27 Maret 2014, South Bank Tower Penthouse, London
11.00 AM
Acara pernikahan yang seharusnya berisi pesta, tarian, kebahagiaan, senyuman, tawa serta berbagai hidangan dan minuman, tak tampak di ruang tamu yang berukuran 5m x 7,5m itu.
Bahkan, pernikahan itu hanya terdiri dari 5 orang saja. Eric, Riana, Dave yang adalah asisten pribadi Eric, seorang pelayan dan petugas pencatatan sipil.
“Baiklah. Semua sudah selesai. Selamat, Tuan Jenkins!” ucap petugas pencatatan sipil itu sambil berdiri dan mengulurkan tangannya, pada lelaki pewaris perusahaan Royal Group, yang menjadi mempelai pria hari ini.
Tanpa ekspresi, Eric berdiri dengan elegan. Ia menyambut uluran tangan lelaki, yang baru saja mengesahkan pernikahannya, dengan wanita yang sebulan lalu ia ambil kesuciannya itu.
“Thank you. I think, you know how you are going to behave after this,” sahut Eric masih dengan wajah tanpa ekspresinya. Namun, kali ini ditambah dengan sorot mata tajam, menatap lurus ke arah lelaki berkepala botak dan berkaca mata itu.
Aura dingin yang dipancarkan Eric, membuat bulu halus 4 orang yang ada di ruang itu berdiri dan ingin segera beranjak dari sana.
Glup
Lelaki berjas rapi, lengkap dengan dasi dan bros bendera Inggris Raya yang tersemat di kerah jasnya itu, menelan ludahnya dengan berat.
“Sa-saya mengerti, Tu-tuan Jen-Jenkins tapi … An-anda te-tetap harus memberitahukan per-pernikahan ini di—"
“Dave! Antar tuan Alvarez ke mobilnya,” titah Eric pada sang asisten, memotong perkataan pencatat sipil yang malang itu
"Yes, Sir," sahut Dave dan mempersilahkan si pencatat sipil itu berjalan lebih dulu.
Eric mendesah dan menatap jengah ke arah si pencatat sipil itu pergi. Ia tahu syarat dan hukum pernikahan negara.
Ia sudah menikahkan adik perempuannya 2 tahun lalu dan mengetahui betul prosedur itu. Tapi, situasinya saat ini berbeda dengan sang adik.
Ia akan dengan senang hati mengumumkan pernikahannya, jika ia memang berniat menikah tapi … saat ini, pernikahan ini … bukanlah pernikahan yang ia harapkan. Tak pernah sekalipun terlintas dibenaknya untuk menikah dan menjadi suami seseorang.
Ia terpaksa menikahi Riana karena ancaman sang ayah dan karena Riana telah mengandung benihnya. Ia memang terkenal dengan sikap kejamnya di dunia bisnis, tapi bukan berarti ia adalah lelaki tak beradab, yang memaksa seorang wanita menggugurkan kandungannya.
***
Riana masih tak bisa percaya dengan yang ia alami. Sebulan lalu, ia terbangun dan mendapati, bahwa ia telah berbagi tempat tidur dengan Eric Jenkins.
Seorang pengusaha muda yang menjadi idola para wanita karena tampang dan bodynya yang tak kalah dari model kelas dunia, serta kantongnya yang tebal karena lelaki itu adalah putra sulung, sekaligus pewaris perusahaan The Royal Group. Perusahaan besar di dunia Fashion yang kini juga merambah ke sektor bisnis lainnya.
Lalu kini, sebulan kemudian, ia sah menjadi istri Eric? Sungguh, ia masih tak bisa mempercayainya. Semuanya bagai mimpi.
Bagaimana tidak, selama ini, Eric Fransisco Jenkins adalah idola dan inspirasinya dalam meraih mimpi. Lelaki itu juga yang membuatnya nekat menerima beasiswa untuk bersekolah di London, di salah satu akademi fashion terbaik dunia milik The Royal Group, yaitu Royal Fashion Academy.
'Oh my God ... tolong jangan bangunkan aku kalo ini cuma mimpi,' doa Riana di dalam hati
“Kamu!”
