Riana duduk di sofa ruangannya. Ia menatap Eric yang duduk di sebelahnya dengan mata yang menyipit. Berusaha mengerti maksud dan tujuan lelaki itu sebenarnya.
“Alright. Tell me, Mr. Jenkins. Apa maksud dari semua ini?” tanya Riana pada lelaki itu.
Eric tersenyum tipis dan melihat Riana. “Aku hanya ingin membantumu,” jawab Eric singkat.
Riana menarik napas panjang. Ia mengangguk dan mencebik. “Katakan apa yang Anda inginkan, Tuan Jenkins? Saya tahu, tidak ada yang gratis di dunia ini.”
Eric mendengus. Ia memangku satu kakinya dan memalingkan wajahnya ke arah lain.
“Aku hanya ingin membantu ibu anakku. Itu saja.”
Riana terhenyak lalu tersenyum masam. Dulu, saat aku hamil dan membutuhkan bantuanmu, kamu di mana? Batin Riana. Ia merasa miris bila mengingat kembali masa itu.
Masa di mana ia harus menjalani masa kehamilannya yang sering rewel. Ketika ia ingin sekali pergi ke luar dan berjalan-
Eric memutar badannya. Wajah sendu yang tadi terpancar di wajahnya, seketika menghilang dan berganti dingin karena seorang wanita yang mendekat padanya dengan pakaian tidur yang sangat minim.Dengan berani, Xian Lie duduk tepat di sebelah Eric dan mulai meraba lengan lelaki itu. Matanya menatap harap dan bibirnya sedikit terbuka mendamba.“Baby. I miss you,” lirih wanita itu dan merapatkan tubuhnya. Ia menggoser buah dadanya yang montok pada lengan lelaki itu.“What are you doing?” Suara baritone dari Eric yang begitu dingin membalas suara lembut Xian Lie.“Baby … kita sudah lama bertunangan, tapi kamu belum pernah menyentuhku. Ehh ...,” ucap Xian Lie disertai desahan di akhir kalimat. “Aku sangat menginginkanmu, Sayang.”Eric mengeratkan giginya. Lelaki itu segera berdiri dan menjauh. “Keluar! Aku membiarkanmu masuk ke sini, bukan karena aku menginginkanmu tapi karena aku tak mau ada ker
Xian Lie terus berusaha menghubungi Eric, namun panggilannya lagi-lagi terhubung dengan mailbox.“Ikh! Ke mana sih dia? Udah 3 hari masih aja gak bisa dihubungi. Di apartemen gak ada. Di kantor WOW gak ada. Erghh!” geram Xian Lie.Bak setrikaan, wanita itu mondar-mandir di ruang tamunya. “Apa jangan-jangan, dia ketemuan sama perempuan sialan itu?”Xian Lie lantas kembali menekan nomor seseorang di ponselnya dan menaruhnya di telinga. Sama. Tak ada juga jawaban.“Ini orang, gak jawab juga! Herghh!”Xian Lie berjalan menuju kamarnya dan membersihkan diri. Selesai bersolek dan mengganti pakaiannya, Xian Lie berjalan menuju ke mobilnya.“Antar aku ke tempat Irawan,” titahnya pada sopir, yang khusus disewakan Irawan untuknya.****“Bu’, Ibu yakin pak Irawan gak jadi batalin kontraknya?”Riana, mendesah. Wanita itu melir
