STARYAN MENYEDOT Signature Chocolate sambil mengamati Johnny yang berkutat dengan sandwich berisi kesegaran campuran buah cranberry dalam gurihnya saus mayones. Potongan-potongan kejadian tidak mengenakkan tadi di rumah melintasi jalur pikirannya. Dia tidak mendengar apa pun selain suara Stacya meski alunan musik yang memenuhi seluruh ruang coffee shop mendunia itu diputar dengan cukup keras.
“Gue tahu lo datang lebih awal karena mau tidur dulu di rumah gue,” ucap Star tidak bertenaga. “Sorry, lo harus lihat kekacauan tadi. Ditambah kita harus buru-buru cabut padahal syuting masih lama.” Napas mendesak keluar dari mulutnya, dia merasa bersalah.
“Jujur, gue kaget. Gue tahu Cia selalu hati-hati kalau bicara sama lo. Kenapa gue tahu? Karena gue juga takut lo marah kaya tadi. Tapi gue cuma manajer lo, gampang bagi gue buat meredam kekhawatiran ke lo. Sedangkan Cia, kekhawatiran dia bisa kapan saja meluap karena dia kakak lo. Lo satu-satunya harta dia yang paling berharga. Dia nggak mau sampai ada hal buruk terjadi sama lo.” Jarang sekali manajer yang super santai itu menasehati Star, panjang kali lebar pula.
Star manggut-manggut. Dia itu ibarat bensin dan pembahasan tentang ambisi adalah apinya. Jika sampai tersulut, jadilah kobaran api yang luar biasa. Namun, rasa sayang yang teramat besar untuk Stacya selalu menjadi pemadam paling hebat. Dia tidak bisa berlama-lama menyimpan dendam pada perempuan yang juga menekuni bidang keartisan.
Star mengisap kuat sedotan bergagang plastik lalu ditaruhnya secara mengentak di atas meja kayu. “I see, tapi Teh Cia keterlaluan sudah sebut nama itu—nama yang nggak pernah ingin gue dengar lagi.”
Mereka bergeming dalam beberapa detik jam dinding. Pembahasan sensitif akan berakibat buruk kalau tetap diteruskan. Lawan bicara Star pilih cari aman saja.
“Siaran langsung di I*******m, dong!” pinta Johnny, memecahkan suasana kikuk.
“Oke, siap!” ujar Star setuju. Dia selalu bersemangat bila akan berinteraksi dengan Light—sebutan untuk para penggemarnya. Sepasang airpods wireless sudah menempel di telinga Star. Kamera jernih benda pipih itu pun menjangkaunya dari kepala hingga dada. “Hai, semuanya!”
Baru satu sapaan saja jumlah penonton terus bertambah dan menghujaninya dengan ‘love’. Luar biasa, Star melongo dan tidak mengerjap. Dia membaca komentar dengan cepat sebelum tertimbun oleh komentar lain.
Damage cowok Bandung satu ini nggak nahan, euy!
So sweet, pagi-pagi udah dikirimin salad buah sama Maresha.
Tunggu, ada satu komentar yang mencolok mata Star. Salad buah? Bikinan Maresha? Buat dia? Mana ada? Bola matanya berputar, berusaha mengingat apa saja yang ada di meja dapurnya tadi. Ah, dia terlalu fokus berseteru dengan Stacya. Mana dia ingat dengan wujud pemberian dari lawan mainnya, Maresha Chessy.
“Bye, semuanya! Sehat selalu ya di mana pun kalian berada,” tutup Star, kemudian garuk-garuk kepala kebingungan.
Ting!
From: Maresha
Gimana salad buahnya, enak? Aku bikin khusus buat kamu, lho.
Kebingungan Star begitu cepat terjawab lewat pesan dari Maresha yang mengambang di bagian atas layar ponsel. Maresha perempuan yang baik, tetapi suka berlebihan dan melewati batas status pertemanan. Misalnya, kirim pesan beruntun beserta foto setiap kegiatan yang dia lakukan. Star pencinta kebebasan. Tentu dia risih dan berujung just read.
“Kenapa, A? Kicep gitu.” Johnny menyeka bibirnya dengan tisu, ada serdawa yang tidak sengaja lolos.
“Kata mereka Maresha kirim salad buah ke rumah. Tadi lo lihat, Bang?” Star mengetuk-ngetuk punggung ponselnya, tidak sabar mendengar jawaban Johnny.
Yang ditanya memiringkan kepala menyipitkan mata. Sekelebatan ingatan tentang apa yang dia lihat di rumah bernuansa tropis itu muncul satu per satu di otaknya. Ruang tamu bersih mengilap, ruang keluarga agak berantakan oleh majalah-majalah Stacya, dan dapur … terlalu abstrak karena Bi Inah mengeluarkan banyak alat dan bahan keperluan memasak.
