Netra Eric memicing tajam. Ia melihat gelas wine yang ada di tangan Xiana Lie, lalu mengerutkan bibirnya.
“Kamu ‘kan yang menyebar foto-foto itu di internet?” tukas Eric.
Xian Lie mengangkat alis dan menanggapi ucapan Eric seperti lelucon. Ia menyetuh dadanya dan mulai tertawa.
Hahaha …
“Ya! Menarik bukan? Hmm? Itulah wajah perempuan itu yang sebenarnya!”
“Kau benar-benar mengerikan, Xian Lie."
Xian Lie menarik satu sudut bibirnya dan menatap datar lelaki itu. “Kau yang memaksaku, Eric! Sekarang kamu tahu, ‘kan? Aku. Akan. Melakukan. A-pa-sa-ja, untuk membuat orang yang berani merebut milikku menyesal!” amuk wanita itu dengan mengeja perkataannya.
Eric memajukan langkah. Ia fokuskan matanya melihat wanita berdarah campuran itu.
“Dan aku, juga akan melakukan apapun untuk membuat orang yang menyakiti wanitaku, menyesal!” balas Eric.
&
Hahaha…."Ternyata, dia perempuan munafik!" ejek Cathlyn seraya tertawa melihat berita di ponselnya.“Ck … Cath! Ini berita eksklusif. Masa bayarannya cuma segini?” keluh kesal manajer Cathlyn sambil melempar kembali cek yang ada di tangannya pada modelnya itu.“Kak, sudahlah. Lagian, foto ini juga dia yang dapet. Bukan gue. Gue cuma lemparin aja ke Iqbal. Ditambah lagi, kita itu punya musuh yang sama. Jadi, ya … win-win situation-lah,” sahut Cathlyn enteng dan memainkan rambut ikalnya.“Cath! Tapi masa’ 50 juta doang sih? Paling gak ya … 70 gitu. Dia itu ‘kan orang kaya. Aktris, ponakannya pak Irawan, denger-denger dia juga anaknya konglomerat. Masa cuma kasih 50 doang. Pelit banget. Jangan merendah karena kamu dapet fotonya dari dia, kalo bukan karena kamu, dia gak bakal kenal Iqbal,” cerocos Merry sambil mengerucutkan bibirnya.Cathlyn menatap kesal manajernya itu
“Sita? Dylan, Andrew? Ka-kalian ….” Riana tak mempercayai matanya. Ia berdiri mematung dan melihat tiga orang yang berdiri di hadapannya sambil tersenyum.“Kenapa? Udah lupa cara jalan, hmm?” sarkas Ida sambil menyenggol tubuh Riana lalu berjalan angkuh dan merangkul suaminya.Mata Riana kembali berair. Wajahnya basah seketika. Ia terduduk dan meraung. Melepas semua pertahanan di dalam dirinya.“Ana,” panggil Sita lirih dan berlari memeluk sahabatnya itu, diikuti Ida yang ikut menangis. Mengerti nestapa yang dialami Riana.“Iya … nangis aja … lepasin semuanya, Ana,” ucap Sita seraya mengusap punggung Riana.Mata istri Dylan itu ikut menitik sedih. Riana yang selama ini selalu terlihat kuat, sebenarnya tak jauh berbeda dengan wanita lainnya. Rapuh dan butuh sandaran.Andrew dan Dylan terdiam. Keduanya menunduk dan melipat bibir. Tak mampu mengungkap dengan kata, bahwa mereka
“An, kamu yakin gak mau dibantuin?” tanya Ida seraya memutar badannya melihat ke belakang, di mana Riana sedang membuka pintu mobil. Riana turun dari mobil, lalu menatap temannya itu. “Aku butuh penjahit. Memangnya kamu bisa jahit?” “Ya jelas bisalah. Jangan menghina, ya. Kemarin aja aku berhasil jahit kaos kakiku yang bolong,” sahut Ida bangga. Riana dan Sita seketika terpingkal dan memegangi perut mereka. “Hahaha … gak nyangka. Kaos kaki dokter dimakan tikus,” ledek Sita sambil terus tertawa. Ida mengerutkan bibirnya sebal. “Itu tandanya, aroma kaos kaki seorang dokter sama dengan aroma keju, sampe tikuspun doyan. Hahaha …,” sahut Ida enteng dan diakhiri dengan tawa renyah. “Udah! Buruan masuk sana! Pegawai tapi masuk kerja jam segini. Kalo aku bosmu, udah kusuruh kamu nyikat WC.” Riana memeluk kedua sahabatnya itu, lalu berjalan masuk ke dalam butik tempatnya bekerja seraya melambaikan tangan. “Ta, kira-kira aku bisa g
