu dan … jangan sampai dia berhasil bikin gaunnya. Terserah kamu mau gimana. Curi designnya kek, kainnya kek, terserah kamu! yang penting, jangan sampai dia berhasil bikin gaunnya. Mengerti?!” lanjut wanita itu lagi
Xian Lie mengangguk dan tersenyum sinis menatap ke luar jendela. Ia sepertinya senang dengan jawaban dari seseorang di seberang telepon.
“Oke, jangan bikin aku kecewa,” ucap wanita lagi sebelum menutup ponselnya.
“Riana … kamu pikir, aku lupa siapa kamu, hmm? Hahaha … jangan harap, aku bakal biarin kamu sama Eric balikan. Eric, hanya milik aku seorang. Milik … Lilie Lie.” Senyum Xian Lie mengembang. Ia mengambil gelas wine-nya dan menegaknya habis.
***
12 Oktober 2018, Apartemen Botanical, Jakarta
20.00 PM
Rasa segar di tubuh Riana karena siraman hangat pancuran shower, memulihkan kepenatan setelah seharian ia harus berpose di depan kamera dan … bekerja.
Wanita itu keluar dari kamar mandi dan menggosok rambutnya yang basah dengan handuk.
“Ah … aku harus video call Ida,” gumamnya. Masih dengan jubah mandinya, Riana mengambil laptop lalu berjalan ke luar kamar dan duduk di sofa tamu.
“Ahh … akhirnya kamu vidcall juga. Gimana shoot pre-wednya? Sukses?”
Riana tersenyum dan mengangguk. Ia mengambil ponselnya dan membuka galeri foto lalu menunjukkannya ke kamera laptopnya.
“Ada kendala dikit sih tadi tapi … akhirnya berhasil juga.”
Farida mendesah. “Haihhh … An, apa sampai sekarang kamu yakin, gak ada yang tahu siapa kamu?” tanya Farida khawatir. Alis wanita itu berkerut
Riana menaikkan kedua alisnya cepat lalu terkekeh. “Hei, Nona. Kalo mereka sudah tahu sapa aku, gak mungkinlah Dimas masih sama aku.”
Farida kembali mendesah. Wajahnya masih tersirat kekhawatiran. Riana tersenyum. “Id … jangan kuatir. Aku baik-baik aja. Besok mereka ngadain pesta pembukaan restoran baru. Dimas ngajak aku ke sana.”
“An, itu berarti kamu bakal ketemu sama om-mu! Aku gak yakin kalo dia gak tahu kamu itu siapa!” seru Farida dengan mata membulat
Riana menghela napas. “Faridaku sayang, aku dah bilang, 'kan. Jangan kuatir. Aku gak apa-apa dan sekarang udah saatnya aku ketemu sama kepalanya.”
“An … kamu belum siap! Oke … selama ini kamu masih bisa mainin anaknya karena waktu mereka ketemu kamu, mereka juga masih kecil tapi om-mu … no! No, An! Jangan datang! No!” ujar Farida panik
“Id … kamu pikir, aku bakal terus sembunyi di kantorku? Lalu untuk apa usahaku selama 2 tahun ini? Semuanya buat apa? Buat kesempatan ini!” kekeuh Riana
Farida menatap Riana khawatir. Ia mendesah. Semakin lama ia semakin tak mengenal Riana. “Please, An. Or ... kamu operasi plastik aja. Kamu memang udah cantik tapi, itu lebih baik. Kamu--”
“Id! Ida! Hei! Jangan panik. Aku bisa ngatasin si tua bangka itu, oke? Percaya aja sama aku, hmm?" hibur Riana menenangkan sahabatnya.
Farida menatap Riana dengan sendu. Air mata tiba-tiba menetes di pipi wanita berhijab itu namun ia segera menghapusnya dan memaksakan diri tersenyum.
“Oke, then. I have to get back to work. Love you, dear. Bye,” pamit Farida. Riana tersenyum dan melambai
“Bye, my Dear.”
Riana menutup laptopnya perlahan lalu menatap ke luar jendela. Ia paham kekhawatiran sahabatnya. Om-nya bukanlah orang sembarangan. Sedangkan dirinya, ia hanyalah seorang designer muda tanpa backing dan hanya mengandalkan diri sendiri. Tapi, bukankah gajah juga bisa kalah oleh semut?