“Eh, Lie. Ini ... adalah acara baru yang aku buat untuk menarik viewer. Aku berencana memberitahumu setelah kami membuat keputusan. Saat ini kami masih akan membicarakannya,” terang Irawan dengan mengurai senyum. “Kenapa Paman tidak memberitahuku sebelumnya? Apa Paman lupa kalo aku juga punya saham di perusahaan Paman? Apa aku tidak berhak ikut meeting dan memberikan pendapatku?” sambar Xian Lie dengan tatapan tajamnya pada Irawan lalu melirik sinis pada Riana. Ibunda Evan itu hanya berdiam tanpa suara. Wajahnya sangat datar, tak terpengaruh. Alex dan Ayu yang melihat perdebatan itu saling memandang kebingungan. “Sekarang, di mana kita akan meeting?” lanjut Xian Lie Alex segera menggandeng Ayu dan Riana lalu mengambil langkah. “Pak Irawan, sebaiknya Bapak bicarakan dulu dengan semua yang bersangkutan, baru Bapak bisa hubungi kami lagi. Kami permisi dulu,” pamit Alex. “Oh, baiklah. Kami—” “Tunggu. Kalian juga harus ikut dalam rapat kali
“Where are you taking me?”Eric tersenyum tipis namun tak membuka mulutnya. Tangannya pun terus memegang tangan Riana.“Tuan Jenkins?”Eric menghela napasnya dan melihat Riana. “Panggil aku Eric. Aku bukan orang lain, Ana. Kita akan pergi ke tempat di mana hanya ada kita bertiga.”“Kita bertiga?”Eric mengangguk. Ia mengusap punggung tangan wanita itu dan tersenyum. “Evan. Sekarang dia sedang perjalanan ke sini.”Riana terperangah. “Mr. Jenkins! You’re lied to me!” seru Riana seraya menegakkan punggungnya.Uraian senyum Eric tetap tak pudar. Perlahan ia menyadarkan kembali Riana ke sandaran jok dan menyentil pelan dahi ibunda Evan itu.“Evan masuk rumah sakit 3 hari lalu. Lalu, aku janji akan mengizinkan dia datang lagi ke Jakarta, kalo dia mau makan. Lalu tadi, Diane telpon. Evan sudah membaik dan dizinkan pulang. Jadi, aku suruh orang bawa dia
Riana terhenyak. Ia menelan ludahnya dengan berat. Ia menoleh pada lelaki itu lalu mengangguk tersendat. Bibirnya berkedut antara tersenyum dan tidak.“A-aku dulu juga punya ayah,” jawab Riana asal lalu memutar kepalanya.Eric menaikkan alis dan menarik bibirnya. “Hahaha … tentu saja kamu punya ayah. Kalo tidak, dari mana kamu muncul?”Riana menaikkan sedikit ujung bibirnya dan mengangguk. “Iya, betul.”Senyuman Eric perlahan memudar. Ia tahu ada yang salah dengan ekspresi Riana. Lelaki itu membasahi bibirnya dengan lidah lalu menarik tangan Riana dan mengusap punggung tangannya.“Ana … what’s wrong? Maaf, kalo lancang. Tapi … di mana ayahmu sekarang?”“Oh, mendung. Sepertinya mau hujan,” ucap Riana mengalihkan pembicaraan.Eric menatap mantan istrinya. Ia yakin ada yang wanita itu sembunyikan. Dave sudah berulang kali mencari tahu soal Riana, tapi
Riana membersihkan dirinya. Ia menikmati hangatnya guyuran air shower itu. Ia kemudian menyentuh bibirnya. Kilasan saat ia dan Eric berciuman, hadir di benaknya.“Tadi … kenapa aku tidak menolak,” gumam Riana.Darahnya berdesir kala mengingat itu. “Oh, Tuhan … Riana, kamu gak boleh lengah. Bagaimana kalau dia ternyata hanya pura-pura. Tapi … ciuman dan saat dia cerita tadi ... aku tahu itu tulus.”Ibunda Evan itu menggelengkan kepala. "Hei, Riana! Sudah, jangan diingat! Itu tadi gak sengaja. Kamu mau ke sini karena ada Evan sama Diane." Riana mulai membenarkan dirinya.Tapi, reminisensi ketika Eric membawanya pergi dan saat mereka berciuman di mobil, terus berulang di pikirannya."Oh, Tuhan. Apa aku masih belum bisa melupakannya? Apa benar aku masih mencintainya?"Rasa bimbang mengusik hati Riana. Tak mau terus tenggelam dalam pikirannya, wanita itu pun melanjutkan mandinya, setelah lebih da
