Wajah Riana berubah tegang. Ia menelan kasar salivanya. "Apa mungkin, si tua bangka ini sudah tahu siapa Aku? Gak! Gak mungkin!" batin Riana. Pikiran wanita itu mulai kalut. Keringat dingin mulai menerobos keluar dari pori-pori dahinya.
Irawan mengerutkan alis saat melihat ekspresi wanita cantik di hadapannya itu. Melihat gelagat aneh Riana, Irawan perlahan mengulurkan tangan hendak menyentuh bahu mantan istri Eric Jenkins itu namun membuat wanita itu semakin gugup
“Trisha? … Ada apa? Apa kamu sakit?”
Riana mengerjap. Melihat tangan Irawan yang hampir menyentuhnya, reflek, satu kaki wanita itu melangkah mundur dan kembali menatap waspada, adik dari ayah kandungnya itu.
Rasa mual kembali menyerang Riana. Ia berpaling dari Irawan lalu melihat ke sana ke mari, mencari celah untuk pergi. Ia ingin segera menjauh dari lelaki bernama Irawan Santosa itu.
Mengerti penolakan Riana, Irawan pun menarik tangannya dan tersenyum. "Sorry ... eh, tapi ... apa kamu baik-baik saja?" Irawan kembali bertanya dengan canggung.
Riana mengepalkan tangannya dan memaksakan diri tersenyum. Wanita berparas ayu itu menggeleng. "Sa-saya tidak papa," ujar Riana gugup lalu menegak sisa minuman soda lemon yang masih ada di tangannya, dengan harapan, minuman itu dapat membantu menurunkan ritme jantungnya yang sudah tak karuan dan menenangkan perutnya yang bergejolak
“Oh, kamu yakin? Kalo kamu sakit, Om bisa antar. Kamu keliatan pucat, lho! … jangan sungkan sama Om, hmm? Ayo, Om antar. Om juga pengen tahu kamu tinggal di mana. Sekalian ... Om ... pengen lebih kenal sama kamu,” bujuk Irawan sambil mengerling nakal
Alis Riana bertaut. Ia kembali menatap lelaki tua dengan kemeja navy bercorak kelabu dan celana jeans hitam itu dengan lekat. "Apa Aku sudah salah paham?" celetuk Riana di dalam hati
"Hehehe ... kenapa liat Om kayak gitu? Tenang aja, Om orang baik-baik kok. Om udah jinak. Jangan kuatir. Kamu itu wanita cantik, gak seharusnya pulang sendirian. Biar Om antar, ya? Kamu gak tinggal sama orangtua, 'kan?" Lagi, Irawan melancarkan rayuannya.
Oh, sepertinya Aku sudah salah paham. Kalo si tua bangka ini sudah tahu Aku siapa, gak mungkin dia masih kegatelan kayak gini. Iya! Gak mungkin Irawan udah tahu Aku siapa. Di dunia ini, selain Farida dan Sita (sahabat Riana yang tinggal di Jerman) gak ada satupun yang tahu siapa aku. 19 tahun Aku gak ketemu orang ini, jadi ... mustahil dia tahu Aku siapa.
Riana memejamkan mata dan bernapas lega. Ia tersenyum, menertawakan dirinya. Rupanya … beginilah hati seseorang bila menyimpan rahasia dan hampir terbongkar. Gugup dan cemas. Dan, yang ada di pikiran hanyalah cara agar bisa melarikan diri dari situasi itu. Sungguh tak tenang bila hidup dengan rahasia
“Ehm … tidak usah, Om. Terima kasih. Saya sudah ada janji sama Dimas. Maaf, saya permisi dulu,” tolak Riana sopan dan berpamitan.
Wartawan telah berkumpul di dalam restoran, saat Riana berpamitan pada Irawan. Bujuk rayu Irawan tak berguna untuknya. Ia sudah tak tahan dengan sikap Irawan yang genit dan matanya yang nakal. Ia benar-benar ingin segera menjauh dari lelaki itu.
Irawan tampak kecewa dengan penolakan Riana namun, sikap Riana justru memperkuat ketertarikan Irawan terhadap wanita itu.
Di saat yang sama, Xian Lie mengambil mic dan berdiri di anak tangga. Wanita itu tersenyum manis, mengundang para wartawan datang menghampirinya.
