Kress… kress ….
Riana menggunting atasan berharga Rp.1.5juta itu. Bagi seorang designer, sebuah karya adalah seperti anaknya sendiri.
Ia sebenarnya tak rela, merusak hasil kerja kerasnya itu. Tapi ia tak punya pilihan lain. Ia harus mengorbankan satu karyanya demi karyanya yang lain, yang masih harus tampil.
“Nis … ini. Cukil heelku pake yang kayak garpu itu,” suruh Riana seraya memberikan sepatu miliknya dan menunjuk palu yang dipegang Nisa.
“Hah?! Bu! Ibu nanti juga harus naik ke panggung!”
Riana mendorong mundur asistennya itu dan kembali menggunting atasan di tangannya itu.
“Ini pasti ada yang sirik sama Ibu. Makanya, adaaa aja kejadian. Yang robeklah, kena cat kukulah. Sekarang … heelnya si Ayu lepas. Haihhh…,” keluh Nisa.
Sejenak, Riana terpengaruh ucapan Nisa. Ia mulai berpikiran seperti asistennya itu. Namun, ia kembali mengontrol dir
“I’m sorry, I still need to work.” Riana menepis tangan Eric dan hendak berjalan melewati lelaki itu“An, please. Kasih aku waktu sebentar buat jelaskan,” pinta Eric. Kali ini lelaki itu memegang pundak Riana.Riana menipiskan bibir dan menatap mantan suaminya itu. “Hahh … Mr. Jenkins, I-I don’t know what we should talk about. Penjelasan apa yang Anda maksud?” desah Riana kesal.“Come with me.” Eric merangkul Riana dan membawa wanita itu pergi.“Mr. Jenkins! What are you doing?!” sergah Riana, seraya berusaha melepas rangkulan lelaki itu. “Mr, Jenkins! Let me go!”Eric tak mengacuhkan penolakan Riana. Ia membawa wanita itu menjauh.Ketika mata Eric melihat sebuah pintu bertuliskan "staff only", ia pun membukanya dan mendorong Riana masuk bersamanya.“Mr. Jenkins!”Eric merapatkan tubuh Riana ke dinding dan mengunci Riana denga
"Tuan Konrad, ini adalah design terbaik kami. Kami menyediakan juga ukuran standard seperti ini," jelas Ellena pada seorang laki-laki kaukasia yang berdiri gagah beberapa meter di depannya. Lelaki itu tersenyum dan berjalan mendekati Riana serta meraih tangan wanita itu, lalu mengecupnya. Riana tersenyum geli dan menerima perlakuan lelaki itu. Dahi Ellena berkerut. Matanya tak lepas dari kedua orang di depannya itu. Khalayak ramai yang ada di sekitar mereka juga terhenyak, karena ... siapa yang tak kenal dengan lelaki bertubuh atletis dan gagah yang sering didapuk sebagai cover majalah Forbes itu? "Nice to see you, Miss designer." Riana terkekeh. "Nice to meet you too, Mr. Pilot," balas Riana. "Hahaha .. how are you? You look great with this outfit." Tawa renyah lelaki yang menjadi bahan pembicaraan sepanjang tahun, karena prestasinya di dunia kontruksi, serta tampangnya yang tak kalah dari Eric Jenkins, menarik banyak ma
Setiap laman berita di internet dan televisi dipenuhi dengan kabar tentang Ayu dan Riana.Keduanya menjadi bahan perbincangan di kalangan netizen bukan hanya karena penampilan mereka yang memukau dan karya yang luar biasa, melainkan juga karena apa yang terjadi di baliknya.Khalayak terbagi menjadi dua kubu. Ada yang memuji Riana karena talenta dan koneksinya yang luas, ada pula yang menyebut Riana sebagai wanita tak bermoral dan seorang pelakor.Begitu pula dengan Ayu. Banyak yang mendukung debut Ayu sebagai seorang model tapi sedikit pula yang mencibir.Tapi di antara semua berita, foto Riana yang digendong Eric, dipeluk dan dikecup Dyan serta Xian Lie yang melabraknya, menjadi trending topik di berbagai media sosial dan portal berita.Dimas yang sedang menikmati sarapan di kantornya, terkejut ketika melihat berita tentang Riana di ponselnya.Rahangnya mengeras. Matanya erat terpejam. Dadanya bergemuruh karena amarah yang siap meledak.
