Tak mengerti dengan wajah bingung Riana, bocah itu menaikkan kakinya ke paha wanita itu dan berusaha untuk duduk di pangkuannya.
Reflek, Riana segera memegangi Evan. Ia membantu bocah itu duduk di pangkuannya.
“Mommy, Mommy sekarang sedikit gemuk. Hehehe….”
Senyum Riana terukir. Tanpa sadar, cairan bening tiba-tiba menetas keluar dari kedua sudut matanya saat memandang wajah imut bocah itu.
Ia terhenyak kala menyadarinya. Ia pun menyentuh dan mengusap cairan yang mengalir di pipinya tanpa permisi dengan telunjuk dan melihatnya bingung.
“Mommy? What's the matter? Why are you crying (Ma? Ada apa? Kenapa Mama nangis)?”
Riana mengangkat wajahnya dan melihat Evan. Sebuah senyuman manis kembali ia ulas di wajah cantiknya.
“Ah, ini ….” Riana melihat ayahnya. Ia bingung mau berkata apa.
“Itu artinya, mommy terlalu senang bertemu Evan,” sambar Alicia. Ia lantas melihat
“Ada apa ini, Pa?” Iwan menoleh. Ia melihat putrinya yang didorong mendekat oleh seorang perawat. Lelaki itu kemudian berdiri lalu berjalan menghampiri Riana setelah menghindari Sir Edmund yang bersimpuh di hadapannya. “Kamu sudah selesai, Nak?” Riana yang masih tak memahami apa yang terjadi, mengangguk, “Hmm. Sudah. Tapi … ada apa ini, Pa?” Iwan menggeleng. Ia menarik senyum, lalu berjalan ke belakang kursi roda Riana, mengambil alih putrinya dari perawat. “Tidak ada apa-apa, Nak. Kami—” “Ana!” Riana mengalihkan matanya. Ia memandang wajah Sir Edmund yang terlihat jauh berbeda dari sebelum ia masuk ke ruang ICU. Lelaki yang berwajah sangat mirip Eric itu terlihat sembab dengan hidung memerah. “Ana, lelaki tua ini memohon padamu. Tolong … jangan tinggalkan putraku. Kau mungkin tidak mengingatnya tapi, tapi dia sangat mencintaimu, Nak. Kalau kau ingin membalas segala perbuatannya di masa lalu … lakukan padaku. Lampiaskan
Suara ayahnya, mengejutkan Riana. Wanita itu menoleh. Dengan mata yang masih berhias air mata, Riana melihat lelaki paruh baya yang berjalan ke arahnya namun dengan mata memandang ke arah Eric pergi. “Pa,” lirihnya. Iwan menunduk. Ia mendesah dan berjongkok. Dihapusnya jejak bening dari pipi putrinya. “Apa itu … yang diinginkan hatimu juga? Eric bersama wanita lain?’ Riana menunduk. Ia membasahi bibirnya. Lidahnya kelu untuk menjawab. Iwan mengambil tangan putrinya yang memainkan kuku di atas pangkuan. “Sayang, maafkan Papa. Selama ini, Papa yang salah paham pada Eric. Dia … pria dan ayah yang baik. Berkat Eric, Sans Media dan aset mamamu, kembali pada kita. Irawan dan keluarganya juga—” “Pa … apa karena dia membawa keuntungan pada kita karena itu aku harus membalas budinya dengan tubuhku?” ketus Riana. Wanita itu menghapus titik air mata yang masih saja belum berhenti di pipinya, lalu memutar kursi rodanya. “Na
1 tahun kemudian "Hei! Eric! Kami masih mau mengobrol dengan Ana!" seru protes Sita dan Ayu. Wajah mereka mengerut kesal. Sejak tadi, Eric selalu saja mengekori Riana dan tak membiarkan wanita itu bersama mereka walau hanya sejenak. "Sudahlah, Sayang. Kau tahu, Eric sudah terlalu lama berpuasa. Biarkan saja dia menikmati hari bebasnya sekarang," ujar Dylan seraya merangkul istrinya. "Palang merahmu juga ... sudah selesai, 'kan?" Eric menggendong pengantinnya dan menuju mansion. Ia sudah tak sabar lagi menunggu. "Eric, kembalikan aku venue," bisik Riana sambil menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Eric karena malu dengan banyaknya mata yang melihat mereka. Well ... sebuah gerakan yang salah. Karena Eric semakin tak bisa menahan diri. Perlahan, Eric menempatkan istrinya itu di atas ranjang bertabur bunga itu. Matanya yang mendamba menatap wajah cantik Riana. Ia menurunkan wajahnya. Ia melahap bibir itu. Begitu rakus dan menuntut.
