PERSETAN dengan hari ini, yang out of the box-nya keterlaluan!
Terpaksa Staryan memejamkan mata di sepanjang perjalanan pulang dari gedung Chatalk menuju kediamannya di The Pavillion. Hal yang terjadi ketika syuting interviu—yang diadakan perusahaan aplikasi jejaring sosial Korea Selatan—berlangsung tadi siang terus bergelayutan di cabang-cabang pikirannya.
“Maresha—dasar air mata buaya!” Star menghantamkan kepalanya ke sandaran jok mobil. “Bang Johnny—pengkhianat kelas kakap lo!” ditonjoknya bagian belakang kursi mobil pengemudi dari belakang.
Bayu, supir pribadi Star, langsung tersentak dan mengusap dadanya yang tipis. Bibir hitamnya komat-kamit merapal kalimat-kalimat suci berbahasa Arab. Lelaki berdarah Sunda itu memeriksa keadaan sang majikan lewat kaca tengah. Bahaya, ini tidak betul.
“Hampura, Kang. Aa lagi kebakaran janggut.” Refleks Star meminta maaf dalam bahasa Sunda karena sedang bingung tidak keruan. “Tapi ulah ngomong ka Teh Cia, nya.” Dia mewanti-wanti, mengingat Bayu adalah orang yang polos dan suka ceplas-ceplos.
Si alpha hydrae telah terparkir di carport. Star menyatukan napasnya bersama udara dari alat penyejuk. Matanya yang sayu akhirnya terbuka, tampak garis-garis tipis berwarna merah di bagian putihnya. Dia mengerjap pelan, kembali memikirkan nasib karir keartisannya yang berada di ambang kehancuran. Tidak ada jalan keluar yang bisa dia temukan dalam keadaan kacau balau seperti sekarang.
“Kalau Aa masih pengin di sini, nggak apa-apa. Kang Bayu temani.” Pemuda dengan logat Sunda yang kental memantau majikannya lewat spion dalam. Kasihan, batinnya.
Kedua tangan Star bersedekap, mengurut wajahnya dari ujung dahi hingga sepanjang tulang hidungnya yang lancip. “Nuhun, Kang. Aa turun sekarang.”
Pintu mobil bergeser saat Star menahan telunjuknya sejenak di atas tombol slide door switch. Kaki beralaskan sepatu kets hitam dengan tali oranye itu memijak lantai beton carport dan berjalan lesu ke arah teras berkanopi cor.
“Itu jeep punya siapa?” gumam Star. Alis tebalnya hampir menyatu ketika dia mengamati mobil yang bersanding di sisi kiri mobilnya, sambil memasukkan sandi pada alat pengaman pintu dengan tempo lambat.
Dengan sisa tenaga Star mendorong pintu kayu yang dipenuhi desain lingkaran, memasuki area welcome room yang riuh rendah oleh percakapan samar antara dua wanita—salah satunya adalah Stacya. Dia melewati pintu ekspanda yang membatasi ruang tamu dan ruang keluarga. Ada rencana untuk mengabaikan sang kakak dan tamunya yang belum terlihat di pelupuk mata. Tidak peduli akan dibanjiri pertanyaan, dia hanya ingin cepat masuk ke dalam kamarnya.
“Akhirnya, adik lo punya pacar juga.”
“Tapi kayaknya, sekarang mereka lagi berantem.”
Star mendadak mematung ketika berhadapan dengan seorang perempuan yang paling tidak ingin dia lihat. Ditambah kabar burung yang seratus persen salah. Sumpah, tawa bak iblis itu ingin sekali dia musnahkan.
“Star ….”
Zeeana Hernanda Tansy, pemilik suara halus yang terdengar bergetar itu memanasi telinga Star secara sempurna. Wajah Star memerah, ekspresi paling kecut tergambar alami. Sangkalan yang ada di kepalanya hanya bertengger di lidahnya saja. Dia mengesah, matanya yang refleks menatap tajam seketika menghindar. Sial! Rasa malu menguasai kemarahannya.
“Dia dengar nggak?” Zee berbisik, memutar jari telunjuk di samping telinganya.
Stacya mencondongkan badan. “Dengarlah. Suara lo kencang banget, gila!” jawabnya pelan, lalu mendongak begitu Star mengentak-entakkan kaki di anak tangga. “What happened to you? Tell me.” Sumpah, itu suara paling nyaring yang pernah ada.
Lelaki yang biasanya menyebarkan virus kebahagiaan itu masuk ke dalam kamar dan membanting pintu, sebelum menjadi tuli akibat teriakan Stacya yang mungkin akan mengudara lagi. Dia segera meninju samsak yang menggantung di bagian sudut ruangan dengan pukulan kuat dan bertubi-tubi.
"Happy bad day!"
