“Where are you taking me?”
Eric tersenyum tipis namun tak membuka mulutnya. Tangannya pun terus memegang tangan Riana.
“Tuan Jenkins?”
Eric menghela napasnya dan melihat Riana. “Panggil aku Eric. Aku bukan orang lain, Ana. Kita akan pergi ke tempat di mana hanya ada kita bertiga.”
“Kita bertiga?”
Eric mengangguk. Ia mengusap punggung tangan wanita itu dan tersenyum. “Evan. Sekarang dia sedang perjalanan ke sini.”
Riana terperangah. “Mr. Jenkins! You’re lied to me!” seru Riana seraya menegakkan punggungnya.
Uraian senyum Eric tetap tak pudar. Perlahan ia menyadarkan kembali Riana ke sandaran jok dan menyentil pelan dahi ibunda Evan itu.
“Evan masuk rumah sakit 3 hari lalu. Lalu, aku janji akan mengizinkan dia datang lagi ke Jakarta, kalo dia mau makan. Lalu tadi, Diane telpon. Evan sudah membaik dan dizinkan pulang. Jadi, aku suruh orang bawa dia
Riana terhenyak. Ia menelan ludahnya dengan berat. Ia menoleh pada lelaki itu lalu mengangguk tersendat. Bibirnya berkedut antara tersenyum dan tidak.“A-aku dulu juga punya ayah,” jawab Riana asal lalu memutar kepalanya.Eric menaikkan alis dan menarik bibirnya. “Hahaha … tentu saja kamu punya ayah. Kalo tidak, dari mana kamu muncul?”Riana menaikkan sedikit ujung bibirnya dan mengangguk. “Iya, betul.”Senyuman Eric perlahan memudar. Ia tahu ada yang salah dengan ekspresi Riana. Lelaki itu membasahi bibirnya dengan lidah lalu menarik tangan Riana dan mengusap punggung tangannya.“Ana … what’s wrong? Maaf, kalo lancang. Tapi … di mana ayahmu sekarang?”“Oh, mendung. Sepertinya mau hujan,” ucap Riana mengalihkan pembicaraan.Eric menatap mantan istrinya. Ia yakin ada yang wanita itu sembunyikan. Dave sudah berulang kali mencari tahu soal Riana, tapi
Riana membersihkan dirinya. Ia menikmati hangatnya guyuran air shower itu. Ia kemudian menyentuh bibirnya. Kilasan saat ia dan Eric berciuman, hadir di benaknya.“Tadi … kenapa aku tidak menolak,” gumam Riana.Darahnya berdesir kala mengingat itu. “Oh, Tuhan … Riana, kamu gak boleh lengah. Bagaimana kalau dia ternyata hanya pura-pura. Tapi … ciuman dan saat dia cerita tadi ... aku tahu itu tulus.”Ibunda Evan itu menggelengkan kepala. "Hei, Riana! Sudah, jangan diingat! Itu tadi gak sengaja. Kamu mau ke sini karena ada Evan sama Diane." Riana mulai membenarkan dirinya.Tapi, reminisensi ketika Eric membawanya pergi dan saat mereka berciuman di mobil, terus berulang di pikirannya."Oh, Tuhan. Apa aku masih belum bisa melupakannya? Apa benar aku masih mencintainya?"Rasa bimbang mengusik hati Riana. Tak mau terus tenggelam dalam pikirannya, wanita itu pun melanjutkan mandinya, setelah lebih da
Riana terus mengulum senyum. Wanita itu menggunakan kepalan tangan untuk menahan mulutnya agar tawanya tak terlepas.Eric mencebik dan membuang muka ke arah lain karena malu. Ia terus mengusap perutnya yang masih terasa tak enak.“Need some help, Mr. Jenkins?” ujar Riana sambil melipat bibirnya, kala melihat lelaki itu kembali meringis.Eric memutar matanya dan menipiskan bibir. Ia kembali melihat ke luar jendela mobil dan tak mau melihat Riana.“Apa Anda tidak mencicipi masakan Anda waktu masak tadi?” Riana menggelengkan kepala saat melihat Eric yang mengedip bingung. “Kalo Anda tidak bisa membedakan antara gula dan garam, merica dan bubuk jahe, Anda ‘kan bisa pakai lidah Anda untuk mengetahuinya? Haihh ….”“Ana … I don’t know how to cook but I did it for you. It tastesd horrible indeed. But … At least, give me some face, will you? Jangan ingatkan lagi aku soal itu,”