“Hello, everyone. Thank you for coming today. Saya Lilie Lie dan yang duduk di meja paling depan ini adalah calon suami saya, Eric Jenkins. Kami datang dari Inggris khusus untuk memberi dukungan pada paman saya, Irawan Santosa … bla … bla … bla….”
Riana menyempatkan diri berbalik dan melihat ke arah Xian Lie dan Eric. Tatapannya bertemu dengan mantan suaminya yang ternyata juga melihat ke arahnya. Riana menganggukkan sedikit kepalanya ke arah lelaki itu dan berlalu pergi.
Rasa kesal timbul di hati Eric saat melihat sikap tenang Riana. Hati dan pikirannya tak tenang. Benarkah Riana sudah tak mencintainya lagi? Pertanyaan itu muncul di dalam hatinya tapi ia sendiri enggan menjawab dan tak ingin mendapat jawabannya. Eric terus mengikuti langkah Riana dengan matanya, hingga wanita itu menghilang dan tak terlihat lagi dari dinding kaca restoran
“Eric, your fiancée call you,” bisik Irawan di telinga Eric seraya menepuk pelan bahu pewaris The Royal Group itu.
Eric memejamkan mata dan menghela napas. Ia melihat ke arah Xian Lie yang sudah berdiri di sisinya dengan senyuman manis dan tangan yang masih memegang mic.
“What do you want?”
Senyum Xian Lie perlahan memudar. Irawan tak kalah terkejutnya atas sikap Eric lalu menoleh melihat keponakannya. Lelaki itu mendesah dan melipat bibir. Sepertinya, kesayangan istri 'bule'nya itu belum berhasil merebut hati sang Big Boss.
Bukan hanya Xian Lie dan Irawan yang terkejut, para wartawan dan tamu yang hadir pun saling berpandangan karena syok. Mereka benar-benar tak menduga hal ini.
Nada suara Eric sangat dingin. Ekspresinya pun terlihat tak suka. Jauh berbeda dari apa yang mereka dengar di media yang mengabarkan bahwa Xian Lie, aktris populer asal Inggris itu, selalu diperlakukan istimewa oleh Sang Milyuner.
“Ehm … ma-maaf, tunangan saya agak kelelahan. Jadi, mohon pengertiannya,” ucap Xian Lie beralasan, kemudian mematikan mic-nya tergesa dengan tangan gemetar karena malu dan geram
“Tuan Eric, kapan pernikahan Anda dan nona Xian Lie diadakan?” Beberapa orang wartawan, seakan tak mau peduli dengan permintaan Xian Lie dan kembali mengajukan pertanyaan mereka.
Dengan wajah dinginnya, Eric menatap para wartawan di depannya dan menaikkan alis. Dengan cepat, Xian Lie merangkul lengan putra tunggal Sir Edmund Jenkins itu. Ia tersenyum sambil menatap lekat Eric, memberi kode untuk tak mempermalukannya.
Eric melirik sekilas ke arah wanita yang meremas lengannya. Sesungging senyum miring nan sinis tersemat di bibir Eric. Ia mengerti maksud calon istri pilihan ibunya itu.
“No comment. Permisi,” sahut Eric dan segera mengambil langkah lebar. Pergi meninggalkan acara. Dengan terburu-buru, Xian Lie mengikuti langkah lelaki itu.
“Babe … please, slow down. I hurt my feet,” rengek Xian Lie sambil meringis kesakitan namun Eric tak mengacuhkannya.
"Babe! Please! I hurt my feet!"
Merasa kesal dengan rengekan Xian Lie yang terus berlanjut, Eric segera menghentikan langkahnya. Ia menghela napas kasar dan menatap wanita itu
“Look, I’m so tired today. Jangan ikuti aku.”
Xian Lie menipiskan bibirnya dan menatap Eric curiga. “Kamu mau cari si Trisha itu, ‘kan? Iya, ‘kan?” tuduh Xian Lie kesal. Dadanya yang montok naik turun menahan amarah.
Mendengar ucapan Xian Lie dan mengingat sikap Riana saat di pesta tadi, Eric meradang. Ia berpaling dan menatap Xian Lie dengan tajam namun, melihat mata wanita itu yang berkaca-kaca, Eric menahan amarahnya dan berlalu pergi begitu saja menuju mobil yang sudah menunggunya. Meninggalkan Xian Lie yang berdiri terisak tanpa suara di depan restoran.
