HIDUP STARYAN RAZELA KOHLER tidak semenyenangkan dahulu. Beberapa bulan terakhir kakak perempuannya, Stacya Razela Kohler, berubah menjadi monster mengerikan yang selalu memantau setiap aktivitasnya—terutama soal pekerjaan. Star yakin, perempuan berparas setengah bule itu pasti sudah berdiri di depan pintu kamarnya.“Mau sampai kapan kerja terlalu keras kayak gini?” cecar Stacya, masih selalu mengagetkan.Dugaan Star benar. Suara perempuan 29 tahun itu menggema di sepanjang selasar lantai satu rumah mewah di bilangan Jakarta Pusat. Wajahnya yang berbentuk lonjong makin terlihat sinis dengan tangan terlipat di depan dada. Berusaha bersikap tenang, si lelaki rupawan bersandar di kusen pintu dan mengikuti gaya Stacya. “Sampai mendapatkan piala penghargaan kategori Artis Paling Populer,” jawab Star dengan singkat, padat, dan jelas.Rambut gondrong Star terayun ketika dia melengos meninggal
STARYAN MENYEDOT Signature Chocolate sambil mengamati Johnny yang berkutat dengan sandwich berisi kesegaran campuran buah cranberry dalam gurihnya saus mayones. Potongan-potongan kejadian tidak mengenakkan tadi di rumah melintasi jalur pikirannya. Dia tidak mendengar apa pun selain suara Stacya meski alunan musik yang memenuhi seluruh ruang coffee shop mendunia itu diputar dengan cukup keras.“Gue tahu lo datang lebih awal karena mau tidur dulu di rumah gue,” ucap Star tidak bertenaga. “Sorry, lo harus lihat kekacauan tadi. Ditambah kita harus buru-buru cabut padahal syuting masih lama.” Napas mendesak keluar dari mulutnya, dia merasa bersalah.“Jujur, gue kaget. Gue tahu Cia selalu hati-hati kalau bicara sama lo. Kenapa gue tahu? Karena gue juga takut lo marah kaya tadi. Tapi gue cuma manajer lo, gampang bagi gue buat meredam kekhawatiran ke lo. Sedangkan Cia, kekhawatiran dia bisa kapan saja meluap karena dia kakak lo. L
“SUDAH BIKIN CAPEK-CAPEK, salad buahnya malah nggak diterima dan dikirim balik ke aku. Sakit tapi ya sudahlah ….”Zeeana Hernanda Tansy mengakak saat mendengar suara Maresha di video Instastory. Suaranya bersaing dengan bunyi es batu yang terjun bebas ke dalam gelas berisi kopi. Perempuan tomboi itu menyeruput es kopi buatannya—yang jauh dari kesan estetik—sambil melirik sebuah nama akun pengguna yang ditandai Maresha. Star?“Ini sih mesti kudu harus dilaporkan ke calon Nyonya Ramadhani.” Dengan mudah Zee menemukan kontak Stacya, sahabat sekaligus artis yang dimanajeri olehnya.Terverifikasi sehati. Belum sempat melakukan panggilan, Stacya sudah menelepon lebih dahulu. Karena sudah sering terjadi, kejadian itu sudah tidak membuat Zee kaget. Dia mengangkat kedua sudut bibirnya makin lebar, jari-jemari kurusnya menarik simbol berwarna hijau ke arah atas. Definisi soulmate, nih!“Halo, C
HAMPIR SAJA, gelas yang dipeluk tangan Stacya terjun bebas ke lantai. Beruntung, perkataan Ario tadi benar-benar meresap di alam bawah sadarnya. Lebih cepat lebih baik. Dia sigap menahan apa yang dipegangnya meski sempat membeku sepersekian detik. Sementara itu, harapan Zee tentang keputusan Stacya untuk kembali aktif menerima endorse, sirna. Tidak ada tanda-tanda keceriaan!“Lo tahu hari pernikahan gue sama Ario makin dekat, kan?” Stacya berancang duduk berhadapan dengan Zee, beberapa sentimeter lagi gelas di tangannya mendarat di meja berbentuk persegi panjang.Gesit,
