“I’m sorry, I still need to work.” Riana menepis tangan Eric dan hendak berjalan melewati lelaki itu
“An, please. Kasih aku waktu sebentar buat jelaskan,” pinta Eric. Kali ini lelaki itu memegang pundak Riana.
Riana menipiskan bibir dan menatap mantan suaminya itu. “Hahh … Mr. Jenkins, I-I don’t know what we should talk about. Penjelasan apa yang Anda maksud?” desah Riana kesal.
“Come with me.” Eric merangkul Riana dan membawa wanita itu pergi.
“Mr. Jenkins! What are you doing?!” sergah Riana, seraya berusaha melepas rangkulan lelaki itu. “Mr, Jenkins! Let me go!”
Eric tak mengacuhkan penolakan Riana. Ia membawa wanita itu menjauh.
Ketika mata Eric melihat sebuah pintu bertuliskan "staff only", ia pun membukanya dan mendorong Riana masuk bersamanya.
“Mr. Jenkins!”
Eric merapatkan tubuh Riana ke dinding dan mengunci Riana denga
"Tuan Konrad, ini adalah design terbaik kami. Kami menyediakan juga ukuran standard seperti ini," jelas Ellena pada seorang laki-laki kaukasia yang berdiri gagah beberapa meter di depannya. Lelaki itu tersenyum dan berjalan mendekati Riana serta meraih tangan wanita itu, lalu mengecupnya. Riana tersenyum geli dan menerima perlakuan lelaki itu. Dahi Ellena berkerut. Matanya tak lepas dari kedua orang di depannya itu. Khalayak ramai yang ada di sekitar mereka juga terhenyak, karena ... siapa yang tak kenal dengan lelaki bertubuh atletis dan gagah yang sering didapuk sebagai cover majalah Forbes itu? "Nice to see you, Miss designer." Riana terkekeh. "Nice to meet you too, Mr. Pilot," balas Riana. "Hahaha .. how are you? You look great with this outfit." Tawa renyah lelaki yang menjadi bahan pembicaraan sepanjang tahun, karena prestasinya di dunia kontruksi, serta tampangnya yang tak kalah dari Eric Jenkins, menarik banyak ma
Setiap laman berita di internet dan televisi dipenuhi dengan kabar tentang Ayu dan Riana.Keduanya menjadi bahan perbincangan di kalangan netizen bukan hanya karena penampilan mereka yang memukau dan karya yang luar biasa, melainkan juga karena apa yang terjadi di baliknya.Khalayak terbagi menjadi dua kubu. Ada yang memuji Riana karena talenta dan koneksinya yang luas, ada pula yang menyebut Riana sebagai wanita tak bermoral dan seorang pelakor.Begitu pula dengan Ayu. Banyak yang mendukung debut Ayu sebagai seorang model tapi sedikit pula yang mencibir.Tapi di antara semua berita, foto Riana yang digendong Eric, dipeluk dan dikecup Dyan serta Xian Lie yang melabraknya, menjadi trending topik di berbagai media sosial dan portal berita.Dimas yang sedang menikmati sarapan di kantornya, terkejut ketika melihat berita tentang Riana di ponselnya.Rahangnya mengeras. Matanya erat terpejam. Dadanya bergemuruh karena amarah yang siap meledak.