Riana yang sedari tadi duduk di sofa dan menatap Eric, terkesiap. Ia mengerjap lalu melihat ke sana dan ke mari. Tak ada orang lain. Riana kembali melihat ke arah lelaki yang kini sah menjadi suaminya itu, dengan tatapan bingung dan senyuman canggung
“A-apa ka-kamu me-manggil—"
“Di sini tidak ada siapa-siapa lagi. Kamu pikir … aku memanggil siapa lagi? Kemari!”
Suara baritone yang khas, yang selalu menyejukkan telinga Riana itu, terdengar kesal. Riana menelan ludah dan berjalan perlahan menghampiri “suami” barunya, yang saat ini masih berdiri menatapnya tajam, di tengah ruangan
“I-iya?”
Lelaki itu berbalik dan membelakangi Riana, “Mulai saat ini, kamu tinggal di sini. Semua kebutuhanmu sudah disiapkan. Kalau kamu ada permintaan, kamu bisa bilang Diane. Kamu mengerti?”
Jantung Riana berdegup kencang. 'Ting-gal di sini? Jadi ... ini bukan ... mimpi?'
"Kamu mengerti?!"
Riana kembali terkejut dengan suara keras Eric. Ia mendongak dan tetap ... hanya punggung Eric saja yang bisa ia lihat, serta sekilas sisi wajah Eric, karena lelaki itu memalingkan wajahnya sejenak tapi tak berbalik ke arahnya. Seolah enggan melihat Riana.
“Di-Diane?”
“Pelayan. Diane akan melayani kebutuhanmu di sini.”
Riana melipat bibirnya dan mengangguk. Dari sudut matanya, ia dapat melihat seorang wanita paruh baya, yang sedang berkutat di mini bar di sisi ruangan, tak jauh dari tempat mereka berdiri
“Ba-baik tapi ... apa kita akan ting-tinggal ber—”
“Aku ada banyak pekerjaan. Jaga baik-baik bayi di dalam perutmu itu. Aku pergi.”
Selesai dengan perkataanya, Eric berlalu pergi. Riana terpaksa harus menelan kembali berbagai pertanyaan, yang ingin sekali ia ajukan pada lelaki itu.
Riana mendesah, “Hahhh … baru aja menikah tapi, kenapa—”
“Nona … tuan Jenkins memang selalu sibuk. Anda jangan sedih, ya. Saya akan menemani Anda.”
Riana menoleh dan mendapati wanita paruh baya dengan seragam pelayannya yang entah sejak kapan, sudah berdiri hanya 2 langkah di belakangnya.
“Terima kasih, Diane,” ucap Riana dan tersenyum ramah
Wanita itu balik tersenyum dan mendekati Riana serta merangkulnya lembut, “Sekarang kita ke kamar dan ganti baju, hmm?” ajak Diane.
Riana mengangguk dan mulai berjalan menaiki tangga, walau sesekali ia terus memandang ke arah pintu. Berharap Eric akan kembali dan menemaninya di tempat asing nan mewah, yang kini menjadi tempat tinggalnya itu.
***
29 Oktober 2014, South Bank Tower Penthouse, London
18.15 PM
7 bulan berlalu begitu cepat dan dalam kurun waktu itu, Eric hanya menampakkan batang hidungnya beberapa kali. Itupun tak lama dan tak lebih dari dari 10-15 menit saja sebelum akhirnya pergi entah ke mana.
Riana hanya bisa mengetahui kabar Eric lewat media massa dan televisi, yang menjadi hiburannya setelah ia menyelesaikan kuliah sebulan yang lalu.
Lewat internet dan berita yang terus bergulir soal Eric, Riana sadar bahwa suaminya sama sekali tak menginginkan pernikahan ini dan tak pernah menyukainya.
“Sayang, memilikimu sudah cukup bagi Mama,” lirih Riana sambil mengelus perut buncitnya.
“Nona … di sini sangat berangin. Nanti Anda masuk angin. Mari, saya antar ke dalam.”
Riana menoleh lalu tersenyum. Diane. Ya Diane … ia bersyukur ada wanita itu yang menemaninya.
Selama ini, hanya Diane yang memperhatikan dan merawatnya, seperti seorang ibu merawat anaknya. Diane pula yang menyemangatinya, untuk tetap bertahan dalam pernikahan terpaksa ini.
“Iya, baiklah. Sepertinya mau hujan juga. Diane, tolong bantu Aku,” pinta Riana dan mengulurkan tangannya pada Diane.
