Setiap laman berita di internet dan televisi dipenuhi dengan kabar tentang Ayu dan Riana.
Keduanya menjadi bahan perbincangan di kalangan netizen bukan hanya karena penampilan mereka yang memukau dan karya yang luar biasa, melainkan juga karena apa yang terjadi di baliknya.
Khalayak terbagi menjadi dua kubu. Ada yang memuji Riana karena talenta dan koneksinya yang luas, ada pula yang menyebut Riana sebagai wanita tak bermoral dan seorang pelakor.
Begitu pula dengan Ayu. Banyak yang mendukung debut Ayu sebagai seorang model tapi sedikit pula yang mencibir.
Tapi di antara semua berita, foto Riana yang digendong Eric, dipeluk dan dikecup Dyan serta Xian Lie yang melabraknya, menjadi trending topik di berbagai media sosial dan portal berita.
Dimas yang sedang menikmati sarapan di kantornya, terkejut ketika melihat berita tentang Riana di ponselnya.
Rahangnya mengeras. Matanya erat terpejam. Dadanya bergemuruh karena amarah yang siap meledak.
Riana mendengus. Ia kemudian berdiri dan meninggalkan ayah dan anak itu, lantas pergi ke kamarnya. Mata Riana melebar, ketika menyadari penampilannya. Rambut berantakan yang masih diikat ekor kuda karena semalam ia terlalu malas untuk melepas, daster batik tanpa lengan yang panjangnya hanya menutupi setengah pahanya dan wajahnya yang sangat kusut karena belum cuci muka, benar-benar mengerikan! “Rianaaa! You are dead!” Wanita itu segera berlari ke kamar mandi dan membersihkan diri. Di ruang makan, Evan dengan gembira menikmati masakan ibunya. Sudah lama ia ingin mempunyai satu momen yang bisa ia pamerkan pada teman-temannya di sekolah. Dan kini, ia mendapatkannya. Tak berbeda dengan Evan, Eric juga melahap makanannya. Masakan Riana tak berubah. Bahkan rasanya semakin lezat. “Too bad. You are losing such beauty and chef, Dad,” ujar Evan dengan mulut penuh dan mata yang tetap pada santapannya. Eric memalingkan wajahnya dan melihat
Sentakan Irawan membuat Xian Lie dan Wendy berjingkat kaget. Lelaki paruh baya itu melangkah lebar mendekati keponakannya dengan mata melotot yang tajam.“Kalo kamu gak mau kehilangan Eric, rubah sikap dan penampilanmu! Kemarin aku sudah kasih tahu kamu, ‘kan? Jangan terlalu emosi!Sekarang, lihat! LIHAT! INI HASILNYA!” sergah Irawan, seraya menunjukkan berita tentang kejadian malam sebelumnya saat acara JFW, di ponselnya.Xian Lie menyambar ponsel itu. Matanya membelalak kala melihat tajuk berita. Ia mengganti ke portal berita yang lain. Hasilnya sama. Kegilaannya yang melabrak Eric dan berteriak-teriak sepanjang hall, menjadi viral.“Kamu paham sekarang, hmm?! Dia itu laki-laki! Wajar kalo dia punya affair di luaran sana! Kamu kayak gini, lebih gampang buat Eric untuk ninggalin kamu! paham!” sambung Irawan kesal dan berkacak pinggang.Xian Lie menyipitkan mata dan menghujam Irawan dengan sorot matanya. “Jadi … m
Dave terpaksa mematikan ponselnya. Banyak telepon dari media Indonesia dan luar negeri menghubunginya sejak malam tadi dan tidak berhenti hingga siang ini.Lelaki itu menoleh ke belakang dan memanyunkan bibirnya. Matanya memicing pada Eric yang duduk bersebelahan dengan Riana dan Evan, di kursi penumpang.“Boss, you are really such a headache,” ucap sebal Dave sebelum ia kembali melihat ke depan.“Pardon?”Dave mendelik. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali lalu memiringkan badannya yang terasa kaku, ke arah sopir.“Apa … suaraku tadi terlalu kencang?” tanya Dave dengan mata lebar tetap ke depan.Sopir yang adalah orang Indonesia asli itu, melepas headset dari telinganya.“Kalau saya aja yang lagi pake headset bisa dengar, menurut Anda bagaimana, Tuan Clarkson?” sahut sopir itu dengan wajah datarnya.Glek Perlahan, Dave menegakk