Riana terus mengulum senyum. Wanita itu menggunakan kepalan tangan untuk menahan mulutnya agar tawanya tak terlepas.Eric mencebik dan membuang muka ke arah lain karena malu. Ia terus mengusap perutnya yang masih terasa tak enak.“Need some help, Mr. Jenkins?” ujar Riana sambil melipat bibirnya, kala melihat lelaki itu kembali meringis.Eric memutar matanya dan menipiskan bibir. Ia kembali melihat ke luar jendela mobil dan tak mau melihat Riana.“Apa Anda tidak mencicipi masakan Anda waktu masak tadi?” Riana menggelengkan kepala saat melihat Eric yang mengedip bingung. “Kalo Anda tidak bisa membedakan antara gula dan garam, merica dan bubuk jahe, Anda ‘kan bisa pakai lidah Anda untuk mengetahuinya? Haihh ….”“Ana … I don’t know how to cook but I did it for you. It tastesd horrible indeed. But … At least, give me some face, will you? Jangan ingatkan lagi aku soal itu,”
“Jangan coba-coba menghasutku, Xian Lie!”Xian Lie mengangkat alisnya. Ia pun berdiri dan menyeringai. “Menghasut? Untuk apa aku menghasut kamu? Apa kamu pikir aku sudi datang ke kantor kotormu ini hanya untuk kasih kamu omong kosong? Begitu?Aku ke sini, karena aku mau kasih peringatan sama calon istrimu itu. Jangan berani-berani merebut Eric dariku. Atau … dia akan merasakan akibatnya!”Brakk!!!Dimas menggebrak meja kerjanya dan menatap tajam wanita di hadapannya itu.“Jangan samakan Trisha dengan kamu, Xian Lie! Dia itu perempuan baik-baik! Kalaupun dia sekarang bersama Eric, itu karena mereka punya anak bersama!”“Mereka kemarin pergi hanya berdua! Tanpa Evan! Aku tahu, karena aku di sana dan aku sudah lihat cctv-nya!” bantah Xian Lie tak mau kalah.Dimas mengeratkan giginya. Tangannya perlahan mengepal. Melihat ekspresi d
Diana Arabelle Konrad, yang baru saja kembali setelah menjalani perawatan intensif karena trauma kehilangan suami dan calon bayinya, memutuskan untuk berangkat ke Praiano, sebuah kota kecil yang berada di Amalfi Coast, Italia, setelah mendengar bahwa resort yang didirikan almarhum suaminya terancam bangkrut. DD, begitu ia biasa disapa, bertekad untuk mempertahankan resort yang menyimpan kenangannya bersama almarhum sang suami. Hingga pada suatu hari, tanpa sengaja ia membantu seorang pria tak dikenal yang pingsan dengan wajah yang babak belur. Pria itu kemudian mengaku kehilangan ingatannya. Tak ingin sesuatu terjadi pada lelaki itu, DD memutuskan untuk menerimanya tinggal di resort. “Kau ingin aku membantumu?” “Kau bisa?” “Tentu saja. Tapi, aku mau imbalan.” “Imbalan?” Lelaki yang diselamatkannya itu mengangguk. Senyumnya begitu menawan namun menyimpan sejuta misteri. DD berdehem dan membetulkan duduknya.