***
Alunan lagu Superwoman milik Alicia Keys, membangunkan Riana dari lamunannya. Wanita itu mengambil ponsel dari dalam tas dan mengangkat panggilannya.
“Hallo, Yu’,” sahut Riana tenang
“Bu, apa ibu jadi cuti hari ini?”
Riana mengangkat alisnya dan melihat ke luar jendela mobil grab yang membawanya. “Hmm. Kenapa?”
“Model untuk finale JFW (Jakarta Fashion Week) tidak datang latihan. Saya sudah hubungi managernya, katanya mereka kejebak macet tapi sampai kita selesai latihan, mereka belum datang juga, Bu.”
Riana mendesah. Ia menggaruk hidungnya yang tak gatal. Beberapa minggu terakhir ini, ia terlalu sibuk dengan rencananya sendiri dan melupakan acara sepenting JFW yang merupakan ajang seleksi untuk bisa tampil di ajang fashion dunia.
“Hehmm ... okay. Aku ke kantor sore ini,” sahut Riana pada akhirnya dan mengusap wajahnya asal
“Jam berapa, Bu? Saya harus pulang maksimal jam 6. Adik saya tidak ada yang jaga, Bu.”
“Oke. Sebelum jam setengah 6, Aku sudah di kantor. Thanks, Yu’.”
“Baik, Bu. Sama-sama,” sahut Ayu, asisten Riana, dari seberang telepon
Tut
Riana menghembuskan napasnya kasar dan menyandarkan kepala pada jok mobil. “Pak, bisa tolong lebih cepat sedikit?” pinta Riana pada sopir yang mengantarnya
“Iya, Neng. Saya usahakan.”
***
Riana menginjakkan kakinya di jalan berpaving di depan sebuah rumah sakit besar. Tak banyak orang yang berlalu lalang di tempat itu. Mobil grab yang mengantarnya pun perlahan menjauh.
“Hahh … aku harus bilang apa sama Dimas, kalo dia tahu ke sini,” desah Riana. Ia mengambil botol obat yang ia simpan di dalam tasnya dan menipiskan bibir.
Sudah 3 tahun ini ia harus mengkonsumsi obat Antidepresan. Setiap kali ia merasa cemas, takut atau saat emosinya meningkat, perutnya akan terasa penuh dan mual. Ia sudah menjalani terapi tapi hasilnya tak sebanding yang ia inginkan. Ia tetap harus meminum obat antidepresan setiap hari dan saat ia mengalami gejala.
Bulan lalu, karena jadwalnya yang padat, Riana tak sempat mengunjungi psikiater yang dulu direkomendasikan Farida untuknya. Akibatnya, kemarin, sepanjang malam ia menjadi gelisah dan tak bisa tidur karena tak ada sebutirpun obat yang tersisa untuk ia konsumsi.
“Semoga Dimas belum selesai operasi,” gumam Riana lalu menutupi kepalanya dengan scarf silk dan memakai kaca hitam berbingkai besar.
Melangkah dengan was-was, Riana masuk ke dalam gedung bercat dominan putih itu. Ia melihat petunjuk arah yang mengantarnya menuju counter pendaftaran.
Riana duduk di kursi tunggu paling belakang, menunggu gilirannya untuk masuk ke ruang dokter sambil memainkan ponselnya.
“Nona Trisha Meriana!”
Riana terkejut. Mulutnya menganga. Ia mendongak dan melihat suster yang memanggil namanya dengan keras lalu mengigit bibir bawahnya karena kesal.
Tak akan masalah jika ia tak mengenal siapapun di sana tapi, ia sudah beberapa kali diajak Dimas ke rumah sakit ini dan ia mengenal beberapa suster dan dokter. Tapi, tak ada seorangpun di antara mereka yang tahu bahwa ia adalah seorang pasien gangguan psikologis yang sedang menjalani terapi.
Riana menelan ludah lalu berdiri. Ia menoleh ke sana ke mari dengan kepala sedikit tertunduk seperti seorang pencuri. Berharap tak ada seorangpun yang mengenalinya
Jika bukan karena terpaksa, ia tak akan datang ke mari tapi ke klinik pribadi psikiaternya itu. Hanya saja, untuk hari ini dan besok, psikiater yang terkenal handal itu, berpraktek di rumah sakit ini saja.
“Nih suster, gak kurang kenceng ya manggilnya? Ish … cuma segelintir orang tapi manggilnya kenceng amat, kayak mau ngambil lotre aja,” gumam sebal Riana.