Rahang Eric mengeras. Matanya menyala penuh api amarah. “Don’t you dare, Irawan,” geram Eric dengan erat terkatup. Irawan menaikkan alis dan memalingkan wajahnya pada pewaris The Royal Group itu. Suara musik yang keras, menyamarkan geraman Eric. “Hei! Kenapa kamu liat aku seperti itu? … ah … aku ada janji sama Cathlyn. Aku pergi dulu.” Irawan mengerling. Lelaki itu menepuk lengan Eric dan berjalan pergi. Mata Eric terus mengikuti arah lelaki paruh baya itu pergi. “Berani kau sentuh Ana-ku … kau akan merasakan akibatnya, Irawan,” desis Eric dan menegak minumannya tanpa mengalihkan matanya. *** Riana terpaksa kembali turun ke lobby, karena sang resepsionis mengabarkan bahwa ada paket untuknya. Wanita itu menandatangani kertas yang kurir itu sodorkan padanya dan membolak-balik kiriman paket itu. “Sapa sih kirim paket segede ini?” gumam Riana “Mborong ya, Kak?” tanya si resepsionis ramah Riana
“Apa maksudmu, Mas? Kapan aku bilang mau pisah sama kamu? Pertanyaan macam apa itu? Apa hubungannya pindah dari sini sama hubungan kita?” Alis Riana bertaut. Ia menatap kesal pada tunangannya itu lalu mengalihkan wajahnya.“Trisha, kalo kamu memang … benar-benar ingin mempertahankan hubungan kita. Kamu harus pindah dari sini. Aku tahu Eric sudah beli apartemen tetanggamu di depan. Dia juga sudah tinggal di sana, ‘kan?Aku tahu semuanya, Trish. Apa karena itu kamu menolak pindah dari sini? Karena kamu gak mau menjauh dari Eric, karena kamu masih punya niatan buat kembali sama Eric, begitu?!Trisha … dia itu sudah punya tunangan dan akan segera menikah. Sama kayak kita. Apa kata orang kalo sampai mereka tahu kalian tinggal di gedung apartemen yang sama, di lantai yang sama dan—"“Oke. Kalo itu maumu, oke! Kita pindah. Ke mana? Apa kamu punya tempat buat aku?” tantang Riana. Wanita itu kembali memfokusk
Sepatu mengkilap buatan khusus itu melangkah lebar. Setiap mata yang ada di lobby hotel mewah itu, seketika tertuju pada sang pemilik sepatu mahal.Berjalan dengan aura yang gelap dan dingin, membuat siapa saja yang berada di sana seketika terdiam dan menahan napas.Wajah yang tampan terpahat sempurna, yang mampu membuat setiap wanita bertekuk lutut dan para pria merasa rendah diri, memfokuskan tatapannya ke depan dan menuju lift.“Bagaimana dia bisa tahu nomor Ana?” tanya Eric saat mereka berdua sudah berada di dalam lift“Mungkin dari Butler John.”Gigi-gigi Eric mengerat. Matanya menyipit mengancam. Pantulan dirinya pada pintu lift, membuat Dave menelan ludah.TingTak ambil banyak waktu, Eric segera mengambil langkah lebar saat pintu lift itu terbuka.“Tuan Muda,” sapa seorang lelaki berjas di depan sebuah pintu bertuliskan Presid
Riana menghabiskan malamnya untuk membuat gaun. Menenggelamkan diri dalam pekerjaan adalah cara baginya untuk melanjutkan hari, setelah apa yang terjadi siang tadi. Tangan lentiknya bekerja dengan begitu cepat membuat pola gaun yang ia mau, di atas meja yang setinggi pinggangnya. Semua karyawan Glamorous telah pulang ke rumah mereka masing-masing. Mungkin, mereka bahkan telah masuk ke ranah mimpi. Kantor tampak sepi dan gelap. Hanya cahaya dari ruangan yang ia tempati saja, yang masih terang memancar. Ceklek Riana seketika menegakkan punggungnya. Matanya membola melihat siapa yang membuka pintu ruangannya. “Tu-tuan Jenkins! Wh-what are you doing here?” Eric melangkah lebar. Wajahnya begitu dingin dan mengintimidasi. Lelaki itu mendekati Riana dan mengulurkan tangannya menarik wanita itu mendekat padanya. Grep Tangan besar Eric mendekap
Berpakaian serba hitam, Riana berjalan memasuki kantornya. Semua karyawan menatapnya dengan berbagai ekspresi. Riana maklum, karena berita negatif yang tersiar tentang dirinya, tak akan bisa menghilang begitu saja. Wanita itu duduk di kursi kebesarannya dan memulai aktifitasnya. Tok … tok…. “Masuk!” “Bu, bisa tolong tanda tangani draft ini? Saya harus secepatnya kirim ke tim produksi. Bu Ellena lagi ke Jerman, Bu,” ujar asisten Ellena itu. “Bu Ellena ke Jerman? Kapan?” “Kemarin sore, Bu. Apa Ibu tidak dikasih tahu?” Riana menggeleng. Ia mengambil map itu dan membukanya. “Apa meeting tahunannya dipercepat makanya harus ke sana?” selidik Riana. “Enggak, Bu. Saya juga kurang tahu. Kemarin … beliau marah-marah di kantornya.” Riana memajukan bibirnya dan memberikan map yang sudah ia tanda tangani pada wanita itu. “Marah-marah?” “Iya, Bu. Ka