“Jangan coba-coba menghasutku, Xian Lie!”Xian Lie mengangkat alisnya. Ia pun berdiri dan menyeringai. “Menghasut? Untuk apa aku menghasut kamu? Apa kamu pikir aku sudi datang ke kantor kotormu ini hanya untuk kasih kamu omong kosong? Begitu?Aku ke sini, karena aku mau kasih peringatan sama calon istrimu itu. Jangan berani-berani merebut Eric dariku. Atau … dia akan merasakan akibatnya!”Brakk!!!Dimas menggebrak meja kerjanya dan menatap tajam wanita di hadapannya itu.“Jangan samakan Trisha dengan kamu, Xian Lie! Dia itu perempuan baik-baik! Kalaupun dia sekarang bersama Eric, itu karena mereka punya anak bersama!”“Mereka kemarin pergi hanya berdua! Tanpa Evan! Aku tahu, karena aku di sana dan aku sudah lihat cctv-nya!” bantah Xian Lie tak mau kalah.Dimas mengeratkan giginya. Tangannya perlahan mengepal. Melihat ekspresi d
Pyarr….Pecahan gelas bercampur air, berserakan di lantai. Tangan besar yang memegangnya perlahan terkepal, yang lama kelamaan bergetar.Giginya bergemelatuk. Matanya menyala, menyorot layar kotak di depannya. Lelaki itu terpaku, tak bergerak.“Xi-an-lieeee!!!” geram lelaki itu dengan gigi yang tetap terkatup rapat.Toktok….Suara ketukan di pintu, tak dihiraukannya. Bahkan hingga sosok wanita berbalut baju putih membuka pintu dan masuk, ia masih bergeming di tempatnya.“Dokter, visite jam berapa?”Suara wanita itu terdengar seperti dengungan. Pikirannya terlalu fokus pada foto-foto vulgar wanita yang ia cintai, yang terpampang di layar.“Dokter? Dokter Dimas?”Dimas terkesiap. Ia mengangkat matanya dari layar komputer. Sorot tajamnya membuat asistennya itu sedikit gemetar.“Ada apa?” tanya Dimas dingin dan
Netra Eric memicing tajam. Ia melihat gelas wine yang ada di tangan Xiana Lie, lalu mengerutkan bibirnya.“Kamu ‘kan yang menyebar foto-foto itu di internet?” tukas Eric.Xian Lie mengangkat alis dan menanggapi ucapan Eric seperti lelucon. Ia menyetuh dadanya dan mulai tertawa.Hahaha …“Ya! Menarik bukan? Hmm? Itulah wajah perempuan itu yang sebenarnya!”“Kau benar-benar mengerikan, Xian Lie."Xian Lie menarik satu sudut bibirnya dan menatap datar lelaki itu. “Kau yang memaksaku, Eric! Sekarang kamu tahu, ‘kan? Aku. Akan. Melakukan. A-pa-sa-ja, untuk membuat orang yang berani merebut milikku menyesal!” amuk wanita itu dengan mengeja perkataannya.Eric memajukan langkah. Ia fokuskan matanya melihat wanita berdarah campuran itu.“Dan aku, juga akan melakukan apapun untuk membuat orang yang menyakiti wanitaku, menyesal!” balas Eric.&
Hahaha…."Ternyata, dia perempuan munafik!" ejek Cathlyn seraya tertawa melihat berita di ponselnya.“Ck … Cath! Ini berita eksklusif. Masa bayarannya cuma segini?” keluh kesal manajer Cathlyn sambil melempar kembali cek yang ada di tangannya pada modelnya itu.“Kak, sudahlah. Lagian, foto ini juga dia yang dapet. Bukan gue. Gue cuma lemparin aja ke Iqbal. Ditambah lagi, kita itu punya musuh yang sama. Jadi, ya … win-win situation-lah,” sahut Cathlyn enteng dan memainkan rambut ikalnya.“Cath! Tapi masa’ 50 juta doang sih? Paling gak ya … 70 gitu. Dia itu ‘kan orang kaya. Aktris, ponakannya pak Irawan, denger-denger dia juga anaknya konglomerat. Masa cuma kasih 50 doang. Pelit banget. Jangan merendah karena kamu dapet fotonya dari dia, kalo bukan karena kamu, dia gak bakal kenal Iqbal,” cerocos Merry sambil mengerucutkan bibirnya.Cathlyn menatap kesal manajernya itu
“Sita? Dylan, Andrew? Ka-kalian ….” Riana tak mempercayai matanya. Ia berdiri mematung dan melihat tiga orang yang berdiri di hadapannya sambil tersenyum.“Kenapa? Udah lupa cara jalan, hmm?” sarkas Ida sambil menyenggol tubuh Riana lalu berjalan angkuh dan merangkul suaminya.Mata Riana kembali berair. Wajahnya basah seketika. Ia terduduk dan meraung. Melepas semua pertahanan di dalam dirinya.“Ana,” panggil Sita lirih dan berlari memeluk sahabatnya itu, diikuti Ida yang ikut menangis. Mengerti nestapa yang dialami Riana.“Iya … nangis aja … lepasin semuanya, Ana,” ucap Sita seraya mengusap punggung Riana.Mata istri Dylan itu ikut menitik sedih. Riana yang selama ini selalu terlihat kuat, sebenarnya tak jauh berbeda dengan wanita lainnya. Rapuh dan butuh sandaran.Andrew dan Dylan terdiam. Keduanya menunduk dan melipat bibir. Tak mampu mengungkap dengan kata, bahwa mereka