Riana memandang ke luar jendela. Ia enggan untuk bercengkerama dengan lelaki yang duduk bersebelahan dengannya itu.
“Ana … kenapa kamu pindah?” Lelaki itu membuka pembicaraan, mencoba mengambil perhatian Riana.
“Saya sudah membeli rumah karena itu—“
“Maksudmu kamar kecil di dekat kantormu itu?” potong Eric.
Riana mengeratkan bibirnya. Ia memutar kepalanya dan menatap mantan suaminya itu.
“Tuan Jenkins, ada apa dengan Anda? Kenapa Anda selalu mengikuti saya? Saya tinggal di manapun, itu bukan urusan Anda. Kenapa Anda selalu mengganggu saya?” cecar Riana dengan alis berkerut.
“Ana … tak bisakah … kamu kasih aku kesempatan?”
“Tuan … please. Berapa kali saya harus bilang, Anda dan saya … sangat mustahil untuk bersama. Masa lalu, biarkan saja berlalu. Saya tidak ingin mengulanginya.”
Eric memalingkan wajahnya. Matanya terpejam. Masa lalu yang tak lekang dari ingatan, masa lalu yang membuatnya tersenyum sekaligus tersayat.
Hai ... hai ... maaf, 2 hari ini tidak bisa up. Badan lagi gak fit. Terima kasih ya, masih mau terus dukung karyaku ini. Jangan lupa subs n komen ya, Terima kasih.
Irawan berjalan mondar-mandir di kantornya. Nilai saham perusahaannya kian hari kian merosot. Beberapa investor banyak yang menarik dana dari perusahaannya.“Pa … rating Sitkom kita sedang naik daun. Kalo sampe kita kurangi budgetnya, otomatis kita juga kita juga harus cut banyak pengeluaran. Dari setting, kru sampai artisnya. Kalo seperti itu, aku gak yakin mereka akan kerja maksimal,” papar Dimas.“Kamu kira, aku gak tahu soal itu. Tapi apalagi yang bisa kita lakukan. Investor banyak yang mundur. Kamu tunggu aja kabar dari Papa. Papa mau bicara sama Lady Hanwel,” sahut Irawan lalu mengigit bibir bawahnya karena tak yakin.Dimas mendengus. Kerap kali, ayahnya selalu saja mengandalkan orang lain untuk membantunya menyelesaikan masalah, tapi tak pernah mau mengeluarkan uang sendiri.“Kamu kerjakan yang lain dulu. Aku akan hubngi Lady Hanwel sama Gery,” suruh Irawan dan kembali ke tempat duduknya serta meraih telep
Riana duduk di sofa ruangannya. Ia menatap Eric yang duduk di sebelahnya dengan mata yang menyipit. Berusaha mengerti maksud dan tujuan lelaki itu sebenarnya.“Alright. Tell me, Mr. Jenkins. Apa maksud dari semua ini?” tanya Riana pada lelaki itu.Eric tersenyum tipis dan melihat Riana. “Aku hanya ingin membantumu,” jawab Eric singkat.Riana menarik napas panjang. Ia mengangguk dan mencebik. “Katakan apa yang Anda inginkan, Tuan Jenkins? Saya tahu, tidak ada yang gratis di dunia ini.”Eric mendengus. Ia memangku satu kakinya dan memalingkan wajahnya ke arah lain.“Aku hanya ingin membantu ibu anakku. Itu saja.”Riana terhenyak lalu tersenyum masam. Dulu, saat aku hamil dan membutuhkan bantuanmu, kamu di mana? Batin Riana. Ia merasa miris bila mengingat kembali masa itu.Masa di mana ia harus menjalani masa kehamilannya yang sering rewel. Ketika ia ingin sekali pergi ke luar dan berjalan-
Eric memutar badannya. Wajah sendu yang tadi terpancar di wajahnya, seketika menghilang dan berganti dingin karena seorang wanita yang mendekat padanya dengan pakaian tidur yang sangat minim.Dengan berani, Xian Lie duduk tepat di sebelah Eric dan mulai meraba lengan lelaki itu. Matanya menatap harap dan bibirnya sedikit terbuka mendamba.“Baby. I miss you,” lirih wanita itu dan merapatkan tubuhnya. Ia menggoser buah dadanya yang montok pada lengan lelaki itu.“What are you doing?” Suara baritone dari Eric yang begitu dingin membalas suara lembut Xian Lie.“Baby … kita sudah lama bertunangan, tapi kamu belum pernah menyentuhku. Ehh ...,” ucap Xian Lie disertai desahan di akhir kalimat. “Aku sangat menginginkanmu, Sayang.”Eric mengeratkan giginya. Lelaki itu segera berdiri dan menjauh. “Keluar! Aku membiarkanmu masuk ke sini, bukan karena aku menginginkanmu tapi karena aku tak mau ada ker