PERSETAN dengan hari ini, yang out of the box-nya keterlaluan! Terpaksa Staryan memejamkan mata di sepanjang perjalanan pulang dari gedung Chatalk menuju kediamannya di The Pavillion. Hal yang terjadi ketika syuting interviu—yang diadakan perusahaan aplikasi jejaring sosial Korea Selatan—berlangsung tadi siang terus bergelayutan di cabang-cabang pikirannya. “Maresha—dasar air mata buaya!” Star menghantamkan kepalanya ke sandaran jok mobil. “Bang Johnny—pengkhianat kelas kakap lo!” ditonjoknya bagian belakang kursi mobil pengemudi dari belakang. Bayu, supir pribadi Star, langsung tersentak dan mengusap dadanya yang tipis. Bibir hitamnya komat-kamit merapal kalimat-kalimat suci berbahasa Arab. Lelaki berdarah Sunda itu memeriksa keadaan sang majikan lewat kaca tengah. Bahaya, ini tidak betul. “Hampura, Kang. Aa lagi kebakaran janggut.” Refleks Star meminta maaf dalam bahasa Sunda karena sedang bingung tidak keruan. “Tapi ulah ngomong ka
[H-HALO, CIA.]Stacya telah beralih ke kamarnya. Dia merasa lega, akhirnya Johnny mengangkat panggilan telepon yang sudah ke sekian kali dia lakukan. Gendang telinganya hampir pecah mendengar nada sambung yang terus-menerus diperdengarkan sebelum panggilan itu terjawab.“Johnny, tolong jawab dengan jujur ya. Sebenarnya, apa yang terjadi sama Aa? Kenapa sikapnya aneh banget? Dia nggak pernah kayak gini sebelumnya.” Stacya menggelengkan kepala.[Aa dalam masalah besar, Cia. T-tapi gue—]Johnny yang berbicara terbata-bata membuat Stacya geregetan. Langsung saja dia memotong kalimat lelaki itu dengan decak sinisnya. "Masalah besar? Ambil sikap, dong. Lo itu manajernya Aa. Gue nggak mau tahu, ya, pokoknya—”[Gue bisa jelaskan, Cia. Jadi gini ….]Tadi siang, di salah satu studio di gedung Chatalk, Star masuk ke dalam bingkai acara interviu yang sebentar lagi akan dimulai. Sambil menunggu Maresh
“AW!” Maresha berteriak heboh.Kejadian yang tidak diinginkan Star terjadi. Bangku itu hampir menyungkurkan Maresha. Dengan cekatan Star menopang tubuh Maresha yang menekan dadanya, dia menahan tangannya di tulang rusuk perempuan yang kini melotot panik. Tunggu, tetapi apa yang dipegang Star?“Lepas! Aku bakal tuntut kamu! Kamu pikir aku nggak bakal speak up setelah barusan kamu sengaja pegang bagian tubuh sensitifku?!” Bentakan Maresha membuat suasana kian panas. Dia membebaskan tubuhnya sendiri setelah mendapatkan keseimbangan yang sempurna.Stacya menutup mulutnya yang menganga. Matanya terlihat makin besar saat dia melotot tak percaya. “Johnny, bilang sama gue kalau itu nggak benar! Jelas-jelas itu fitnah! Lo harus cari bukti kalau Star nggak bersalah, John. Please ….” Dia meringis makin hebat.[Cia, tolong kasih gue waktu buat memikirkan ini. Gue pun syok banget. Kita ketemu besok di Kopi Om
NAHASNYA, INI BUKAN MIMPI. “Selama ini gue sudah terlalu banyak menyusahkan lo ya, Bang? Sampai lo memutuskan buat meninggalkan gue di masa sulit begini. Mungkin gue nggak sadar sudah bikin lo sesak karena harus menjamin nama gue selalu ada di setiap tempat. Itu karena gue cuma percaya sama lo. Nggak ada satu orang pun yang sabar kalau ambisi gue lagi memuncak,” ungkap Star. Tangannya yang menggantung di lengan Johnny setara dengan harapan agar manajernya itu berubah pikiran. “Gue mohon, Bang Johnny. Temani sampai gue nggak sanggup buat berkarya lagi,” pintanya dengan sangat. Johnny termangu, dia merasakan ketulusan Star menjalar hingga ke inti jantung hatinya. Bagi Johnny, sebelas tahun mendampingi Star bukan hanya membuktikan pencapaian sebagai manajer, tetapi juga menjadi saudara yang selalu ada tiap saat. Namun sekarang, Johnny sendiri tidak yakin bisa membuktikan hal itu. Dia masih mengunci mulutnya, membiarkan Star mendapat jawaban dari bola ma