Riana mendengus. Ia kemudian berdiri dan meninggalkan ayah dan anak itu, lantas pergi ke kamarnya. Mata Riana melebar, ketika menyadari penampilannya. Rambut berantakan yang masih diikat ekor kuda karena semalam ia terlalu malas untuk melepas, daster batik tanpa lengan yang panjangnya hanya menutupi setengah pahanya dan wajahnya yang sangat kusut karena belum cuci muka, benar-benar mengerikan! “Rianaaa! You are dead!” Wanita itu segera berlari ke kamar mandi dan membersihkan diri. Di ruang makan, Evan dengan gembira menikmati masakan ibunya. Sudah lama ia ingin mempunyai satu momen yang bisa ia pamerkan pada teman-temannya di sekolah. Dan kini, ia mendapatkannya. Tak berbeda dengan Evan, Eric juga melahap makanannya. Masakan Riana tak berubah. Bahkan rasanya semakin lezat. “Too bad. You are losing such beauty and chef, Dad,” ujar Evan dengan mulut penuh dan mata yang tetap pada santapannya. Eric memalingkan wajahnya dan melihat
Sentakan Irawan membuat Xian Lie dan Wendy berjingkat kaget. Lelaki paruh baya itu melangkah lebar mendekati keponakannya dengan mata melotot yang tajam.“Kalo kamu gak mau kehilangan Eric, rubah sikap dan penampilanmu! Kemarin aku sudah kasih tahu kamu, ‘kan? Jangan terlalu emosi!Sekarang, lihat! LIHAT! INI HASILNYA!” sergah Irawan, seraya menunjukkan berita tentang kejadian malam sebelumnya saat acara JFW, di ponselnya.Xian Lie menyambar ponsel itu. Matanya membelalak kala melihat tajuk berita. Ia mengganti ke portal berita yang lain. Hasilnya sama. Kegilaannya yang melabrak Eric dan berteriak-teriak sepanjang hall, menjadi viral.“Kamu paham sekarang, hmm?! Dia itu laki-laki! Wajar kalo dia punya affair di luaran sana! Kamu kayak gini, lebih gampang buat Eric untuk ninggalin kamu! paham!” sambung Irawan kesal dan berkacak pinggang.Xian Lie menyipitkan mata dan menghujam Irawan dengan sorot matanya. “Jadi … m
Dave terpaksa mematikan ponselnya. Banyak telepon dari media Indonesia dan luar negeri menghubunginya sejak malam tadi dan tidak berhenti hingga siang ini.Lelaki itu menoleh ke belakang dan memanyunkan bibirnya. Matanya memicing pada Eric yang duduk bersebelahan dengan Riana dan Evan, di kursi penumpang.“Boss, you are really such a headache,” ucap sebal Dave sebelum ia kembali melihat ke depan.“Pardon?”Dave mendelik. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali lalu memiringkan badannya yang terasa kaku, ke arah sopir.“Apa … suaraku tadi terlalu kencang?” tanya Dave dengan mata lebar tetap ke depan.Sopir yang adalah orang Indonesia asli itu, melepas headset dari telinganya.“Kalau saya aja yang lagi pake headset bisa dengar, menurut Anda bagaimana, Tuan Clarkson?” sahut sopir itu dengan wajah datarnya.Glek Perlahan, Dave menegakk
Rahang Eric mengeras. Matanya menyala penuh api amarah. “Don’t you dare, Irawan,” geram Eric dengan erat terkatup. Irawan menaikkan alis dan memalingkan wajahnya pada pewaris The Royal Group itu. Suara musik yang keras, menyamarkan geraman Eric. “Hei! Kenapa kamu liat aku seperti itu? … ah … aku ada janji sama Cathlyn. Aku pergi dulu.” Irawan mengerling. Lelaki itu menepuk lengan Eric dan berjalan pergi. Mata Eric terus mengikuti arah lelaki paruh baya itu pergi. “Berani kau sentuh Ana-ku … kau akan merasakan akibatnya, Irawan,” desis Eric dan menegak minumannya tanpa mengalihkan matanya. *** Riana terpaksa kembali turun ke lobby, karena sang resepsionis mengabarkan bahwa ada paket untuknya. Wanita itu menandatangani kertas yang kurir itu sodorkan padanya dan membolak-balik kiriman paket itu. “Sapa sih kirim paket segede ini?” gumam Riana “Mborong ya, Kak?” tanya si resepsionis ramah Riana
“Apa maksudmu, Mas? Kapan aku bilang mau pisah sama kamu? Pertanyaan macam apa itu? Apa hubungannya pindah dari sini sama hubungan kita?” Alis Riana bertaut. Ia menatap kesal pada tunangannya itu lalu mengalihkan wajahnya.“Trisha, kalo kamu memang … benar-benar ingin mempertahankan hubungan kita. Kamu harus pindah dari sini. Aku tahu Eric sudah beli apartemen tetanggamu di depan. Dia juga sudah tinggal di sana, ‘kan?Aku tahu semuanya, Trish. Apa karena itu kamu menolak pindah dari sini? Karena kamu gak mau menjauh dari Eric, karena kamu masih punya niatan buat kembali sama Eric, begitu?!Trisha … dia itu sudah punya tunangan dan akan segera menikah. Sama kayak kita. Apa kata orang kalo sampai mereka tahu kalian tinggal di gedung apartemen yang sama, di lantai yang sama dan—"“Oke. Kalo itu maumu, oke! Kita pindah. Ke mana? Apa kamu punya tempat buat aku?” tantang Riana. Wanita itu kembali memfokusk