Warning 21+
“M-mas, ja—”
Belum selesai Riana berbicara, Dimas melepas pelukannya dan menata anak rambut Riana. Menyibaknya ke belakang telinga wanita itu.
Riana hanya terdiam dan tak bisa menolak. Ia sadar ada Eric dan keluarga Dimas di sana.
“Oh, Nona Trisha. Jadi, ini calon suaminya?”
Dimas mengalihkan tatapannya pada Xian Lie, diikuti Riana yang memutar badan.
“Iya, saya calon suaminya Trisha,” sahut Dimas sambil tersenyum tipis. Mata Dimas bisa melihat tatapan tak bersahabat Eric padanya dan Trisha.
“Oh, selamat ya. Kapan pernikahannya?” lanjut Xian Lie bertanya.
“Ngapain ditanya, Lie. Mereka ‘kan udah tinggal bareng. Menikah resmi ato gak, sama aja buat mereka,” serobot Wendy dengan tatapan mencibir.
Riana memejamkan matanya. Ia benar-benar ingin menjambak istri pamannya itu. Dimas mengeraskan rahang dan b
Suara piano mengalun indah, seolah menghantar lelaki yang duduk santai dengan tangan memegang segelas whiskey, masuk kedalam alam yang berbeda.Matanya terpejam dan menyandarkan kepalanya. Sesekali ia mengangkat kepalanya, untuk menyesap minumannya.Benaknya mengelana, mengingat kejadian sore tadi, saat Riana ada dalam pelukan lelaki lain.“Ana…,” erang lelaki itu dengan suara parau. "Why ... why are you with him? Do I not good enough for you? Huh?!"Tok … tok….Lelaki itu sekilas melihat ke pintu, lalu beralih memandang gelasnya dan menegaknya habis, menyisakan 2 biji es batu.Ia kembali meletakkan kepalanya di sandaran sofa dan merasakan sensasi hangat yang menjalar di tenggorokannya.Ia tampak tak peduli dengan 3 orang yang baru saja masuk dan mendekatinya.“Sir, I brought you the best girl we ever had. I hope … they will—”Lelaki de
Acara JFW semakin dekat. Kesibukan Riana semakin meningkat. Hingga jam menunjuk pukul 12.55, tak terlihat bahwa wanita itu akan mengambil jeda dari kesibukannya saat ini.“Yu’ kirim semua berkas ini ke bu Ellena dan minta dia tanda tangan. Oh, ya … soal kain buat gaun Nona Lie, gimana? Apa pak Mandor sudah kasih tahu kapan bisa kirim?”Masih memeriksa hasil akhir design yang ia buat untuk JFW, Riana bertanya pada asisten pribadinya, yang juga membantunya memilah busana yang akan dipakai para model untuk JFW itu.“Eh, pak Mandor belum telepon, Bu. Apa Ayu telpon sekarang?”Riana mengerutkan bibirnya dan tampak berpikir. “Hmm ... kamu coba besok aja. Ini baru 3 hari. Oh, ya. Sekalian tolong kamu pesanin aku Go Food, ya,” sahut Riana“Baik, Bu. Kalo begitu saya ke ruangan bu Ellena dulu,” pamit Ayu seraya mengambil beberapa map yang diletakkan Riana di atas meja.Sementara itu, di lua
Warning 21+Dimas sedang menyiapkan makan malam, saat Riana baru saja tiba di apartemennya. Wanita itu mengganti sepatunya dengan sandal, lalu berjalan menuju dapur dengan 2 kresek penuh belanjaan di tangannya.“Udah tadi, Mas?” sapa Riana seraya meletakkan belanjaannya di island dapur.Dimas hanya menoleh sekilas dan berdehem, “Hmm.”Riana mengerutkan alis. Tak biasanya Dimas begitu cuek padanya. Riana menggelengkan kepala dan mulai menata semua belanjaannya ke dalam kulkas dan lemari penyimpanan bahan makanan,“Makanannya sudah siap, ayo makan dulu,” ajak Dimas. Lelaki itu menarik kursi dan duduk.“Mas makan sendiri, ya. Aku tadi udah makan,” sahut Riana sambil meneruskan kegiatannya.Dimas menghela napas. Ia berdiri, lalu mengambil semua makanan yang tadi ia siapkan di meja, lalu membuangnya ke sampah.“Lho … Mas! Kok dibuang
Tok … tok …. “Cathlyn! Cathlyn!” Cathlyn yang baru saja membaringkan tubuhnya, terpaksa bangun dan menuju ke pintu. Manajernya tak akan berhenti berteriak memanggilnya, sebelum ia membuka pintu kamarnya. Ceklek “Ck … ada apa sih, Kak Mer? Ribut banget. Masih ada om Irawan di dalam. Lagi mandi,” decak sebal Cathlyn sambil berbalik dan berjalan menuju tempat tidurnya. Merry mendesah. Ia melirik ke arah kamar mandi dan berjalan cepat mendekati Cathlyn. “Tapi, Cath, hari ini kamu ada syuting di Ancol. Kita juga harus ketemuan sama Alex. Kalo sampe telat, bisa berabe kita,” ujar Merry, manajer Cathlyn yang sudah beberapa tahun ini menjadi tangan kanan Cathlyn. Cathlyn memutar bola matanya malas. Ia duduk di pinggir tempat tidur dan mengambil botol coke yang ada di atas nakas. “Kak Mer, ngapain harus takut sama si Alex. Dia itu ‘kan cuma fotografer. Ngapain sampe
