HAMPIR SAJA, gelas yang dipeluk tangan Stacya terjun bebas ke lantai. Beruntung, perkataan Ario tadi benar-benar meresap di alam bawah sadarnya. Lebih cepat lebih baik. Dia sigap menahan apa yang dipegangnya meski sempat membeku sepersekian detik. Sementara itu, harapan Zee tentang keputusan Stacya untuk kembali aktif menerima endorse, sirna. Tidak ada tanda-tanda keceriaan!
“Lo tahu hari pernikahan gue sama Ario makin dekat, kan?” Stacya berancang duduk berhadapan dengan Zee, beberapa sentimeter lagi gelas di tangannya mendarat di meja berbentuk persegi panjang.
Gesit, Zee langsung menyambar gelas itu dari Stacya lalu meminumnya hingga seperempat. “Iya, gue tahulah. Terus?” potongnya, rambut bergelombang sepanjang leher itu bergoyang begitu dia memiringkan kepala.
“Gue punya perjanjian pra nikah sama Ario. Kalau gue sudah jadi istrinya, gue harus berhenti dari dunia keartisan dan ikut dia dinas di Bali.” Terpaksa Stacya mengembangkan dadanya untuk menunjukkan betapa besar kepercayaan dirinya sekarang.
Sayang, usaha Stacya tidak membuat Zee mencerna arti ucapannya dengan baik. Klang! Gelas yang beradu dengan meja kaca berkolaborasi dengan tawa renyah Zee. “Gue tahu, lo merasa berat buat pergi dari dunia yang Sudah membesarkan nama lo. Tapi halo, Cia! Lo nggak usah putus asa begitu. Lo masih bisa jadi selebgram, kok. Gampanglah, gue bisa atur kalau urusan endorsement jarak jauh. Atau lo mau gue ikut tinggal di Bali?”
Sekilas Stacya mengusap dahi hingga ke anak rambutnya, bola mata yang berputar frustrasi jatuh pada sebuah lemari berisi piala berbagai macam penghargaan bergengsi. “Zee, Ario tersinggung kalau gue nggak sepenuhnya fokus ke dia. Apalagi kalau gue masih terima endorse?”
Bug!
Rasanya sakit walau hanya dipukul pakai omongan. Hingga pukulan itu mampu mendorong napas Zee keluar lewat mulutnya yang kini menganga. Lima detik sudah cukup baginya untuk memahami efek dari keputusan Stacya. Diberhentikan, tidak lagi dibutuhkan, atau kasarnya ditendang.
Mengangguk-angguk berlagak setuju. Senyum palsu. Topeng ketegaran. Zee mungkin akan jadi orang paling menakutkan sekarang. “Gue bersumpah, nggak akan ninggalin mereka dalam keadaan apapun!” Zee mengangkat jari telunjuknya, mengulang apa yang Stacya katakan untuk para penggemarnya. “Bodoh, ya. Gue percaya sama sumpah lo delapan tahun lalu.” sindir Zee, bangkit dari sofa nyaman yang kini berganti nama jadi sofa panas.
Pupil mata Stacya melebar. Dia tidak bisa lebih lama lagi mendongak melihat sahabatnya mengambil ancang-ancang pergi. “Zee, please. Hargai keputusan gue. Hubungan pekerjaan kita memang sudah berakhir, tapi enggak dengan persahabatan kita.” Sesungguhnya, dia sedang mengalihkan pembicaraan.
Mudah pasang namun mudah surut. Emosi yang bergulung-gulung akhirnya jatuh dan menghambur. Satu, dua, tiga. Zee luluh setelah mencoba menenangkan diri dengan berhitung seperti saran dari artikel yang pernah dia baca. Sebagai manajer yang dipecat tiba-tiba, dia berhak marah. Akan tetapi, ketika sahabatnya telah memutuskan pilihan hidupnya, tindakan yang tepat adalah mendukung dengan sepenuh hati.
“Asal lo bahagia, Cia.” Zee membuang muka lalu berangsur meninggalkan Stacya.
Sorry, Zee. Bahu Stacya mengecil ketika melihat punggung Zee makin jauh dibawa langkahnya yang tegas. Dia baru sadar kalau kedatangan Zee ke sini bukan hanya untuk menuruti panggilannya. Melainkan ada sebuah berita yang ingin dia sampaikan.
“Zee!” panggil Stacya, lehernya menjenjang sempurna.
Yang dipanggil merasa tergelitik, Zee memutar boots hitamnya yang kekar ke arah Stacya. Lucu juga mimik wajah artis yang sedang menahan kata-kata di balik lidahnya. Tidak jauh berbeda dengan Zee yang mengurung senyum di balik wajahnya yang mengerut.
“Akhirnya, adik lo punya pacar juga,” kicaunya, merasa yakin dengan kabar itu. Dan, entah mengapa dia menarik kedua sudut bibirnya ketika membahas Star. Untung hanya sedikit. “Tapi kayaknya, sekarang mereka lagi berantem,” timpalnya, tertawa setan.
