NAHASNYA, INI BUKAN MIMPI.
“Selama ini gue sudah terlalu banyak menyusahkan lo ya, Bang? Sampai lo memutuskan buat meninggalkan gue di masa sulit begini. Mungkin gue nggak sadar sudah bikin lo sesak karena harus menjamin nama gue selalu ada di setiap tempat. Itu karena gue cuma percaya sama lo. Nggak ada satu orang pun yang sabar kalau ambisi gue lagi memuncak,” ungkap Star. Tangannya yang menggantung di lengan Johnny setara dengan harapan agar manajernya itu berubah pikiran. “Gue mohon, Bang Johnny. Temani sampai gue nggak sanggup buat berkarya lagi,” pintanya dengan sangat.
Johnny termangu, dia merasakan ketulusan Star menjalar hingga ke inti jantung hatinya. Bagi Johnny, sebelas tahun mendampingi Star bukan hanya membuktikan pencapaian sebagai manajer, tetapi juga menjadi saudara yang selalu ada tiap saat. Namun sekarang, Johnny sendiri tidak yakin bisa membuktikan hal itu. Dia masih mengunci mulutnya, membiarkan Star mendapat jawaban dari bola matanya yang berkelana dengan banyak arti.
***
Asap dari kopi yang Stacya pesan tidak lagi membumbung di hadapannya. Kronologi sebenarnya di balik pemberitaan skandal Star dan Maresha tidak boleh terlewatkan. Dia mengumpulkan fokus pada tiap kata yang keluar dari mulut lelaki dengan nada suara dramatis, Johnny. Kopi Oma, kafe berkonsep homey di bagian selatan kota Jakarta itu jadi saksi bisu betapa pelik permasalahan yang harus dipecahkan. Cenat-cenut kepala Stacya jadinya!
“Terus lo tetap pengin pergi ninggalin Aa?” tanya Stacya, saking penasaran posisi duduknya maju sampai ke ujung kursi. Johnny yang melihat jadi bergidik sendiri, ngeri meski benda itu punya bantalan berat dan kaki kursi yang kokoh.
Sebagai pembelaan diri, Johnny menggelengkan kepala cepat hingga menyebabkan gempa lokal di pipinya. “Bahasanya bukan ninggalin, Cia. Lebih tepatnya, mengundurkan diri.”
Stacya sudah mengambil cangkir berisi kopi dan mengambil ancang-ancang untuk menyiram wajah Johnny yang kering. “Sama saja!” cela Stacya, batal melanjutkan aksi ekstremnya.
Mulut dan mata Stacya mencolot jika tidak menempel secara permanen di wajahnya yang sempurna. “Sebenarnya, gue nggak terima lo perlakukan Aa kayak begini. Tapi sekarang, Aa butuh solusi cepat dan tepat biar namanya kembali bersih. Jadi, mencaci maki lo itu cuma buang-buang waktu!” Stacya mengatur posisi duduk, pundaknya yang tegang menyandar di punggung kursi super tebal.
“By the way, tumben lo datang sendiri. Si Zee ke mana?” Keterlaluan ulah Johnny, sempat-sempatnya meneguk es teh lemon saat Stacya pening memikirkan jalan keluar.
“Zee sudah nggak jadi manajer gue lagi. Gue terpaksa pecat dia, karena gue terikat perjanjian pra nikah sama Ario,” jawab Stacya ketus, caranya memandang lebih menakutkan.
“Poor Zee. Semoga dia bisa cepat dapat pekerjaan baru, deh!” Pekerjaan baru? Perut buncit Johnny agak berkurang undakannya ketika dia beralih duduk tegak. “Cia, gimana kalau ….” timpalnya antusias, alisnya ikut terangkat.
Stacya menggigit bagian dalam bibir bawahnya untuk beberapa saat. Benar juga, terpenting adalah Star memiliki seseorang yang mendampinginya dalam menyelesaikan masalah. Pupil mata Stacya melebar, dia mencondongkan tubuhnya ke depan. “Jangan berisik.” Tangan lentik itu menyambar ponselnya yang menganggur di meja. Klik, lalu menunggu panggilannya diangkat. Dia berdeham. “Halo, Zee. Lagi sibuk?”
[Enggak, kan sudah dipecat sama lo. Kenapa?]
Jawaban Zee itu menekan Stacya. Sampai perempuan itu ketakutan untuk menanggapi kata-kata Zee. Dia termenung kurang dari dua menit, sebelum akhirnya memberanikan diri membuka mulut kembali. “Bisa datang ke Kopi Oma? Gue mau cerita sama lo, Zee.”
[Masalah adik lo? Media sosial gempar banget karena pemberitaan itu.]
Stacya tergemap sejenak. Dia mendesis tanpa sadar, tidak habis pikir cara kerja media sosial melebihi kecepatan cahaya.
[I feel you. Tunggu sebentar, ya. Gue ke sana sekarang.]