“Bu, apa Ibu yakin saya bisa?” Ini kesekian kalinya asisten Riana itu bertanya. Mulai dari kantor hingga ke restoran ini. Seolah, satu kali jawaban Riana, tak mampu meyakinkannya.Riana menarik bibirnya dan mendesah. Ia bersandar pada kursinya dan menatap datar gadis ayu di hadapannya, sambil bersedekap.“Yu’ dengar ya … kamu pikir, aku bakal kasih tugas ini ke kamu, kalo menurut aku kamu gak bisa, hmm?” tanya Riana balik dan memutar bola matanya.Ayu menggigit bibir bawahnya. Ia masih tak yakin akan dirinya sendiri.“Yu’, kamu gak sadar, ya? Kamu itu cantik, badanmu proporsional, kulitmu juga bagus … kamu cuma perlu percaya sama diri kamu sendiri, terus ganti kacamatamu sama kontak lens, beres!" lanjut Riana.Ayu menatap dirinya sendiri di kamera hp. Riana mengerti bagaimana perasaan Ayu.Wanita tinggi semampai itu, terbiasa hidup di bawah tekanan ekonomi keluarga.Selalu bekerj
Malangkah gontai, Irawan masuk ke dalam rumah sambil menenteng jasnya. Ia berhenti, ketika melihat sang istri menghalangi jalannya.“Wendy, ada apa lagi?” desah Irawan“Kamu bilang kemarin ada meeting di kantor? Kantor mana?” cecar WendyIrawan memijat tengkuknya, lalu menatap jengah istrinya itu. Tak mau menjawab, ia pun memilih menghindari Wendy dan menaiki tangga.“Pa! Berhenti!” sentak Wendy.Wanita itu berbalik dan menatap garang suaminya. “Kamu boong ‘kan?! Kemarin katanya kamu mau ke kantor karna ada klien. Tapi kenyataannya, kamu sama pelacur itu lagi ‘kan? Hah?!”“Wendy! Jaga bicaramu!” sergah Irawan.“Kamu itu yang harus jaga kelakuanmu! Minggu bukannya kumpul sama keluarga, kamu malah enak-enakkan sama jalangmu itu!” amuk Wendy dengan napas memburu dan menunjuk Irawan“HAKKHH!!! KARENA SIKAPMU INI, MAKANYA AKU CARI YANG LAIN! NG
Mobil yang mengantarkan Riana ke apartemennya, berhenti di drop zone depan gedung apartemen berlantai 40 itu. Wanita itu segera membuka seat beltnya dan bersiap turun.“Ana, see you again,” ucap Eric.Riana menoleh dan tersenyum tipis. “Kita sudah sepakat untuk bertemu bila ada urusan bisnis saja, Tuan Jenkins.Dan saya harap, ini adalah yang terakhir kita bertemu di luar jam kerja,” sahut Riana dan mulai turun dari mobil.“Ana … apa karena sudah punya pasangan, kita tidak boleh bergaul dengan yang lain?” tanya Eric dan menatap lekat wanita itu.Riana kembali duduk di jok mobil dan mendesah. “Bukan begitu tapi, kita punya masa lalu bersama.Saya tidak mau pasangan saya salah paham dan menyakiti pasangan anda juga. Saya harap anda mengerti. Selamat malam, Tuan Jenkins, Dave.”Selesai dengan ucapannya dan berpamitan pada Eric dan Dave, Riana turun dan berjalan masuk ke lobby gedung
“Trisha? Aku pikir kamu gak datang,” ujar Dokter Ariek sambil tersenyum dan mempersilahkan Riana duduk.“Mau gimana lagi. Obat saya habis,”sahut Riana. Nada suaranya terdengar ketus.Dokter Ariek terkekeh. Ia mengambil berkas Riana yang ada di mejanya, lalu kembali duduk di sofa, berseberangan dengan Riana.“Bukannya saya gak mau kasih kamu, tapi kapan hari … kamu ‘kan langsung pulang. Saya juga belum selesai survei perkembanganmu, Trisha,” jawab dokter Ariek.Riana memutar bola matanya malas dan mencebik.“Sekarang, bisa kamu cerita kegiatanmu beberapa hari ini?” lanjut Dr. Ariek.Riana menyandarkan kepalanya di sofa dan menghembuskan napas. Ia pun mengerucutkan bibirnya dan mendengkus.“Apalagi, Dok. Seperti biasa. Saya kerja, pulang rumah. Itu aja. Gak ada yang penting,” sahut Riana malas.“Oh ya? Bagus. Kamu masih sering mimpi?”Rian