“Jangan coba-coba menghasutku, Xian Lie!”
Xian Lie mengangkat alisnya. Ia pun berdiri dan menyeringai. “Menghasut? Untuk apa aku menghasut kamu? Apa kamu pikir aku sudi datang ke kantor kotormu ini hanya untuk kasih kamu omong kosong? Begitu?
Aku ke sini, karena aku mau kasih peringatan sama calon istrimu itu. Jangan berani-berani merebut Eric dariku. Atau … dia akan merasakan akibatnya!”
Brakk!!!
Dimas menggebrak meja kerjanya dan menatap tajam wanita di hadapannya itu.
“Jangan samakan Trisha dengan kamu, Xian Lie! Dia itu perempuan baik-baik! Kalaupun dia sekarang bersama Eric, itu karena mereka punya anak bersama!”
“Mereka kemarin pergi hanya berdua! Tanpa Evan! Aku tahu, karena aku di sana dan aku sudah lihat cctv-nya!” bantah Xian Lie tak mau kalah.
Dimas mengeratkan giginya. Tangannya perlahan mengepal. Melihat ekspresi d
Pyarr….Pecahan gelas bercampur air, berserakan di lantai. Tangan besar yang memegangnya perlahan terkepal, yang lama kelamaan bergetar.Giginya bergemelatuk. Matanya menyala, menyorot layar kotak di depannya. Lelaki itu terpaku, tak bergerak.“Xi-an-lieeee!!!” geram lelaki itu dengan gigi yang tetap terkatup rapat.Toktok….Suara ketukan di pintu, tak dihiraukannya. Bahkan hingga sosok wanita berbalut baju putih membuka pintu dan masuk, ia masih bergeming di tempatnya.“Dokter, visite jam berapa?”Suara wanita itu terdengar seperti dengungan. Pikirannya terlalu fokus pada foto-foto vulgar wanita yang ia cintai, yang terpampang di layar.“Dokter? Dokter Dimas?”Dimas terkesiap. Ia mengangkat matanya dari layar komputer. Sorot tajamnya membuat asistennya itu sedikit gemetar.“Ada apa?” tanya Dimas dingin dan
Netra Eric memicing tajam. Ia melihat gelas wine yang ada di tangan Xiana Lie, lalu mengerutkan bibirnya.“Kamu ‘kan yang menyebar foto-foto itu di internet?” tukas Eric.Xian Lie mengangkat alis dan menanggapi ucapan Eric seperti lelucon. Ia menyetuh dadanya dan mulai tertawa.Hahaha …“Ya! Menarik bukan? Hmm? Itulah wajah perempuan itu yang sebenarnya!”“Kau benar-benar mengerikan, Xian Lie."Xian Lie menarik satu sudut bibirnya dan menatap datar lelaki itu. “Kau yang memaksaku, Eric! Sekarang kamu tahu, ‘kan? Aku. Akan. Melakukan. A-pa-sa-ja, untuk membuat orang yang berani merebut milikku menyesal!” amuk wanita itu dengan mengeja perkataannya.Eric memajukan langkah. Ia fokuskan matanya melihat wanita berdarah campuran itu.“Dan aku, juga akan melakukan apapun untuk membuat orang yang menyakiti wanitaku, menyesal!” balas Eric.&
