Hangzhou, China
Awan mendung menghias langit kota berjuluk “Kota Sutra”, yang terletak di propinsi Zhejiang, China itu, ketika pesawat yang membawa Eric, landing di landasan bandara Xiaoshan, Hangzhou.
Dengan terbungkus jaket yang sedikit tebal, Eric berjalan menuju mobil yang sudah Dave siapkan untuknya.
“Welcome, Sir,” sapa sopir bermata sipit sambil membungkuk hormat.
“Hmm. Ke JF Corp,” titah Eric, sebelum ia masuk ke dalam mobil berlogo Jaguar itu.
“Sir, ini sudah jam 9,” sahut sopir itu mengingatkan.
Eric yang baru saja duduk di dalam mobil, menoleh dan melihat sopirnya itu datar. “Close the door and take me to JF Corp.”
Glek
Sopir itu menelan ludah. Tatapan datar dan suara dingin Eric, mampu membuatnya gemetar.
“Y-yes, Sir. Sorry, Sir,” ujar si sopir, lalu menutup pintu mobil.
Sopir malang itu segera berlari k
1 roll sutra berwarna putih yang masih dalam bungkus plastic, melintang di antara jok mobil hingga ke bagasi. “Boleh … saya cek?” tanya Riana sopan, lalu menoleh ke arah Eric yang berdiri bersamanya di belakang bagasi mobil yang terbuka. Eric mengangguk dan mempersilahkan Riana dengan satu tangannya terjulur ke samping. Wanita itu pun mengangguk dan mulai membuka plastic. Riana terkejut mendapati kain yang di bawa Eric itu. Itu adalah kain sutra terbaik dan termahal di dunia. Sutra Murbei. Harga per yard-nya saja mencapai US$100 dan ini ada … 1 roll atau sekitar 54 yards. Riana menoleh dan menatap Eric dengan ekspresi tercengangnya. “Ini … ini Sutra Murbei!” seru Riana. Tangannya terus meraba kain yang sangat lembut itu. Eric tersenyum dan mengangguk. “Yup! Correct! You like it?” sahut Eric bangga. Riana kembali melihat kain itu dan memundurkan langkahnya. Ia menggelengkan kepala lalu berbalik, bersiap pergi. “Wait!” cegah Eric
Pertanyaan polos Evan, menyentak dada Eric. Ia terdiam dan tak mampu menjawab. Melihat mata putranya yang mulai terkumpul buliran air bening, membuat dadanya terasa sesak.Jika saja … iya, jika saja 3,5 tahun yang lalu ia lebih mempercayai Riana, juga tak memaksa memisahkan putranya dari sang ibu, mungkin saat ini … putranya tak akan seperti ini. Menyalahkan diri karena kehilangan sosok ibu.Sejak sekolah, keceriaan Evan menghilang. Putranya itu tak lagi mau bermain di luar rumah. Setiap hari, Evan hanya diam di dalam kamar dan menggambar atau bermain dengan gadgetnya.Flashback“Tanda tangan ini surat ini dan kau boleh pergi,” titah Eric.Dengan air mata berlinang dan tangan gemetar, Riana mengambil surat yang disodorkan Eric. Air matanya terjatuh bebas, saat membaca yang tertulis di sana.“K-kau … melarangku….” Perkataan Riana tersendat. Ia me