Alih-alih mengambil aksi berselancar di internet mencari tahu kabar terkini tentang Star, Stacya malah tersenyum dengan bibir rapat seraya memalingkan wajah. Aneh, seperti melihat hantu saja. Kenapa, sih? Zee mengangkat tangannya yang terbuka lalu berbalik badan.
Sekarang Zee tahu mengapa Stacya bereaksi demikian.
PERSETAN dengan hari ini, yang out of the box-nya keterlaluan! Terpaksa Staryan memejamkan mata di sepanjang perjalanan pulang dari gedung Chatalk menuju kediamannya di The Pavillion. Hal yang terjadi ketika syuting interviu—yang diadakan perusahaan aplikasi jejaring sosial Korea Selatan—berlangsung tadi siang terus bergelayutan di cabang-cabang pikirannya. “Maresha—dasar air mata buaya!” Star menghantamkan kepalanya ke sandaran jok mobil. “Bang Johnny—pengkhianat kelas kakap lo!” ditonjoknya bagian belakang kursi mobil pengemudi dari belakang. Bayu, supir pribadi Star, langsung tersentak dan mengusap dadanya yang tipis. Bibir hitamnya komat-kamit merapal kalimat-kalimat suci berbahasa Arab. Lelaki berdarah Sunda itu memeriksa keadaan sang majikan lewat kaca tengah. Bahaya, ini tidak betul. “Hampura, Kang. Aa lagi kebakaran janggut.” Refleks Star meminta maaf dalam bahasa Sunda karena sedang bingung tidak keruan. “Tapi ulah ngomong ka
[H-HALO, CIA.]Stacya telah beralih ke kamarnya. Dia merasa lega, akhirnya Johnny mengangkat panggilan telepon yang sudah ke sekian kali dia lakukan. Gendang telinganya hampir pecah mendengar nada sambung yang terus-menerus diperdengarkan sebelum panggilan itu terjawab.“Johnny, tolong jawab dengan jujur ya. Sebenarnya, apa yang terjadi sama Aa? Kenapa sikapnya aneh banget? Dia nggak pernah kayak gini sebelumnya.” Stacya menggelengkan kepala.[Aa dalam masalah besar, Cia. T-tapi gue—]Johnny yang berbicara terbata-bata membuat Stacya geregetan. Langsung saja dia memotong kalimat lelaki itu dengan decak sinisnya. "Masalah besar? Ambil sikap, dong. Lo itu manajernya Aa. Gue nggak mau tahu, ya, pokoknya—”[Gue bisa jelaskan, Cia. Jadi gini ….]Tadi siang, di salah satu studio di gedung Chatalk, Star masuk ke dalam bingkai acara interviu yang sebentar lagi akan dimulai. Sambil menunggu Maresh
“AW!” Maresha berteriak heboh.Kejadian yang tidak diinginkan Star terjadi. Bangku itu hampir menyungkurkan Maresha. Dengan cekatan Star menopang tubuh Maresha yang menekan dadanya, dia menahan tangannya di tulang rusuk perempuan yang kini melotot panik. Tunggu, tetapi apa yang dipegang Star?“Lepas! Aku bakal tuntut kamu! Kamu pikir aku nggak bakal speak up setelah barusan kamu sengaja pegang bagian tubuh sensitifku?!” Bentakan Maresha membuat suasana kian panas. Dia membebaskan tubuhnya sendiri setelah mendapatkan keseimbangan yang sempurna.Stacya menutup mulutnya yang menganga. Matanya terlihat makin besar saat dia melotot tak percaya. “Johnny, bilang sama gue kalau itu nggak benar! Jelas-jelas itu fitnah! Lo harus cari bukti kalau Star nggak bersalah, John. Please ….” Dia meringis makin hebat.[Cia, tolong kasih gue waktu buat memikirkan ini. Gue pun syok banget. Kita ketemu besok di Kopi Om
NAHASNYA, INI BUKAN MIMPI. “Selama ini gue sudah terlalu banyak menyusahkan lo ya, Bang? Sampai lo memutuskan buat meninggalkan gue di masa sulit begini. Mungkin gue nggak sadar sudah bikin lo sesak karena harus menjamin nama gue selalu ada di setiap tempat. Itu karena gue cuma percaya sama lo. Nggak ada satu orang pun yang sabar kalau ambisi gue lagi memuncak,” ungkap Star. Tangannya yang menggantung di lengan Johnny setara dengan harapan agar manajernya itu berubah pikiran. “Gue mohon, Bang Johnny. Temani sampai gue nggak sanggup buat berkarya lagi,” pintanya dengan sangat. Johnny termangu, dia merasakan ketulusan Star menjalar hingga ke inti jantung hatinya. Bagi Johnny, sebelas tahun mendampingi Star bukan hanya membuktikan pencapaian sebagai manajer, tetapi juga menjadi saudara yang selalu ada tiap saat. Namun sekarang, Johnny sendiri tidak yakin bisa membuktikan hal itu. Dia masih mengunci mulutnya, membiarkan Star mendapat jawaban dari bola ma