Wanita itu mulai berjalan perlahan dan melewati beberapa kursi tunggu sambil membetulkan scarf yang menutupi kepalanya.
“Trisha?”
Tubuh Riana membeku. Napasnya tertahan. Dipejamkannya matanya dengan erat beberapa saat untuk menetralkan degup jantungnya.“Trisha? Itu kamu, ‘kan?” Lagi, suara itu memanggil namanya. Suara yang sangat ia kenal.Riana menelan salivanya dan perlahan memutar tubuh. Ia tersenyum dan membuka kacamata hitamnya.“Dimas? Kamu dah selesai operasinya?” tanya Riana mengalihkan pembicaraanDimas mengangguk dan meraih tangan calon istrinya itu. “Hmm. Kamu ngapain di sini?”“Nona Trisha Meriana!”Riana dan Dimas menoleh, melihat ke arah suster. Riana melipat bibirnya lalu kembali berpaling pada Dimas“Aku harus masuk. Kalo gak, tuh suster bakal terus teriak-teriak,” ujar Riana dan mulai melangkah tapi Dimas tak mau melepas pegangannya“Sha? Kamu ada masalah?”Riana mendesah. Ia tersenyum dan menatap lekat lelaki yang selama lebih hampir 2 tahun ini menjadi
Prakk….AKHHHHHH!!!!Ponsel mahal berwarna emas itu terlempar jauh berantakan. Suara jeritan kekesalan Xian Lie menggema di seluruh kamar hotel mewahnya. Matanya menyala penuh amarah. Rambutnya pun acak-acakan karena digaruknya kasar.“Riana … RIANA!!! Selalu Riana! AKHHH!!!” amuk Xian Lie seraya mengepalkan kedua tangannya. “You gone to that bitch again, right? Eric?! Huh?! ... Erghh!!!"Xian Lie berjalan cepat menuju kamar Eric. Ia berdiri di tengah kamar Eric dan melihat sekeliling kamar itu. Tatapannya berakhir pada benda pipih berlambang apel tak utuh yang ada di meja kerja Eric.Ia kembali melangkah lebar dan dengan cepat mengambil laptop milik Eric yang ada di atas meja. Ia mengangkat tinggi laptop berisi semua pekerjaan Eric dan siap membuangnya. Namun kemudian, matanya berkedip cepat. Sorot matanya terpancar keraguan untuk melakukannya.“No … no
When you're high on emotionAnd you're losing your focusAnd you feel too exhausted to prayDon't get lost in the momentOr give up when you're closestAll you need is somebody to sayIt's okay not to be okayIt's okay not to be okayWhen you're down and you feel ashamedIt's okay not to be okayLagu milik Demi Lavato menjadi penanda panggilan yang masuk ke ponsel Riana. Dengan malas, Riana bangun dan berjalan menuju meja riasnya, lalu mengambil benda pipih miliknya.“Ayu?” gumam Riana, membaca nama si pemanggil. “Ya, Yu’?” sahut Riana setelah benda pipih itu ia tempelkan di telinga“Okay. Aku berangkat bentar lagi.”Riana menutup panggilannya dan mendesah. Tubuhnya masih terasa lelah karena hanya tidur beberapa jam.Ting Tong….Riana mengerutkan alis. Ia melihat jam yang ada di
Riana dan Ayu saling berpandangan. Design motif pada kain yang mereka minta, sangat berbeda dari design yang Riana buat.“Pak … ini bukan pesanan kami,” ujar Riana pada kepala produksi yang menemuinya.Lelaki paruh baya itu mengerutkan alis dan memeriksa map di tangannya, yang berisi keterangan pesanan Riana dan mencocokkannya dengan kain yang saat ini ada pada gawangan (tempat untuk menyampirkan kain)“Bu … jelas-jelas ini pesanan Ibu. Kenapa bilang beda? Ibu mau mangkir, ya?!” tuduh lelaki itu dengan suara naik satu oktafRiana menggeleng. Ia membuka map miliknya dan memberikan salinan sketsa motif, yang ia kirim kepada lelaki itu“Pak, ini design saya, plus keterangannya. Mana yang butuh cepat dan mana yang buat bulan depan, sekalian kuantitinya,” terang Riana yang diangguki Ayu, asisten pribadi Riana“Bu! Awalnya memang ibu kirim yang ini, tapi bukannya ibu rubah lagi kemarin. Ini b