Taman di belakang mansion Jenkins tampak meriah. Balon berwarna putih berada tepat di sisi flower arc dan meja yang ada di sisi kiri taman. Mengambil tema Rustic , gaya yang menghadirkan kesan alami dan didominasi oleh kayu-kayu, batu, tanaman menjuntai, serta lampu-lampu bolam klasik, membawa suasana terkesan akrab. Suami dari para sahabat Riana, tampak berbincang akrab dengan Eric, Sir Edmund, Boby dan ayah Riana, Iwan, Alex, Andrew, DD (adik Dylan) serta kedua asisten Eric. Tak ketinggalan, kedua orangtua Dylan juga hadir. Canda tawa acap kali terdengar disertai ledekan. Begitu riuh dan menyenangkan. Riana yang berada di jendela kamarnya, tersenyum bahagia melihat keakraban yang terjalin. Tak berhubungan darah, namun mereka lebih karib daripada saudara. Yang lebih menyejukkan hatinya, sikap Eric terhadap orang yang baru pertama kali ia temui, tak sekaku dan sedingin dulu. Senyum sudah mampu suaminya urai walau hanya setipis kain. Putranya j
“Whoahhh … ini rumah apa istana? Gede amat?”Mata dan mulut Ayu terbuka. Kakinya berjalan melambat, seiring memandang ke sekelilingnya. Rumah mewah bergaya klasik Victorian dengan warna emas yang mendominasi, benar-benar membuatnya tak bisa menahan kekaguman.“Hei, sudah ayo jalan. Kita sudah ditunggu Riana,” desak Alex. Sambil menggendong seorang balita, ia menarik tangan wanita yang saat ini terlihat lebih berisi itu untuk semakin masuk ke dalam mansion.“Ih, Mas Alex! Jangan tarik-tarik!”“Kita sudah ditunggu. Lagian jangan kayak orang udik! Ini rumah Eric Jenkins, bangsawan terhormat di negara ini. Tentu saja rumahnya tidak seperti rumah kontrakan kita. Sudah! Ayo, cepat jalan!”Ayu meringis kesal. Ia mengangkat tangan kirinya, ingin memukul lelaki yang menarik tangan kanannya itu.“Emang dasarnya aku udik, Mas! Karena udik makanya Mas Alex seenaknya saja masuk kamarku sampai k
1 tahun kemudian "Hei! Eric! Kami masih mau mengobrol dengan Ana!" seru protes Sita dan Ayu. Wajah mereka mengerut kesal. Sejak tadi, Eric selalu saja mengekori Riana dan tak membiarkan wanita itu bersama mereka walau hanya sejenak. "Sudahlah, Sayang. Kau tahu, Eric sudah terlalu lama berpuasa. Biarkan saja dia menikmati hari bebasnya sekarang," ujar Dylan seraya merangkul istrinya. "Palang merahmu juga ... sudah selesai, 'kan?" Eric menggendong pengantinnya dan menuju mansion. Ia sudah tak sabar lagi menunggu. "Eric, kembalikan aku venue," bisik Riana sambil menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Eric karena malu dengan banyaknya mata yang melihat mereka. Well ... sebuah gerakan yang salah. Karena Eric semakin tak bisa menahan diri. Perlahan, Eric menempatkan istrinya itu di atas ranjang bertabur bunga itu. Matanya yang mendamba menatap wajah cantik Riana. Ia menurunkan wajahnya. Ia melahap bibir itu. Begitu rakus dan menuntut.
Suara ayahnya, mengejutkan Riana. Wanita itu menoleh. Dengan mata yang masih berhias air mata, Riana melihat lelaki paruh baya yang berjalan ke arahnya namun dengan mata memandang ke arah Eric pergi. “Pa,” lirihnya. Iwan menunduk. Ia mendesah dan berjongkok. Dihapusnya jejak bening dari pipi putrinya. “Apa itu … yang diinginkan hatimu juga? Eric bersama wanita lain?’ Riana menunduk. Ia membasahi bibirnya. Lidahnya kelu untuk menjawab. Iwan mengambil tangan putrinya yang memainkan kuku di atas pangkuan. “Sayang, maafkan Papa. Selama ini, Papa yang salah paham pada Eric. Dia … pria dan ayah yang baik. Berkat Eric, Sans Media dan aset mamamu, kembali pada kita. Irawan dan keluarganya juga—” “Pa … apa karena dia membawa keuntungan pada kita karena itu aku harus membalas budinya dengan tubuhku?” ketus Riana. Wanita itu menghapus titik air mata yang masih saja belum berhenti di pipinya, lalu memutar kursi rodanya. “Na