Riana mendengus. Ia kemudian berdiri dan meninggalkan ayah dan anak itu, lantas pergi ke kamarnya. Mata Riana melebar, ketika menyadari penampilannya. Rambut berantakan yang masih diikat ekor kuda karena semalam ia terlalu malas untuk melepas, daster batik tanpa lengan yang panjangnya hanya menutupi setengah pahanya dan wajahnya yang sangat kusut karena belum cuci muka, benar-benar mengerikan! “Rianaaa! You are dead!” Wanita itu segera berlari ke kamar mandi dan membersihkan diri. Di ruang makan, Evan dengan gembira menikmati masakan ibunya. Sudah lama ia ingin mempunyai satu momen yang bisa ia pamerkan pada teman-temannya di sekolah. Dan kini, ia mendapatkannya. Tak berbeda dengan Evan, Eric juga melahap makanannya. Masakan Riana tak berubah. Bahkan rasanya semakin lezat. “Too bad. You are losing such beauty and chef, Dad,” ujar Evan dengan mulut penuh dan mata yang tetap pada santapannya. Eric memalingkan wajahnya dan melihat
Sentakan Irawan membuat Xian Lie dan Wendy berjingkat kaget. Lelaki paruh baya itu melangkah lebar mendekati keponakannya dengan mata melotot yang tajam.“Kalo kamu gak mau kehilangan Eric, rubah sikap dan penampilanmu! Kemarin aku sudah kasih tahu kamu, ‘kan? Jangan terlalu emosi!Sekarang, lihat! LIHAT! INI HASILNYA!” sergah Irawan, seraya menunjukkan berita tentang kejadian malam sebelumnya saat acara JFW, di ponselnya.Xian Lie menyambar ponsel itu. Matanya membelalak kala melihat tajuk berita. Ia mengganti ke portal berita yang lain. Hasilnya sama. Kegilaannya yang melabrak Eric dan berteriak-teriak sepanjang hall, menjadi viral.“Kamu paham sekarang, hmm?! Dia itu laki-laki! Wajar kalo dia punya affair di luaran sana! Kamu kayak gini, lebih gampang buat Eric untuk ninggalin kamu! paham!” sambung Irawan kesal dan berkacak pinggang.Xian Lie menyipitkan mata dan menghujam Irawan dengan sorot matanya. “Jadi … m
Dave terpaksa mematikan ponselnya. Banyak telepon dari media Indonesia dan luar negeri menghubunginya sejak malam tadi dan tidak berhenti hingga siang ini.Lelaki itu menoleh ke belakang dan memanyunkan bibirnya. Matanya memicing pada Eric yang duduk bersebelahan dengan Riana dan Evan, di kursi penumpang.“Boss, you are really such a headache,” ucap sebal Dave sebelum ia kembali melihat ke depan.“Pardon?”Dave mendelik. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali lalu memiringkan badannya yang terasa kaku, ke arah sopir.“Apa … suaraku tadi terlalu kencang?” tanya Dave dengan mata lebar tetap ke depan.Sopir yang adalah orang Indonesia asli itu, melepas headset dari telinganya.“Kalau saya aja yang lagi pake headset bisa dengar, menurut Anda bagaimana, Tuan Clarkson?” sahut sopir itu dengan wajah datarnya.Glek Perlahan, Dave menegakk