Eric tak menjawab. Ia mengambil kembali botol Whiskey dari tangan Dave dan menuangnya pada gelas, yang sudah ia isi dengan es batu.“Eric, why—”“Mind your own business, Dave,” potong Eric cepat dan berjalan menuju sofa. “Sebaiknya kamu mulai cari tahu kain apa yang Riana butuhkan dan—”“Kain Sutra, 8 yard, untuk hari Rabu depan.”Eric yang hendak duduk di sofa, tak jadi menempatkan bokongnya di sana. Ia berdiri tegak dan memutar tubuhnya menatap Dave kesal“What? Aku sudah kasih kamu infonya,” ujar Dave dengan mimik tanpa dosa“No bonus for you.”Dave melongo. Ia terkejut dan tak percaya mendengar perkataan Eric. No bonus? No way!“Eric, aku kasih kamu info soal Riana, aku juga kasih kamu info soal kainnya. Lalu apa lagi? Kenapa sih kamu suka main-main sama bonusku?” protes Dave“I count you, guilty. IF &hellip
Pagi kembali datang. Mata lentik itu mulai mengerjap dan terbuka. Senyum merekah di bibir designer muda dalam naungan Glamorous Haute Couture itu. Tubuhnya terasa segar namun....Krucukkk krucukkk....Perutnya berteriak minta di isi. Riana mendesah. Semalam ia tak sempat makan malam. Tak heran, perutnya saat ini protes minta jatah.“Morning, Sayang. Udah bangun?”Riana terlonjak kaget. Matanya terbuka lebar dan melihat ke arah suara. Dimas tersenyum manis dan berjalan mendekat sambil membawa nampan berisi susu dan roti isi.“Mas, ke-kenapa ada di sini? Ini … ini jam berapa?” tanya Riana gugup sambil memegangi selimut dan melihat jam di atas nakas, di sebelah tempat tidurnya“Jam 7. Kamu lapar, ‘kan? Semalam kamu nyenyak banget. Susah dibangunin. Jadi sekarang, isi dulu perutmu terus mandi, hmm?” ujar Dimas lembut seraya mengusap sayang kepala Riana.
“Jadi, apa kamu sudah menemukan jawabannya?” tanya dokter Ariek, setelah beberapa waktu Riana duduk di hadapannya.Riana terpaksa kembali ke psikolognya hari itu, karena dokter Ariek hanya memberinya resep untuk beberapa hari saja.“Dokter, saya tahu apa tujuan saya. Hanya saja … mungkin saya tidak … tidak bisa mengutarakannya sekarang,” sahut Riana. Ia menerbitkan sedikit senyumnya dan menunduk.Ia memang punya tujuan. Dan tujuan itu adalah … menghancurkan keluarga Irawan Santosa, yang telah membuat ia, adiknya dan ibunya menderita. Tidak. Lebih dari itu. Mereka sudah menyebabkan adiknya, Ryan dan juga ibunya, meninggal.Dokter Ariek mengangguk dan tersenyum. “Baiklah. Aku tidak akan memaksa. Lalu … bagaimana pekerjaanmu? Semua lancar?”Riana kembali mengangguk. dokter Ariek terlihat puas. “Baiklah. Itu bagus. Kamu tidak lagi merasa mual muntah atau … tiba-tiba ingin mara
“Look what you’ve done, Wendy! Ck ...," decak Irawan kesal.Wendy menoleh dan menatap suaminya dengan alis berkerut."Kamu tuh … bisa gak sih … sekaliii aja, jangan bikin orang naik darah, hmm? Kalo gak ngejek orang, mulutmu gatal, ya?” sergah Irawan pada istrinya.Wendy terhenyak mendengar hardikan suaminya. Ia mendengkus dan menatap tajam lelaki yang telah menjadi suaminya, selama lebih dari 26 tahun itu.“Apa kamu bilang? … IRAWAN! Kamu jangan seenaknya aja ngomong, ya! Aku ‘kan—”“Enough! I’m done! You make me lose my appetite,” sambar Irawan dan meletakkan alat makannya. Lelaki itu berdiri dan meninggalkan istrinya seorang diri di ruang makan.Wendy menatap geram suaminya dan mengepalkan kedua tangannya. Kekesalannya pada Riana bertambah.“Trishaa … you damn woman! ERGHHH!!” geram Wendy. Wajahnya yang telah berpoles make up tebal d