“Ada apa ini, Pa?” Iwan menoleh. Ia melihat putrinya yang didorong mendekat oleh seorang perawat. Lelaki itu kemudian berdiri lalu berjalan menghampiri Riana setelah menghindari Sir Edmund yang bersimpuh di hadapannya. “Kamu sudah selesai, Nak?” Riana yang masih tak memahami apa yang terjadi, mengangguk, “Hmm. Sudah. Tapi … ada apa ini, Pa?” Iwan menggeleng. Ia menarik senyum, lalu berjalan ke belakang kursi roda Riana, mengambil alih putrinya dari perawat. “Tidak ada apa-apa, Nak. Kami—” “Ana!” Riana mengalihkan matanya. Ia memandang wajah Sir Edmund yang terlihat jauh berbeda dari sebelum ia masuk ke ruang ICU. Lelaki yang berwajah sangat mirip Eric itu terlihat sembab dengan hidung memerah. “Ana, lelaki tua ini memohon padamu. Tolong … jangan tinggalkan putraku. Kau mungkin tidak mengingatnya tapi, tapi dia sangat mencintaimu, Nak. Kalau kau ingin membalas segala perbuatannya di masa lalu … lakukan padaku. Lampiaskan
Tak mengerti dengan wajah bingung Riana, bocah itu menaikkan kakinya ke paha wanita itu dan berusaha untuk duduk di pangkuannya.Reflek, Riana segera memegangi Evan. Ia membantu bocah itu duduk di pangkuannya.“Mommy, Mommy sekarang sedikit gemuk. Hehehe….”Senyum Riana terukir. Tanpa sadar, cairan bening tiba-tiba menetas keluar dari kedua sudut matanya saat memandang wajah imut bocah itu.Ia terhenyak kala menyadarinya. Ia pun menyentuh dan mengusap cairan yang mengalir di pipinya tanpa permisi dengan telunjuk dan melihatnya bingung.“Mommy? What's the matter? Why are you crying (Ma? Ada apa? Kenapa Mama nangis)?”Riana mengangkat wajahnya dan melihat Evan. Sebuah senyuman manis kembali ia ulas di wajah cantiknya.“Ah, ini ….” Riana melihat ayahnya. Ia bingung mau berkata apa.“Itu artinya, mommy terlalu senang bertemu Evan,” sambar Alicia. Ia lantas melihat
“Ana?” panggil lirih Dave. Melangkah berat, sahabat Eric itu mendekati kursi roda Riana yang juga sudah menuju ke arahnya. “Ana?” Iwan berhenti di depan Dave. Riana mengangkat wajahnya dan mengulurkan tangan sembari mengurai senyum. “Hallo, selamat siang. Apa Anda yang ingin bertemu denganku?” Mata Dave melebar. Ia melihat Iwan sejenak, lalu menyambut uluran tangan Riana. “H-hallo. Apa kabarmu, An?” Riana menarik lurus bibirnya. Ia melihat kakinya yang ditutup dengan syal tebal lalu berkata, “Seperti yang Anda lihat. Saya … tidak bisa berjalan.” Dave menelan ludah. Ia melihat kaki Riana dan membasahi bibirnya. Ia lantas berbalik dan memanggil Aaron. “Eh, k-kenalkan. Ini adik ipar Eric. Suaminya Alicia,” ucap Dave. “Eric? Alicia?” Dave melihat Riana dan mengangguk pelan sebelum akhirnya memandang ayah kandung Riana yang memegangi kursi roda wanita itu. “Kita masuk dulu,” kata Iwan. Lelaki
Suara heel sepatu fantofel yang bersinggungan dengan keramik, menggema di lorong rumah sakit area ICU VIP itu.“Alicia, Aaron! Dave!”Alicia dan suaminya serta Dave segera berpaling. Mereka menyambut ayah kandung Eric itu dengan wajah sembab dan untaian air mata.“Dad,” panggil Alicia sembari melepas pelukan suaminya dan melebarkan kedua tangannya ke arah sang ayah.“Kenapa? Apa yang terjadi, hah?” tanya Sir Edmund. Ia berjongkok menatap wajah putrinya dan memeluknya sembari mengedarkan tatapannya pada semua yang ada di sana.“Eric … kata dokter dia … hiks … hiks….”Sir Edmund membasahi bibirnya. Ia mengusap wajah putrinya yang penuh air mata tapi juga melihat bingung ke arah Dave dan menantunya, Aaron.“Aaron! Dave! Katakan apa yang terjadi?!”Sir Edmund tak bisa lagi menahan gundah hatinya. Ia berdiri dan bertanya pada menantu dan sahabat