Karena kehamilan, kaki Riana menjadi bengkak dan perutnya yang besar, membuatnya susah berdiri tanpa bantuan.
Wanita paruh baya yang ramah itu mengangguk dan tersenyum, menyambut tangan Riana lalu membantu wanita itu berdiri dari kursi santainya.
“Nona … jangan terlalu sering duduk di balkon ini lagi. Sekarang sudah musim gugur, udaranya sangat dingin dan angin juga cukup kencang. Apalagi sore begini. Kalau sakit, kasihan baby-nya.”
“Iya, hanya saja….” Riana melemparkan pandangannya ke sekeliling. Menatap indahnya sungai Thames dengan London Eye-nya serta kerlap-kerlip lampu kota London.
“Hanya tempat ini yang bisa membuat pikiranku terasa lebih tenang. Kalau di dalam … aku jenuh banget," lanjut Riana sambil tersenyum tipis.
Diane menatap iba ke arah wanita yang dirawatnya itu. Hatinya juga terasa sakit untuk Riana. Gadis belia yang harus merelakan masa mudanya, untuk mengandung anak sang Milyuner.
7,5 bulan yang lalu, saat Dave memintanya membersihkan Penthouse mewah ini, ia sangat bersemangat dan bahagia, karena Dave berkata, bahwa tempat itu akan ditempati calon istri Eric.
Ia sudah mengasuh Eric sejak bayi dan menyayanginya seperti anaknya sendiri. Selama 30 tahun ini, tak pernah ia mendengar atau melihat anak majikannya itu memiliki pasangan atau kekasih tetap, walau sudah berusia matang.
Lalu tiba-tiba, ia mendapat kabar dari Dave, bahwa putra sulung pasangan Sir Edmund Jenkins dan Lady Hannwel itu, akan menggunakan Penthouse mewah hadiah sang ayah, yang berharga lebih dari USD 90 juta, sebagai tempat tinggal calon istrinya.
Tentu saja hal itu membuat Diane sangat bahagia, karena ia berpikir, Eric akhirnya menemukan cinta sejatinya. Tapi nyatanya, semua tidak seperti yang ia pikirkan.
“Diane, please ... don’t give me that look. I’m okay and I'm really-really do,” ucap Riana saat menyadari tatapan pelayan yang ia anggap sebagai ibu asuh itu.
“An, bersabar, ya. Maafin Eric. Beri dia waktu. Aku yakin, suatu saat nanti Eric—”
“Diane … semua terjadi karena kesalahanku sendiri. Aku gak bisa menjaga diri, sampai aku … aku bisa dijebak seperti itu. Aku tidak menyalahkan siapapun.
Eric seperti ini, karena dia juga dijebak. Dia menikahiku saja … aku sudah bersyukur,” potong Riana, sembari mengelus perutnya penuh kasih sayang. “Jadi … anakku nantinya … gak akan disebut anak haram.”
Ucapan Riana bukan hanya ditujukan pada Diane saja tapi sekaligus untuk dirinya sendiri. Sebagai penghiburan untuk hatinya yang terluka.
Hatinya perih dan pasrah pada takdir, tapi ia juga masih berharap ada mujizat. Di mana Eric akan menerima dan mencintainya, seperti halnya dirinya yang begitu mencintai lelaki itu.
“Oh, my poor Lady,” sahut Diane dan merengkuh Riana dalam pelukannya.
Pok … pok…
“Come … let’s get inside. It’s getting chilly here,” ajak Riana setelah beberapa saat, sambil menepuk punggung Diane agar melepas pelukan.
“Okay. Come.”
Diane membantu Riana masuk ke dalam Penthouse dan mengantar calon ibu muda itu ke ruang santai. Ia meraih remote TV dan memberikannya pada Riana
“Tunggu di sini. Aku bawakan camilan buatmu. Kamu lapar, ‘kan?” ujar Diane. Riana tersenyum dan mengangguk.
Riana menekan tombol power dan menyalakan TV berukuran super besar itu. Senyum yang masih tersemat karena Diane, seketika menghilang, kala melihat tajuk berita yang tertera di televisi, serta cuplikan video yang sedang tayang.
[PEWARIS ROYAL GROUP DAN ARTIS CANTIK BERDARAH ASIA, XIAN LIE, AKAN BERTUNANGAN PADA AKHIR MUSIM GUGUR NANTI.]
