Mobil yang mengantarkan Riana ke apartemennya, berhenti di drop zone depan gedung apartemen berlantai 40 itu. Wanita itu segera membuka seat beltnya dan bersiap turun.
“Ana, see you again,” ucap Eric.
Riana menoleh dan tersenyum tipis. “Kita sudah sepakat untuk bertemu bila ada urusan bisnis saja, Tuan Jenkins.
Dan saya harap, ini adalah yang terakhir kita bertemu di luar jam kerja,” sahut Riana dan mulai turun dari mobil.
“Ana … apa karena sudah punya pasangan, kita tidak boleh bergaul dengan yang lain?” tanya Eric dan menatap lekat wanita itu.
Riana kembali duduk di jok mobil dan mendesah. “Bukan begitu tapi, kita punya masa lalu bersama.
Saya tidak mau pasangan saya salah paham dan menyakiti pasangan anda juga. Saya harap anda mengerti. Selamat malam, Tuan Jenkins, Dave.”
Selesai dengan ucapannya dan berpamitan pada Eric dan Dave, Riana turun dan berjalan masuk ke lobby gedung
“Trisha? Aku pikir kamu gak datang,” ujar Dokter Ariek sambil tersenyum dan mempersilahkan Riana duduk.“Mau gimana lagi. Obat saya habis,”sahut Riana. Nada suaranya terdengar ketus.Dokter Ariek terkekeh. Ia mengambil berkas Riana yang ada di mejanya, lalu kembali duduk di sofa, berseberangan dengan Riana.“Bukannya saya gak mau kasih kamu, tapi kapan hari … kamu ‘kan langsung pulang. Saya juga belum selesai survei perkembanganmu, Trisha,” jawab dokter Ariek.Riana memutar bola matanya malas dan mencebik.“Sekarang, bisa kamu cerita kegiatanmu beberapa hari ini?” lanjut Dr. Ariek.Riana menyandarkan kepalanya di sofa dan menghembuskan napas. Ia pun mengerucutkan bibirnya dan mendengkus.“Apalagi, Dok. Seperti biasa. Saya kerja, pulang rumah. Itu aja. Gak ada yang penting,” sahut Riana malas.“Oh ya? Bagus. Kamu masih sering mimpi?”Rian
Bola mata Ayu mengerjap beberapa kali. Matanya lelah karena melihat ke kanan kiri. Dua orang lelaki dan 1 bocah, duduk berseberangan di ruang tamu dan saling beradu tatap. Tak ada yang mau mengalah.“Eh, hehehe … saya, saya ambilkan air dulu,” cetus Ayu bermaksud memecah keheningan. Namun, tak ada satupun tanggapan yang ia dapat.Ayu mendesah dan menggelengkan kepala. ‘Haih … aku kayak baygon aja jadinya,’ batin Ayu lalu berbalik dan menuju dapur.Baru saja beberapa langkah, Ayu berhenti karena mendengar suara bocah di belakangnya.“I’m hungry. Give me food!” titah bocah itu. Tegas dan lugas. Dengan mata tajam menatap wanita yang berdiri terbengong menatapnya.“W-what? Hey … aduh nih bocah. Kecil-kecil pinter banget m’rintah,” omel Ayu. Asisten Riana itu membungkuk dan tersenyum.“Little boy, if you want something, you have to say it po-li-te-ly. Okay? It&
Hujan mengguyur sangat deras. Langit London seakan tak bersahabat dengan wanita yang sedang berjalan dengan tatapan kosongnya.Wanita itu mendongak dan membiarkan air hujan bersatu dengan air mata, menyapu wajah cantik nya.Grepp….Sebuah tangan tiba-tiba membekap mulut dan hidung wanita itu. Tangan lainnya lagi mendekapnya erat. Ia berusaha memberontak, tapi sia-sia.Ia berteriak, namun hanya terdengar seperti gumaman. Kakinya pun terus menendang tanpa arah, hingga tak lama kemudian ia pun lemas tanpa tenaga.Di dalam sebuah mobil yang sedang melaju, matanya perlahan terbuka karena goncangan. Ia melihat ke sekeliling dengan mata yang berkunang-kunang. Ia mengerutkan alis dan berusaha mengumpulkan ingatan dan memfokuskan matanya.Ia ingin bergerak, tapi tangannya terikat. Ia memaksakan diri untuk duduk, tapi goncangan kuat membuatnya kembali terbaring dan meringkuk di atas jok penumpang.&ld
