Home / CEO / Mantan Istri CEO / No Comment

Share

No Comment

Wajah Riana berubah tegang. Ia menelan kasar salivanya. "Apa mungkin, si tua bangka ini sudah tahu siapa Aku? Gak! Gak mungkin!" batin Riana. Pikiran wanita itu mulai kalut. Keringat dingin mulai menerobos keluar dari pori-pori dahinya.

Irawan mengerutkan alis saat melihat ekspresi wanita cantik di hadapannya itu. Melihat gelagat aneh Riana, Irawan perlahan mengulurkan tangan hendak menyentuh bahu mantan istri Eric Jenkins itu namun membuat wanita itu semakin gugup

“Trisha? … Ada apa? Apa kamu sakit?”

Riana mengerjap. Melihat tangan Irawan yang hampir menyentuhnya, reflek, satu kaki wanita itu melangkah mundur dan kembali menatap waspada, adik dari ayah kandungnya itu.

Rasa mual kembali menyerang Riana. Ia berpaling dari Irawan lalu melihat ke sana ke mari, mencari celah untuk pergi. Ia ingin segera menjauh dari lelaki bernama Irawan Santosa itu.

Mengerti penolakan Riana, Irawan pun menarik tangannya dan tersenyum. "Sorry ... eh, tapi ... apa kamu baik-baik saja?" Irawan kembali bertanya dengan canggung.

Riana mengepalkan tangannya dan memaksakan diri tersenyum. Wanita berparas ayu itu menggeleng. "Sa-saya tidak papa," ujar Riana gugup lalu menegak sisa minuman soda lemon yang masih ada di tangannya, dengan harapan, minuman itu dapat membantu menurunkan ritme jantungnya yang sudah tak karuan dan menenangkan perutnya yang bergejolak

“Oh, kamu yakin? Kalo kamu sakit, Om bisa antar. Kamu keliatan pucat, lho! … jangan sungkan sama Om, hmm? Ayo, Om antar. Om juga pengen tahu kamu tinggal di mana. Sekalian ... Om ... pengen lebih kenal sama kamu,” bujuk Irawan sambil mengerling nakal

Alis Riana bertaut. Ia kembali menatap lelaki tua dengan kemeja navy bercorak kelabu dan celana jeans hitam itu dengan lekat. "Apa Aku sudah salah paham?" celetuk Riana di dalam hati

"Hehehe ... kenapa liat Om kayak gitu? Tenang aja, Om orang baik-baik kok. Om udah jinak. Jangan kuatir. Kamu itu wanita cantik, gak seharusnya pulang sendirian. Biar Om antar, ya? Kamu gak tinggal sama orangtua, 'kan?" Lagi, Irawan melancarkan rayuannya.

Oh, sepertinya Aku sudah salah paham. Kalo si tua bangka ini sudah tahu Aku siapa, gak mungkin dia masih kegatelan kayak gini. Iya! Gak mungkin Irawan udah tahu Aku siapa. Di dunia ini, selain Farida dan Sita (sahabat Riana yang tinggal di Jerman) gak ada satupun yang tahu siapa aku. 19 tahun Aku gak ketemu orang ini, jadi ... mustahil dia tahu Aku siapa.

Riana memejamkan mata dan bernapas lega. Ia tersenyum, menertawakan dirinya. Rupanya … beginilah hati seseorang bila menyimpan rahasia dan hampir terbongkar. Gugup dan cemas. Dan, yang ada di pikiran hanyalah cara agar bisa melarikan diri dari situasi itu. Sungguh tak tenang bila hidup dengan rahasia

“Ehm … tidak usah, Om. Terima kasih. Saya sudah ada janji sama Dimas. Maaf, saya permisi dulu,” tolak Riana sopan dan berpamitan. 

Wartawan telah berkumpul di dalam restoran, saat Riana berpamitan pada Irawan. Bujuk rayu Irawan tak berguna untuknya. Ia sudah tak tahan dengan sikap Irawan yang genit dan matanya yang nakal. Ia benar-benar ingin segera menjauh dari lelaki itu. 

Irawan tampak kecewa dengan penolakan Riana namun, sikap Riana justru memperkuat ketertarikan Irawan terhadap wanita itu.

Di saat yang sama, Xian Lie mengambil mic dan berdiri di anak tangga. Wanita itu tersenyum manis, mengundang para wartawan datang menghampirinya.

“Hello, everyone. Thank you for coming today. Saya Lilie Lie dan yang duduk di meja paling depan ini adalah calon suami saya, Eric Jenkins. Kami datang dari Inggris khusus untuk memberi dukungan pada paman saya, Irawan Santosa … bla … bla … bla….”

