Eric memutar badannya. Wajah sendu yang tadi terpancar di wajahnya, seketika menghilang dan berganti dingin karena seorang wanita yang mendekat padanya dengan pakaian tidur yang sangat minim.
Dengan berani, Xian Lie duduk tepat di sebelah Eric dan mulai meraba lengan lelaki itu. Matanya menatap harap dan bibirnya sedikit terbuka mendamba.
“Baby. I miss you,” lirih wanita itu dan merapatkan tubuhnya. Ia menggoser buah dadanya yang montok pada lengan lelaki itu.
“What are you doing?” Suara baritone dari Eric yang begitu dingin membalas suara lembut Xian Lie.
“Baby … kita sudah lama bertunangan, tapi kamu belum pernah menyentuhku. Ehh ...,” ucap Xian Lie disertai desahan di akhir kalimat. “Aku sangat menginginkanmu, Sayang.”
Eric mengeratkan giginya. Lelaki itu segera berdiri dan menjauh. “Keluar! Aku membiarkanmu masuk ke sini, bukan karena aku menginginkanmu tapi karena aku tak mau ada ker
Xian Lie terus berusaha menghubungi Eric, namun panggilannya lagi-lagi terhubung dengan mailbox.“Ikh! Ke mana sih dia? Udah 3 hari masih aja gak bisa dihubungi. Di apartemen gak ada. Di kantor WOW gak ada. Erghh!” geram Xian Lie.Bak setrikaan, wanita itu mondar-mandir di ruang tamunya. “Apa jangan-jangan, dia ketemuan sama perempuan sialan itu?”Xian Lie lantas kembali menekan nomor seseorang di ponselnya dan menaruhnya di telinga. Sama. Tak ada juga jawaban.“Ini orang, gak jawab juga! Herghh!”Xian Lie berjalan menuju kamarnya dan membersihkan diri. Selesai bersolek dan mengganti pakaiannya, Xian Lie berjalan menuju ke mobilnya.“Antar aku ke tempat Irawan,” titahnya pada sopir, yang khusus disewakan Irawan untuknya.****“Bu’, Ibu yakin pak Irawan gak jadi batalin kontraknya?”Riana, mendesah. Wanita itu melir
“Eh, Lie. Ini ... adalah acara baru yang aku buat untuk menarik viewer. Aku berencana memberitahumu setelah kami membuat keputusan. Saat ini kami masih akan membicarakannya,” terang Irawan dengan mengurai senyum. “Kenapa Paman tidak memberitahuku sebelumnya? Apa Paman lupa kalo aku juga punya saham di perusahaan Paman? Apa aku tidak berhak ikut meeting dan memberikan pendapatku?” sambar Xian Lie dengan tatapan tajamnya pada Irawan lalu melirik sinis pada Riana. Ibunda Evan itu hanya berdiam tanpa suara. Wajahnya sangat datar, tak terpengaruh. Alex dan Ayu yang melihat perdebatan itu saling memandang kebingungan. “Sekarang, di mana kita akan meeting?” lanjut Xian Lie Alex segera menggandeng Ayu dan Riana lalu mengambil langkah. “Pak Irawan, sebaiknya Bapak bicarakan dulu dengan semua yang bersangkutan, baru Bapak bisa hubungi kami lagi. Kami permisi dulu,” pamit Alex. “Oh, baiklah. Kami—” “Tunggu. Kalian juga harus ikut dalam rapat kali
“Where are you taking me?”Eric tersenyum tipis namun tak membuka mulutnya. Tangannya pun terus memegang tangan Riana.“Tuan Jenkins?”Eric menghela napasnya dan melihat Riana. “Panggil aku Eric. Aku bukan orang lain, Ana. Kita akan pergi ke tempat di mana hanya ada kita bertiga.”“Kita bertiga?”Eric mengangguk. Ia mengusap punggung tangan wanita itu dan tersenyum. “Evan. Sekarang dia sedang perjalanan ke sini.”Riana terperangah. “Mr. Jenkins! You’re lied to me!” seru Riana seraya menegakkan punggungnya.Uraian senyum Eric tetap tak pudar. Perlahan ia menyadarkan kembali Riana ke sandaran jok dan menyentil pelan dahi ibunda Evan itu.“Evan masuk rumah sakit 3 hari lalu. Lalu, aku janji akan mengizinkan dia datang lagi ke Jakarta, kalo dia mau makan. Lalu tadi, Diane telpon. Evan sudah membaik dan dizinkan pulang. Jadi, aku suruh orang bawa dia