Pekikan suara berat Star memenuhi ruang kamar yang sunyi senyap. Napasnya terputus-putus di balik dada bidang berbalut kaus abu-abu polos yang naik-turun tanpa jeda. Artis yang pernah membintangi iklan merek sampo pria itu menjambak rambutnya sekuat tenaga.
“Everybody sucks!” Star membanting tubuhnya di tempat tidur bergaya minimalis. Dalam sekejap, sprei serta satu paket bantal dan guling jadi berantakan.
Di balik pintu kamar Star, Stacya berdiri sambil menempelkan telinganya di benda keras dan tinggi berwarna cokelat tua. Dia menggigiti bibir bawahnya sebagai tanda kecemasan. Ada yang salah dari adik lelakinya. Dan, dia tidak boleh tinggal diam.
[H-HALO, CIA.]Stacya telah beralih ke kamarnya. Dia merasa lega, akhirnya Johnny mengangkat panggilan telepon yang sudah ke sekian kali dia lakukan. Gendang telinganya hampir pecah mendengar nada sambung yang terus-menerus diperdengarkan sebelum panggilan itu terjawab.“Johnny, tolong jawab dengan jujur ya. Sebenarnya, apa yang terjadi sama Aa? Kenapa sikapnya aneh banget? Dia nggak pernah kayak gini sebelumnya.” Stacya menggelengkan kepala.[Aa dalam masalah besar, Cia. T-tapi gue—]Johnny yang berbicara terbata-bata membuat Stacya geregetan. Langsung saja dia memotong kalimat lelaki itu dengan decak sinisnya. "Masalah besar? Ambil sikap, dong. Lo itu manajernya Aa. Gue nggak mau tahu, ya, pokoknya—”[Gue bisa jelaskan, Cia. Jadi gini ….]Tadi siang, di salah satu studio di gedung Chatalk, Star masuk ke dalam bingkai acara interviu yang sebentar lagi akan dimulai. Sambil menunggu Maresh
“AW!” Maresha berteriak heboh.Kejadian yang tidak diinginkan Star terjadi. Bangku itu hampir menyungkurkan Maresha. Dengan cekatan Star menopang tubuh Maresha yang menekan dadanya, dia menahan tangannya di tulang rusuk perempuan yang kini melotot panik. Tunggu, tetapi apa yang dipegang Star?“Lepas! Aku bakal tuntut kamu! Kamu pikir aku nggak bakal speak up setelah barusan kamu sengaja pegang bagian tubuh sensitifku?!” Bentakan Maresha membuat suasana kian panas. Dia membebaskan tubuhnya sendiri setelah mendapatkan keseimbangan yang sempurna.Stacya menutup mulutnya yang menganga. Matanya terlihat makin besar saat dia melotot tak percaya. “Johnny, bilang sama gue kalau itu nggak benar! Jelas-jelas itu fitnah! Lo harus cari bukti kalau Star nggak bersalah, John. Please ….” Dia meringis makin hebat.[Cia, tolong kasih gue waktu buat memikirkan ini. Gue pun syok banget. Kita ketemu besok di Kopi Om
NAHASNYA, INI BUKAN MIMPI. “Selama ini gue sudah terlalu banyak menyusahkan lo ya, Bang? Sampai lo memutuskan buat meninggalkan gue di masa sulit begini. Mungkin gue nggak sadar sudah bikin lo sesak karena harus menjamin nama gue selalu ada di setiap tempat. Itu karena gue cuma percaya sama lo. Nggak ada satu orang pun yang sabar kalau ambisi gue lagi memuncak,” ungkap Star. Tangannya yang menggantung di lengan Johnny setara dengan harapan agar manajernya itu berubah pikiran. “Gue mohon, Bang Johnny. Temani sampai gue nggak sanggup buat berkarya lagi,” pintanya dengan sangat. Johnny termangu, dia merasakan ketulusan Star menjalar hingga ke inti jantung hatinya. Bagi Johnny, sebelas tahun mendampingi Star bukan hanya membuktikan pencapaian sebagai manajer, tetapi juga menjadi saudara yang selalu ada tiap saat. Namun sekarang, Johnny sendiri tidak yakin bisa membuktikan hal itu. Dia masih mengunci mulutnya, membiarkan Star mendapat jawaban dari bola ma
ZEEANA MENGAMBIL POSISI di samping Stacya, tangannya yang agak berotot terulur mendekap tubuh perempuan itu. “Walau gue nggak dekat sama Star, gue percaya dia anak baik dan nggak mungkin berbuat kayak gitu. Jangan khawatir, Cia. Star punya manajer yang bisa menguatkan dia buat melewati masalah ini.” Kemudian, mata Zee tersalur pada Johnny. “Iya, kan, John?”Johnny terbatuk-batuk dan menghindari kontak mata dengan Zee. Mujurnya, Stacya menarik diri dari pundak Zee. Setidaknya, sekarang titik fokus bukan tertuju pada lelaki yang sedang salah tingkah itu. Meski untuk beberapa waktu, Stacya membuat Zee bingung dengan gerakan tubuh yang melambangkan kegugupan.Stacya berhenti memainkan cincin tunangannya yang bermodel solitaire. Dia menegakkan badan dan mengangkat dagunya. “Johnny bukan manajer Aa lagi. Dia berhenti karena diminta mertuanya buat urus restoran keluarga mereka.”Zee mendongkol, dia mengerucutkan bibi