Nada yang menandakan panggilan telepon yang ditutup telah berbunyi, bahkan sebelum Stacya berkata iya. Sementara itu, Zee bergegas mengganti pakaian dan memoles wajah seadanya. Stacya, sabar dulu ya! Zee tahu jalan tikus agar cepat sampai ke Kopi Oma, kok.
Stacya dan Johnny merasa lega setelah hampir tiga puluh menit dibuat mati menganggur. Zee menghampiri mereka dengan terburu-buru, membuat kemeja oversized model garis-garis vertikal yang dia kenakan terkesan melembung. Akan tetapi, pemandangan di meja nomor dua itu bagaikan bentangan langit dengan dua cuaca berbeda. Johnny cerah, sedangkan Stacya mendung.
Ada apa?
ZEEANA MENGAMBIL POSISI di samping Stacya, tangannya yang agak berotot terulur mendekap tubuh perempuan itu. “Walau gue nggak dekat sama Star, gue percaya dia anak baik dan nggak mungkin berbuat kayak gitu. Jangan khawatir, Cia. Star punya manajer yang bisa menguatkan dia buat melewati masalah ini.” Kemudian, mata Zee tersalur pada Johnny. “Iya, kan, John?”Johnny terbatuk-batuk dan menghindari kontak mata dengan Zee. Mujurnya, Stacya menarik diri dari pundak Zee. Setidaknya, sekarang titik fokus bukan tertuju pada lelaki yang sedang salah tingkah itu. Meski untuk beberapa waktu, Stacya membuat Zee bingung dengan gerakan tubuh yang melambangkan kegugupan.Stacya berhenti memainkan cincin tunangannya yang bermodel solitaire. Dia menegakkan badan dan mengangkat dagunya. “Johnny bukan manajer Aa lagi. Dia berhenti karena diminta mertuanya buat urus restoran keluarga mereka.”Zee mendongkol, dia mengerucutkan bibi
“PAK WILLEM YANG TERHORMAT, kira-kira apa solusi untuk mengatasi masalah artis yang bernaung di agensi milik Bapak?” tembak Star, berusaha bersikap tenang dan tegas.[Keep silent, don’t make any statement. We should not feel stressed. Masalah ini akan tenggelam seiring berjalannya waktu. Get it, Staryan Kohler?]Bukan perkara dalam satu kalimat dicampur oleh kosakata dua bahasa yang berbeda. Sumpah, Star sudah kenyang dengan aksen Amerika dari lidah Presiden Direktur ONE Entertainment itu. Huh, Star mengacak-acak rambut yang tertata seadanya. Dia hampir gila mendengar jawaban seseorang yang selama ini jadi panutan para entertainer. Sesalnya, dia jadi salah satu entertainer itu. Dulu. Sekarang? Ogah!Star bangkit dari duduk, memindai tingkah Bi Inah yang berlagak kerja padahal sedang menguping. Kaki dengan betis berbulu cukup lebat itu melangkah menuju kamar. “Sorry not sorry, itu sama saja membenarkan tuduhan Maresha terh
ENERGI STACYA seperti terisi penuh dalam waktu satu menit. Perempuan itu tidak pikir panjang untuk membebaskan diri dari pelukan Zee, ketika dia mendengar ucapan sahabatnya yang mengandung makna positif. Bibir tebalnya gemetar, hanya binar matanya yang kian menyala.Zee mengulas senyum ikhlas. “Iya, gue setuju.”“Terima kasih, Tuhan. Akhirnya hati Zee luluh juga.” Johnny menyatukan kedua telapak tangannya sambil memejamkan mata. Dahsyat suaranya tidak ada beda dengan halilintar yang berpotensi membuat orang lain terkena serangan jantung.Setelah mengucapkan kata terima kasih dengan amat tulus tanpa menunjukkan gestur yang berlebihan seperti Johnny, dering ponsel Stacya berbunyi. Dia berdecak lidah saat melihat nama Bi Inah terpampang di layar ponselnya. Sementara Zee, orang yang dia anggap sebagai dewi penolong, mengamatinya dengan banyak arti dan siap melontarkan sesuatu.“Kapan kita mau kabarin Star?