“I know that I will success. Aku bakal bikin mereka … bayar semua perbuatan yang udah mereka lakuin ke mama sama Ryan. Aku … Riana, aku pasti akan ambil semua yang jadi hakku!” ucap Riana dengan senyum sinisnya.
13 Oktober 2018, Apartemen Botanical, Jakarta
09.10 AM
Kuas lembut menyapu pipi mulus Riana. Dilanjutkan pulasan lipstik berwarna peach pada bibirnya yang sempurna.
Riana menyatukan bibirnya, meratakan lipstik yang ia pakai. Cantik. Wanita itu tampak puas dengan kreasi tangannya
Ia mengganti jubah mandinya dengan atasan tanpa lengan dan celana kulot berwarna hitam dengan aksen rantai emas pada pinggangnya lalu menggerai rambut lurusnya. Ia memasang lensa kontak berwarna coklat menutupi manik hitamnya.
“Perfect!”
Ia mengambil tas hitam berbahan kulit tanpa brand namun sangat anggun, yang sudah ia siapkan semalam, sebagai pelengkap penampilannya hari ini.
Beberapa penghuni yang berpapasan dengannya di lift ataupun lobby, menatapnya kagum tapi Riana tak menghiraukannya. Ia melangkah pasti menuju drop zone, tempat mobil Grab yang menjemputnya sudah menunggu
Dimas tak jadi datang ke pesta karena ada operasi. Membatalkan kedatangannya ke pesta? Tidak ada di dalam agenda rencana Riana. Ia sudah menanti kesempatan ini. Kesempatan bertemu mereka yang sudah merebut hidupnya.
“Nona Trisha?” tanya sopir Grab dari dalam mobil. Riana mengangguk dan tersenyum lalu membuka pintu mobil.
“Nona … kita sudah sampai.”
Riana terkesiap. Ia melihat ke luar jendela. Benar. Ia sudah sampai. Sepertinya ia melamun hingga tak sadar perjalanan yang lumayan jauh, ia lewati begitu saja.
“Makasih, Pak.”
“Sama-sama, Nona.”
Riana melihat ke sana ke mari. Tempat itu memang cukup strategis untuk bisnis makanan. Banyak perkantoran dan toko-toko yang berjajar di sana. Langkahnya pun dimulai. Ia akan mencari restoran itu.
Sampai di ujung komplek pertokoan, langkah Riana terhenti. Ia membuka kacamata hitamnya dan menatap sebuah tempat yang terlihat cozy dengan karangan bunga ucapan selamat di bagian depan. Kanan dan kiri.
“Hmmph! model bangunan pun kalian jiplak!” gumam Riana sambil mengeratkan giginya.
Brukk….
Riana kehilangan keseimbangannya. Ia terhuyung ke depan
Ahhh…
Grep
Sebuah tangan tiba-tiba memegang lalu menarik tangan kirinya ke belakang dengan kuat. Tubuh Riana yang tak siap, memutar 90° dan disambut sebuah tangan yang memeluk pinggang rampingnya.
Dukkk....
Auww....
Riana meringis. Ia mendarat di tempat yang keras. Ketika keterkejutannya mulai menghilang, alis Riana menyatu. Ia menghirup aroma familiar. Aroma yang dulu selalu ia rindukan.
“Are you gonna stay in my chest forever?”
