“SUDAH BIKIN CAPEK-CAPEK, salad buahnya malah nggak diterima dan dikirim balik ke aku. Sakit tapi ya sudahlah ….”
Zeeana Hernanda Tansy mengakak saat mendengar suara Maresha di video Instastory. Suaranya bersaing dengan bunyi es batu yang terjun bebas ke dalam gelas berisi kopi. Perempuan tomboi itu menyeruput es kopi buatannya—yang jauh dari kesan estetik—sambil melirik sebuah nama akun pengguna yang ditandai Maresha. Star?
“Ini sih mesti kudu harus dilaporkan ke calon Nyonya Ramadhani.” Dengan mudah Zee menemukan kontak Stacya, sahabat sekaligus artis yang dimanajeri olehnya.
Terverifikasi sehati. Belum sempat melakukan panggilan, Stacya sudah menelepon lebih dahulu. Karena sudah sering terjadi, kejadian itu sudah tidak membuat Zee kaget. Dia mengangkat kedua sudut bibirnya makin lebar, jari-jemari kurusnya menarik simbol berwarna hijau ke arah atas. Definisi soulmate, nih!
“Halo, Cia! Lo harus tahu kabar penting ini,” ujar Zee, nada bicaranya mirip orang yang lagi melapor ke polisi.
[Halo, Zee. Lo bisa datang ke rumah gue sekarang?]
Hanya Zee yang tergelak bebas begitu mereka sama-sama membuka obrolan. Sampai tidak sadar telah mengangkat tubuhnya sendiri dan duduk di atas meja dapur. Perlahan hening. Dia menyadari bahwa sahabatnya yang hendak menikah itu sedang bersikap aneh. Seorang Stacya tidak pernah kalem di depan Zee.
Zee kembali menyiram kerongkongannya dengan minuman favoritnya. “Bisa, gue ke sana sekarang. Sekalian gue mau kasih tahu lo kabar penting yang gue maksud tadi.” Dia melompat ke lantai, kaki berbalut hot pants hitam yang menampilkan kulit sawo matangnya berlari kecil menaiki anak tangga menuju kamar tidur.
Zee menerka-nerka. Mungkin Stacya mau menerima tawaran endorse lagi?
***
“Iya, aku sudah minta Zee datang ke sini.”
Stacya belum berhenti mondar-mandir sejak satu jam lalu bertelepon ria dengan tunangannya, Ario Ramadhani. Dia menyisir sambil bertolak pinggang, jari berkuku akriliknya meloloskan helai rambutnya yang panjang dan bergelombang. Kesal, pejabat muda itu memang tidak sabaran. Stacya mengelus dada, dia harus mengatur emosi jika tidak ingin terlibat masalah menjelang hari pernikahan mereka.
[Ingat ya, Sayang. Kamu harus berani bicarakan hal itu ke Zee. Lebih cepat lebih baik.]
Deru mesin mobil yang terdengar makin jelas membuat Stacya mematung dan kehilangan fokus dari obrolannya dengan Ario. Ketar-ketir di dalam dadanya tercermin lewat kukunya yang saling beradu. Sesaat kemudian, suara alarm kunci mobil dari arah carport menuntut dirinya untuk bersikap tenang. Itu pasti Zee, dia yakin seratus persen. Tarik napas … buang. Stacya, kamu pasti bisa!
[Stacya, halo? Dengar aku nggak, sih?]
“Aku dengar. Sudah dulu, ya. Zee sudah datang. Bye, Sayang,” tutup Stacya, melempar ponselnya di atas sofa.
Akhirnya Stacya bisa mengusir satu penyebab keresahannya—suara tegas Ario yang mirip penagih utang. Ting-tong! Bunyi bel menusuk telinganya. Dia melewati ruang tamu yang luas, derap sepatu hak tingginya jadi tak berjeda ketika suara Zee masuk ke dalam pengeras suara bel pintu interkom. Sejenak dia melihat wajah bertampang serius manajernya itu di monitor sebelum keberaniannya benar-benar terkumpul.
Klek!
“Hai, Zee!” sambut Stacya canggung. Tangan halusnya langsung menggandeng Zee masuk.
Zee yang punya banyak tenaga akan mendadak lemah jika sudah dipaksa Stacya. Mulutnya hanya bisa merapat dan menganga, menahan pertanyaan yang bercabang di kepalanya. Dia memilih untuk menerawang wajah artis keturunan Jerman itu, barangkali terlihat garis-garis mencurigakan. Namun dia lupa, Stacya punya kemampuan mengontrol ekspresi di atas rata-rata. Jelas, piala penghargaan aktingnya sudah tak terhitung!
Langkah mereka terpisah. Stacya berangsur ke dapur lalu menghirup udara sejuk dari kulkas yang dia buka. “Mau minum apa?”