“Apa?! Gagal? Dasar bodoh! Kau bodoh!” pekik Xian Lie sambil melempar bantal sofa ke arah lelaki suruhannya itu.“Ma-maaf, Nona. Kalo seandainya tidak ada yang membantunya, kami pasti sudah bisa menangkapnya,” alasan lelaki berjaket hitam itu sambil memegangi dagunya yang terbalut perban.“Siapa dia? Apa kamu seperti ini karena orang itu?”“Benar, Nona. Tapi, kami tidak tahu siapa dia. Dia memakai hoodie dan masker.”Alis Xian Lie menukik tajam. Ia mengepalkan tangannya dan membanting bokongnya ke sofa.“Apa dia bilang sesuatu?”Lelaki itu menggeleng. “Tidak ada. Setelah kami pergi ke mobil, kami hanya lihat dia berjongkok di dekat perempuan itu. Tapi kami tidak dengar dia bilang apa.”“Siapa dia?” gumam Xian Lie.“Lalu … apa … yang harus kami lakukan selanjutnya, Nona?”Xian Lie menipiskan bibirnya dan menghela
Dimas berjalan gontai menuju mobilnya. Langkahnya terasa berat dan memutuskan untuk berhenti melangkah lalu menoleh ke belakang.Hampir 6 jam yang lalu ia dan Riana saling adu mulut dan selama itu pula, ia tak mampu berkonsentrasi dengan pekerjaannya dan kembali ke tempat ini, ke kos Riana.Namun, ia tak memiliki keberanian untuk masuk dan memilih pergi. Tapi lagi-lagi, hatinya terlalu berat untuk beranjak dari sana.“Eh, Pak Dimas! Hehehe … Pak, apa kabarnya?”Dimas mengalihkan perhatiannya pada suara yang menyapanya. Ia melihat sekilas pada wanita yang berjalan ke arahnya itu dan tak mengacuhkannya.“Lho, Pak! Disapa kok malah pergi?” sungut wanita itu sambil bergegas mendekati tunangan Riana yang sudah membuka pintu mobil.“Pak! Bapak marah sama Ayu? Kok Ayu sapa gak dijawab.”Dimas menepis tangan Ayu yang memegang pergelangannya dan menatap malas wanita itu.“Aku gak punya wa
Menggunakan mobil sewaan dan memakai dress sederhana, dilengkapi scraf yang dipakai sebagai penutup kepala serta kacamata hitam plus masker, Xian Lie berjalan menuju tepian pantai.Ia berdiri di bibir pantai dan celingukan ke sana ke mari sembari melihat jam di ponselnya.“Ke mana dia? Jam segini belum juga datang,” gumamnya kesal.Tak berapa lama, siluet seorang wanita yang ia tunggu, terlihat dari tempatnya berdiri. Putri semata wayang konglomerat minyak itu berkacak pinggang dan menggeram kesal.“Dasar lelet!” umpatnya pelan.“Miss Lie, maaf tadi saya ada meeting, makanya saya—”“Gak usah basa-basi. Mana fotonya.” Xian Lie mengulurkan tangan dan membuka telapak tangannya.“Anda gak sabaran ternyata.” Wanita itu mengambil ponselnya dan membuka galeri foto. “Ini. Teman saya yang jadi wartawan lepas yang ambil foto itu. Sepertinya, Trisha tak sebersih yang saya ki
Riana tersenyum tipis. “Ya, begitulah. Masih belum selesai. Tapi, gak papa. Ini ‘kan masih fitting. Selesai fitting, nanti aku betulin lagi. Yang penting pas dulu ke badannya.”Ayu menatap sedih atasannya itu. Dengan bibir bawah ia manyunkan, Ayu menunduk.“Kalo saja Ayu punya sedikiiiit aja dari kemampuan Ibu. Ayu pasti bisa bantuin Ibu,” sungut Ayu.Riana terkekeh. Wanita itu berdiri dan memutari mejanya, lalu merangkul mantan asisten pribadinya itu.“Nona Ayu Nadia, kamu bisa bantu aku dengan jadi model terkenal. Kalo kamu terkenal, kamu bisa pakai gaun rancanganku ke event-event penting, supaya karyaku lebih dikenal. Gimana? Setuju?” hibur Riana.Senyum Ayu mengembang. Ia memutar tubuhnya dan menatap ibunda Evan itu seraya mengangguk cepat.“Iya, Bu. Ayu pasti jadi terkenal,” ucap Ayu semangat.Riana menatap hangat Ayu dan melengkungkan bibirnya. ‘Kamu sangat polos, Yu&rs
“Pak, ini dokumen yang harus ditanda tangani.” Seorang lelaki berpakaian formal dan rapi, mengulurkan map ke meja kerja Irawan.Ayah kandung Dimas itu melihat sekilas map yang disodorkan sang asisten dan mengangguk.“Apa kamu sudah lakukan yang aku suruh?” tanya Irawan, masih dengan kegiatannya memeriksa file yang ada di depannya.“Sudah, Pak. Nanti jam 7 di restoran Bapak yang di Menteng, ruang VIP.”Irawan mengangguk dan tersenyum puas. Lelaki itu lantas mengambil map yang diberikan sang asisten dan menandatanganinya.“Soal host untuk talk show-nya?”“Sudah, Pak. Nona Xian Lie merekomendasikan Cathlyn.”Tangan Irawan yang sedang bergerak di atas kertas, terhenti. Ia mendongak dan melihat sang asisten.“Cathlyn? Kamu yakin?” tanya Irawan mencoba meyakinkan diri.“Benar, Pak. Ini pesan dari nona Xian Lie yang saya dapat tadi malam.” Lelak