“Dok, pasien di bed 19, tidak mau makan. Apa perlu saya pasang infus?” “Iya, sama tolong kasih tahu bagian MRI, aku mau—” Tok … tok…. Suara ketukan di pintu ruangannya, mengalihkan perhatian Dimas yang sedang berbincang dengan salah satu susternya. “Hai … lunch?” Riana mengangkat kotak bekal di tanganya dan tersenyum pada lelaki dengan jas dokter itu. Dimas mendesah. Ia tak menjawab dan kembali memberi perintah pada susternya. “Oke, gitu aja. Dan siapkan ruang operasi 2 untuk jam 3 ini.” Suster itu mengangguk dan meminta diri. Dimas tak menggubris Riana. Ia kembali menatap berkas di tangannya. “Oh, jadi … masih marah nih ceritanya. Ya udah, aku balik lagi kalo gitu,” goda Riana seraya berpura-pura membalikkan badan. “Bukannya kamu sibuk, kok sempet ke sini?” sindir Dimas tak mau kalah. Masih dengan pulpen di tangannya, menulis sesuatu pada map di depannya “Ohoo … masih mara
Warning 21+“M-mas, ja—”Belum selesai Riana berbicara, Dimas melepas pelukannya dan menata anak rambut Riana. Menyibaknya ke belakang telinga wanita itu.Riana hanya terdiam dan tak bisa menolak. Ia sadar ada Eric dan keluarga Dimas di sana.“Oh, Nona Trisha. Jadi, ini calon suaminya?”Dimas mengalihkan tatapannya pada Xian Lie, diikuti Riana yang memutar badan.“Iya, saya calon suaminya Trisha,” sahut Dimas sambil tersenyum tipis. Mata Dimas bisa melihat tatapan tak bersahabat Eric padanya dan Trisha.“Oh, selamat ya. Kapan pernikahannya?” lanjut Xian Lie bertanya.“Ngapain ditanya, Lie. Mereka ‘kan udah tinggal bareng. Menikah resmi ato gak, sama aja buat mereka,” serobot Wendy dengan tatapan mencibir.Riana memejamkan matanya. Ia benar-benar ingin menjambak istri pamannya itu. Dimas mengeraskan rahang dan b
Suara piano mengalun indah, seolah menghantar lelaki yang duduk santai dengan tangan memegang segelas whiskey, masuk kedalam alam yang berbeda.Matanya terpejam dan menyandarkan kepalanya. Sesekali ia mengangkat kepalanya, untuk menyesap minumannya.Benaknya mengelana, mengingat kejadian sore tadi, saat Riana ada dalam pelukan lelaki lain.“Ana…,” erang lelaki itu dengan suara parau. "Why ... why are you with him? Do I not good enough for you? Huh?!"Tok … tok….Lelaki itu sekilas melihat ke pintu, lalu beralih memandang gelasnya dan menegaknya habis, menyisakan 2 biji es batu.Ia kembali meletakkan kepalanya di sandaran sofa dan merasakan sensasi hangat yang menjalar di tenggorokannya.Ia tampak tak peduli dengan 3 orang yang baru saja masuk dan mendekatinya.“Sir, I brought you the best girl we ever had. I hope … they will—”Lelaki de
Acara JFW semakin dekat. Kesibukan Riana semakin meningkat. Hingga jam menunjuk pukul 12.55, tak terlihat bahwa wanita itu akan mengambil jeda dari kesibukannya saat ini.“Yu’ kirim semua berkas ini ke bu Ellena dan minta dia tanda tangan. Oh, ya … soal kain buat gaun Nona Lie, gimana? Apa pak Mandor sudah kasih tahu kapan bisa kirim?”Masih memeriksa hasil akhir design yang ia buat untuk JFW, Riana bertanya pada asisten pribadinya, yang juga membantunya memilah busana yang akan dipakai para model untuk JFW itu.“Eh, pak Mandor belum telepon, Bu. Apa Ayu telpon sekarang?”Riana mengerutkan bibirnya dan tampak berpikir. “Hmm ... kamu coba besok aja. Ini baru 3 hari. Oh, ya. Sekalian tolong kamu pesanin aku Go Food, ya,” sahut Riana“Baik, Bu. Kalo begitu saya ke ruangan bu Ellena dulu,” pamit Ayu seraya mengambil beberapa map yang diletakkan Riana di atas meja.Sementara itu, di lua