Netra Riana membelalak. Suara itu. Ia sangat mengenal suara itu. Riana mendongak dan betul, itu dia!“Eric?” panggilnya tanpa sadar. Eric melebarkan matanya. Ia juga tak menduga, wanita yang ia tubruk adalah Riana. Wanita yang selalu bergentayangan di benaknya“A-ana?”Riana segera menarik diri, menjauh dari lelaki itu lalu mengangguk. “Thanks,” ucap Riana yang kemudian berbalik dan bersiap pergi namun, tangan Eric lebih dulu mencekal lengannya“Wait!” seru EricRiana diam di tempatnya. Ia menoleh dan melihat tangan Eric masih memeganginya. Wanita itutak berucap dan tak juga bergeming.Dengan canggung, Eric melepas tangan dan menjilat bibirnya yang terasa kering. Ia ingin berucap namun tak tahu di mana ia harus memulai“Maaf, saya masih ada urusan. Permisi, Tuan,” pamit Riana dan melangkah pergi namun, kembali langkahnya terhenti.Seorang wanita ber make up
Wajah Riana berubah tegang. Ia menelan kasar salivanya. "Apa mungkin, si tua bangka ini sudah tahu siapa Aku? Gak! Gak mungkin!" batin Riana. Pikiran wanita itu mulai kalut. Keringat dingin mulai menerobos keluar dari pori-pori dahinya. Irawan mengerutkan alis saat melihat ekspresi wanita cantik di hadapannya itu. Melihat gelagat aneh Riana, Irawan perlahan mengulurkan tangan hendak menyentuh bahu mantan istri Eric Jenkins itu namun membuat wanita itu semakin gugup “Trisha? … Ada apa? Apa kamu sakit?” Riana mengerjap. Melihat tangan Irawan yang hampir menyentuhnya, reflek, satu kaki wanita itu melangkah mundur dan kembali menatap waspada, adik dari ayah kandungnya itu. Rasa mual kembali menyerang Riana. Ia berpaling dari Irawan lalu melihat ke sana ke mari, mencari celah untuk pergi. Ia ingin segera menjauh dari lelaki bernama Irawan Santosa itu. Mengerti penolakan Riana, Irawan pun menarik tangannya dan tersenyum. "Sorry ... eh, tapi ... apa
Tubuh Riana membeku. Napasnya tertahan. Dipejamkannya matanya dengan erat beberapa saat untuk menetralkan degup jantungnya.“Trisha? Itu kamu, ‘kan?” Lagi, suara itu memanggil namanya. Suara yang sangat ia kenal.Riana menelan salivanya dan perlahan memutar tubuh. Ia tersenyum dan membuka kacamata hitamnya.“Dimas? Kamu dah selesai operasinya?” tanya Riana mengalihkan pembicaraanDimas mengangguk dan meraih tangan calon istrinya itu. “Hmm. Kamu ngapain di sini?”“Nona Trisha Meriana!”Riana dan Dimas menoleh, melihat ke arah suster. Riana melipat bibirnya lalu kembali berpaling pada Dimas“Aku harus masuk. Kalo gak, tuh suster bakal terus teriak-teriak,” ujar Riana dan mulai melangkah tapi Dimas tak mau melepas pegangannya“Sha? Kamu ada masalah?”Riana mendesah. Ia tersenyum dan menatap lekat lelaki yang selama lebih hampir 2 tahun ini menjadi
Prakk….AKHHHHHH!!!!Ponsel mahal berwarna emas itu terlempar jauh berantakan. Suara jeritan kekesalan Xian Lie menggema di seluruh kamar hotel mewahnya. Matanya menyala penuh amarah. Rambutnya pun acak-acakan karena digaruknya kasar.“Riana … RIANA!!! Selalu Riana! AKHHH!!!” amuk Xian Lie seraya mengepalkan kedua tangannya. “You gone to that bitch again, right? Eric?! Huh?! ... Erghh!!!"Xian Lie berjalan cepat menuju kamar Eric. Ia berdiri di tengah kamar Eric dan melihat sekeliling kamar itu. Tatapannya berakhir pada benda pipih berlambang apel tak utuh yang ada di meja kerja Eric.Ia kembali melangkah lebar dan dengan cepat mengambil laptop milik Eric yang ada di atas meja. Ia mengangkat tinggi laptop berisi semua pekerjaan Eric dan siap membuangnya. Namun kemudian, matanya berkedip cepat. Sorot matanya terpancar keraguan untuk melakukannya.“No … no
