Berpakaian serba hitam, Riana berjalan memasuki kantornya. Semua karyawan menatapnya dengan berbagai ekspresi.
Riana maklum, karena berita negatif yang tersiar tentang dirinya, tak akan bisa menghilang begitu saja.
Wanita itu duduk di kursi kebesarannya dan memulai aktifitasnya.
Tok … tok….
“Masuk!”
“Bu, bisa tolong tanda tangani draft ini? Saya harus secepatnya kirim ke tim produksi. Bu Ellena lagi ke Jerman, Bu,” ujar asisten Ellena itu.
“Bu Ellena ke Jerman? Kapan?”
“Kemarin sore, Bu. Apa Ibu tidak dikasih tahu?”
Riana menggeleng. Ia mengambil map itu dan membukanya. “Apa meeting tahunannya dipercepat makanya harus ke sana?” selidik Riana.
“Enggak, Bu. Saya juga kurang tahu. Kemarin … beliau marah-marah di kantornya.”
Riana memajukan bibirnya dan memberikan map yang sudah ia tanda tangani pada wanita itu.
“Marah-marah?”
“Iya, Bu. Ka
Wajah Irawan yang masam, menambah lengkungan di bibir Riana. Wanita itu cukup puas dengan reaksi Irawan.“Ah, kita kelamaan ngobrol di sini. Ayo, ke meja. Aku sudah siapkan di sana,” ajak Irawan mengalihkan pembicaraan, seraya mendekati Riana dan mensejajarkan dirinya dengan wanita itu.Ia membuka lengannya, agar Riana mau menggandeng lengannya.Riana menyentak satu alisnya lalu melihat Ayu dan memapah wanita itu.“Wow … dia memang pintar memainkan perasaan lelaki,” gumam Irawan sambil menarik kedua ujung bibirnya ke atas dan menggaruk tulang hidungnya.Ayu melirik Irawan melewati atas bahunya dan kembali pada Riana.“Bu, emang gapapa ya, kita cuekin pak Irawan?” tanya Ayu takut-takut dan mendudukkan bokongnya di kursi empuk berbentuk oval di meja VIP itu.“Kenapa emangnya?” sahut Riana datar dan duduk di sisi Ayu.“Hehe … Gak, Bu. Ibu keren!” jawab Ayu dan
Eric menempatkan dirinya pada kursi tambahan yang disediakan pelayan. Kakinya bersilang dengan satu tangan ia tempatkan di atas paha dan satu lagi pada kursinya.Auranya yang dingin mendominasi, menegakkan bulu tengkuk Ayu dan Alex. Hanya Riana yang tampak biasa dan tak terganggu.“Jadi begini. Talkshow itu akan membahas seputar fashion dan kecantikan. Kita akan mengundang narasumber yang ahli di bidangnya. Karena itu, kalo … Ayu yang maju, apa … dia bisa melakukannya?” ungkap Irawan sekaligus mempertanyakan kemampuan mantan asisten Riana itu.Ayu melipat bibirnya dan menunduk. Wanita yang selalu mengalami masalah soal kepercayaan diri itu, memalingkan wajahnya ke arah lain, ingin menyembunyikan diri.“Saya sangat menganggap serius pekerjaan saya dan tidak pernah main-main. Jadi, katakan pada saya, Pak Irawan. Apakah saya akan begitu saja memilih seorang asisten?Sebelum jadi asisten saya, Ayu sekolah d
Riana duduk di belakang sutradara bersama Alex. Mereka menatap cemas ke arah Ayu, karena ini adalah penampilan pertama Ayu di depan kamera. “Mas, kayaknya ada masalah,” bisik Riana cemas. “Aku juga ngarasa kayak gitu.” Ayu terlihat sesekali mengusap wajahnya walau kemudian ia kembali menghadap ke kamera dan tersenyum. “Mas, bisa tolong minta di cut dulu gak? Aku harus cek wajahnya si Ayu,” pinta Riana cemas. Alex mengangguk. Lelaki itu menghampiri sutradara dan meminta izin. Setelah beberapa detik, barulah terdengar sutradara mengatakan “Cut”. Riana dengan cepat menghampiri Ayu dan melihat wajah mantan asistennya yang tampak berubah merah itu. “Yu’. Kamu punya alergi?” Ayu menggeleng. “Enggak, Bu. Kenapa?” tanya Ayu sambil menggosok wajahnya dengan punggung tangan. “Wajahmu mulai merah. Kayaknya kamu alergi.” “Hah?! Alergi? Saya gak ada alergi kok, Bu'.” Riana mengigit bibir bawahnya. Ia kemudian
Riana berjalan tergesa menuju kamar Ayu. Wanita itu terkejut karena banyaknya wartawan berkerumun di depan kamar rawat mantan asistennya itu. Riana mengertakkan giginya dan berjalan menerobos para wartawan itu. “Trisha! Trisha! Apa benar Anda sekarang manager dari Ayu. Bagaimana kabar Ayu? Apa benar dia sengaja tidak memberitahu kalau dia alergi kosmetik?” “Trisha, kalau Anda tahu model Anda punya masalah kulit, kenapa Anda setuju dengan tawaran iklan WOW. Apa benar karena Anda sangat ingin jadi terkenal, jadi Anda memaksakan pengaruh Anda pada Ayu?” “Trisha, apa karena job Anda berkurang, karena itu Anda menambah pekerjaan menjadi manager Ayu?” “Trisha, apa benar Anda mengakui bahwa ini karma dari Cathlyn karena—“ Riana membalikkan badan. Ia menatap satu per satu para wartawan yang memberondongnya dengan pertanyaan tak enak itu dengan sorot mata yang menyala. “Sekali lagi kalian mengatakan sesuatu tanpa mencari bukti lebih dul