Rahang Eric mengeras. Matanya menyala penuh api amarah. “Don’t you dare, Irawan,” geram Eric dengan erat terkatup. Irawan menaikkan alis dan memalingkan wajahnya pada pewaris The Royal Group itu. Suara musik yang keras, menyamarkan geraman Eric. “Hei! Kenapa kamu liat aku seperti itu? … ah … aku ada janji sama Cathlyn. Aku pergi dulu.” Irawan mengerling. Lelaki itu menepuk lengan Eric dan berjalan pergi. Mata Eric terus mengikuti arah lelaki paruh baya itu pergi. “Berani kau sentuh Ana-ku … kau akan merasakan akibatnya, Irawan,” desis Eric dan menegak minumannya tanpa mengalihkan matanya. *** Riana terpaksa kembali turun ke lobby, karena sang resepsionis mengabarkan bahwa ada paket untuknya. Wanita itu menandatangani kertas yang kurir itu sodorkan padanya dan membolak-balik kiriman paket itu. “Sapa sih kirim paket segede ini?” gumam Riana “Mborong ya, Kak?” tanya si resepsionis ramah Riana
“Apa maksudmu, Mas? Kapan aku bilang mau pisah sama kamu? Pertanyaan macam apa itu? Apa hubungannya pindah dari sini sama hubungan kita?” Alis Riana bertaut. Ia menatap kesal pada tunangannya itu lalu mengalihkan wajahnya.“Trisha, kalo kamu memang … benar-benar ingin mempertahankan hubungan kita. Kamu harus pindah dari sini. Aku tahu Eric sudah beli apartemen tetanggamu di depan. Dia juga sudah tinggal di sana, ‘kan?Aku tahu semuanya, Trish. Apa karena itu kamu menolak pindah dari sini? Karena kamu gak mau menjauh dari Eric, karena kamu masih punya niatan buat kembali sama Eric, begitu?!Trisha … dia itu sudah punya tunangan dan akan segera menikah. Sama kayak kita. Apa kata orang kalo sampai mereka tahu kalian tinggal di gedung apartemen yang sama, di lantai yang sama dan—"“Oke. Kalo itu maumu, oke! Kita pindah. Ke mana? Apa kamu punya tempat buat aku?” tantang Riana. Wanita itu kembali memfokusk
Sepatu mengkilap buatan khusus itu melangkah lebar. Setiap mata yang ada di lobby hotel mewah itu, seketika tertuju pada sang pemilik sepatu mahal.Berjalan dengan aura yang gelap dan dingin, membuat siapa saja yang berada di sana seketika terdiam dan menahan napas.Wajah yang tampan terpahat sempurna, yang mampu membuat setiap wanita bertekuk lutut dan para pria merasa rendah diri, memfokuskan tatapannya ke depan dan menuju lift.“Bagaimana dia bisa tahu nomor Ana?” tanya Eric saat mereka berdua sudah berada di dalam lift“Mungkin dari Butler John.”Gigi-gigi Eric mengerat. Matanya menyipit mengancam. Pantulan dirinya pada pintu lift, membuat Dave menelan ludah.TingTak ambil banyak waktu, Eric segera mengambil langkah lebar saat pintu lift itu terbuka.“Tuan Muda,” sapa seorang lelaki berjas di depan sebuah pintu bertuliskan Presid
Diana Arabelle Konrad, yang baru saja kembali setelah menjalani perawatan intensif karena trauma kehilangan suami dan calon bayinya, memutuskan untuk berangkat ke Praiano, sebuah kota kecil yang berada di Amalfi Coast, Italia, setelah mendengar bahwa resort yang didirikan almarhum suaminya terancam bangkrut. DD, begitu ia biasa disapa, bertekad untuk mempertahankan resort yang menyimpan kenangannya bersama almarhum sang suami. Hingga pada suatu hari, tanpa sengaja ia membantu seorang pria tak dikenal yang pingsan dengan wajah yang babak belur. Pria itu kemudian mengaku kehilangan ingatannya. Tak ingin sesuatu terjadi pada lelaki itu, DD memutuskan untuk menerimanya tinggal di resort. “Kau ingin aku membantumu?” “Kau bisa?” “Tentu saja. Tapi, aku mau imbalan.” “Imbalan?” Lelaki yang diselamatkannya itu mengangguk. Senyumnya begitu menawan namun menyimpan sejuta misteri. DD berdehem dan membetulkan duduknya.
