ZEEANA MENGAMBIL POSISI di samping Stacya, tangannya yang agak berotot terulur mendekap tubuh perempuan itu. “Walau gue nggak dekat sama Star, gue percaya dia anak baik dan nggak mungkin berbuat kayak gitu. Jangan khawatir, Cia. Star punya manajer yang bisa menguatkan dia buat melewati masalah ini.” Kemudian, mata Zee tersalur pada Johnny. “Iya, kan, John?”
Johnny terbatuk-batuk dan menghindari kontak mata dengan Zee. Mujurnya, Stacya menarik diri dari pundak Zee. Setidaknya, sekarang titik fokus bukan tertuju pada lelaki yang sedang salah tingkah itu. Meski untuk beberapa waktu, Stacya membuat Zee bingung dengan gerakan tubuh yang melambangkan kegugupan.
Stacya berhenti memainkan cincin tunangannya yang bermodel solitaire. Dia menegakkan badan dan mengangkat dagunya. “Johnny bukan manajer Aa lagi. Dia berhenti karena diminta mertuanya buat urus restoran keluarga mereka.”
Zee mendongkol, dia mengerucutkan bibi
“PAK WILLEM YANG TERHORMAT, kira-kira apa solusi untuk mengatasi masalah artis yang bernaung di agensi milik Bapak?” tembak Star, berusaha bersikap tenang dan tegas.[Keep silent, don’t make any statement. We should not feel stressed. Masalah ini akan tenggelam seiring berjalannya waktu. Get it, Staryan Kohler?]Bukan perkara dalam satu kalimat dicampur oleh kosakata dua bahasa yang berbeda. Sumpah, Star sudah kenyang dengan aksen Amerika dari lidah Presiden Direktur ONE Entertainment itu. Huh, Star mengacak-acak rambut yang tertata seadanya. Dia hampir gila mendengar jawaban seseorang yang selama ini jadi panutan para entertainer. Sesalnya, dia jadi salah satu entertainer itu. Dulu. Sekarang? Ogah!Star bangkit dari duduk, memindai tingkah Bi Inah yang berlagak kerja padahal sedang menguping. Kaki dengan betis berbulu cukup lebat itu melangkah menuju kamar. “Sorry not sorry, itu sama saja membenarkan tuduhan Maresha terh
ENERGI STACYA seperti terisi penuh dalam waktu satu menit. Perempuan itu tidak pikir panjang untuk membebaskan diri dari pelukan Zee, ketika dia mendengar ucapan sahabatnya yang mengandung makna positif. Bibir tebalnya gemetar, hanya binar matanya yang kian menyala.Zee mengulas senyum ikhlas. “Iya, gue setuju.”“Terima kasih, Tuhan. Akhirnya hati Zee luluh juga.” Johnny menyatukan kedua telapak tangannya sambil memejamkan mata. Dahsyat suaranya tidak ada beda dengan halilintar yang berpotensi membuat orang lain terkena serangan jantung.Setelah mengucapkan kata terima kasih dengan amat tulus tanpa menunjukkan gestur yang berlebihan seperti Johnny, dering ponsel Stacya berbunyi. Dia berdecak lidah saat melihat nama Bi Inah terpampang di layar ponselnya. Sementara Zee, orang yang dia anggap sebagai dewi penolong, mengamatinya dengan banyak arti dan siap melontarkan sesuatu.“Kapan kita mau kabarin Star?
SEMUA MATA MENGIKUTI ke mana arah kaki Star melangkah. Lelaki perokok berat itu tentu sedang mencari benda yang paling dia butuhkan sekarang, yaitu asbak. Dia mengambil dua langkah ke sebuah meja di sisi kirinya. “Sebelum Teteh kasih tahu, tolong keluarkan dulu orang berinisial P dari sini. Sorry, maksudnya dari rumah ini,” sindir Star, badannya agak membungkuk sambil menutulkan keramik putih berbentuk bundar dengan ujung lintingan tembakau.Tidak ada satu pun orang yang memiliki awalan huruf P di nama mereka. Wajar bila mereka mengangkat bahu kebingungan sambil bertatap-tatapan. Di sisi lain, Zee berprasangka buruk kalau orang yang dimaksud Star adalah dirinya. Siapa lagi, hanya dia manusia haram di mata bintang seluruh layar itu.Star setengah tersenyum. “Pengkhianat,” sebutnya gamblang, mata judesnya jatuh pada wajah Johnny yang tampak pucat. Sekarang dia pusat perhatian empat pasang mata yang menatap kikuk. Namun tidak munaf