Riana memandang ke luar jendela. Ia enggan untuk bercengkerama dengan lelaki yang duduk bersebelahan dengannya itu. “Ana … kenapa kamu pindah?” Lelaki itu membuka pembicaraan, mencoba mengambil perhatian Riana. “Saya sudah membeli rumah karena itu—“ “Maksudmu kamar kecil di dekat kantormu itu?” potong Eric. Riana mengeratkan bibirnya. Ia memutar kepalanya dan menatap mantan suaminya itu. “Tuan Jenkins, ada apa dengan Anda? Kenapa Anda selalu mengikuti saya? Saya tinggal di manapun, itu bukan urusan Anda. Kenapa Anda selalu mengganggu saya?” cecar Riana dengan alis berkerut. “Ana … tak bisakah … kamu kasih aku kesempatan?” “Tuan … please. Berapa kali saya harus bilang, Anda dan saya … sangat mustahil untuk bersama. Masa lalu, biarkan saja berlalu. Saya tidak ingin mengulanginya.” Eric memalingkan wajahnya. Matanya terpejam. Masa lalu yang tak lekang dari ingatan, masa lalu yang membuatnya tersenyum sekaligus tersayat.
Irawan berjalan mondar-mandir di kantornya. Nilai saham perusahaannya kian hari kian merosot. Beberapa investor banyak yang menarik dana dari perusahaannya.“Pa … rating Sitkom kita sedang naik daun. Kalo sampe kita kurangi budgetnya, otomatis kita juga kita juga harus cut banyak pengeluaran. Dari setting, kru sampai artisnya. Kalo seperti itu, aku gak yakin mereka akan kerja maksimal,” papar Dimas.“Kamu kira, aku gak tahu soal itu. Tapi apalagi yang bisa kita lakukan. Investor banyak yang mundur. Kamu tunggu aja kabar dari Papa. Papa mau bicara sama Lady Hanwel,” sahut Irawan lalu mengigit bibir bawahnya karena tak yakin.Dimas mendengus. Kerap kali, ayahnya selalu saja mengandalkan orang lain untuk membantunya menyelesaikan masalah, tapi tak pernah mau mengeluarkan uang sendiri.“Kamu kerjakan yang lain dulu. Aku akan hubngi Lady Hanwel sama Gery,” suruh Irawan dan kembali ke tempat duduknya serta meraih telep
Riana duduk di sofa ruangannya. Ia menatap Eric yang duduk di sebelahnya dengan mata yang menyipit. Berusaha mengerti maksud dan tujuan lelaki itu sebenarnya.“Alright. Tell me, Mr. Jenkins. Apa maksud dari semua ini?” tanya Riana pada lelaki itu.Eric tersenyum tipis dan melihat Riana. “Aku hanya ingin membantumu,” jawab Eric singkat.Riana menarik napas panjang. Ia mengangguk dan mencebik. “Katakan apa yang Anda inginkan, Tuan Jenkins? Saya tahu, tidak ada yang gratis di dunia ini.”Eric mendengus. Ia memangku satu kakinya dan memalingkan wajahnya ke arah lain.“Aku hanya ingin membantu ibu anakku. Itu saja.”Riana terhenyak lalu tersenyum masam. Dulu, saat aku hamil dan membutuhkan bantuanmu, kamu di mana? Batin Riana. Ia merasa miris bila mengingat kembali masa itu.Masa di mana ia harus menjalani masa kehamilannya yang sering rewel. Ketika ia ingin sekali pergi ke luar dan berjalan-
Eric memutar badannya. Wajah sendu yang tadi terpancar di wajahnya, seketika menghilang dan berganti dingin karena seorang wanita yang mendekat padanya dengan pakaian tidur yang sangat minim.Dengan berani, Xian Lie duduk tepat di sebelah Eric dan mulai meraba lengan lelaki itu. Matanya menatap harap dan bibirnya sedikit terbuka mendamba.“Baby. I miss you,” lirih wanita itu dan merapatkan tubuhnya. Ia menggoser buah dadanya yang montok pada lengan lelaki itu.“What are you doing?” Suara baritone dari Eric yang begitu dingin membalas suara lembut Xian Lie.“Baby … kita sudah lama bertunangan, tapi kamu belum pernah menyentuhku. Ehh ...,” ucap Xian Lie disertai desahan di akhir kalimat. “Aku sangat menginginkanmu, Sayang.”Eric mengeratkan giginya. Lelaki itu segera berdiri dan menjauh. “Keluar! Aku membiarkanmu masuk ke sini, bukan karena aku menginginkanmu tapi karena aku tak mau ada ker