Warning 21+Dimas sedang menyiapkan makan malam, saat Riana baru saja tiba di apartemennya. Wanita itu mengganti sepatunya dengan sandal, lalu berjalan menuju dapur dengan 2 kresek penuh belanjaan di tangannya.“Udah tadi, Mas?” sapa Riana seraya meletakkan belanjaannya di island dapur.Dimas hanya menoleh sekilas dan berdehem, “Hmm.”Riana mengerutkan alis. Tak biasanya Dimas begitu cuek padanya. Riana menggelengkan kepala dan mulai menata semua belanjaannya ke dalam kulkas dan lemari penyimpanan bahan makanan,“Makanannya sudah siap, ayo makan dulu,” ajak Dimas. Lelaki itu menarik kursi dan duduk.“Mas makan sendiri, ya. Aku tadi udah makan,” sahut Riana sambil meneruskan kegiatannya.Dimas menghela napas. Ia berdiri, lalu mengambil semua makanan yang tadi ia siapkan di meja, lalu membuangnya ke sampah.“Lho … Mas! Kok dibuang
Tok … tok …. “Cathlyn! Cathlyn!” Cathlyn yang baru saja membaringkan tubuhnya, terpaksa bangun dan menuju ke pintu. Manajernya tak akan berhenti berteriak memanggilnya, sebelum ia membuka pintu kamarnya. Ceklek “Ck … ada apa sih, Kak Mer? Ribut banget. Masih ada om Irawan di dalam. Lagi mandi,” decak sebal Cathlyn sambil berbalik dan berjalan menuju tempat tidurnya. Merry mendesah. Ia melirik ke arah kamar mandi dan berjalan cepat mendekati Cathlyn. “Tapi, Cath, hari ini kamu ada syuting di Ancol. Kita juga harus ketemuan sama Alex. Kalo sampe telat, bisa berabe kita,” ujar Merry, manajer Cathlyn yang sudah beberapa tahun ini menjadi tangan kanan Cathlyn. Cathlyn memutar bola matanya malas. Ia duduk di pinggir tempat tidur dan mengambil botol coke yang ada di atas nakas. “Kak Mer, ngapain harus takut sama si Alex. Dia itu ‘kan cuma fotografer. Ngapain sampe
Diana Arabelle Konrad, yang baru saja kembali setelah menjalani perawatan intensif karena trauma kehilangan suami dan calon bayinya, memutuskan untuk berangkat ke Praiano, sebuah kota kecil yang berada di Amalfi Coast, Italia, setelah mendengar bahwa resort yang didirikan almarhum suaminya terancam bangkrut. DD, begitu ia biasa disapa, bertekad untuk mempertahankan resort yang menyimpan kenangannya bersama almarhum sang suami. Hingga pada suatu hari, tanpa sengaja ia membantu seorang pria tak dikenal yang pingsan dengan wajah yang babak belur. Pria itu kemudian mengaku kehilangan ingatannya. Tak ingin sesuatu terjadi pada lelaki itu, DD memutuskan untuk menerimanya tinggal di resort. “Kau ingin aku membantumu?” “Kau bisa?” “Tentu saja. Tapi, aku mau imbalan.” “Imbalan?” Lelaki yang diselamatkannya itu mengangguk. Senyumnya begitu menawan namun menyimpan sejuta misteri. DD berdehem dan membetulkan duduknya.