SEMUA MATA MENGIKUTI ke mana arah kaki Star melangkah. Lelaki perokok berat itu tentu sedang mencari benda yang paling dia butuhkan sekarang, yaitu asbak. Dia mengambil dua langkah ke sebuah meja di sisi kirinya. “Sebelum Teteh kasih tahu, tolong keluarkan dulu orang berinisial P dari sini. Sorry, maksudnya dari rumah ini,” sindir Star, badannya agak membungkuk sambil menutulkan keramik putih berbentuk bundar dengan ujung lintingan tembakau.Tidak ada satu pun orang yang memiliki awalan huruf P di nama mereka. Wajar bila mereka mengangkat bahu kebingungan sambil bertatap-tatapan. Di sisi lain, Zee berprasangka buruk kalau orang yang dimaksud Star adalah dirinya. Siapa lagi, hanya dia manusia haram di mata bintang seluruh layar itu.Star setengah tersenyum. “Pengkhianat,” sebutnya gamblang, mata judesnya jatuh pada wajah Johnny yang tampak pucat. Sekarang dia pusat perhatian empat pasang mata yang menatap kikuk. Namun tidak munaf
Kau dan aku harus berani memulai Tuk wujudkan apa yang kita impikan Kau dan aku harus taklukkan rintangan Gigih tuk berjuang dan yakin jadi yang terdepan Jangan hiraukan mereka yang jatuhkan semua usaha kita Tetap tegar dan terus berlari meski dipandang sebelah mata STARYAN REMAJA menyetop aksi energiknya secara spontan. Dari atas undakan beton atap rumah, bintang belia itu menatap kagok seorang perempuan yang mendongak mengamatinya. Dia menurunkan ponsel yang dijadikan sebagai mikrofon dalam konser kecil di bawah stadion langit malam. Indra pendengarannya terjejal oleh dua sumber suara, musik instrumental yang mengalir lewat kabel earphone-nya dan bunyi tepuk tangan perempuan berkaus sweter model cold shoulder yang tidak dia kenal. “Keren! Lagu baru lo, ya?” tebak perempuan itu sok akrab, kaki yang dibungkus celana jin robek-robek itu melangkah mantap. Acuh tak acuh, Star memilih duduk menekuk lutut me
“NGGAK MUNGKIN si mbak tomboi bolos datang ke rumah ini.” Staryan menggerutu saat dia baru menjejaki ruang tamu sepulang manggung di salah satu acara musik pagi. Dalam setiap langkah gontai menuju ruang keluarga, Star memikirkan sikap dan ucapannya semalam di atap, yang membikin Zee membiarkannya pergi lebih dahulu dan tidak membalas kembali. “Nah! Itu adik lelakiku. Habis manggung di ….,” seru Stacya dengan bangga, sambil melambaikan tangan. Namun akhirnya, kalimatnya jadi menggantung dan berstatus menunggu sambungan kata dari Star. Star mengedarkan penglihatannya sekelebat pada wartawati dan kamerawan yang memandangnya berseri-seri. Alih-alih menjawab, dia memilih menggeser sorot matanya ke arah Zee, yang duduk bersandar sambil melipat tangan dan kaki. Sial, diam-diam perempuan itu malah menunjukkan ekspresi tengil. “Aa habis manggung di Cibubur Town Square,” sambung Star ramah, walau telat. Aneh, mengapa dua orang berseragam itu te
“AJE GILE! Perkara poster Selena Gomez dan kolor pisang legendaris, lo sama Mbak itu cuek-cuekan selama bertahun-tahun. Ngeri, woi!” ungkit Fero saat memukuli meja—aksesoris kolam renang—sembari tertawa terpingkal-pingkal. “Gue lupa, Fero orangnya berisik. Ngapain juga gue cerita sama si cumi.” Suara Staryan tidak jelas, tertahan di dalam mulut. Ajaib, muka Fero mendadak berubah serius. “Terus, janji masukin nama dia di liner notes, jadi?” tanyanya, berujung ketawa setan. Profil singkat, Fero Al Barra, usia 23 tahun, teman seperhobian mobil tua Star. Tubuhnya kekar alami dengan tinggi 175 senti meter. Fitur wajah khas keturunan Arab dengan kulit yang tidak terlalu gelap. Model rambutnya pendek di bagian belakang dan samping, sedangkan di bagian atasnya lebih panjang. Hanya dia teman dari kalangan artis yang paling akrab dengan Star, sampai dijadikan tempat pelarian selama dua hari—kabur dari rumah. Star bersandar di kursi santai kayu
FERO MENELUNGKUPKAN ponselnya di atas meja. “Bro, mending lo cepat minta maaf, deh. Minta maaf bukan berarti lo kalah, kok. Biar dunia kembali damai saja,” sarannya tergesa-gesa.“Damai buat Maresha, balangsak buat gue.” Star mengotot—logat Sundanya keluar. Dia memijat pelipisnya saat merasakan kepalanya berdenyut lebih cepat. “Minta maaf ke dia, sama saja membenarkan tuduhannya. Sampai mati gue nggak akan melakukan itu,” kecamnya tegas.Hela napas Fero terdengar putus asa. Semacam apa yang ingin dia katakan adalah saran terakhir, yang entah akan terpakai atau tidak. “Kalau begitu, nggak ada pilihan selain terima Mbak Zee jadi manajer lo. Dia pasti punya network yang luas dan bisa bantu lo keluar dari masalah ini. Lo nggak bakal stres sendirian lagi.”Star meresapi perkataan Fero dengan saksama. Matanya yang sayu mengerjap dengan tempo lambat. Minta maaf pada Maresha atau memohon agar Zee&mda