When you're high on emotionAnd you're losing your focusAnd you feel too exhausted to prayDon't get lost in the momentOr give up when you're closestAll you need is somebody to sayIt's okay not to be okayIt's okay not to be okayWhen you're down and you feel ashamedIt's okay not to be okayLagu milik Demi Lavato menjadi penanda panggilan yang masuk ke ponsel Riana. Dengan malas, Riana bangun dan berjalan menuju meja riasnya, lalu mengambil benda pipih miliknya.“Ayu?” gumam Riana, membaca nama si pemanggil. “Ya, Yu’?” sahut Riana setelah benda pipih itu ia tempelkan di telinga“Okay. Aku berangkat bentar lagi.”Riana menutup panggilannya dan mendesah. Tubuhnya masih terasa lelah karena hanya tidur beberapa jam.Ting Tong….Riana mengerutkan alis. Ia melihat jam yang ada di
Riana dan Ayu saling berpandangan. Design motif pada kain yang mereka minta, sangat berbeda dari design yang Riana buat.“Pak … ini bukan pesanan kami,” ujar Riana pada kepala produksi yang menemuinya.Lelaki paruh baya itu mengerutkan alis dan memeriksa map di tangannya, yang berisi keterangan pesanan Riana dan mencocokkannya dengan kain yang saat ini ada pada gawangan (tempat untuk menyampirkan kain)“Bu … jelas-jelas ini pesanan Ibu. Kenapa bilang beda? Ibu mau mangkir, ya?!” tuduh lelaki itu dengan suara naik satu oktafRiana menggeleng. Ia membuka map miliknya dan memberikan salinan sketsa motif, yang ia kirim kepada lelaki itu“Pak, ini design saya, plus keterangannya. Mana yang butuh cepat dan mana yang buat bulan depan, sekalian kuantitinya,” terang Riana yang diangguki Ayu, asisten pribadi Riana“Bu! Awalnya memang ibu kirim yang ini, tapi bukannya ibu rubah lagi kemarin. Ini b
Eric tak menjawab. Ia mengambil kembali botol Whiskey dari tangan Dave dan menuangnya pada gelas, yang sudah ia isi dengan es batu.“Eric, why—”“Mind your own business, Dave,” potong Eric cepat dan berjalan menuju sofa. “Sebaiknya kamu mulai cari tahu kain apa yang Riana butuhkan dan—”“Kain Sutra, 8 yard, untuk hari Rabu depan.”Eric yang hendak duduk di sofa, tak jadi menempatkan bokongnya di sana. Ia berdiri tegak dan memutar tubuhnya menatap Dave kesal“What? Aku sudah kasih kamu infonya,” ujar Dave dengan mimik tanpa dosa“No bonus for you.”Dave melongo. Ia terkejut dan tak percaya mendengar perkataan Eric. No bonus? No way!“Eric, aku kasih kamu info soal Riana, aku juga kasih kamu info soal kainnya. Lalu apa lagi? Kenapa sih kamu suka main-main sama bonusku?” protes Dave“I count you, guilty. IF &hellip
Pagi kembali datang. Mata lentik itu mulai mengerjap dan terbuka. Senyum merekah di bibir designer muda dalam naungan Glamorous Haute Couture itu. Tubuhnya terasa segar namun....Krucukkk krucukkk....Perutnya berteriak minta di isi. Riana mendesah. Semalam ia tak sempat makan malam. Tak heran, perutnya saat ini protes minta jatah.“Morning, Sayang. Udah bangun?”Riana terlonjak kaget. Matanya terbuka lebar dan melihat ke arah suara. Dimas tersenyum manis dan berjalan mendekat sambil membawa nampan berisi susu dan roti isi.“Mas, ke-kenapa ada di sini? Ini … ini jam berapa?” tanya Riana gugup sambil memegangi selimut dan melihat jam di atas nakas, di sebelah tempat tidurnya“Jam 7. Kamu lapar, ‘kan? Semalam kamu nyenyak banget. Susah dibangunin. Jadi sekarang, isi dulu perutmu terus mandi, hmm?” ujar Dimas lembut seraya mengusap sayang kepala Riana.
Diana Arabelle Konrad, yang baru saja kembali setelah menjalani perawatan intensif karena trauma kehilangan suami dan calon bayinya, memutuskan untuk berangkat ke Praiano, sebuah kota kecil yang berada di Amalfi Coast, Italia, setelah mendengar bahwa resort yang didirikan almarhum suaminya terancam bangkrut. DD, begitu ia biasa disapa, bertekad untuk mempertahankan resort yang menyimpan kenangannya bersama almarhum sang suami. Hingga pada suatu hari, tanpa sengaja ia membantu seorang pria tak dikenal yang pingsan dengan wajah yang babak belur. Pria itu kemudian mengaku kehilangan ingatannya. Tak ingin sesuatu terjadi pada lelaki itu, DD memutuskan untuk menerimanya tinggal di resort. “Kau ingin aku membantumu?” “Kau bisa?” “Tentu saja. Tapi, aku mau imbalan.” “Imbalan?” Lelaki yang diselamatkannya itu mengangguk. Senyumnya begitu menawan namun menyimpan sejuta misteri. DD berdehem dan membetulkan duduknya.