Taman di belakang mansion Jenkins tampak meriah. Balon berwarna putih berada tepat di sisi flower arc dan meja yang ada di sisi kiri taman. Mengambil tema Rustic , gaya yang menghadirkan kesan alami dan didominasi oleh kayu-kayu, batu, tanaman menjuntai, serta lampu-lampu bolam klasik, membawa suasana terkesan akrab. Suami dari para sahabat Riana, tampak berbincang akrab dengan Eric, Sir Edmund, Boby dan ayah Riana, Iwan, Alex, Andrew, DD (adik Dylan) serta kedua asisten Eric. Tak ketinggalan, kedua orangtua Dylan juga hadir. Canda tawa acap kali terdengar disertai ledekan. Begitu riuh dan menyenangkan. Riana yang berada di jendela kamarnya, tersenyum bahagia melihat keakraban yang terjalin. Tak berhubungan darah, namun mereka lebih karib daripada saudara. Yang lebih menyejukkan hatinya, sikap Eric terhadap orang yang baru pertama kali ia temui, tak sekaku dan sedingin dulu. Senyum sudah mampu suaminya urai walau hanya setipis kain. Putranya j
“Whoahhh … ini rumah apa istana? Gede amat?”Mata dan mulut Ayu terbuka. Kakinya berjalan melambat, seiring memandang ke sekelilingnya. Rumah mewah bergaya klasik Victorian dengan warna emas yang mendominasi, benar-benar membuatnya tak bisa menahan kekaguman.“Hei, sudah ayo jalan. Kita sudah ditunggu Riana,” desak Alex. Sambil menggendong seorang balita, ia menarik tangan wanita yang saat ini terlihat lebih berisi itu untuk semakin masuk ke dalam mansion.“Ih, Mas Alex! Jangan tarik-tarik!”“Kita sudah ditunggu. Lagian jangan kayak orang udik! Ini rumah Eric Jenkins, bangsawan terhormat di negara ini. Tentu saja rumahnya tidak seperti rumah kontrakan kita. Sudah! Ayo, cepat jalan!”Ayu meringis kesal. Ia mengangkat tangan kirinya, ingin memukul lelaki yang menarik tangan kanannya itu.“Emang dasarnya aku udik, Mas! Karena udik makanya Mas Alex seenaknya saja masuk kamarku sampai k
1 tahun kemudian "Hei! Eric! Kami masih mau mengobrol dengan Ana!" seru protes Sita dan Ayu. Wajah mereka mengerut kesal. Sejak tadi, Eric selalu saja mengekori Riana dan tak membiarkan wanita itu bersama mereka walau hanya sejenak. "Sudahlah, Sayang. Kau tahu, Eric sudah terlalu lama berpuasa. Biarkan saja dia menikmati hari bebasnya sekarang," ujar Dylan seraya merangkul istrinya. "Palang merahmu juga ... sudah selesai, 'kan?" Eric menggendong pengantinnya dan menuju mansion. Ia sudah tak sabar lagi menunggu. "Eric, kembalikan aku venue," bisik Riana sambil menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Eric karena malu dengan banyaknya mata yang melihat mereka. Well ... sebuah gerakan yang salah. Karena Eric semakin tak bisa menahan diri. Perlahan, Eric menempatkan istrinya itu di atas ranjang bertabur bunga itu. Matanya yang mendamba menatap wajah cantik Riana. Ia menurunkan wajahnya. Ia melahap bibir itu. Begitu rakus dan menuntut.
Suara ayahnya, mengejutkan Riana. Wanita itu menoleh. Dengan mata yang masih berhias air mata, Riana melihat lelaki paruh baya yang berjalan ke arahnya namun dengan mata memandang ke arah Eric pergi. “Pa,” lirihnya. Iwan menunduk. Ia mendesah dan berjongkok. Dihapusnya jejak bening dari pipi putrinya. “Apa itu … yang diinginkan hatimu juga? Eric bersama wanita lain?’ Riana menunduk. Ia membasahi bibirnya. Lidahnya kelu untuk menjawab. Iwan mengambil tangan putrinya yang memainkan kuku di atas pangkuan. “Sayang, maafkan Papa. Selama ini, Papa yang salah paham pada Eric. Dia … pria dan ayah yang baik. Berkat Eric, Sans Media dan aset mamamu, kembali pada kita. Irawan dan keluarganya juga—” “Pa … apa karena dia membawa keuntungan pada kita karena itu aku harus membalas budinya dengan tubuhku?” ketus Riana. Wanita itu menghapus titik air mata yang masih saja belum berhenti di pipinya, lalu memutar kursi rodanya. “Na