ZEEANA MENGAMBIL POSISI di samping Stacya, tangannya yang agak berotot terulur mendekap tubuh perempuan itu. “Walau gue nggak dekat sama Star, gue percaya dia anak baik dan nggak mungkin berbuat kayak gitu. Jangan khawatir, Cia. Star punya manajer yang bisa menguatkan dia buat melewati masalah ini.” Kemudian, mata Zee tersalur pada Johnny. “Iya, kan, John?”Johnny terbatuk-batuk dan menghindari kontak mata dengan Zee. Mujurnya, Stacya menarik diri dari pundak Zee. Setidaknya, sekarang titik fokus bukan tertuju pada lelaki yang sedang salah tingkah itu. Meski untuk beberapa waktu, Stacya membuat Zee bingung dengan gerakan tubuh yang melambangkan kegugupan.Stacya berhenti memainkan cincin tunangannya yang bermodel solitaire. Dia menegakkan badan dan mengangkat dagunya. “Johnny bukan manajer Aa lagi. Dia berhenti karena diminta mertuanya buat urus restoran keluarga mereka.”Zee mendongkol, dia mengerucutkan bibi
“PAK WILLEM YANG TERHORMAT, kira-kira apa solusi untuk mengatasi masalah artis yang bernaung di agensi milik Bapak?” tembak Star, berusaha bersikap tenang dan tegas.[Keep silent, don’t make any statement. We should not feel stressed. Masalah ini akan tenggelam seiring berjalannya waktu. Get it, Staryan Kohler?]Bukan perkara dalam satu kalimat dicampur oleh kosakata dua bahasa yang berbeda. Sumpah, Star sudah kenyang dengan aksen Amerika dari lidah Presiden Direktur ONE Entertainment itu. Huh, Star mengacak-acak rambut yang tertata seadanya. Dia hampir gila mendengar jawaban seseorang yang selama ini jadi panutan para entertainer. Sesalnya, dia jadi salah satu entertainer itu. Dulu. Sekarang? Ogah!Star bangkit dari duduk, memindai tingkah Bi Inah yang berlagak kerja padahal sedang menguping. Kaki dengan betis berbulu cukup lebat itu melangkah menuju kamar. “Sorry not sorry, itu sama saja membenarkan tuduhan Maresha terh
ENERGI STACYA seperti terisi penuh dalam waktu satu menit. Perempuan itu tidak pikir panjang untuk membebaskan diri dari pelukan Zee, ketika dia mendengar ucapan sahabatnya yang mengandung makna positif. Bibir tebalnya gemetar, hanya binar matanya yang kian menyala.Zee mengulas senyum ikhlas. “Iya, gue setuju.”“Terima kasih, Tuhan. Akhirnya hati Zee luluh juga.” Johnny menyatukan kedua telapak tangannya sambil memejamkan mata. Dahsyat suaranya tidak ada beda dengan halilintar yang berpotensi membuat orang lain terkena serangan jantung.Setelah mengucapkan kata terima kasih dengan amat tulus tanpa menunjukkan gestur yang berlebihan seperti Johnny, dering ponsel Stacya berbunyi. Dia berdecak lidah saat melihat nama Bi Inah terpampang di layar ponselnya. Sementara Zee, orang yang dia anggap sebagai dewi penolong, mengamatinya dengan banyak arti dan siap melontarkan sesuatu.“Kapan kita mau kabarin Star?
SEMUA MATA MENGIKUTI ke mana arah kaki Star melangkah. Lelaki perokok berat itu tentu sedang mencari benda yang paling dia butuhkan sekarang, yaitu asbak. Dia mengambil dua langkah ke sebuah meja di sisi kirinya. “Sebelum Teteh kasih tahu, tolong keluarkan dulu orang berinisial P dari sini. Sorry, maksudnya dari rumah ini,” sindir Star, badannya agak membungkuk sambil menutulkan keramik putih berbentuk bundar dengan ujung lintingan tembakau.Tidak ada satu pun orang yang memiliki awalan huruf P di nama mereka. Wajar bila mereka mengangkat bahu kebingungan sambil bertatap-tatapan. Di sisi lain, Zee berprasangka buruk kalau orang yang dimaksud Star adalah dirinya. Siapa lagi, hanya dia manusia haram di mata bintang seluruh layar itu.Star setengah tersenyum. “Pengkhianat,” sebutnya gamblang, mata judesnya jatuh pada wajah Johnny yang tampak pucat. Sekarang dia pusat perhatian empat pasang mata yang menatap kikuk. Namun tidak munaf