“A-ana? are you alright?”
29 Oktober 2014, Top Floor, Royal Tower, Croydon (Wilayah paling selatan London, Inggris)17. 05 PMTok … tok….Eric dengan eskpresi datar yang menjadi ciri khasnya, mengangkat wajah dan melihat pintu mahogany ber-cat putih yang berdiri megah beberapa meter di depannya.Tanpa melepas gagang pulpen yang ada di antara jari telunjuk dan jari tengahnya, ia mengulurkan tangan pada sebuah alat yang mirip interkom lalu menekan salah satu tombol“Come in!”CeklekWanita muda dengan balutan blazer hitam dan rok span yang memperlihatkan setengah pahanya, masuk ke dalam ruangan luas dengan minim furniture itu. Ia membungkuk hormat pada lelaki yang duduk di balik meja besar dan yang tampak sibuk menulis sesuatu“Ada apa?” tanya Eric tanpa mengangkat wajahnya“Tuan Jenkins
“Dokter! Ba-bagaimana Ana dan bayinya?” tanya Diane dengan wajah kuatirnya, menyambut dokter yang baru saja keluar dari ruang operasi setelah menangani RianaDokter senior itu menarik lurus bibirnya. “Bayinya selamat tapi harus mendapat perawatan intensif selama beberapa minggu. Barat badannya hanya 1,900 gram dan … cairan ketuban juga pecah terlalu cepat, jadi ada gangguan di pernapasannya. Saat ini sudah ditangani dokter anak.”“Oh, God!” seru Diane terkejut dan menutup mulutnya dengan tangan, “Lalu bagaimana dengan Ana, Dok?”Dokter laki-laki tersebut mendesah. Ekspresi wajahnya membuat Diane semakin cemas. “Nona Trisha … kehilangan banyak darah. Beliau … masih belum sadarkan diri. Berdoalah agar dia bisa melewati malam ini.”Kepala Diane terasa berputar. Matanya berkaca-kaca. Tatapannya beralih pada pintu ruang operasi yang tertutup.“Saya … permisi du
6 bulan setelah perceraian,17 Oktober 2015, Berlin, Jerman20.38 PMRiana berdiri di depan sebuah tong pembakaran. Beberapa foto yang selama ini ia simpan, digenggamnya erat. Matanya yang berkaca-kaca memandang kosong ke depan.Pengalaman pahit dan rasa sakit yang ia alami di masa lalu, masih terus bergelayut dan membayangi wanita yang kini meluruskan rambut ikalnya ituAir mata kembali terbentuk di matanya. Kenangan manis bersama ibu dan sang adik yang sangat ia sayangi membuatnya tak bisa menahan diri.Jemari lentik yang menggenggam lembaran foto-foto itu semakin kuat mengepal di kedua sisi tubuhnya. Rahang wanita itu mengeras, matanya memerah dan bibirnya menipis. Rasa sakit dan kecewa yang sekian lama bertumpuk di dalam hatinya, menumbuhkan amarah dan kebencian yang mendalamSatu-satunya foto sang mantan suami yang ia miliki serta foto
2,5 tahun kemudian (Masa kini)12 Oktober 2018, The Ritz Carlton Hotel Presidential Suite, Jakarta21.40 PMTak … tak … tak….Detak sepatu high heel yang bersinggungan dengan lantai dan terdengar semakin dekat, tak dihiraukan Eric yang sedang duduk di balik meja kerja yang ada di kamar utama suite-nya. Ia terus mengetik sesuatu di depan layar kotak berlambang apel tak utuh itu“Babe … some wine?”Sebuah gelas kaca seperti Brandy Snifter, terulur di depannya. Dengan jemari putih nan lentik bercat kuku merah yang selaras dengan warna wine di dalam gelas bertangkai kecil itu, sungguh tampak menggoda.Eric mengangkat matanya, menyorot ke arah si empunya jari. Tatapannya tajam menusuk. Senyuman di bibir bergincu merah Xian Lie, memudar. Ia segera menarik tangannya dan melipat bibir.
