Riana terus mengulum senyum. Wanita itu menggunakan kepalan tangan untuk menahan mulutnya agar tawanya tak terlepas.
Eric mencebik dan membuang muka ke arah lain karena malu. Ia terus mengusap perutnya yang masih terasa tak enak.
“Need some help, Mr. Jenkins?” ujar Riana sambil melipat bibirnya, kala melihat lelaki itu kembali meringis.
Eric memutar matanya dan menipiskan bibir. Ia kembali melihat ke luar jendela mobil dan tak mau melihat Riana.
“Apa Anda tidak mencicipi masakan Anda waktu masak tadi?” Riana menggelengkan kepala saat melihat Eric yang mengedip bingung. “Kalo Anda tidak bisa membedakan antara gula dan garam, merica dan bubuk jahe, Anda ‘kan bisa pakai lidah Anda untuk mengetahuinya? Haihh ….”
“Ana … I don’t know how to cook but I did it for you. It tastesd horrible indeed. But … At least, give me some face, will you? Jangan ingatkan lagi aku soal itu,”
“Jangan coba-coba menghasutku, Xian Lie!”Xian Lie mengangkat alisnya. Ia pun berdiri dan menyeringai. “Menghasut? Untuk apa aku menghasut kamu? Apa kamu pikir aku sudi datang ke kantor kotormu ini hanya untuk kasih kamu omong kosong? Begitu?Aku ke sini, karena aku mau kasih peringatan sama calon istrimu itu. Jangan berani-berani merebut Eric dariku. Atau … dia akan merasakan akibatnya!”Brakk!!!Dimas menggebrak meja kerjanya dan menatap tajam wanita di hadapannya itu.“Jangan samakan Trisha dengan kamu, Xian Lie! Dia itu perempuan baik-baik! Kalaupun dia sekarang bersama Eric, itu karena mereka punya anak bersama!”“Mereka kemarin pergi hanya berdua! Tanpa Evan! Aku tahu, karena aku di sana dan aku sudah lihat cctv-nya!” bantah Xian Lie tak mau kalah.Dimas mengeratkan giginya. Tangannya perlahan mengepal. Melihat ekspresi d
Pyarr….Pecahan gelas bercampur air, berserakan di lantai. Tangan besar yang memegangnya perlahan terkepal, yang lama kelamaan bergetar.Giginya bergemelatuk. Matanya menyala, menyorot layar kotak di depannya. Lelaki itu terpaku, tak bergerak.“Xi-an-lieeee!!!” geram lelaki itu dengan gigi yang tetap terkatup rapat.Toktok….Suara ketukan di pintu, tak dihiraukannya. Bahkan hingga sosok wanita berbalut baju putih membuka pintu dan masuk, ia masih bergeming di tempatnya.“Dokter, visite jam berapa?”Suara wanita itu terdengar seperti dengungan. Pikirannya terlalu fokus pada foto-foto vulgar wanita yang ia cintai, yang terpampang di layar.“Dokter? Dokter Dimas?”Dimas terkesiap. Ia mengangkat matanya dari layar komputer. Sorot tajamnya membuat asistennya itu sedikit gemetar.“Ada apa?” tanya Dimas dingin dan
Netra Eric memicing tajam. Ia melihat gelas wine yang ada di tangan Xiana Lie, lalu mengerutkan bibirnya.“Kamu ‘kan yang menyebar foto-foto itu di internet?” tukas Eric.Xian Lie mengangkat alis dan menanggapi ucapan Eric seperti lelucon. Ia menyetuh dadanya dan mulai tertawa.Hahaha …“Ya! Menarik bukan? Hmm? Itulah wajah perempuan itu yang sebenarnya!”“Kau benar-benar mengerikan, Xian Lie."Xian Lie menarik satu sudut bibirnya dan menatap datar lelaki itu. “Kau yang memaksaku, Eric! Sekarang kamu tahu, ‘kan? Aku. Akan. Melakukan. A-pa-sa-ja, untuk membuat orang yang berani merebut milikku menyesal!” amuk wanita itu dengan mengeja perkataannya.Eric memajukan langkah. Ia fokuskan matanya melihat wanita berdarah campuran itu.“Dan aku, juga akan melakukan apapun untuk membuat orang yang menyakiti wanitaku, menyesal!” balas Eric.&
Hahaha…."Ternyata, dia perempuan munafik!" ejek Cathlyn seraya tertawa melihat berita di ponselnya.“Ck … Cath! Ini berita eksklusif. Masa bayarannya cuma segini?” keluh kesal manajer Cathlyn sambil melempar kembali cek yang ada di tangannya pada modelnya itu.“Kak, sudahlah. Lagian, foto ini juga dia yang dapet. Bukan gue. Gue cuma lemparin aja ke Iqbal. Ditambah lagi, kita itu punya musuh yang sama. Jadi, ya … win-win situation-lah,” sahut Cathlyn enteng dan memainkan rambut ikalnya.“Cath! Tapi masa’ 50 juta doang sih? Paling gak ya … 70 gitu. Dia itu ‘kan orang kaya. Aktris, ponakannya pak Irawan, denger-denger dia juga anaknya konglomerat. Masa cuma kasih 50 doang. Pelit banget. Jangan merendah karena kamu dapet fotonya dari dia, kalo bukan karena kamu, dia gak bakal kenal Iqbal,” cerocos Merry sambil mengerucutkan bibirnya.Cathlyn menatap kesal manajernya itu