Taman di belakang mansion Jenkins tampak meriah. Balon berwarna putih berada tepat di sisi flower arc dan meja yang ada di sisi kiri taman. Mengambil tema Rustic , gaya yang menghadirkan kesan alami dan didominasi oleh kayu-kayu, batu, tanaman menjuntai, serta lampu-lampu bolam klasik, membawa suasana terkesan akrab. Suami dari para sahabat Riana, tampak berbincang akrab dengan Eric, Sir Edmund, Boby dan ayah Riana, Iwan, Alex, Andrew, DD (adik Dylan) serta kedua asisten Eric. Tak ketinggalan, kedua orangtua Dylan juga hadir. Canda tawa acap kali terdengar disertai ledekan. Begitu riuh dan menyenangkan. Riana yang berada di jendela kamarnya, tersenyum bahagia melihat keakraban yang terjalin. Tak berhubungan darah, namun mereka lebih karib daripada saudara. Yang lebih menyejukkan hatinya, sikap Eric terhadap orang yang baru pertama kali ia temui, tak sekaku dan sedingin dulu. Senyum sudah mampu suaminya urai walau hanya setipis kain. Putranya j
“Whoahhh … ini rumah apa istana? Gede amat?”Mata dan mulut Ayu terbuka. Kakinya berjalan melambat, seiring memandang ke sekelilingnya. Rumah mewah bergaya klasik Victorian dengan warna emas yang mendominasi, benar-benar membuatnya tak bisa menahan kekaguman.“Hei, sudah ayo jalan. Kita sudah ditunggu Riana,” desak Alex. Sambil menggendong seorang balita, ia menarik tangan wanita yang saat ini terlihat lebih berisi itu untuk semakin masuk ke dalam mansion.“Ih, Mas Alex! Jangan tarik-tarik!”“Kita sudah ditunggu. Lagian jangan kayak orang udik! Ini rumah Eric Jenkins, bangsawan terhormat di negara ini. Tentu saja rumahnya tidak seperti rumah kontrakan kita. Sudah! Ayo, cepat jalan!”Ayu meringis kesal. Ia mengangkat tangan kirinya, ingin memukul lelaki yang menarik tangan kanannya itu.“Emang dasarnya aku udik, Mas! Karena udik makanya Mas Alex seenaknya saja masuk kamarku sampai k
1 tahun kemudian "Hei! Eric! Kami masih mau mengobrol dengan Ana!" seru protes Sita dan Ayu. Wajah mereka mengerut kesal. Sejak tadi, Eric selalu saja mengekori Riana dan tak membiarkan wanita itu bersama mereka walau hanya sejenak. "Sudahlah, Sayang. Kau tahu, Eric sudah terlalu lama berpuasa. Biarkan saja dia menikmati hari bebasnya sekarang," ujar Dylan seraya merangkul istrinya. "Palang merahmu juga ... sudah selesai, 'kan?" Eric menggendong pengantinnya dan menuju mansion. Ia sudah tak sabar lagi menunggu. "Eric, kembalikan aku venue," bisik Riana sambil menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Eric karena malu dengan banyaknya mata yang melihat mereka. Well ... sebuah gerakan yang salah. Karena Eric semakin tak bisa menahan diri. Perlahan, Eric menempatkan istrinya itu di atas ranjang bertabur bunga itu. Matanya yang mendamba menatap wajah cantik Riana. Ia menurunkan wajahnya. Ia melahap bibir itu. Begitu rakus dan menuntut.
Suara ayahnya, mengejutkan Riana. Wanita itu menoleh. Dengan mata yang masih berhias air mata, Riana melihat lelaki paruh baya yang berjalan ke arahnya namun dengan mata memandang ke arah Eric pergi. “Pa,” lirihnya. Iwan menunduk. Ia mendesah dan berjongkok. Dihapusnya jejak bening dari pipi putrinya. “Apa itu … yang diinginkan hatimu juga? Eric bersama wanita lain?’ Riana menunduk. Ia membasahi bibirnya. Lidahnya kelu untuk menjawab. Iwan mengambil tangan putrinya yang memainkan kuku di atas pangkuan. “Sayang, maafkan Papa. Selama ini, Papa yang salah paham pada Eric. Dia … pria dan ayah yang baik. Berkat Eric, Sans Media dan aset mamamu, kembali pada kita. Irawan dan keluarganya juga—” “Pa … apa karena dia membawa keuntungan pada kita karena itu aku harus membalas budinya dengan tubuhku?” ketus Riana. Wanita itu menghapus titik air mata yang masih saja belum berhenti di pipinya, lalu memutar kursi rodanya. “Na
