Eric tak menjawab. Ia mengambil kembali botol Whiskey dari tangan Dave dan menuangnya pada gelas, yang sudah ia isi dengan es batu.
“Eric, why—”
“Mind your own business, Dave,” potong Eric cepat dan berjalan menuju sofa. “Sebaiknya kamu mulai cari tahu kain apa yang Riana butuhkan dan—”
“Kain Sutra, 8 yard, untuk hari Rabu depan.”
Eric yang hendak duduk di sofa, tak jadi menempatkan bokongnya di sana. Ia berdiri tegak dan memutar tubuhnya menatap Dave kesal
“What? Aku sudah kasih kamu infonya,” ujar Dave dengan mimik tanpa dosa
“No bonus for you.”
Dave melongo. Ia terkejut dan tak percaya mendengar perkataan Eric. No bonus? No way!
“Eric, aku kasih kamu info soal Riana, aku juga kasih kamu info soal kainnya. Lalu apa lagi? Kenapa sih kamu suka main-main sama bonusku?” protes Dave
“I count you, guilty. IF &hellip
Pagi kembali datang. Mata lentik itu mulai mengerjap dan terbuka. Senyum merekah di bibir designer muda dalam naungan Glamorous Haute Couture itu. Tubuhnya terasa segar namun....Krucukkk krucukkk....Perutnya berteriak minta di isi. Riana mendesah. Semalam ia tak sempat makan malam. Tak heran, perutnya saat ini protes minta jatah.“Morning, Sayang. Udah bangun?”Riana terlonjak kaget. Matanya terbuka lebar dan melihat ke arah suara. Dimas tersenyum manis dan berjalan mendekat sambil membawa nampan berisi susu dan roti isi.“Mas, ke-kenapa ada di sini? Ini … ini jam berapa?” tanya Riana gugup sambil memegangi selimut dan melihat jam di atas nakas, di sebelah tempat tidurnya“Jam 7. Kamu lapar, ‘kan? Semalam kamu nyenyak banget. Susah dibangunin. Jadi sekarang, isi dulu perutmu terus mandi, hmm?” ujar Dimas lembut seraya mengusap sayang kepala Riana.
“Jadi, apa kamu sudah menemukan jawabannya?” tanya dokter Ariek, setelah beberapa waktu Riana duduk di hadapannya.Riana terpaksa kembali ke psikolognya hari itu, karena dokter Ariek hanya memberinya resep untuk beberapa hari saja.“Dokter, saya tahu apa tujuan saya. Hanya saja … mungkin saya tidak … tidak bisa mengutarakannya sekarang,” sahut Riana. Ia menerbitkan sedikit senyumnya dan menunduk.Ia memang punya tujuan. Dan tujuan itu adalah … menghancurkan keluarga Irawan Santosa, yang telah membuat ia, adiknya dan ibunya menderita. Tidak. Lebih dari itu. Mereka sudah menyebabkan adiknya, Ryan dan juga ibunya, meninggal.Dokter Ariek mengangguk dan tersenyum. “Baiklah. Aku tidak akan memaksa. Lalu … bagaimana pekerjaanmu? Semua lancar?”Riana kembali mengangguk. dokter Ariek terlihat puas. “Baiklah. Itu bagus. Kamu tidak lagi merasa mual muntah atau … tiba-tiba ingin mara
“Look what you’ve done, Wendy! Ck ...," decak Irawan kesal.Wendy menoleh dan menatap suaminya dengan alis berkerut."Kamu tuh … bisa gak sih … sekaliii aja, jangan bikin orang naik darah, hmm? Kalo gak ngejek orang, mulutmu gatal, ya?” sergah Irawan pada istrinya.Wendy terhenyak mendengar hardikan suaminya. Ia mendengkus dan menatap tajam lelaki yang telah menjadi suaminya, selama lebih dari 26 tahun itu.“Apa kamu bilang? … IRAWAN! Kamu jangan seenaknya aja ngomong, ya! Aku ‘kan—”“Enough! I’m done! You make me lose my appetite,” sambar Irawan dan meletakkan alat makannya. Lelaki itu berdiri dan meninggalkan istrinya seorang diri di ruang makan.Wendy menatap geram suaminya dan mengepalkan kedua tangannya. Kekesalannya pada Riana bertambah.“Trishaa … you damn woman! ERGHHH!!” geram Wendy. Wajahnya yang telah berpoles make up tebal d
Ayu menelan kembali perkataannya, karena suara ketokan di pintu kaca kantor Riana. Ayu menoleh, tampak asisten Ellena menunggu di depan pintu.Riana, designer muda bertubuh ramping itu mengangguk, mempersilahkan asisten atasannya itu masuk.“Maaf, Bu. Anda dipanggil bu Ellena ke kantornya,” info wanita itu sopanRiana tersenyum dan mengangguk. “Oke. Terima kasih. Aku akan ke sana sebentar lagi.”Asisten Ellena itu mengangguk dan berbalik pergi. Ayu kembali melihat ke arah Riana dan hendak berbicara. Namun, Riana sudah meraih gagang telepon dan menelepon seseorang“Nis, tolong nanti ambilkan aku sampel kain batik Gorga, ya? Kalo aku gak ada, taruh aja dimejaku … makasih,” pinta Riana pada seseorang di telepon“Bu, Ayu—”“Aku harus ke ruangan bu Ellena. Pikirkan yang aku bilang tadi,” sambar Riana dan berlalu pergi.***