Hahaha…."Ternyata, dia perempuan munafik!" ejek Cathlyn seraya tertawa melihat berita di ponselnya.“Ck … Cath! Ini berita eksklusif. Masa bayarannya cuma segini?” keluh kesal manajer Cathlyn sambil melempar kembali cek yang ada di tangannya pada modelnya itu.“Kak, sudahlah. Lagian, foto ini juga dia yang dapet. Bukan gue. Gue cuma lemparin aja ke Iqbal. Ditambah lagi, kita itu punya musuh yang sama. Jadi, ya … win-win situation-lah,” sahut Cathlyn enteng dan memainkan rambut ikalnya.“Cath! Tapi masa’ 50 juta doang sih? Paling gak ya … 70 gitu. Dia itu ‘kan orang kaya. Aktris, ponakannya pak Irawan, denger-denger dia juga anaknya konglomerat. Masa cuma kasih 50 doang. Pelit banget. Jangan merendah karena kamu dapet fotonya dari dia, kalo bukan karena kamu, dia gak bakal kenal Iqbal,” cerocos Merry sambil mengerucutkan bibirnya.Cathlyn menatap kesal manajernya itu
“Sita? Dylan, Andrew? Ka-kalian ….” Riana tak mempercayai matanya. Ia berdiri mematung dan melihat tiga orang yang berdiri di hadapannya sambil tersenyum.“Kenapa? Udah lupa cara jalan, hmm?” sarkas Ida sambil menyenggol tubuh Riana lalu berjalan angkuh dan merangkul suaminya.Mata Riana kembali berair. Wajahnya basah seketika. Ia terduduk dan meraung. Melepas semua pertahanan di dalam dirinya.“Ana,” panggil Sita lirih dan berlari memeluk sahabatnya itu, diikuti Ida yang ikut menangis. Mengerti nestapa yang dialami Riana.“Iya … nangis aja … lepasin semuanya, Ana,” ucap Sita seraya mengusap punggung Riana.Mata istri Dylan itu ikut menitik sedih. Riana yang selama ini selalu terlihat kuat, sebenarnya tak jauh berbeda dengan wanita lainnya. Rapuh dan butuh sandaran.Andrew dan Dylan terdiam. Keduanya menunduk dan melipat bibir. Tak mampu mengungkap dengan kata, bahwa mereka
“An, kamu yakin gak mau dibantuin?” tanya Ida seraya memutar badannya melihat ke belakang, di mana Riana sedang membuka pintu mobil. Riana turun dari mobil, lalu menatap temannya itu. “Aku butuh penjahit. Memangnya kamu bisa jahit?” “Ya jelas bisalah. Jangan menghina, ya. Kemarin aja aku berhasil jahit kaos kakiku yang bolong,” sahut Ida bangga. Riana dan Sita seketika terpingkal dan memegangi perut mereka. “Hahaha … gak nyangka. Kaos kaki dokter dimakan tikus,” ledek Sita sambil terus tertawa. Ida mengerutkan bibirnya sebal. “Itu tandanya, aroma kaos kaki seorang dokter sama dengan aroma keju, sampe tikuspun doyan. Hahaha …,” sahut Ida enteng dan diakhiri dengan tawa renyah. “Udah! Buruan masuk sana! Pegawai tapi masuk kerja jam segini. Kalo aku bosmu, udah kusuruh kamu nyikat WC.” Riana memeluk kedua sahabatnya itu, lalu berjalan masuk ke dalam butik tempatnya bekerja seraya melambaikan tangan. “Ta, kira-kira aku bisa g
“Apa?! Gagal? Dasar bodoh! Kau bodoh!” pekik Xian Lie sambil melempar bantal sofa ke arah lelaki suruhannya itu.“Ma-maaf, Nona. Kalo seandainya tidak ada yang membantunya, kami pasti sudah bisa menangkapnya,” alasan lelaki berjaket hitam itu sambil memegangi dagunya yang terbalut perban.“Siapa dia? Apa kamu seperti ini karena orang itu?”“Benar, Nona. Tapi, kami tidak tahu siapa dia. Dia memakai hoodie dan masker.”Alis Xian Lie menukik tajam. Ia mengepalkan tangannya dan membanting bokongnya ke sofa.“Apa dia bilang sesuatu?”Lelaki itu menggeleng. “Tidak ada. Setelah kami pergi ke mobil, kami hanya lihat dia berjongkok di dekat perempuan itu. Tapi kami tidak dengar dia bilang apa.”“Siapa dia?” gumam Xian Lie.“Lalu … apa … yang harus kami lakukan selanjutnya, Nona?”Xian Lie menipiskan bibirnya dan menghela