“Ada apa ini, Pa?” Iwan menoleh. Ia melihat putrinya yang didorong mendekat oleh seorang perawat. Lelaki itu kemudian berdiri lalu berjalan menghampiri Riana setelah menghindari Sir Edmund yang bersimpuh di hadapannya. “Kamu sudah selesai, Nak?” Riana yang masih tak memahami apa yang terjadi, mengangguk, “Hmm. Sudah. Tapi … ada apa ini, Pa?” Iwan menggeleng. Ia menarik senyum, lalu berjalan ke belakang kursi roda Riana, mengambil alih putrinya dari perawat. “Tidak ada apa-apa, Nak. Kami—” “Ana!” Riana mengalihkan matanya. Ia memandang wajah Sir Edmund yang terlihat jauh berbeda dari sebelum ia masuk ke ruang ICU. Lelaki yang berwajah sangat mirip Eric itu terlihat sembab dengan hidung memerah. “Ana, lelaki tua ini memohon padamu. Tolong … jangan tinggalkan putraku. Kau mungkin tidak mengingatnya tapi, tapi dia sangat mencintaimu, Nak. Kalau kau ingin membalas segala perbuatannya di masa lalu … lakukan padaku. Lampiaskan
Tak mengerti dengan wajah bingung Riana, bocah itu menaikkan kakinya ke paha wanita itu dan berusaha untuk duduk di pangkuannya.Reflek, Riana segera memegangi Evan. Ia membantu bocah itu duduk di pangkuannya.“Mommy, Mommy sekarang sedikit gemuk. Hehehe….”Senyum Riana terukir. Tanpa sadar, cairan bening tiba-tiba menetas keluar dari kedua sudut matanya saat memandang wajah imut bocah itu.Ia terhenyak kala menyadarinya. Ia pun menyentuh dan mengusap cairan yang mengalir di pipinya tanpa permisi dengan telunjuk dan melihatnya bingung.“Mommy? What's the matter? Why are you crying (Ma? Ada apa? Kenapa Mama nangis)?”Riana mengangkat wajahnya dan melihat Evan. Sebuah senyuman manis kembali ia ulas di wajah cantiknya.“Ah, ini ….” Riana melihat ayahnya. Ia bingung mau berkata apa.“Itu artinya, mommy terlalu senang bertemu Evan,” sambar Alicia. Ia lantas melihat
“Ana?” panggil lirih Dave. Melangkah berat, sahabat Eric itu mendekati kursi roda Riana yang juga sudah menuju ke arahnya. “Ana?” Iwan berhenti di depan Dave. Riana mengangkat wajahnya dan mengulurkan tangan sembari mengurai senyum. “Hallo, selamat siang. Apa Anda yang ingin bertemu denganku?” Mata Dave melebar. Ia melihat Iwan sejenak, lalu menyambut uluran tangan Riana. “H-hallo. Apa kabarmu, An?” Riana menarik lurus bibirnya. Ia melihat kakinya yang ditutup dengan syal tebal lalu berkata, “Seperti yang Anda lihat. Saya … tidak bisa berjalan.” Dave menelan ludah. Ia melihat kaki Riana dan membasahi bibirnya. Ia lantas berbalik dan memanggil Aaron. “Eh, k-kenalkan. Ini adik ipar Eric. Suaminya Alicia,” ucap Dave. “Eric? Alicia?” Dave melihat Riana dan mengangguk pelan sebelum akhirnya memandang ayah kandung Riana yang memegangi kursi roda wanita itu. “Kita masuk dulu,” kata Iwan. Lelaki
Suara heel sepatu fantofel yang bersinggungan dengan keramik, menggema di lorong rumah sakit area ICU VIP itu.“Alicia, Aaron! Dave!”Alicia dan suaminya serta Dave segera berpaling. Mereka menyambut ayah kandung Eric itu dengan wajah sembab dan untaian air mata.“Dad,” panggil Alicia sembari melepas pelukan suaminya dan melebarkan kedua tangannya ke arah sang ayah.“Kenapa? Apa yang terjadi, hah?” tanya Sir Edmund. Ia berjongkok menatap wajah putrinya dan memeluknya sembari mengedarkan tatapannya pada semua yang ada di sana.“Eric … kata dokter dia … hiks … hiks….”Sir Edmund membasahi bibirnya. Ia mengusap wajah putrinya yang penuh air mata tapi juga melihat bingung ke arah Dave dan menantunya, Aaron.“Aaron! Dave! Katakan apa yang terjadi?!”Sir Edmund tak bisa lagi menahan gundah hatinya. Ia berdiri dan bertanya pada menantu dan sahabat