Johnny menyengir lebar. “Nggak terdeteksi sama otak gue, A. Please, jangan hujat gue,” mohonnya melas, kedua tangannya menyatu. Star berdecak, bola matanya memutar kilat. “Tunggu, gue bakal cari tahu.” Tangannya yang buntal langsung berselancar di layar ponsel lalu membuka Instastory akun Maresha.
“Asli, freak banget ini anak ….” gerutu Johnny, seraya menggelengkan kepala dengan pasrah.
Star menganga mendapatkan informasi gantung dari Johnny. Dahinya mengerut, matanya yang berbentuk turun tampak bertanya-tanya. ‘Apa yang Maresha posting di I*, sampai ekspresi Bang Johnny berubah kecut begitu?’
“SUDAH BIKIN CAPEK-CAPEK, salad buahnya malah nggak diterima dan dikirim balik ke aku. Sakit tapi ya sudahlah ….”Zeeana Hernanda Tansy mengakak saat mendengar suara Maresha di video Instastory. Suaranya bersaing dengan bunyi es batu yang terjun bebas ke dalam gelas berisi kopi. Perempuan tomboi itu menyeruput es kopi buatannya—yang jauh dari kesan estetik—sambil melirik sebuah nama akun pengguna yang ditandai Maresha. Star?“Ini sih mesti kudu harus dilaporkan ke calon Nyonya Ramadhani.” Dengan mudah Zee menemukan kontak Stacya, sahabat sekaligus artis yang dimanajeri olehnya.Terverifikasi sehati. Belum sempat melakukan panggilan, Stacya sudah menelepon lebih dahulu. Karena sudah sering terjadi, kejadian itu sudah tidak membuat Zee kaget. Dia mengangkat kedua sudut bibirnya makin lebar, jari-jemari kurusnya menarik simbol berwarna hijau ke arah atas. Definisi soulmate, nih!“Halo, C
HAMPIR SAJA, gelas yang dipeluk tangan Stacya terjun bebas ke lantai. Beruntung, perkataan Ario tadi benar-benar meresap di alam bawah sadarnya. Lebih cepat lebih baik. Dia sigap menahan apa yang dipegangnya meski sempat membeku sepersekian detik. Sementara itu, harapan Zee tentang keputusan Stacya untuk kembali aktif menerima endorse, sirna. Tidak ada tanda-tanda keceriaan!“Lo tahu hari pernikahan gue sama Ario makin dekat, kan?” Stacya berancang duduk berhadapan dengan Zee, beberapa sentimeter lagi gelas di tangannya mendarat di meja berbentuk persegi panjang.Gesit,
PERSETAN dengan hari ini, yang out of the box-nya keterlaluan! Terpaksa Staryan memejamkan mata di sepanjang perjalanan pulang dari gedung Chatalk menuju kediamannya di The Pavillion. Hal yang terjadi ketika syuting interviu—yang diadakan perusahaan aplikasi jejaring sosial Korea Selatan—berlangsung tadi siang terus bergelayutan di cabang-cabang pikirannya. “Maresha—dasar air mata buaya!” Star menghantamkan kepalanya ke sandaran jok mobil. “Bang Johnny—pengkhianat kelas kakap lo!” ditonjoknya bagian belakang kursi mobil pengemudi dari belakang. Bayu, supir pribadi Star, langsung tersentak dan mengusap dadanya yang tipis. Bibir hitamnya komat-kamit merapal kalimat-kalimat suci berbahasa Arab. Lelaki berdarah Sunda itu memeriksa keadaan sang majikan lewat kaca tengah. Bahaya, ini tidak betul. “Hampura, Kang. Aa lagi kebakaran janggut.” Refleks Star meminta maaf dalam bahasa Sunda karena sedang bingung tidak keruan. “Tapi ulah ngomong ka
[H-HALO, CIA.]Stacya telah beralih ke kamarnya. Dia merasa lega, akhirnya Johnny mengangkat panggilan telepon yang sudah ke sekian kali dia lakukan. Gendang telinganya hampir pecah mendengar nada sambung yang terus-menerus diperdengarkan sebelum panggilan itu terjawab.“Johnny, tolong jawab dengan jujur ya. Sebenarnya, apa yang terjadi sama Aa? Kenapa sikapnya aneh banget? Dia nggak pernah kayak gini sebelumnya.” Stacya menggelengkan kepala.[Aa dalam masalah besar, Cia. T-tapi gue—]Johnny yang berbicara terbata-bata membuat Stacya geregetan. Langsung saja dia memotong kalimat lelaki itu dengan decak sinisnya. "Masalah besar? Ambil sikap, dong. Lo itu manajernya Aa. Gue nggak mau tahu, ya, pokoknya—”[Gue bisa jelaskan, Cia. Jadi gini ….]Tadi siang, di salah satu studio di gedung Chatalk, Star masuk ke dalam bingkai acara interviu yang sebentar lagi akan dimulai. Sambil menunggu Maresh
