Tok … tok ….
“Cathlyn! Cathlyn!”
Cathlyn yang baru saja membaringkan tubuhnya, terpaksa bangun dan menuju ke pintu. Manajernya tak akan berhenti berteriak memanggilnya, sebelum ia membuka pintu kamarnya.
Ceklek
“Ck … ada apa sih, Kak Mer? Ribut banget. Masih ada om Irawan di dalam. Lagi mandi,” decak sebal Cathlyn sambil berbalik dan berjalan menuju tempat tidurnya.
Merry mendesah. Ia melirik ke arah kamar mandi dan berjalan cepat mendekati Cathlyn.
“Tapi, Cath, hari ini kamu ada syuting di Ancol. Kita juga harus ketemuan sama Alex. Kalo sampe telat, bisa berabe kita,” ujar Merry, manajer Cathlyn yang sudah beberapa tahun ini menjadi tangan kanan Cathlyn.
Cathlyn memutar bola matanya malas. Ia duduk di pinggir tempat tidur dan mengambil botol coke yang ada di atas nakas.
“Kak Mer, ngapain harus takut sama si Alex. Dia itu ‘kan cuma fotografer. Ngapain sampe
“Bu, apa Ibu yakin saya bisa?” Ini kesekian kalinya asisten Riana itu bertanya. Mulai dari kantor hingga ke restoran ini. Seolah, satu kali jawaban Riana, tak mampu meyakinkannya.Riana menarik bibirnya dan mendesah. Ia bersandar pada kursinya dan menatap datar gadis ayu di hadapannya, sambil bersedekap.“Yu’ dengar ya … kamu pikir, aku bakal kasih tugas ini ke kamu, kalo menurut aku kamu gak bisa, hmm?” tanya Riana balik dan memutar bola matanya.Ayu menggigit bibir bawahnya. Ia masih tak yakin akan dirinya sendiri.“Yu’, kamu gak sadar, ya? Kamu itu cantik, badanmu proporsional, kulitmu juga bagus … kamu cuma perlu percaya sama diri kamu sendiri, terus ganti kacamatamu sama kontak lens, beres!" lanjut Riana.Ayu menatap dirinya sendiri di kamera hp. Riana mengerti bagaimana perasaan Ayu.Wanita tinggi semampai itu, terbiasa hidup di bawah tekanan ekonomi keluarga.Selalu bekerj
Malangkah gontai, Irawan masuk ke dalam rumah sambil menenteng jasnya. Ia berhenti, ketika melihat sang istri menghalangi jalannya.“Wendy, ada apa lagi?” desah Irawan“Kamu bilang kemarin ada meeting di kantor? Kantor mana?” cecar WendyIrawan memijat tengkuknya, lalu menatap jengah istrinya itu. Tak mau menjawab, ia pun memilih menghindari Wendy dan menaiki tangga.“Pa! Berhenti!” sentak Wendy.Wanita itu berbalik dan menatap garang suaminya. “Kamu boong ‘kan?! Kemarin katanya kamu mau ke kantor karna ada klien. Tapi kenyataannya, kamu sama pelacur itu lagi ‘kan? Hah?!”“Wendy! Jaga bicaramu!” sergah Irawan.“Kamu itu yang harus jaga kelakuanmu! Minggu bukannya kumpul sama keluarga, kamu malah enak-enakkan sama jalangmu itu!” amuk Wendy dengan napas memburu dan menunjuk Irawan“HAKKHH!!! KARENA SIKAPMU INI, MAKANYA AKU CARI YANG LAIN! NG
Mobil yang mengantarkan Riana ke apartemennya, berhenti di drop zone depan gedung apartemen berlantai 40 itu. Wanita itu segera membuka seat beltnya dan bersiap turun.“Ana, see you again,” ucap Eric.Riana menoleh dan tersenyum tipis. “Kita sudah sepakat untuk bertemu bila ada urusan bisnis saja, Tuan Jenkins.Dan saya harap, ini adalah yang terakhir kita bertemu di luar jam kerja,” sahut Riana dan mulai turun dari mobil.“Ana … apa karena sudah punya pasangan, kita tidak boleh bergaul dengan yang lain?” tanya Eric dan menatap lekat wanita itu.Riana kembali duduk di jok mobil dan mendesah. “Bukan begitu tapi, kita punya masa lalu bersama.Saya tidak mau pasangan saya salah paham dan menyakiti pasangan anda juga. Saya harap anda mengerti. Selamat malam, Tuan Jenkins, Dave.”Selesai dengan ucapannya dan berpamitan pada Eric dan Dave, Riana turun dan berjalan masuk ke lobby gedung