Xian Lie terus berusaha menghubungi Eric, namun panggilannya lagi-lagi terhubung dengan mailbox.“Ikh! Ke mana sih dia? Udah 3 hari masih aja gak bisa dihubungi. Di apartemen gak ada. Di kantor WOW gak ada. Erghh!” geram Xian Lie.Bak setrikaan, wanita itu mondar-mandir di ruang tamunya. “Apa jangan-jangan, dia ketemuan sama perempuan sialan itu?”Xian Lie lantas kembali menekan nomor seseorang di ponselnya dan menaruhnya di telinga. Sama. Tak ada juga jawaban.“Ini orang, gak jawab juga! Herghh!”Xian Lie berjalan menuju kamarnya dan membersihkan diri. Selesai bersolek dan mengganti pakaiannya, Xian Lie berjalan menuju ke mobilnya.“Antar aku ke tempat Irawan,” titahnya pada sopir, yang khusus disewakan Irawan untuknya.****“Bu’, Ibu yakin pak Irawan gak jadi batalin kontraknya?”Riana, mendesah. Wanita itu melir
“Eh, Lie. Ini ... adalah acara baru yang aku buat untuk menarik viewer. Aku berencana memberitahumu setelah kami membuat keputusan. Saat ini kami masih akan membicarakannya,” terang Irawan dengan mengurai senyum. “Kenapa Paman tidak memberitahuku sebelumnya? Apa Paman lupa kalo aku juga punya saham di perusahaan Paman? Apa aku tidak berhak ikut meeting dan memberikan pendapatku?” sambar Xian Lie dengan tatapan tajamnya pada Irawan lalu melirik sinis pada Riana. Ibunda Evan itu hanya berdiam tanpa suara. Wajahnya sangat datar, tak terpengaruh. Alex dan Ayu yang melihat perdebatan itu saling memandang kebingungan. “Sekarang, di mana kita akan meeting?” lanjut Xian Lie Alex segera menggandeng Ayu dan Riana lalu mengambil langkah. “Pak Irawan, sebaiknya Bapak bicarakan dulu dengan semua yang bersangkutan, baru Bapak bisa hubungi kami lagi. Kami permisi dulu,” pamit Alex. “Oh, baiklah. Kami—” “Tunggu. Kalian juga harus ikut dalam rapat kali
“Where are you taking me?”Eric tersenyum tipis namun tak membuka mulutnya. Tangannya pun terus memegang tangan Riana.“Tuan Jenkins?”Eric menghela napasnya dan melihat Riana. “Panggil aku Eric. Aku bukan orang lain, Ana. Kita akan pergi ke tempat di mana hanya ada kita bertiga.”“Kita bertiga?”Eric mengangguk. Ia mengusap punggung tangan wanita itu dan tersenyum. “Evan. Sekarang dia sedang perjalanan ke sini.”Riana terperangah. “Mr. Jenkins! You’re lied to me!” seru Riana seraya menegakkan punggungnya.Uraian senyum Eric tetap tak pudar. Perlahan ia menyadarkan kembali Riana ke sandaran jok dan menyentil pelan dahi ibunda Evan itu.“Evan masuk rumah sakit 3 hari lalu. Lalu, aku janji akan mengizinkan dia datang lagi ke Jakarta, kalo dia mau makan. Lalu tadi, Diane telpon. Evan sudah membaik dan dizinkan pulang. Jadi, aku suruh orang bawa dia
Riana terhenyak. Ia menelan ludahnya dengan berat. Ia menoleh pada lelaki itu lalu mengangguk tersendat. Bibirnya berkedut antara tersenyum dan tidak.“A-aku dulu juga punya ayah,” jawab Riana asal lalu memutar kepalanya.Eric menaikkan alis dan menarik bibirnya. “Hahaha … tentu saja kamu punya ayah. Kalo tidak, dari mana kamu muncul?”Riana menaikkan sedikit ujung bibirnya dan mengangguk. “Iya, betul.”Senyuman Eric perlahan memudar. Ia tahu ada yang salah dengan ekspresi Riana. Lelaki itu membasahi bibirnya dengan lidah lalu menarik tangan Riana dan mengusap punggung tangannya.“Ana … what’s wrong? Maaf, kalo lancang. Tapi … di mana ayahmu sekarang?”“Oh, mendung. Sepertinya mau hujan,” ucap Riana mengalihkan pembicaraan.Eric menatap mantan istrinya. Ia yakin ada yang wanita itu sembunyikan. Dave sudah berulang kali mencari tahu soal Riana, tapi
Riana membersihkan dirinya. Ia menikmati hangatnya guyuran air shower itu. Ia kemudian menyentuh bibirnya. Kilasan saat ia dan Eric berciuman, hadir di benaknya.“Tadi … kenapa aku tidak menolak,” gumam Riana.Darahnya berdesir kala mengingat itu. “Oh, Tuhan … Riana, kamu gak boleh lengah. Bagaimana kalau dia ternyata hanya pura-pura. Tapi … ciuman dan saat dia cerita tadi ... aku tahu itu tulus.”Ibunda Evan itu menggelengkan kepala. "Hei, Riana! Sudah, jangan diingat! Itu tadi gak sengaja. Kamu mau ke sini karena ada Evan sama Diane." Riana mulai membenarkan dirinya.Tapi, reminisensi ketika Eric membawanya pergi dan saat mereka berciuman di mobil, terus berulang di pikirannya."Oh, Tuhan. Apa aku masih belum bisa melupakannya? Apa benar aku masih mencintainya?"Rasa bimbang mengusik hati Riana. Tak mau terus tenggelam dalam pikirannya, wanita itu pun melanjutkan mandinya, setelah lebih da