Dimas berjalan gontai menuju mobilnya. Langkahnya terasa berat dan memutuskan untuk berhenti melangkah lalu menoleh ke belakang.Hampir 6 jam yang lalu ia dan Riana saling adu mulut dan selama itu pula, ia tak mampu berkonsentrasi dengan pekerjaannya dan kembali ke tempat ini, ke kos Riana.Namun, ia tak memiliki keberanian untuk masuk dan memilih pergi. Tapi lagi-lagi, hatinya terlalu berat untuk beranjak dari sana.“Eh, Pak Dimas! Hehehe … Pak, apa kabarnya?”Dimas mengalihkan perhatiannya pada suara yang menyapanya. Ia melihat sekilas pada wanita yang berjalan ke arahnya itu dan tak mengacuhkannya.“Lho, Pak! Disapa kok malah pergi?” sungut wanita itu sambil bergegas mendekati tunangan Riana yang sudah membuka pintu mobil.“Pak! Bapak marah sama Ayu? Kok Ayu sapa gak dijawab.”Dimas menepis tangan Ayu yang memegang pergelangannya dan menatap malas wanita itu.“Aku gak punya wa
Menggunakan mobil sewaan dan memakai dress sederhana, dilengkapi scraf yang dipakai sebagai penutup kepala serta kacamata hitam plus masker, Xian Lie berjalan menuju tepian pantai.Ia berdiri di bibir pantai dan celingukan ke sana ke mari sembari melihat jam di ponselnya.“Ke mana dia? Jam segini belum juga datang,” gumamnya kesal.Tak berapa lama, siluet seorang wanita yang ia tunggu, terlihat dari tempatnya berdiri. Putri semata wayang konglomerat minyak itu berkacak pinggang dan menggeram kesal.“Dasar lelet!” umpatnya pelan.“Miss Lie, maaf tadi saya ada meeting, makanya saya—”“Gak usah basa-basi. Mana fotonya.” Xian Lie mengulurkan tangan dan membuka telapak tangannya.“Anda gak sabaran ternyata.” Wanita itu mengambil ponselnya dan membuka galeri foto. “Ini. Teman saya yang jadi wartawan lepas yang ambil foto itu. Sepertinya, Trisha tak sebersih yang saya ki
Diana Arabelle Konrad, yang baru saja kembali setelah menjalani perawatan intensif karena trauma kehilangan suami dan calon bayinya, memutuskan untuk berangkat ke Praiano, sebuah kota kecil yang berada di Amalfi Coast, Italia, setelah mendengar bahwa resort yang didirikan almarhum suaminya terancam bangkrut. DD, begitu ia biasa disapa, bertekad untuk mempertahankan resort yang menyimpan kenangannya bersama almarhum sang suami. Hingga pada suatu hari, tanpa sengaja ia membantu seorang pria tak dikenal yang pingsan dengan wajah yang babak belur. Pria itu kemudian mengaku kehilangan ingatannya. Tak ingin sesuatu terjadi pada lelaki itu, DD memutuskan untuk menerimanya tinggal di resort. “Kau ingin aku membantumu?” “Kau bisa?” “Tentu saja. Tapi, aku mau imbalan.” “Imbalan?” Lelaki yang diselamatkannya itu mengangguk. Senyumnya begitu menawan namun menyimpan sejuta misteri. DD berdehem dan membetulkan duduknya.