“Sita? Dylan, Andrew? Ka-kalian ….” Riana tak mempercayai matanya. Ia berdiri mematung dan melihat tiga orang yang berdiri di hadapannya sambil tersenyum.“Kenapa? Udah lupa cara jalan, hmm?” sarkas Ida sambil menyenggol tubuh Riana lalu berjalan angkuh dan merangkul suaminya.Mata Riana kembali berair. Wajahnya basah seketika. Ia terduduk dan meraung. Melepas semua pertahanan di dalam dirinya.“Ana,” panggil Sita lirih dan berlari memeluk sahabatnya itu, diikuti Ida yang ikut menangis. Mengerti nestapa yang dialami Riana.“Iya … nangis aja … lepasin semuanya, Ana,” ucap Sita seraya mengusap punggung Riana.Mata istri Dylan itu ikut menitik sedih. Riana yang selama ini selalu terlihat kuat, sebenarnya tak jauh berbeda dengan wanita lainnya. Rapuh dan butuh sandaran.Andrew dan Dylan terdiam. Keduanya menunduk dan melipat bibir. Tak mampu mengungkap dengan kata, bahwa mereka
“An, kamu yakin gak mau dibantuin?” tanya Ida seraya memutar badannya melihat ke belakang, di mana Riana sedang membuka pintu mobil. Riana turun dari mobil, lalu menatap temannya itu. “Aku butuh penjahit. Memangnya kamu bisa jahit?” “Ya jelas bisalah. Jangan menghina, ya. Kemarin aja aku berhasil jahit kaos kakiku yang bolong,” sahut Ida bangga. Riana dan Sita seketika terpingkal dan memegangi perut mereka. “Hahaha … gak nyangka. Kaos kaki dokter dimakan tikus,” ledek Sita sambil terus tertawa. Ida mengerutkan bibirnya sebal. “Itu tandanya, aroma kaos kaki seorang dokter sama dengan aroma keju, sampe tikuspun doyan. Hahaha …,” sahut Ida enteng dan diakhiri dengan tawa renyah. “Udah! Buruan masuk sana! Pegawai tapi masuk kerja jam segini. Kalo aku bosmu, udah kusuruh kamu nyikat WC.” Riana memeluk kedua sahabatnya itu, lalu berjalan masuk ke dalam butik tempatnya bekerja seraya melambaikan tangan. “Ta, kira-kira aku bisa g
“Apa?! Gagal? Dasar bodoh! Kau bodoh!” pekik Xian Lie sambil melempar bantal sofa ke arah lelaki suruhannya itu.“Ma-maaf, Nona. Kalo seandainya tidak ada yang membantunya, kami pasti sudah bisa menangkapnya,” alasan lelaki berjaket hitam itu sambil memegangi dagunya yang terbalut perban.“Siapa dia? Apa kamu seperti ini karena orang itu?”“Benar, Nona. Tapi, kami tidak tahu siapa dia. Dia memakai hoodie dan masker.”Alis Xian Lie menukik tajam. Ia mengepalkan tangannya dan membanting bokongnya ke sofa.“Apa dia bilang sesuatu?”Lelaki itu menggeleng. “Tidak ada. Setelah kami pergi ke mobil, kami hanya lihat dia berjongkok di dekat perempuan itu. Tapi kami tidak dengar dia bilang apa.”“Siapa dia?” gumam Xian Lie.“Lalu … apa … yang harus kami lakukan selanjutnya, Nona?”Xian Lie menipiskan bibirnya dan menghela
Dimas berjalan gontai menuju mobilnya. Langkahnya terasa berat dan memutuskan untuk berhenti melangkah lalu menoleh ke belakang.Hampir 6 jam yang lalu ia dan Riana saling adu mulut dan selama itu pula, ia tak mampu berkonsentrasi dengan pekerjaannya dan kembali ke tempat ini, ke kos Riana.Namun, ia tak memiliki keberanian untuk masuk dan memilih pergi. Tapi lagi-lagi, hatinya terlalu berat untuk beranjak dari sana.“Eh, Pak Dimas! Hehehe … Pak, apa kabarnya?”Dimas mengalihkan perhatiannya pada suara yang menyapanya. Ia melihat sekilas pada wanita yang berjalan ke arahnya itu dan tak mengacuhkannya.“Lho, Pak! Disapa kok malah pergi?” sungut wanita itu sambil bergegas mendekati tunangan Riana yang sudah membuka pintu mobil.“Pak! Bapak marah sama Ayu? Kok Ayu sapa gak dijawab.”Dimas menepis tangan Ayu yang memegang pergelangannya dan menatap malas wanita itu.“Aku gak punya wa