Hangzhou, ChinaAwan mendung menghias langit kota berjuluk “Kota Sutra”, yang terletak di propinsi Zhejiang, China itu, ketika pesawat yang membawa Eric, landing di landasan bandara Xiaoshan, Hangzhou.Dengan terbungkus jaket yang sedikit tebal, Eric berjalan menuju mobil yang sudah Dave siapkan untuknya.“Welcome, Sir,” sapa sopir bermata sipit sambil membungkuk hormat.“Hmm. Ke JF Corp,” titah Eric, sebelum ia masuk ke dalam mobil berlogo Jaguar itu.“Sir, ini sudah jam 9,” sahut sopir itu mengingatkan.Eric yang baru saja duduk di dalam mobil, menoleh dan melihat sopirnya itu datar. “Close the door and take me to JF Corp.”GlekSopir itu menelan ludah. Tatapan datar dan suara dingin Eric, mampu membuatnya gemetar.“Y-yes, Sir. Sorry, Sir,” ujar si sopir, lalu menutup pintu mobil.Sopir malang itu segera berlari k
1 roll sutra berwarna putih yang masih dalam bungkus plastic, melintang di antara jok mobil hingga ke bagasi. “Boleh … saya cek?” tanya Riana sopan, lalu menoleh ke arah Eric yang berdiri bersamanya di belakang bagasi mobil yang terbuka. Eric mengangguk dan mempersilahkan Riana dengan satu tangannya terjulur ke samping. Wanita itu pun mengangguk dan mulai membuka plastic. Riana terkejut mendapati kain yang di bawa Eric itu. Itu adalah kain sutra terbaik dan termahal di dunia. Sutra Murbei. Harga per yard-nya saja mencapai US$100 dan ini ada … 1 roll atau sekitar 54 yards. Riana menoleh dan menatap Eric dengan ekspresi tercengangnya. “Ini … ini Sutra Murbei!” seru Riana. Tangannya terus meraba kain yang sangat lembut itu. Eric tersenyum dan mengangguk. “Yup! Correct! You like it?” sahut Eric bangga. Riana kembali melihat kain itu dan memundurkan langkahnya. Ia menggelengkan kepala lalu berbalik, bersiap pergi. “Wait!” cegah Eric
Pertanyaan polos Evan, menyentak dada Eric. Ia terdiam dan tak mampu menjawab. Melihat mata putranya yang mulai terkumpul buliran air bening, membuat dadanya terasa sesak.Jika saja … iya, jika saja 3,5 tahun yang lalu ia lebih mempercayai Riana, juga tak memaksa memisahkan putranya dari sang ibu, mungkin saat ini … putranya tak akan seperti ini. Menyalahkan diri karena kehilangan sosok ibu.Sejak sekolah, keceriaan Evan menghilang. Putranya itu tak lagi mau bermain di luar rumah. Setiap hari, Evan hanya diam di dalam kamar dan menggambar atau bermain dengan gadgetnya.Flashback“Tanda tangan ini surat ini dan kau boleh pergi,” titah Eric.Dengan air mata berlinang dan tangan gemetar, Riana mengambil surat yang disodorkan Eric. Air matanya terjatuh bebas, saat membaca yang tertulis di sana.“K-kau … melarangku….” Perkataan Riana tersendat. Ia me
“Dok, pasien di bed 19, tidak mau makan. Apa perlu saya pasang infus?” “Iya, sama tolong kasih tahu bagian MRI, aku mau—” Tok … tok…. Suara ketukan di pintu ruangannya, mengalihkan perhatian Dimas yang sedang berbincang dengan salah satu susternya. “Hai … lunch?” Riana mengangkat kotak bekal di tanganya dan tersenyum pada lelaki dengan jas dokter itu. Dimas mendesah. Ia tak menjawab dan kembali memberi perintah pada susternya. “Oke, gitu aja. Dan siapkan ruang operasi 2 untuk jam 3 ini.” Suster itu mengangguk dan meminta diri. Dimas tak menggubris Riana. Ia kembali menatap berkas di tangannya. “Oh, jadi … masih marah nih ceritanya. Ya udah, aku balik lagi kalo gitu,” goda Riana seraya berpura-pura membalikkan badan. “Bukannya kamu sibuk, kok sempet ke sini?” sindir Dimas tak mau kalah. Masih dengan pulpen di tangannya, menulis sesuatu pada map di depannya “Ohoo … masih mara