Taman di belakang mansion Jenkins tampak meriah. Balon berwarna putih berada tepat di sisi flower arc dan meja yang ada di sisi kiri taman. Mengambil tema Rustic , gaya yang menghadirkan kesan alami dan didominasi oleh kayu-kayu, batu, tanaman menjuntai, serta lampu-lampu bolam klasik, membawa suasana terkesan akrab. Suami dari para sahabat Riana, tampak berbincang akrab dengan Eric, Sir Edmund, Boby dan ayah Riana, Iwan, Alex, Andrew, DD (adik Dylan) serta kedua asisten Eric. Tak ketinggalan, kedua orangtua Dylan juga hadir. Canda tawa acap kali terdengar disertai ledekan. Begitu riuh dan menyenangkan. Riana yang berada di jendela kamarnya, tersenyum bahagia melihat keakraban yang terjalin. Tak berhubungan darah, namun mereka lebih karib daripada saudara. Yang lebih menyejukkan hatinya, sikap Eric terhadap orang yang baru pertama kali ia temui, tak sekaku dan sedingin dulu. Senyum sudah mampu suaminya urai walau hanya setipis kain. Putranya j
“Whoahhh … ini rumah apa istana? Gede amat?”Mata dan mulut Ayu terbuka. Kakinya berjalan melambat, seiring memandang ke sekelilingnya. Rumah mewah bergaya klasik Victorian dengan warna emas yang mendominasi, benar-benar membuatnya tak bisa menahan kekaguman.“Hei, sudah ayo jalan. Kita sudah ditunggu Riana,” desak Alex. Sambil menggendong seorang balita, ia menarik tangan wanita yang saat ini terlihat lebih berisi itu untuk semakin masuk ke dalam mansion.“Ih, Mas Alex! Jangan tarik-tarik!”“Kita sudah ditunggu. Lagian jangan kayak orang udik! Ini rumah Eric Jenkins, bangsawan terhormat di negara ini. Tentu saja rumahnya tidak seperti rumah kontrakan kita. Sudah! Ayo, cepat jalan!”Ayu meringis kesal. Ia mengangkat tangan kirinya, ingin memukul lelaki yang menarik tangan kanannya itu.“Emang dasarnya aku udik, Mas! Karena udik makanya Mas Alex seenaknya saja masuk kamarku sampai k
1 tahun kemudian "Hei! Eric! Kami masih mau mengobrol dengan Ana!" seru protes Sita dan Ayu. Wajah mereka mengerut kesal. Sejak tadi, Eric selalu saja mengekori Riana dan tak membiarkan wanita itu bersama mereka walau hanya sejenak. "Sudahlah, Sayang. Kau tahu, Eric sudah terlalu lama berpuasa. Biarkan saja dia menikmati hari bebasnya sekarang," ujar Dylan seraya merangkul istrinya. "Palang merahmu juga ... sudah selesai, 'kan?" Eric menggendong pengantinnya dan menuju mansion. Ia sudah tak sabar lagi menunggu. "Eric, kembalikan aku venue," bisik Riana sambil menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Eric karena malu dengan banyaknya mata yang melihat mereka. Well ... sebuah gerakan yang salah. Karena Eric semakin tak bisa menahan diri. Perlahan, Eric menempatkan istrinya itu di atas ranjang bertabur bunga itu. Matanya yang mendamba menatap wajah cantik Riana. Ia menurunkan wajahnya. Ia melahap bibir itu. Begitu rakus dan menuntut.
Suara ayahnya, mengejutkan Riana. Wanita itu menoleh. Dengan mata yang masih berhias air mata, Riana melihat lelaki paruh baya yang berjalan ke arahnya namun dengan mata memandang ke arah Eric pergi. “Pa,” lirihnya. Iwan menunduk. Ia mendesah dan berjongkok. Dihapusnya jejak bening dari pipi putrinya. “Apa itu … yang diinginkan hatimu juga? Eric bersama wanita lain?’ Riana menunduk. Ia membasahi bibirnya. Lidahnya kelu untuk menjawab. Iwan mengambil tangan putrinya yang memainkan kuku di atas pangkuan. “Sayang, maafkan Papa. Selama ini, Papa yang salah paham pada Eric. Dia … pria dan ayah yang baik. Berkat Eric, Sans Media dan aset mamamu, kembali pada kita. Irawan dan keluarganya juga—” “Pa … apa karena dia membawa keuntungan pada kita karena itu aku harus membalas budinya dengan tubuhku?” ketus Riana. Wanita itu menghapus titik air mata yang masih saja belum berhenti di pipinya, lalu memutar kursi rodanya. “Na
