“Apa maksudmu, Mas? Kapan aku bilang mau pisah sama kamu? Pertanyaan macam apa itu? Apa hubungannya pindah dari sini sama hubungan kita?” Alis Riana bertaut. Ia menatap kesal pada tunangannya itu lalu mengalihkan wajahnya.
“Trisha, kalo kamu memang … benar-benar ingin mempertahankan hubungan kita. Kamu harus pindah dari sini. Aku tahu Eric sudah beli apartemen tetanggamu di depan. Dia juga sudah tinggal di sana, ‘kan?
Aku tahu semuanya, Trish. Apa karena itu kamu menolak pindah dari sini? Karena kamu gak mau menjauh dari Eric, karena kamu masih punya niatan buat kembali sama Eric, begitu?!
Trisha … dia itu sudah punya tunangan dan akan segera menikah. Sama kayak kita. Apa kata orang kalo sampai mereka tahu kalian tinggal di gedung apartemen yang sama, di lantai yang sama dan—"
“Oke. Kalo itu maumu, oke! Kita pindah. Ke mana? Apa kamu punya tempat buat aku?” tantang Riana. Wanita itu kembali memfokusk
Sepatu mengkilap buatan khusus itu melangkah lebar. Setiap mata yang ada di lobby hotel mewah itu, seketika tertuju pada sang pemilik sepatu mahal.Berjalan dengan aura yang gelap dan dingin, membuat siapa saja yang berada di sana seketika terdiam dan menahan napas.Wajah yang tampan terpahat sempurna, yang mampu membuat setiap wanita bertekuk lutut dan para pria merasa rendah diri, memfokuskan tatapannya ke depan dan menuju lift.“Bagaimana dia bisa tahu nomor Ana?” tanya Eric saat mereka berdua sudah berada di dalam lift“Mungkin dari Butler John.”Gigi-gigi Eric mengerat. Matanya menyipit mengancam. Pantulan dirinya pada pintu lift, membuat Dave menelan ludah.TingTak ambil banyak waktu, Eric segera mengambil langkah lebar saat pintu lift itu terbuka.“Tuan Muda,” sapa seorang lelaki berjas di depan sebuah pintu bertuliskan Presid
Riana menghabiskan malamnya untuk membuat gaun. Menenggelamkan diri dalam pekerjaan adalah cara baginya untuk melanjutkan hari, setelah apa yang terjadi siang tadi. Tangan lentiknya bekerja dengan begitu cepat membuat pola gaun yang ia mau, di atas meja yang setinggi pinggangnya. Semua karyawan Glamorous telah pulang ke rumah mereka masing-masing. Mungkin, mereka bahkan telah masuk ke ranah mimpi. Kantor tampak sepi dan gelap. Hanya cahaya dari ruangan yang ia tempati saja, yang masih terang memancar. Ceklek Riana seketika menegakkan punggungnya. Matanya membola melihat siapa yang membuka pintu ruangannya. “Tu-tuan Jenkins! Wh-what are you doing here?” Eric melangkah lebar. Wajahnya begitu dingin dan mengintimidasi. Lelaki itu mendekati Riana dan mengulurkan tangannya menarik wanita itu mendekat padanya. Grep Tangan besar Eric mendekap
Berpakaian serba hitam, Riana berjalan memasuki kantornya. Semua karyawan menatapnya dengan berbagai ekspresi. Riana maklum, karena berita negatif yang tersiar tentang dirinya, tak akan bisa menghilang begitu saja. Wanita itu duduk di kursi kebesarannya dan memulai aktifitasnya. Tok … tok…. “Masuk!” “Bu, bisa tolong tanda tangani draft ini? Saya harus secepatnya kirim ke tim produksi. Bu Ellena lagi ke Jerman, Bu,” ujar asisten Ellena itu. “Bu Ellena ke Jerman? Kapan?” “Kemarin sore, Bu. Apa Ibu tidak dikasih tahu?” Riana menggeleng. Ia mengambil map itu dan membukanya. “Apa meeting tahunannya dipercepat makanya harus ke sana?” selidik Riana. “Enggak, Bu. Saya juga kurang tahu. Kemarin … beliau marah-marah di kantornya.” Riana memajukan bibirnya dan memberikan map yang sudah ia tanda tangani pada wanita itu. “Marah-marah?” “Iya, Bu. Ka
Wajah Irawan yang masam, menambah lengkungan di bibir Riana. Wanita itu cukup puas dengan reaksi Irawan.“Ah, kita kelamaan ngobrol di sini. Ayo, ke meja. Aku sudah siapkan di sana,” ajak Irawan mengalihkan pembicaraan, seraya mendekati Riana dan mensejajarkan dirinya dengan wanita itu.Ia membuka lengannya, agar Riana mau menggandeng lengannya.Riana menyentak satu alisnya lalu melihat Ayu dan memapah wanita itu.“Wow … dia memang pintar memainkan perasaan lelaki,” gumam Irawan sambil menarik kedua ujung bibirnya ke atas dan menggaruk tulang hidungnya.Ayu melirik Irawan melewati atas bahunya dan kembali pada Riana.“Bu, emang gapapa ya, kita cuekin pak Irawan?” tanya Ayu takut-takut dan mendudukkan bokongnya di kursi empuk berbentuk oval di meja VIP itu.“Kenapa emangnya?” sahut Riana datar dan duduk di sisi Ayu.“Hehe … Gak, Bu. Ibu keren!” jawab Ayu dan