“PAK WILLEM YANG TERHORMAT, kira-kira apa solusi untuk mengatasi masalah artis yang bernaung di agensi milik Bapak?” tembak Star, berusaha bersikap tenang dan tegas.[Keep silent, don’t make any statement. We should not feel stressed. Masalah ini akan tenggelam seiring berjalannya waktu. Get it, Staryan Kohler?]Bukan perkara dalam satu kalimat dicampur oleh kosakata dua bahasa yang berbeda. Sumpah, Star sudah kenyang dengan aksen Amerika dari lidah Presiden Direktur ONE Entertainment itu. Huh, Star mengacak-acak rambut yang tertata seadanya. Dia hampir gila mendengar jawaban seseorang yang selama ini jadi panutan para entertainer. Sesalnya, dia jadi salah satu entertainer itu. Dulu. Sekarang? Ogah!Star bangkit dari duduk, memindai tingkah Bi Inah yang berlagak kerja padahal sedang menguping. Kaki dengan betis berbulu cukup lebat itu melangkah menuju kamar. “Sorry not sorry, itu sama saja membenarkan tuduhan Maresha terh
ENERGI STACYA seperti terisi penuh dalam waktu satu menit. Perempuan itu tidak pikir panjang untuk membebaskan diri dari pelukan Zee, ketika dia mendengar ucapan sahabatnya yang mengandung makna positif. Bibir tebalnya gemetar, hanya binar matanya yang kian menyala.Zee mengulas senyum ikhlas. “Iya, gue setuju.”“Terima kasih, Tuhan. Akhirnya hati Zee luluh juga.” Johnny menyatukan kedua telapak tangannya sambil memejamkan mata. Dahsyat suaranya tidak ada beda dengan halilintar yang berpotensi membuat orang lain terkena serangan jantung.Setelah mengucapkan kata terima kasih dengan amat tulus tanpa menunjukkan gestur yang berlebihan seperti Johnny, dering ponsel Stacya berbunyi. Dia berdecak lidah saat melihat nama Bi Inah terpampang di layar ponselnya. Sementara Zee, orang yang dia anggap sebagai dewi penolong, mengamatinya dengan banyak arti dan siap melontarkan sesuatu.“Kapan kita mau kabarin Star?
SEMUA MATA MENGIKUTI ke mana arah kaki Star melangkah. Lelaki perokok berat itu tentu sedang mencari benda yang paling dia butuhkan sekarang, yaitu asbak. Dia mengambil dua langkah ke sebuah meja di sisi kirinya. “Sebelum Teteh kasih tahu, tolong keluarkan dulu orang berinisial P dari sini. Sorry, maksudnya dari rumah ini,” sindir Star, badannya agak membungkuk sambil menutulkan keramik putih berbentuk bundar dengan ujung lintingan tembakau.Tidak ada satu pun orang yang memiliki awalan huruf P di nama mereka. Wajar bila mereka mengangkat bahu kebingungan sambil bertatap-tatapan. Di sisi lain, Zee berprasangka buruk kalau orang yang dimaksud Star adalah dirinya. Siapa lagi, hanya dia manusia haram di mata bintang seluruh layar itu.Star setengah tersenyum. “Pengkhianat,” sebutnya gamblang, mata judesnya jatuh pada wajah Johnny yang tampak pucat. Sekarang dia pusat perhatian empat pasang mata yang menatap kikuk. Namun tidak munaf
Kau dan aku harus berani memulai Tuk wujudkan apa yang kita impikan Kau dan aku harus taklukkan rintangan Gigih tuk berjuang dan yakin jadi yang terdepan Jangan hiraukan mereka yang jatuhkan semua usaha kita Tetap tegar dan terus berlari meski dipandang sebelah mata STARYAN REMAJA menyetop aksi energiknya secara spontan. Dari atas undakan beton atap rumah, bintang belia itu menatap kagok seorang perempuan yang mendongak mengamatinya. Dia menurunkan ponsel yang dijadikan sebagai mikrofon dalam konser kecil di bawah stadion langit malam. Indra pendengarannya terjejal oleh dua sumber suara, musik instrumental yang mengalir lewat kabel earphone-nya dan bunyi tepuk tangan perempuan berkaus sweter model cold shoulder yang tidak dia kenal. “Keren! Lagu baru lo, ya?” tebak perempuan itu sok akrab, kaki yang dibungkus celana jin robek-robek itu melangkah mantap. Acuh tak acuh, Star memilih duduk menekuk lutut me