Taman di belakang mansion Jenkins tampak meriah. Balon berwarna putih berada tepat di sisi flower arc dan meja yang ada di sisi kiri taman. Mengambil tema Rustic , gaya yang menghadirkan kesan alami dan didominasi oleh kayu-kayu, batu, tanaman menjuntai, serta lampu-lampu bolam klasik, membawa suasana terkesan akrab. Suami dari para sahabat Riana, tampak berbincang akrab dengan Eric, Sir Edmund, Boby dan ayah Riana, Iwan, Alex, Andrew, DD (adik Dylan) serta kedua asisten Eric. Tak ketinggalan, kedua orangtua Dylan juga hadir. Canda tawa acap kali terdengar disertai ledekan. Begitu riuh dan menyenangkan. Riana yang berada di jendela kamarnya, tersenyum bahagia melihat keakraban yang terjalin. Tak berhubungan darah, namun mereka lebih karib daripada saudara. Yang lebih menyejukkan hatinya, sikap Eric terhadap orang yang baru pertama kali ia temui, tak sekaku dan sedingin dulu. Senyum sudah mampu suaminya urai walau hanya setipis kain. Putranya j
“Whoahhh … ini rumah apa istana? Gede amat?”Mata dan mulut Ayu terbuka. Kakinya berjalan melambat, seiring memandang ke sekelilingnya. Rumah mewah bergaya klasik Victorian dengan warna emas yang mendominasi, benar-benar membuatnya tak bisa menahan kekaguman.“Hei, sudah ayo jalan. Kita sudah ditunggu Riana,” desak Alex. Sambil menggendong seorang balita, ia menarik tangan wanita yang saat ini terlihat lebih berisi itu untuk semakin masuk ke dalam mansion.“Ih, Mas Alex! Jangan tarik-tarik!”“Kita sudah ditunggu. Lagian jangan kayak orang udik! Ini rumah Eric Jenkins, bangsawan terhormat di negara ini. Tentu saja rumahnya tidak seperti rumah kontrakan kita. Sudah! Ayo, cepat jalan!”Ayu meringis kesal. Ia mengangkat tangan kirinya, ingin memukul lelaki yang menarik tangan kanannya itu.“Emang dasarnya aku udik, Mas! Karena udik makanya Mas Alex seenaknya saja masuk kamarku sampai k
1 tahun kemudian "Hei! Eric! Kami masih mau mengobrol dengan Ana!" seru protes Sita dan Ayu. Wajah mereka mengerut kesal. Sejak tadi, Eric selalu saja mengekori Riana dan tak membiarkan wanita itu bersama mereka walau hanya sejenak. "Sudahlah, Sayang. Kau tahu, Eric sudah terlalu lama berpuasa. Biarkan saja dia menikmati hari bebasnya sekarang," ujar Dylan seraya merangkul istrinya. "Palang merahmu juga ... sudah selesai, 'kan?" Eric menggendong pengantinnya dan menuju mansion. Ia sudah tak sabar lagi menunggu. "Eric, kembalikan aku venue," bisik Riana sambil menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Eric karena malu dengan banyaknya mata yang melihat mereka. Well ... sebuah gerakan yang salah. Karena Eric semakin tak bisa menahan diri. Perlahan, Eric menempatkan istrinya itu di atas ranjang bertabur bunga itu. Matanya yang mendamba menatap wajah cantik Riana. Ia menurunkan wajahnya. Ia melahap bibir itu. Begitu rakus dan menuntut.
Suara ayahnya, mengejutkan Riana. Wanita itu menoleh. Dengan mata yang masih berhias air mata, Riana melihat lelaki paruh baya yang berjalan ke arahnya namun dengan mata memandang ke arah Eric pergi. “Pa,” lirihnya. Iwan menunduk. Ia mendesah dan berjongkok. Dihapusnya jejak bening dari pipi putrinya. “Apa itu … yang diinginkan hatimu juga? Eric bersama wanita lain?’ Riana menunduk. Ia membasahi bibirnya. Lidahnya kelu untuk menjawab. Iwan mengambil tangan putrinya yang memainkan kuku di atas pangkuan. “Sayang, maafkan Papa. Selama ini, Papa yang salah paham pada Eric. Dia … pria dan ayah yang baik. Berkat Eric, Sans Media dan aset mamamu, kembali pada kita. Irawan dan keluarganya juga—” “Pa … apa karena dia membawa keuntungan pada kita karena itu aku harus membalas budinya dengan tubuhku?” ketus Riana. Wanita itu menghapus titik air mata yang masih saja belum berhenti di pipinya, lalu memutar kursi rodanya. “Na