Eric menempatkan dirinya pada kursi tambahan yang disediakan pelayan. Kakinya bersilang dengan satu tangan ia tempatkan di atas paha dan satu lagi pada kursinya.Auranya yang dingin mendominasi, menegakkan bulu tengkuk Ayu dan Alex. Hanya Riana yang tampak biasa dan tak terganggu.“Jadi begini. Talkshow itu akan membahas seputar fashion dan kecantikan. Kita akan mengundang narasumber yang ahli di bidangnya. Karena itu, kalo … Ayu yang maju, apa … dia bisa melakukannya?” ungkap Irawan sekaligus mempertanyakan kemampuan mantan asisten Riana itu.Ayu melipat bibirnya dan menunduk. Wanita yang selalu mengalami masalah soal kepercayaan diri itu, memalingkan wajahnya ke arah lain, ingin menyembunyikan diri.“Saya sangat menganggap serius pekerjaan saya dan tidak pernah main-main. Jadi, katakan pada saya, Pak Irawan. Apakah saya akan begitu saja memilih seorang asisten?Sebelum jadi asisten saya, Ayu sekolah d
Riana duduk di belakang sutradara bersama Alex. Mereka menatap cemas ke arah Ayu, karena ini adalah penampilan pertama Ayu di depan kamera. “Mas, kayaknya ada masalah,” bisik Riana cemas. “Aku juga ngarasa kayak gitu.” Ayu terlihat sesekali mengusap wajahnya walau kemudian ia kembali menghadap ke kamera dan tersenyum. “Mas, bisa tolong minta di cut dulu gak? Aku harus cek wajahnya si Ayu,” pinta Riana cemas. Alex mengangguk. Lelaki itu menghampiri sutradara dan meminta izin. Setelah beberapa detik, barulah terdengar sutradara mengatakan “Cut”. Riana dengan cepat menghampiri Ayu dan melihat wajah mantan asistennya yang tampak berubah merah itu. “Yu’. Kamu punya alergi?” Ayu menggeleng. “Enggak, Bu. Kenapa?” tanya Ayu sambil menggosok wajahnya dengan punggung tangan. “Wajahmu mulai merah. Kayaknya kamu alergi.” “Hah?! Alergi? Saya gak ada alergi kok, Bu'.” Riana mengigit bibir bawahnya. Ia kemudian
Riana berjalan tergesa menuju kamar Ayu. Wanita itu terkejut karena banyaknya wartawan berkerumun di depan kamar rawat mantan asistennya itu. Riana mengertakkan giginya dan berjalan menerobos para wartawan itu. “Trisha! Trisha! Apa benar Anda sekarang manager dari Ayu. Bagaimana kabar Ayu? Apa benar dia sengaja tidak memberitahu kalau dia alergi kosmetik?” “Trisha, kalau Anda tahu model Anda punya masalah kulit, kenapa Anda setuju dengan tawaran iklan WOW. Apa benar karena Anda sangat ingin jadi terkenal, jadi Anda memaksakan pengaruh Anda pada Ayu?” “Trisha, apa karena job Anda berkurang, karena itu Anda menambah pekerjaan menjadi manager Ayu?” “Trisha, apa benar Anda mengakui bahwa ini karma dari Cathlyn karena—“ Riana membalikkan badan. Ia menatap satu per satu para wartawan yang memberondongnya dengan pertanyaan tak enak itu dengan sorot mata yang menyala. “Sekali lagi kalian mengatakan sesuatu tanpa mencari bukti lebih dul
Riana memandang ke luar jendela. Ia enggan untuk bercengkerama dengan lelaki yang duduk bersebelahan dengannya itu. “Ana … kenapa kamu pindah?” Lelaki itu membuka pembicaraan, mencoba mengambil perhatian Riana. “Saya sudah membeli rumah karena itu—“ “Maksudmu kamar kecil di dekat kantormu itu?” potong Eric. Riana mengeratkan bibirnya. Ia memutar kepalanya dan menatap mantan suaminya itu. “Tuan Jenkins, ada apa dengan Anda? Kenapa Anda selalu mengikuti saya? Saya tinggal di manapun, itu bukan urusan Anda. Kenapa Anda selalu mengganggu saya?” cecar Riana dengan alis berkerut. “Ana … tak bisakah … kamu kasih aku kesempatan?” “Tuan … please. Berapa kali saya harus bilang, Anda dan saya … sangat mustahil untuk bersama. Masa lalu, biarkan saja berlalu. Saya tidak ingin mengulanginya.” Eric memalingkan wajahnya. Matanya terpejam. Masa lalu yang tak lekang dari ingatan, masa lalu yang membuatnya tersenyum sekaligus tersayat.