“Ada apa ini, Pa?” Iwan menoleh. Ia melihat putrinya yang didorong mendekat oleh seorang perawat. Lelaki itu kemudian berdiri lalu berjalan menghampiri Riana setelah menghindari Sir Edmund yang bersimpuh di hadapannya. “Kamu sudah selesai, Nak?” Riana yang masih tak memahami apa yang terjadi, mengangguk, “Hmm. Sudah. Tapi … ada apa ini, Pa?” Iwan menggeleng. Ia menarik senyum, lalu berjalan ke belakang kursi roda Riana, mengambil alih putrinya dari perawat. “Tidak ada apa-apa, Nak. Kami—” “Ana!” Riana mengalihkan matanya. Ia memandang wajah Sir Edmund yang terlihat jauh berbeda dari sebelum ia masuk ke ruang ICU. Lelaki yang berwajah sangat mirip Eric itu terlihat sembab dengan hidung memerah. “Ana, lelaki tua ini memohon padamu. Tolong … jangan tinggalkan putraku. Kau mungkin tidak mengingatnya tapi, tapi dia sangat mencintaimu, Nak. Kalau kau ingin membalas segala perbuatannya di masa lalu … lakukan padaku. Lampiaskan
Tak mengerti dengan wajah bingung Riana, bocah itu menaikkan kakinya ke paha wanita itu dan berusaha untuk duduk di pangkuannya.Reflek, Riana segera memegangi Evan. Ia membantu bocah itu duduk di pangkuannya.“Mommy, Mommy sekarang sedikit gemuk. Hehehe….”Senyum Riana terukir. Tanpa sadar, cairan bening tiba-tiba menetas keluar dari kedua sudut matanya saat memandang wajah imut bocah itu.Ia terhenyak kala menyadarinya. Ia pun menyentuh dan mengusap cairan yang mengalir di pipinya tanpa permisi dengan telunjuk dan melihatnya bingung.“Mommy? What's the matter? Why are you crying (Ma? Ada apa? Kenapa Mama nangis)?”Riana mengangkat wajahnya dan melihat Evan. Sebuah senyuman manis kembali ia ulas di wajah cantiknya.“Ah, ini ….” Riana melihat ayahnya. Ia bingung mau berkata apa.“Itu artinya, mommy terlalu senang bertemu Evan,” sambar Alicia. Ia lantas melihat
“Ana?” panggil lirih Dave. Melangkah berat, sahabat Eric itu mendekati kursi roda Riana yang juga sudah menuju ke arahnya. “Ana?” Iwan berhenti di depan Dave. Riana mengangkat wajahnya dan mengulurkan tangan sembari mengurai senyum. “Hallo, selamat siang. Apa Anda yang ingin bertemu denganku?” Mata Dave melebar. Ia melihat Iwan sejenak, lalu menyambut uluran tangan Riana. “H-hallo. Apa kabarmu, An?” Riana menarik lurus bibirnya. Ia melihat kakinya yang ditutup dengan syal tebal lalu berkata, “Seperti yang Anda lihat. Saya … tidak bisa berjalan.” Dave menelan ludah. Ia melihat kaki Riana dan membasahi bibirnya. Ia lantas berbalik dan memanggil Aaron. “Eh, k-kenalkan. Ini adik ipar Eric. Suaminya Alicia,” ucap Dave. “Eric? Alicia?” Dave melihat Riana dan mengangguk pelan sebelum akhirnya memandang ayah kandung Riana yang memegangi kursi roda wanita itu. “Kita masuk dulu,” kata Iwan. Lelaki
Suara heel sepatu fantofel yang bersinggungan dengan keramik, menggema di lorong rumah sakit area ICU VIP itu.“Alicia, Aaron! Dave!”Alicia dan suaminya serta Dave segera berpaling. Mereka menyambut ayah kandung Eric itu dengan wajah sembab dan untaian air mata.“Dad,” panggil Alicia sembari melepas pelukan suaminya dan melebarkan kedua tangannya ke arah sang ayah.“Kenapa? Apa yang terjadi, hah?” tanya Sir Edmund. Ia berjongkok menatap wajah putrinya dan memeluknya sembari mengedarkan tatapannya pada semua yang ada di sana.“Eric … kata dokter dia … hiks … hiks….”Sir Edmund membasahi bibirnya. Ia mengusap wajah putrinya yang penuh air mata tapi juga melihat bingung ke arah Dave dan menantunya, Aaron.“Aaron! Dave! Katakan apa yang terjadi?!”Sir Edmund tak bisa lagi menahan gundah hatinya. Ia berdiri dan bertanya pada menantu dan sahabat