“Whoahhh … ini rumah apa istana? Gede amat?”Mata dan mulut Ayu terbuka. Kakinya berjalan melambat, seiring memandang ke sekelilingnya. Rumah mewah bergaya klasik Victorian dengan warna emas yang mendominasi, benar-benar membuatnya tak bisa menahan kekaguman.“Hei, sudah ayo jalan. Kita sudah ditunggu Riana,” desak Alex. Sambil menggendong seorang balita, ia menarik tangan wanita yang saat ini terlihat lebih berisi itu untuk semakin masuk ke dalam mansion.“Ih, Mas Alex! Jangan tarik-tarik!”“Kita sudah ditunggu. Lagian jangan kayak orang udik! Ini rumah Eric Jenkins, bangsawan terhormat di negara ini. Tentu saja rumahnya tidak seperti rumah kontrakan kita. Sudah! Ayo, cepat jalan!”Ayu meringis kesal. Ia mengangkat tangan kirinya, ingin memukul lelaki yang menarik tangan kanannya itu.“Emang dasarnya aku udik, Mas! Karena udik makanya Mas Alex seenaknya saja masuk kamarku sampai k
Taman di belakang mansion Jenkins tampak meriah. Balon berwarna putih berada tepat di sisi flower arc dan meja yang ada di sisi kiri taman. Mengambil tema Rustic , gaya yang menghadirkan kesan alami dan didominasi oleh kayu-kayu, batu, tanaman menjuntai, serta lampu-lampu bolam klasik, membawa suasana terkesan akrab. Suami dari para sahabat Riana, tampak berbincang akrab dengan Eric, Sir Edmund, Boby dan ayah Riana, Iwan, Alex, Andrew, DD (adik Dylan) serta kedua asisten Eric. Tak ketinggalan, kedua orangtua Dylan juga hadir. Canda tawa acap kali terdengar disertai ledekan. Begitu riuh dan menyenangkan. Riana yang berada di jendela kamarnya, tersenyum bahagia melihat keakraban yang terjalin. Tak berhubungan darah, namun mereka lebih karib daripada saudara. Yang lebih menyejukkan hatinya, sikap Eric terhadap orang yang baru pertama kali ia temui, tak sekaku dan sedingin dulu. Senyum sudah mampu suaminya urai walau hanya setipis kain. Putranya j
Diana Arabelle Konrad, yang baru saja kembali setelah menjalani perawatan intensif karena trauma kehilangan suami dan calon bayinya, memutuskan untuk berangkat ke Praiano, sebuah kota kecil yang berada di Amalfi Coast, Italia, setelah mendengar bahwa resort yang didirikan almarhum suaminya terancam bangkrut. DD, begitu ia biasa disapa, bertekad untuk mempertahankan resort yang menyimpan kenangannya bersama almarhum sang suami. Hingga pada suatu hari, tanpa sengaja ia membantu seorang pria tak dikenal yang pingsan dengan wajah yang babak belur. Pria itu kemudian mengaku kehilangan ingatannya. Tak ingin sesuatu terjadi pada lelaki itu, DD memutuskan untuk menerimanya tinggal di resort. “Kau ingin aku membantumu?” “Kau bisa?” “Tentu saja. Tapi, aku mau imbalan.” “Imbalan?” Lelaki yang diselamatkannya itu mengangguk. Senyumnya begitu menawan namun menyimpan sejuta misteri. DD berdehem dan membetulkan duduknya.
Hari ini, 12 Oktober 2018, Jakarta, Indonesia Glamorous Haute Couture 14.30 PM Tak pernah terbersit di pikiran Riana, bahwa ia akan kembali bertemu dengan mantan suaminya. 3 tahun yang lalu, saat surat perceraian itu disodorkan padanya dan lelaki itu memaksanya menandatangani surat penyerahan hak asuh putranya, dunianya hancur berkeping-keping. Ia melakukan berbagai usaha agar bayangan lelaki itu dan putra semata wayangnya, menghilang dari pikirannya. Namun, semua terasa berat baginya. Siang dan malam yang menjadi pikirannya adalah buah hatinya. Ia menangis dan meratap karena merindukan bayi kecilnya itu. Jika bukan karena insiden mengerikan yang mengembalikan ingatan yang selama ini hilang darinya, ia pasti masih menjadi Riana yang gagal move on dari Eric dan melupakan tujuannya, mengapa ia harus jau
3 tahun lalu15 Februari 2014, Club Infinite, London, Inggris21.55 PMJedug jedug jedug …Suara musik memekakkan telinga, cahaya remang-remang dengan sinar lampu berwarna biru dan merah yang menyorot ke sana ke mari saling berganti, menari di atas langit-langit bersalut kaca lalu turun saling berebut.Menyapu dinding berlapis wallpaper bermotif klasik yang gelap, di ruangan penuh manusia yang meliuk-liuk mengikuti irama cepat yang diputar sang DJBerjalan sempoyongan dan sesekali tanpa sengaja menabrak orang yang dilewatinya, seorang wanita terlihat menyusuri lorong minim cahaya yang mengarah ke kamar mandi, sambil memegangi kepalanya. Ia tak lagi peduli dengan kemeriahan di belakangnya.Penglihatannya kabur dan berkunang-kunang. Dengan sokongan dinding, ia terus berjalan me