Netra Riana membelalak. Suara itu. Ia sangat mengenal suara itu. Riana mendongak dan betul, itu dia!“Eric?” panggilnya tanpa sadar. Eric melebarkan matanya. Ia juga tak menduga, wanita yang ia tubruk adalah Riana. Wanita yang selalu bergentayangan di benaknya“A-ana?”Riana segera menarik diri, menjauh dari lelaki itu lalu mengangguk. “Thanks,” ucap Riana yang kemudian berbalik dan bersiap pergi namun, tangan Eric lebih dulu mencekal lengannya“Wait!” seru EricRiana diam di tempatnya. Ia menoleh dan melihat tangan Eric masih memeganginya. Wanita itutak berucap dan tak juga bergeming.Dengan canggung, Eric melepas tangan dan menjilat bibirnya yang terasa kering. Ia ingin berucap namun tak tahu di mana ia harus memulai“Maaf, saya masih ada urusan. Permisi, Tuan,” pamit Riana dan melangkah pergi namun, kembali langkahnya terhenti.Seorang wanita ber make up
Wajah Riana berubah tegang. Ia menelan kasar salivanya. "Apa mungkin, si tua bangka ini sudah tahu siapa Aku? Gak! Gak mungkin!" batin Riana. Pikiran wanita itu mulai kalut. Keringat dingin mulai menerobos keluar dari pori-pori dahinya. Irawan mengerutkan alis saat melihat ekspresi wanita cantik di hadapannya itu. Melihat gelagat aneh Riana, Irawan perlahan mengulurkan tangan hendak menyentuh bahu mantan istri Eric Jenkins itu namun membuat wanita itu semakin gugup “Trisha? … Ada apa? Apa kamu sakit?” Riana mengerjap. Melihat tangan Irawan yang hampir menyentuhnya, reflek, satu kaki wanita itu melangkah mundur dan kembali menatap waspada, adik dari ayah kandungnya itu. Rasa mual kembali menyerang Riana. Ia berpaling dari Irawan lalu melihat ke sana ke mari, mencari celah untuk pergi. Ia ingin segera menjauh dari lelaki bernama Irawan Santosa itu. Mengerti penolakan Riana, Irawan pun menarik tangannya dan tersenyum. "Sorry ... eh, tapi ... apa
Tubuh Riana membeku. Napasnya tertahan. Dipejamkannya matanya dengan erat beberapa saat untuk menetralkan degup jantungnya.“Trisha? Itu kamu, ‘kan?” Lagi, suara itu memanggil namanya. Suara yang sangat ia kenal.Riana menelan salivanya dan perlahan memutar tubuh. Ia tersenyum dan membuka kacamata hitamnya.“Dimas? Kamu dah selesai operasinya?” tanya Riana mengalihkan pembicaraanDimas mengangguk dan meraih tangan calon istrinya itu. “Hmm. Kamu ngapain di sini?”“Nona Trisha Meriana!”Riana dan Dimas menoleh, melihat ke arah suster. Riana melipat bibirnya lalu kembali berpaling pada Dimas“Aku harus masuk. Kalo gak, tuh suster bakal terus teriak-teriak,” ujar Riana dan mulai melangkah tapi Dimas tak mau melepas pegangannya“Sha? Kamu ada masalah?”Riana mendesah. Ia tersenyum dan menatap lekat lelaki yang selama lebih hampir 2 tahun ini menjadi
Prakk….AKHHHHHH!!!!Ponsel mahal berwarna emas itu terlempar jauh berantakan. Suara jeritan kekesalan Xian Lie menggema di seluruh kamar hotel mewahnya. Matanya menyala penuh amarah. Rambutnya pun acak-acakan karena digaruknya kasar.“Riana … RIANA!!! Selalu Riana! AKHHH!!!” amuk Xian Lie seraya mengepalkan kedua tangannya. “You gone to that bitch again, right? Eric?! Huh?! ... Erghh!!!"Xian Lie berjalan cepat menuju kamar Eric. Ia berdiri di tengah kamar Eric dan melihat sekeliling kamar itu. Tatapannya berakhir pada benda pipih berlambang apel tak utuh yang ada di meja kerja Eric.Ia kembali melangkah lebar dan dengan cepat mengambil laptop milik Eric yang ada di atas meja. Ia mengangkat tinggi laptop berisi semua pekerjaan Eric dan siap membuangnya. Namun kemudian, matanya berkedip cepat. Sorot matanya terpancar keraguan untuk melakukannya.“No … no