Kau dan aku harus berani memulai Tuk wujudkan apa yang kita impikan Kau dan aku harus taklukkan rintangan Gigih tuk berjuang dan yakin jadi yang terdepan Jangan hiraukan mereka yang jatuhkan semua usaha kita Tetap tegar dan terus berlari meski dipandang sebelah mata STARYAN REMAJA menyetop aksi energiknya secara spontan. Dari atas undakan beton atap rumah, bintang belia itu menatap kagok seorang perempuan yang mendongak mengamatinya. Dia menurunkan ponsel yang dijadikan sebagai mikrofon dalam konser kecil di bawah stadion langit malam. Indra pendengarannya terjejal oleh dua sumber suara, musik instrumental yang mengalir lewat kabel earphone-nya dan bunyi tepuk tangan perempuan berkaus sweter model cold shoulder yang tidak dia kenal. “Keren! Lagu baru lo, ya?” tebak perempuan itu sok akrab, kaki yang dibungkus celana jin robek-robek itu melangkah mantap. Acuh tak acuh, Star memilih duduk menekuk lutut me
“NGGAK MUNGKIN si mbak tomboi bolos datang ke rumah ini.” Staryan menggerutu saat dia baru menjejaki ruang tamu sepulang manggung di salah satu acara musik pagi. Dalam setiap langkah gontai menuju ruang keluarga, Star memikirkan sikap dan ucapannya semalam di atap, yang membikin Zee membiarkannya pergi lebih dahulu dan tidak membalas kembali. “Nah! Itu adik lelakiku. Habis manggung di ….,” seru Stacya dengan bangga, sambil melambaikan tangan. Namun akhirnya, kalimatnya jadi menggantung dan berstatus menunggu sambungan kata dari Star. Star mengedarkan penglihatannya sekelebat pada wartawati dan kamerawan yang memandangnya berseri-seri. Alih-alih menjawab, dia memilih menggeser sorot matanya ke arah Zee, yang duduk bersandar sambil melipat tangan dan kaki. Sial, diam-diam perempuan itu malah menunjukkan ekspresi tengil. “Aa habis manggung di Cibubur Town Square,” sambung Star ramah, walau telat. Aneh, mengapa dua orang berseragam itu te
“AJE GILE! Perkara poster Selena Gomez dan kolor pisang legendaris, lo sama Mbak itu cuek-cuekan selama bertahun-tahun. Ngeri, woi!” ungkit Fero saat memukuli meja—aksesoris kolam renang—sembari tertawa terpingkal-pingkal. “Gue lupa, Fero orangnya berisik. Ngapain juga gue cerita sama si cumi.” Suara Staryan tidak jelas, tertahan di dalam mulut. Ajaib, muka Fero mendadak berubah serius. “Terus, janji masukin nama dia di liner notes, jadi?” tanyanya, berujung ketawa setan. Profil singkat, Fero Al Barra, usia 23 tahun, teman seperhobian mobil tua Star. Tubuhnya kekar alami dengan tinggi 175 senti meter. Fitur wajah khas keturunan Arab dengan kulit yang tidak terlalu gelap. Model rambutnya pendek di bagian belakang dan samping, sedangkan di bagian atasnya lebih panjang. Hanya dia teman dari kalangan artis yang paling akrab dengan Star, sampai dijadikan tempat pelarian selama dua hari—kabur dari rumah. Star bersandar di kursi santai kayu
FERO MENELUNGKUPKAN ponselnya di atas meja. “Bro, mending lo cepat minta maaf, deh. Minta maaf bukan berarti lo kalah, kok. Biar dunia kembali damai saja,” sarannya tergesa-gesa.“Damai buat Maresha, balangsak buat gue.” Star mengotot—logat Sundanya keluar. Dia memijat pelipisnya saat merasakan kepalanya berdenyut lebih cepat. “Minta maaf ke dia, sama saja membenarkan tuduhannya. Sampai mati gue nggak akan melakukan itu,” kecamnya tegas.Hela napas Fero terdengar putus asa. Semacam apa yang ingin dia katakan adalah saran terakhir, yang entah akan terpakai atau tidak. “Kalau begitu, nggak ada pilihan selain terima Mbak Zee jadi manajer lo. Dia pasti punya network yang luas dan bisa bantu lo keluar dari masalah ini. Lo nggak bakal stres sendirian lagi.”Star meresapi perkataan Fero dengan saksama. Matanya yang sayu mengerjap dengan tempo lambat. Minta maaf pada Maresha atau memohon agar Zee&mda
MARESHA TERCENUNG. “Gue terima permintaan maaf lo. Tapi Star, keluarga gue baru bisa ikhlas kalau lo bisa mendapatkan hukuman di penjara.” Ekspresi sok teraniaya itu siap mengantarkan Star ke sebuah ruang bernama Tamat.“Satu, menyatakan Saudara Staryan Razela Kohler telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana perbuatan cabul. Dua, menjatuhkan pidana terhadap terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama 5 tahun. Demikian keputusan majelis.” Tok! Ketika hakim mengetuk palu, dua orang sipir datang dari pintu ruang persidangan lalu menggandeng tangan Star dengan ketat.Star meronta seperti orang gila yang terlepas dari rumah sakit jiwa. “Nggaaak! Saya nggak mau dipenjara, Pak Hakim dan Pak Jaksa!” pekiknya, berjalan menyeret di tengah ratusan manusia yang memandangnya jijik. Zee salah satunya.“Semoga betah di tempat baru ya, Star,” ejek Zee, mengikik di balik tangannya.“T