“Tolong perhatikan semuanya. Kalian nantinya akan pakai dress panjang sampai mata kaki.Kalau kalian mau cium platform, silahkan kalian jalan cepat seperti tadi.” Riana menatap satu per satu modelnya dengan sorot mata datar dan dingin.“Ikuti musiknya. Jangan terlalu lambat, jangan terlalu cepat. Perhatikan cue dari staff. Kita ulangi sekali lagi,” sambung Riana lalu melihat ke arah Ayu.“Yu’ kamu naik. Ambil alih posisi Cathlyn.” Ayu mengangguk dan mengikuti titah atasannya itu.“Hehh … gara-gara Cathlyn, kita harus ngulang,” keluh seorang make-up artist yang ada di sana.“Sudahlah, sabar. Mau gimana lagi … besok sudah acaranya,” sahut Riana. “Ah, karna Cathlyn gak ada, ganti style make up ke flawless, ya.”“Baik, Bu.”2 jam kemudian, latihan sudah selesai. Riana kembali mengumpulkan para modelnya dan memberi instruksi.&ldq
Convention Hall yang dipakai untuk acara JFW telah dipenuhi pengunjung. Riana terlihat sibuk mengecek semua kesiapan para modelnya.Dalam hal pekerjaan, Riana orang yang sangat perfeksionis. Ia tak segan menegur model atau kru-nya bila mereka melakukan kesalahan.Kali ini, Riana membawa Nisa dan seorang lagi yang bernama Eyien untuk membantunya mempersiapkan pakaian para model.“Alisnya ini kurang ke atas. Tema yang dia pakai cool but appealing.” Koreksi Riana terhadap salah satu make up modelnya.“Bu, ada masalah,” bisik Nisa.Riana menoleh. Ia melihat asistennya itu lalu berjalan sedikit menjauh dari meja rias.“Ada apa? Gaunnya Ayu ada sobekan. Terus gaunnya Bianca ada cat kuku,” lapor Nisa.Riana terkejut. “Hah? Kok bisa?” Riana langsung berjalan cepat menuju tempat penyimpanan semua koleksinya.“Saya tidak tahu, Bu. Waktu saya atur urutan pakainya. Sudah kayak git
Kress… kress ….Riana menggunting atasan berharga Rp.1.5juta itu. Bagi seorang designer, sebuah karya adalah seperti anaknya sendiri.Ia sebenarnya tak rela, merusak hasil kerja kerasnya itu. Tapi ia tak punya pilihan lain. Ia harus mengorbankan satu karyanya demi karyanya yang lain, yang masih harus tampil.“Nis … ini. Cukil heelku pake yang kayak garpu itu,” suruh Riana seraya memberikan sepatu miliknya dan menunjuk palu yang dipegang Nisa.“Hah?! Bu! Ibu nanti juga harus naik ke panggung!”Riana mendorong mundur asistennya itu dan kembali menggunting atasan di tangannya itu.“Ini pasti ada yang sirik sama Ibu. Makanya, adaaa aja kejadian. Yang robeklah, kena cat kukulah. Sekarang … heelnya si Ayu lepas. Haihhh…,” keluh Nisa.Sejenak, Riana terpengaruh ucapan Nisa. Ia mulai berpikiran seperti asistennya itu. Namun, ia kembali mengontrol dir
“I’m sorry, I still need to work.” Riana menepis tangan Eric dan hendak berjalan melewati lelaki itu“An, please. Kasih aku waktu sebentar buat jelaskan,” pinta Eric. Kali ini lelaki itu memegang pundak Riana.Riana menipiskan bibir dan menatap mantan suaminya itu. “Hahh … Mr. Jenkins, I-I don’t know what we should talk about. Penjelasan apa yang Anda maksud?” desah Riana kesal.“Come with me.” Eric merangkul Riana dan membawa wanita itu pergi.“Mr. Jenkins! What are you doing?!” sergah Riana, seraya berusaha melepas rangkulan lelaki itu. “Mr, Jenkins! Let me go!”Eric tak mengacuhkan penolakan Riana. Ia membawa wanita itu menjauh.Ketika mata Eric melihat sebuah pintu bertuliskan "staff only", ia pun membukanya dan mendorong Riana masuk bersamanya.“Mr. Jenkins!”Eric merapatkan tubuh Riana ke dinding dan mengunci Riana denga
"Tuan Konrad, ini adalah design terbaik kami. Kami menyediakan juga ukuran standard seperti ini," jelas Ellena pada seorang laki-laki kaukasia yang berdiri gagah beberapa meter di depannya. Lelaki itu tersenyum dan berjalan mendekati Riana serta meraih tangan wanita itu, lalu mengecupnya. Riana tersenyum geli dan menerima perlakuan lelaki itu. Dahi Ellena berkerut. Matanya tak lepas dari kedua orang di depannya itu. Khalayak ramai yang ada di sekitar mereka juga terhenyak, karena ... siapa yang tak kenal dengan lelaki bertubuh atletis dan gagah yang sering didapuk sebagai cover majalah Forbes itu? "Nice to see you, Miss designer." Riana terkekeh. "Nice to meet you too, Mr. Pilot," balas Riana. "Hahaha .. how are you? You look great with this outfit." Tawa renyah lelaki yang menjadi bahan pembicaraan sepanjang tahun, karena prestasinya di dunia kontruksi, serta tampangnya yang tak kalah dari Eric Jenkins, menarik banyak ma