Riana terhenyak. Ia menelan ludahnya dengan berat. Ia menoleh pada lelaki itu lalu mengangguk tersendat. Bibirnya berkedut antara tersenyum dan tidak.“A-aku dulu juga punya ayah,” jawab Riana asal lalu memutar kepalanya.Eric menaikkan alis dan menarik bibirnya. “Hahaha … tentu saja kamu punya ayah. Kalo tidak, dari mana kamu muncul?”Riana menaikkan sedikit ujung bibirnya dan mengangguk. “Iya, betul.”Senyuman Eric perlahan memudar. Ia tahu ada yang salah dengan ekspresi Riana. Lelaki itu membasahi bibirnya dengan lidah lalu menarik tangan Riana dan mengusap punggung tangannya.“Ana … what’s wrong? Maaf, kalo lancang. Tapi … di mana ayahmu sekarang?”“Oh, mendung. Sepertinya mau hujan,” ucap Riana mengalihkan pembicaraan.Eric menatap mantan istrinya. Ia yakin ada yang wanita itu sembunyikan. Dave sudah berulang kali mencari tahu soal Riana, tapi
Riana membersihkan dirinya. Ia menikmati hangatnya guyuran air shower itu. Ia kemudian menyentuh bibirnya. Kilasan saat ia dan Eric berciuman, hadir di benaknya.“Tadi … kenapa aku tidak menolak,” gumam Riana.Darahnya berdesir kala mengingat itu. “Oh, Tuhan … Riana, kamu gak boleh lengah. Bagaimana kalau dia ternyata hanya pura-pura. Tapi … ciuman dan saat dia cerita tadi ... aku tahu itu tulus.”Ibunda Evan itu menggelengkan kepala. "Hei, Riana! Sudah, jangan diingat! Itu tadi gak sengaja. Kamu mau ke sini karena ada Evan sama Diane." Riana mulai membenarkan dirinya.Tapi, reminisensi ketika Eric membawanya pergi dan saat mereka berciuman di mobil, terus berulang di pikirannya."Oh, Tuhan. Apa aku masih belum bisa melupakannya? Apa benar aku masih mencintainya?"Rasa bimbang mengusik hati Riana. Tak mau terus tenggelam dalam pikirannya, wanita itu pun melanjutkan mandinya, setelah lebih da
Riana terus mengulum senyum. Wanita itu menggunakan kepalan tangan untuk menahan mulutnya agar tawanya tak terlepas.Eric mencebik dan membuang muka ke arah lain karena malu. Ia terus mengusap perutnya yang masih terasa tak enak.“Need some help, Mr. Jenkins?” ujar Riana sambil melipat bibirnya, kala melihat lelaki itu kembali meringis.Eric memutar matanya dan menipiskan bibir. Ia kembali melihat ke luar jendela mobil dan tak mau melihat Riana.“Apa Anda tidak mencicipi masakan Anda waktu masak tadi?” Riana menggelengkan kepala saat melihat Eric yang mengedip bingung. “Kalo Anda tidak bisa membedakan antara gula dan garam, merica dan bubuk jahe, Anda ‘kan bisa pakai lidah Anda untuk mengetahuinya? Haihh ….”“Ana … I don’t know how to cook but I did it for you. It tastesd horrible indeed. But … At least, give me some face, will you? Jangan ingatkan lagi aku soal itu,”
“Jangan coba-coba menghasutku, Xian Lie!”Xian Lie mengangkat alisnya. Ia pun berdiri dan menyeringai. “Menghasut? Untuk apa aku menghasut kamu? Apa kamu pikir aku sudi datang ke kantor kotormu ini hanya untuk kasih kamu omong kosong? Begitu?Aku ke sini, karena aku mau kasih peringatan sama calon istrimu itu. Jangan berani-berani merebut Eric dariku. Atau … dia akan merasakan akibatnya!”Brakk!!!Dimas menggebrak meja kerjanya dan menatap tajam wanita di hadapannya itu.“Jangan samakan Trisha dengan kamu, Xian Lie! Dia itu perempuan baik-baik! Kalaupun dia sekarang bersama Eric, itu karena mereka punya anak bersama!”“Mereka kemarin pergi hanya berdua! Tanpa Evan! Aku tahu, karena aku di sana dan aku sudah lihat cctv-nya!” bantah Xian Lie tak mau kalah.Dimas mengeratkan giginya. Tangannya perlahan mengepal. Melihat ekspresi d
Pyarr….Pecahan gelas bercampur air, berserakan di lantai. Tangan besar yang memegangnya perlahan terkepal, yang lama kelamaan bergetar.Giginya bergemelatuk. Matanya menyala, menyorot layar kotak di depannya. Lelaki itu terpaku, tak bergerak.“Xi-an-lieeee!!!” geram lelaki itu dengan gigi yang tetap terkatup rapat.Toktok….Suara ketukan di pintu, tak dihiraukannya. Bahkan hingga sosok wanita berbalut baju putih membuka pintu dan masuk, ia masih bergeming di tempatnya.“Dokter, visite jam berapa?”Suara wanita itu terdengar seperti dengungan. Pikirannya terlalu fokus pada foto-foto vulgar wanita yang ia cintai, yang terpampang di layar.“Dokter? Dokter Dimas?”Dimas terkesiap. Ia mengangkat matanya dari layar komputer. Sorot tajamnya membuat asistennya itu sedikit gemetar.“Ada apa?” tanya Dimas dingin dan