“Ada apa ini, Pa?” Iwan menoleh. Ia melihat putrinya yang didorong mendekat oleh seorang perawat. Lelaki itu kemudian berdiri lalu berjalan menghampiri Riana setelah menghindari Sir Edmund yang bersimpuh di hadapannya. “Kamu sudah selesai, Nak?” Riana yang masih tak memahami apa yang terjadi, mengangguk, “Hmm. Sudah. Tapi … ada apa ini, Pa?” Iwan menggeleng. Ia menarik senyum, lalu berjalan ke belakang kursi roda Riana, mengambil alih putrinya dari perawat. “Tidak ada apa-apa, Nak. Kami—” “Ana!” Riana mengalihkan matanya. Ia memandang wajah Sir Edmund yang terlihat jauh berbeda dari sebelum ia masuk ke ruang ICU. Lelaki yang berwajah sangat mirip Eric itu terlihat sembab dengan hidung memerah. “Ana, lelaki tua ini memohon padamu. Tolong … jangan tinggalkan putraku. Kau mungkin tidak mengingatnya tapi, tapi dia sangat mencintaimu, Nak. Kalau kau ingin membalas segala perbuatannya di masa lalu … lakukan padaku. Lampiaskan
Tak mengerti dengan wajah bingung Riana, bocah itu menaikkan kakinya ke paha wanita itu dan berusaha untuk duduk di pangkuannya.Reflek, Riana segera memegangi Evan. Ia membantu bocah itu duduk di pangkuannya.“Mommy, Mommy sekarang sedikit gemuk. Hehehe….”Senyum Riana terukir. Tanpa sadar, cairan bening tiba-tiba menetas keluar dari kedua sudut matanya saat memandang wajah imut bocah itu.Ia terhenyak kala menyadarinya. Ia pun menyentuh dan mengusap cairan yang mengalir di pipinya tanpa permisi dengan telunjuk dan melihatnya bingung.“Mommy? What's the matter? Why are you crying (Ma? Ada apa? Kenapa Mama nangis)?”Riana mengangkat wajahnya dan melihat Evan. Sebuah senyuman manis kembali ia ulas di wajah cantiknya.“Ah, ini ….” Riana melihat ayahnya. Ia bingung mau berkata apa.“Itu artinya, mommy terlalu senang bertemu Evan,” sambar Alicia. Ia lantas melihat
“Ana?” panggil lirih Dave. Melangkah berat, sahabat Eric itu mendekati kursi roda Riana yang juga sudah menuju ke arahnya. “Ana?” Iwan berhenti di depan Dave. Riana mengangkat wajahnya dan mengulurkan tangan sembari mengurai senyum. “Hallo, selamat siang. Apa Anda yang ingin bertemu denganku?” Mata Dave melebar. Ia melihat Iwan sejenak, lalu menyambut uluran tangan Riana. “H-hallo. Apa kabarmu, An?” Riana menarik lurus bibirnya. Ia melihat kakinya yang ditutup dengan syal tebal lalu berkata, “Seperti yang Anda lihat. Saya … tidak bisa berjalan.” Dave menelan ludah. Ia melihat kaki Riana dan membasahi bibirnya. Ia lantas berbalik dan memanggil Aaron. “Eh, k-kenalkan. Ini adik ipar Eric. Suaminya Alicia,” ucap Dave. “Eric? Alicia?” Dave melihat Riana dan mengangguk pelan sebelum akhirnya memandang ayah kandung Riana yang memegangi kursi roda wanita itu. “Kita masuk dulu,” kata Iwan. Lelaki
Suara heel sepatu fantofel yang bersinggungan dengan keramik, menggema di lorong rumah sakit area ICU VIP itu.“Alicia, Aaron! Dave!”Alicia dan suaminya serta Dave segera berpaling. Mereka menyambut ayah kandung Eric itu dengan wajah sembab dan untaian air mata.“Dad,” panggil Alicia sembari melepas pelukan suaminya dan melebarkan kedua tangannya ke arah sang ayah.“Kenapa? Apa yang terjadi, hah?” tanya Sir Edmund. Ia berjongkok menatap wajah putrinya dan memeluknya sembari mengedarkan tatapannya pada semua yang ada di sana.“Eric … kata dokter dia … hiks … hiks….”Sir Edmund membasahi bibirnya. Ia mengusap wajah putrinya yang penuh air mata tapi juga melihat bingung ke arah Dave dan menantunya, Aaron.“Aaron! Dave! Katakan apa yang terjadi?!”Sir Edmund tak bisa lagi menahan gundah hatinya. Ia berdiri dan bertanya pada menantu dan sahabat