“Ada apa ini, Pa?” Iwan menoleh. Ia melihat putrinya yang didorong mendekat oleh seorang perawat. Lelaki itu kemudian berdiri lalu berjalan menghampiri Riana setelah menghindari Sir Edmund yang bersimpuh di hadapannya. “Kamu sudah selesai, Nak?” Riana yang masih tak memahami apa yang terjadi, mengangguk, “Hmm. Sudah. Tapi … ada apa ini, Pa?” Iwan menggeleng. Ia menarik senyum, lalu berjalan ke belakang kursi roda Riana, mengambil alih putrinya dari perawat. “Tidak ada apa-apa, Nak. Kami—” “Ana!” Riana mengalihkan matanya. Ia memandang wajah Sir Edmund yang terlihat jauh berbeda dari sebelum ia masuk ke ruang ICU. Lelaki yang berwajah sangat mirip Eric itu terlihat sembab dengan hidung memerah. “Ana, lelaki tua ini memohon padamu. Tolong … jangan tinggalkan putraku. Kau mungkin tidak mengingatnya tapi, tapi dia sangat mencintaimu, Nak. Kalau kau ingin membalas segala perbuatannya di masa lalu … lakukan padaku. Lampiaskan
Tak mengerti dengan wajah bingung Riana, bocah itu menaikkan kakinya ke paha wanita itu dan berusaha untuk duduk di pangkuannya.Reflek, Riana segera memegangi Evan. Ia membantu bocah itu duduk di pangkuannya.“Mommy, Mommy sekarang sedikit gemuk. Hehehe….”Senyum Riana terukir. Tanpa sadar, cairan bening tiba-tiba menetas keluar dari kedua sudut matanya saat memandang wajah imut bocah itu.Ia terhenyak kala menyadarinya. Ia pun menyentuh dan mengusap cairan yang mengalir di pipinya tanpa permisi dengan telunjuk dan melihatnya bingung.“Mommy? What's the matter? Why are you crying (Ma? Ada apa? Kenapa Mama nangis)?”Riana mengangkat wajahnya dan melihat Evan. Sebuah senyuman manis kembali ia ulas di wajah cantiknya.“Ah, ini ….” Riana melihat ayahnya. Ia bingung mau berkata apa.“Itu artinya, mommy terlalu senang bertemu Evan,” sambar Alicia. Ia lantas melihat
“Ana?” panggil lirih Dave. Melangkah berat, sahabat Eric itu mendekati kursi roda Riana yang juga sudah menuju ke arahnya. “Ana?” Iwan berhenti di depan Dave. Riana mengangkat wajahnya dan mengulurkan tangan sembari mengurai senyum. “Hallo, selamat siang. Apa Anda yang ingin bertemu denganku?” Mata Dave melebar. Ia melihat Iwan sejenak, lalu menyambut uluran tangan Riana. “H-hallo. Apa kabarmu, An?” Riana menarik lurus bibirnya. Ia melihat kakinya yang ditutup dengan syal tebal lalu berkata, “Seperti yang Anda lihat. Saya … tidak bisa berjalan.” Dave menelan ludah. Ia melihat kaki Riana dan membasahi bibirnya. Ia lantas berbalik dan memanggil Aaron. “Eh, k-kenalkan. Ini adik ipar Eric. Suaminya Alicia,” ucap Dave. “Eric? Alicia?” Dave melihat Riana dan mengangguk pelan sebelum akhirnya memandang ayah kandung Riana yang memegangi kursi roda wanita itu. “Kita masuk dulu,” kata Iwan. Lelaki
Suara heel sepatu fantofel yang bersinggungan dengan keramik, menggema di lorong rumah sakit area ICU VIP itu.“Alicia, Aaron! Dave!”Alicia dan suaminya serta Dave segera berpaling. Mereka menyambut ayah kandung Eric itu dengan wajah sembab dan untaian air mata.“Dad,” panggil Alicia sembari melepas pelukan suaminya dan melebarkan kedua tangannya ke arah sang ayah.“Kenapa? Apa yang terjadi, hah?” tanya Sir Edmund. Ia berjongkok menatap wajah putrinya dan memeluknya sembari mengedarkan tatapannya pada semua yang ada di sana.“Eric … kata dokter dia … hiks … hiks….”Sir Edmund membasahi bibirnya. Ia mengusap wajah putrinya yang penuh air mata tapi juga melihat bingung ke arah Dave dan menantunya, Aaron.“Aaron! Dave! Katakan apa yang terjadi?!”Sir Edmund tak bisa lagi menahan gundah hatinya. Ia berdiri dan bertanya pada menantu dan sahabat