Riana menyempatkan diri berbalik dan melihat ke arah Xian Lie dan Eric. Tatapannya bertemu dengan mantan suaminya yang ternyata juga melihat ke arahnya. Riana menganggukkan sedikit kepalanya ke arah lelaki itu dan berlalu pergi.

Rasa kesal timbul di hati Eric saat melihat sikap tenang Riana. Hati dan pikirannya tak tenang. Benarkah Riana sudah tak mencintainya lagi? Pertanyaan itu muncul di dalam hatinya tapi ia sendiri enggan menjawab dan tak ingin mendapat jawabannya. Eric terus mengikuti langkah Riana dengan matanya, hingga wanita itu menghilang dan tak terlihat lagi dari dinding kaca restoran

“Eric, your fiancée call you,” bisik Irawan di telinga Eric seraya menepuk pelan bahu pewaris The Royal Group itu.

Eric memejamkan mata dan menghela napas. Ia melihat ke arah Xian Lie yang sudah berdiri di sisinya dengan senyuman manis dan tangan yang masih memegang mic.

“What do you want?”

Senyum Xian Lie perlahan memudar. Irawan tak kalah terkejutnya atas sikap Eric lalu menoleh melihat keponakannya. Lelaki itu mendesah dan melipat bibir. Sepertinya, kesayangan istri 'bule'nya itu belum berhasil merebut hati sang Big Boss. 

Bukan hanya Xian Lie dan Irawan yang terkejut, para wartawan dan tamu yang hadir pun saling berpandangan karena syok. Mereka benar-benar tak menduga hal ini.

Nada suara Eric sangat dingin. Ekspresinya pun terlihat tak suka. Jauh berbeda dari apa yang mereka dengar di media yang mengabarkan bahwa Xian Lie, aktris populer asal Inggris itu, selalu diperlakukan istimewa oleh Sang Milyuner.

 “Ehm … ma-maaf, tunangan saya agak kelelahan. Jadi, mohon pengertiannya,” ucap Xian Lie beralasan, kemudian mematikan mic-nya tergesa dengan tangan gemetar karena malu dan geram

“Tuan Eric, kapan pernikahan Anda dan nona Xian Lie diadakan?” Beberapa orang wartawan, seakan tak mau peduli dengan permintaan Xian Lie dan kembali mengajukan pertanyaan mereka.

Dengan wajah dinginnya, Eric menatap para wartawan di depannya dan menaikkan alis. Dengan cepat, Xian Lie merangkul lengan putra tunggal Sir Edmund Jenkins itu. Ia tersenyum sambil menatap lekat Eric, memberi kode untuk tak mempermalukannya.

Eric melirik sekilas ke arah wanita yang meremas lengannya. Sesungging senyum miring nan sinis tersemat di bibir Eric. Ia mengerti maksud calon istri pilihan ibunya itu.

“No comment. Permisi,” sahut Eric dan segera mengambil langkah lebar. Pergi meninggalkan acara. Dengan terburu-buru, Xian Lie mengikuti langkah lelaki itu.

“Babe … please, slow down. I hurt my feet,” rengek Xian Lie sambil meringis kesakitan namun Eric tak mengacuhkannya.

"Babe! Please! I hurt my feet!" 

Merasa kesal dengan rengekan Xian Lie yang terus berlanjut, Eric segera menghentikan langkahnya. Ia menghela napas kasar dan menatap wanita itu

“Look, I’m so tired today. Jangan ikuti aku.”

Xian Lie menipiskan bibirnya dan menatap Eric curiga. “Kamu mau cari si Trisha itu, ‘kan? Iya, ‘kan?” tuduh Xian Lie kesal. Dadanya yang montok naik turun menahan amarah.

Mendengar ucapan Xian Lie dan mengingat sikap Riana saat di pesta tadi, Eric meradang. Ia berpaling dan menatap Xian Lie dengan tajam namun, melihat mata wanita itu yang berkaca-kaca, Eric menahan amarahnya dan berlalu pergi begitu saja menuju mobil yang sudah menunggunya. Meninggalkan Xian Lie yang berdiri terisak tanpa suara di depan restoran.

***

Alunan lagu Superwoman milik Alicia Keys, membangunkan Riana dari lamunannya. Wanita itu mengambil ponsel dari dalam tas dan mengangkat panggilannya.

“Hallo, Yu’,” sahut Riana tenang

“Bu, apa ibu jadi cuti hari ini?”

Riana mengangkat alisnya dan melihat ke luar jendela mobil grab yang membawanya. “Hmm. Kenapa?”