“AW!” Maresha berteriak heboh.Kejadian yang tidak diinginkan Star terjadi. Bangku itu hampir menyungkurkan Maresha. Dengan cekatan Star menopang tubuh Maresha yang menekan dadanya, dia menahan tangannya di tulang rusuk perempuan yang kini melotot panik. Tunggu, tetapi apa yang dipegang Star?“Lepas! Aku bakal tuntut kamu! Kamu pikir aku nggak bakal speak up setelah barusan kamu sengaja pegang bagian tubuh sensitifku?!” Bentakan Maresha membuat suasana kian panas. Dia membebaskan tubuhnya sendiri setelah mendapatkan keseimbangan yang sempurna.Stacya menutup mulutnya yang menganga. Matanya terlihat makin besar saat dia melotot tak percaya. “Johnny, bilang sama gue kalau itu nggak benar! Jelas-jelas itu fitnah! Lo harus cari bukti kalau Star nggak bersalah, John. Please ….” Dia meringis makin hebat.[Cia, tolong kasih gue waktu buat memikirkan ini. Gue pun syok banget. Kita ketemu besok di Kopi Om
NAHASNYA, INI BUKAN MIMPI. “Selama ini gue sudah terlalu banyak menyusahkan lo ya, Bang? Sampai lo memutuskan buat meninggalkan gue di masa sulit begini. Mungkin gue nggak sadar sudah bikin lo sesak karena harus menjamin nama gue selalu ada di setiap tempat. Itu karena gue cuma percaya sama lo. Nggak ada satu orang pun yang sabar kalau ambisi gue lagi memuncak,” ungkap Star. Tangannya yang menggantung di lengan Johnny setara dengan harapan agar manajernya itu berubah pikiran. “Gue mohon, Bang Johnny. Temani sampai gue nggak sanggup buat berkarya lagi,” pintanya dengan sangat. Johnny termangu, dia merasakan ketulusan Star menjalar hingga ke inti jantung hatinya. Bagi Johnny, sebelas tahun mendampingi Star bukan hanya membuktikan pencapaian sebagai manajer, tetapi juga menjadi saudara yang selalu ada tiap saat. Namun sekarang, Johnny sendiri tidak yakin bisa membuktikan hal itu. Dia masih mengunci mulutnya, membiarkan Star mendapat jawaban dari bola ma
ZEEANA MENGAMBIL POSISI di samping Stacya, tangannya yang agak berotot terulur mendekap tubuh perempuan itu. “Walau gue nggak dekat sama Star, gue percaya dia anak baik dan nggak mungkin berbuat kayak gitu. Jangan khawatir, Cia. Star punya manajer yang bisa menguatkan dia buat melewati masalah ini.” Kemudian, mata Zee tersalur pada Johnny. “Iya, kan, John?”Johnny terbatuk-batuk dan menghindari kontak mata dengan Zee. Mujurnya, Stacya menarik diri dari pundak Zee. Setidaknya, sekarang titik fokus bukan tertuju pada lelaki yang sedang salah tingkah itu. Meski untuk beberapa waktu, Stacya membuat Zee bingung dengan gerakan tubuh yang melambangkan kegugupan.Stacya berhenti memainkan cincin tunangannya yang bermodel solitaire. Dia menegakkan badan dan mengangkat dagunya. “Johnny bukan manajer Aa lagi. Dia berhenti karena diminta mertuanya buat urus restoran keluarga mereka.”Zee mendongkol, dia mengerucutkan bibi
“PAK WILLEM YANG TERHORMAT, kira-kira apa solusi untuk mengatasi masalah artis yang bernaung di agensi milik Bapak?” tembak Star, berusaha bersikap tenang dan tegas.[Keep silent, don’t make any statement. We should not feel stressed. Masalah ini akan tenggelam seiring berjalannya waktu. Get it, Staryan Kohler?]Bukan perkara dalam satu kalimat dicampur oleh kosakata dua bahasa yang berbeda. Sumpah, Star sudah kenyang dengan aksen Amerika dari lidah Presiden Direktur ONE Entertainment itu. Huh, Star mengacak-acak rambut yang tertata seadanya. Dia hampir gila mendengar jawaban seseorang yang selama ini jadi panutan para entertainer. Sesalnya, dia jadi salah satu entertainer itu. Dulu. Sekarang? Ogah!Star bangkit dari duduk, memindai tingkah Bi Inah yang berlagak kerja padahal sedang menguping. Kaki dengan betis berbulu cukup lebat itu melangkah menuju kamar. “Sorry not sorry, itu sama saja membenarkan tuduhan Maresha terh