“Trisha? Aku pikir kamu gak datang,” ujar Dokter Ariek sambil tersenyum dan mempersilahkan Riana duduk.“Mau gimana lagi. Obat saya habis,”sahut Riana. Nada suaranya terdengar ketus.Dokter Ariek terkekeh. Ia mengambil berkas Riana yang ada di mejanya, lalu kembali duduk di sofa, berseberangan dengan Riana.“Bukannya saya gak mau kasih kamu, tapi kapan hari … kamu ‘kan langsung pulang. Saya juga belum selesai survei perkembanganmu, Trisha,” jawab dokter Ariek.Riana memutar bola matanya malas dan mencebik.“Sekarang, bisa kamu cerita kegiatanmu beberapa hari ini?” lanjut Dr. Ariek.Riana menyandarkan kepalanya di sofa dan menghembuskan napas. Ia pun mengerucutkan bibirnya dan mendengkus.“Apalagi, Dok. Seperti biasa. Saya kerja, pulang rumah. Itu aja. Gak ada yang penting,” sahut Riana malas.“Oh ya? Bagus. Kamu masih sering mimpi?”Rian
Bola mata Ayu mengerjap beberapa kali. Matanya lelah karena melihat ke kanan kiri. Dua orang lelaki dan 1 bocah, duduk berseberangan di ruang tamu dan saling beradu tatap. Tak ada yang mau mengalah.“Eh, hehehe … saya, saya ambilkan air dulu,” cetus Ayu bermaksud memecah keheningan. Namun, tak ada satupun tanggapan yang ia dapat.Ayu mendesah dan menggelengkan kepala. ‘Haih … aku kayak baygon aja jadinya,’ batin Ayu lalu berbalik dan menuju dapur.Baru saja beberapa langkah, Ayu berhenti karena mendengar suara bocah di belakangnya.“I’m hungry. Give me food!” titah bocah itu. Tegas dan lugas. Dengan mata tajam menatap wanita yang berdiri terbengong menatapnya.“W-what? Hey … aduh nih bocah. Kecil-kecil pinter banget m’rintah,” omel Ayu. Asisten Riana itu membungkuk dan tersenyum.“Little boy, if you want something, you have to say it po-li-te-ly. Okay? It&
Hujan mengguyur sangat deras. Langit London seakan tak bersahabat dengan wanita yang sedang berjalan dengan tatapan kosongnya.Wanita itu mendongak dan membiarkan air hujan bersatu dengan air mata, menyapu wajah cantik nya.Grepp….Sebuah tangan tiba-tiba membekap mulut dan hidung wanita itu. Tangan lainnya lagi mendekapnya erat. Ia berusaha memberontak, tapi sia-sia.Ia berteriak, namun hanya terdengar seperti gumaman. Kakinya pun terus menendang tanpa arah, hingga tak lama kemudian ia pun lemas tanpa tenaga.Di dalam sebuah mobil yang sedang melaju, matanya perlahan terbuka karena goncangan. Ia melihat ke sekeliling dengan mata yang berkunang-kunang. Ia mengerutkan alis dan berusaha mengumpulkan ingatan dan memfokuskan matanya.Ia ingin bergerak, tapi tangannya terikat. Ia memaksakan diri untuk duduk, tapi goncangan kuat membuatnya kembali terbaring dan meringkuk di atas jok penumpang.&ld
“Tolong perhatikan semuanya. Kalian nantinya akan pakai dress panjang sampai mata kaki.Kalau kalian mau cium platform, silahkan kalian jalan cepat seperti tadi.” Riana menatap satu per satu modelnya dengan sorot mata datar dan dingin.“Ikuti musiknya. Jangan terlalu lambat, jangan terlalu cepat. Perhatikan cue dari staff. Kita ulangi sekali lagi,” sambung Riana lalu melihat ke arah Ayu.“Yu’ kamu naik. Ambil alih posisi Cathlyn.” Ayu mengangguk dan mengikuti titah atasannya itu.“Hehh … gara-gara Cathlyn, kita harus ngulang,” keluh seorang make-up artist yang ada di sana.“Sudahlah, sabar. Mau gimana lagi … besok sudah acaranya,” sahut Riana. “Ah, karna Cathlyn gak ada, ganti style make up ke flawless, ya.”“Baik, Bu.”2 jam kemudian, latihan sudah selesai. Riana kembali mengumpulkan para modelnya dan memberi instruksi.&ldq
Convention Hall yang dipakai untuk acara JFW telah dipenuhi pengunjung. Riana terlihat sibuk mengecek semua kesiapan para modelnya.Dalam hal pekerjaan, Riana orang yang sangat perfeksionis. Ia tak segan menegur model atau kru-nya bila mereka melakukan kesalahan.Kali ini, Riana membawa Nisa dan seorang lagi yang bernama Eyien untuk membantunya mempersiapkan pakaian para model.“Alisnya ini kurang ke atas. Tema yang dia pakai cool but appealing.” Koreksi Riana terhadap salah satu make up modelnya.“Bu, ada masalah,” bisik Nisa.Riana menoleh. Ia melihat asistennya itu lalu berjalan sedikit menjauh dari meja rias.“Ada apa? Gaunnya Ayu ada sobekan. Terus gaunnya Bianca ada cat kuku,” lapor Nisa.Riana terkejut. “Hah? Kok bisa?” Riana langsung berjalan cepat menuju tempat penyimpanan semua koleksinya.“Saya tidak tahu, Bu. Waktu saya atur urutan pakainya. Sudah kayak git