“Model untuk finale JFW (Jakarta Fashion Week) tidak datang latihan. Saya sudah hubungi managernya, katanya mereka kejebak macet tapi sampai kita selesai latihan, mereka belum datang juga, Bu.”

Riana mendesah. Ia menggaruk hidungnya yang tak gatal. Beberapa minggu terakhir ini, ia terlalu sibuk dengan rencananya sendiri dan melupakan acara sepenting JFW yang merupakan ajang seleksi untuk bisa tampil di ajang fashion dunia. 

“Hehmm ... okay. Aku ke kantor sore ini,” sahut Riana pada akhirnya dan mengusap wajahnya asal

“Jam berapa, Bu? Saya harus pulang maksimal jam 6. Adik saya tidak ada yang jaga, Bu.”

“Oke. Sebelum jam setengah 6, Aku sudah di kantor. Thanks, Yu’.”

“Baik, Bu. Sama-sama,” sahut Ayu, asisten Riana, dari seberang telepon

Tut

Riana menghembuskan napasnya kasar dan menyandarkan kepala pada jok mobil. “Pak, bisa tolong lebih cepat sedikit?” pinta Riana pada sopir yang mengantarnya

“Iya, Neng. Saya usahakan.”

***

Riana menginjakkan kakinya di jalan berpaving di depan sebuah rumah sakit besar. Tak banyak orang yang berlalu lalang di tempat itu. Mobil grab yang mengantarnya pun perlahan menjauh.

“Hahh … aku harus bilang apa sama Dimas, kalo dia tahu ke sini,” desah Riana. Ia mengambil botol obat yang ia simpan di dalam tasnya dan menipiskan bibir.

Sudah 3 tahun ini ia harus mengkonsumsi obat Antidepresan. Setiap kali ia merasa cemas, takut atau saat emosinya meningkat, perutnya akan terasa penuh dan mual. Ia sudah menjalani terapi tapi hasilnya tak sebanding yang ia inginkan. Ia tetap harus meminum obat antidepresan setiap hari dan saat ia mengalami gejala.

Bulan lalu, karena jadwalnya yang padat, Riana tak sempat mengunjungi psikiater yang dulu direkomendasikan Farida untuknya. Akibatnya, kemarin, sepanjang malam ia menjadi gelisah dan tak bisa tidur karena tak ada sebutirpun obat yang tersisa untuk ia konsumsi.

“Semoga Dimas belum selesai operasi,” gumam Riana lalu menutupi kepalanya dengan scarf silk dan memakai kaca hitam berbingkai besar. 

Melangkah dengan was-was, Riana masuk ke dalam gedung bercat dominan putih itu. Ia melihat petunjuk arah yang mengantarnya menuju counter pendaftaran.

Riana duduk di kursi tunggu paling belakang, menunggu gilirannya untuk masuk ke ruang dokter sambil memainkan ponselnya. 

“Nona Trisha Meriana!”

Riana terkejut. Mulutnya menganga. Ia mendongak dan melihat suster yang memanggil namanya dengan keras lalu mengigit bibir bawahnya karena kesal.

Tak akan masalah jika ia tak mengenal siapapun di sana tapi, ia sudah beberapa kali diajak Dimas ke rumah sakit ini dan ia mengenal beberapa suster dan dokter. Tapi, tak ada seorangpun di antara mereka yang tahu bahwa ia adalah seorang pasien gangguan psikologis yang sedang menjalani terapi. 

Riana menelan ludah lalu berdiri. Ia menoleh ke sana ke mari dengan kepala sedikit tertunduk seperti seorang pencuri. Berharap tak ada seorangpun yang mengenalinya

Jika bukan karena terpaksa, ia tak akan datang ke mari tapi ke klinik pribadi psikiaternya itu. Hanya saja, untuk hari ini dan besok, psikiater yang terkenal handal itu, berpraktek di rumah sakit ini saja.

“Nih suster, gak kurang kenceng ya manggilnya? Ish … cuma segelintir orang tapi manggilnya kenceng amat, kayak mau ngambil lotre aja,” gumam sebal Riana.

Wanita itu mulai berjalan perlahan dan melewati beberapa kursi tunggu sambil membetulkan scarf yang menutupi kepalanya.

 “Trisha?”

Comments (5)
goodnovel comment avatar
Riri M Sianturi
good......
goodnovel comment avatar
Yuli a
hebat drmananya, jumpa aja msh ketakutan gitu, cm designer lg...dimana hebatnya
goodnovel comment avatar
Ester Lumingkewas
good novel....lanjut
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status