“Jus ada?” Zee membanting pantatnya di sofa, kerinduannya pada benda empuk berkelas sultan itu akhirnya terbayar setelah satu minggu tidak berurusan dengan Stacya yang mogok kerja.
“Ada, Bi Inah buat jus stroberi tadi pagi.” Jus stroberi yang pernah jadi saksi perselisihannya dengan sang adik jatuh memenuhi gelas yang sudah dikelilingi oleh susu putih kental manis. Ready to serve!
“Cia, sebenarnya lo mau ngomong apa, sih?” tanya Zee frontal, dagunya sekilas terangkat.
Stacya membelalakkan mata, pun saat menelan ludah kerongkongannya seperti terganjal benda padat. Dia kewalahan, kata-kata yang sudah dia rangkai mendadak hilang dari otaknya.
HAMPIR SAJA, gelas yang dipeluk tangan Stacya terjun bebas ke lantai. Beruntung, perkataan Ario tadi benar-benar meresap di alam bawah sadarnya. Lebih cepat lebih baik. Dia sigap menahan apa yang dipegangnya meski sempat membeku sepersekian detik. Sementara itu, harapan Zee tentang keputusan Stacya untuk kembali aktif menerima endorse, sirna. Tidak ada tanda-tanda keceriaan!“Lo tahu hari pernikahan gue sama Ario makin dekat, kan?” Stacya berancang duduk berhadapan dengan Zee, beberapa sentimeter lagi gelas di tangannya mendarat di meja berbentuk persegi panjang.Gesit,
PERSETAN dengan hari ini, yang out of the box-nya keterlaluan! Terpaksa Staryan memejamkan mata di sepanjang perjalanan pulang dari gedung Chatalk menuju kediamannya di The Pavillion. Hal yang terjadi ketika syuting interviu—yang diadakan perusahaan aplikasi jejaring sosial Korea Selatan—berlangsung tadi siang terus bergelayutan di cabang-cabang pikirannya. “Maresha—dasar air mata buaya!” Star menghantamkan kepalanya ke sandaran jok mobil. “Bang Johnny—pengkhianat kelas kakap lo!” ditonjoknya bagian belakang kursi mobil pengemudi dari belakang. Bayu, supir pribadi Star, langsung tersentak dan mengusap dadanya yang tipis. Bibir hitamnya komat-kamit merapal kalimat-kalimat suci berbahasa Arab. Lelaki berdarah Sunda itu memeriksa keadaan sang majikan lewat kaca tengah. Bahaya, ini tidak betul. “Hampura, Kang. Aa lagi kebakaran janggut.” Refleks Star meminta maaf dalam bahasa Sunda karena sedang bingung tidak keruan. “Tapi ulah ngomong ka
[H-HALO, CIA.]Stacya telah beralih ke kamarnya. Dia merasa lega, akhirnya Johnny mengangkat panggilan telepon yang sudah ke sekian kali dia lakukan. Gendang telinganya hampir pecah mendengar nada sambung yang terus-menerus diperdengarkan sebelum panggilan itu terjawab.“Johnny, tolong jawab dengan jujur ya. Sebenarnya, apa yang terjadi sama Aa? Kenapa sikapnya aneh banget? Dia nggak pernah kayak gini sebelumnya.” Stacya menggelengkan kepala.[Aa dalam masalah besar, Cia. T-tapi gue—]Johnny yang berbicara terbata-bata membuat Stacya geregetan. Langsung saja dia memotong kalimat lelaki itu dengan decak sinisnya. "Masalah besar? Ambil sikap, dong. Lo itu manajernya Aa. Gue nggak mau tahu, ya, pokoknya—”[Gue bisa jelaskan, Cia. Jadi gini ….]Tadi siang, di salah satu studio di gedung Chatalk, Star masuk ke dalam bingkai acara interviu yang sebentar lagi akan dimulai. Sambil menunggu Maresh
“AW!” Maresha berteriak heboh.Kejadian yang tidak diinginkan Star terjadi. Bangku itu hampir menyungkurkan Maresha. Dengan cekatan Star menopang tubuh Maresha yang menekan dadanya, dia menahan tangannya di tulang rusuk perempuan yang kini melotot panik. Tunggu, tetapi apa yang dipegang Star?“Lepas! Aku bakal tuntut kamu! Kamu pikir aku nggak bakal speak up setelah barusan kamu sengaja pegang bagian tubuh sensitifku?!” Bentakan Maresha membuat suasana kian panas. Dia membebaskan tubuhnya sendiri setelah mendapatkan keseimbangan yang sempurna.Stacya menutup mulutnya yang menganga. Matanya terlihat makin besar saat dia melotot tak percaya. “Johnny, bilang sama gue kalau itu nggak benar! Jelas-jelas itu fitnah! Lo harus cari bukti kalau Star nggak bersalah, John. Please ….” Dia meringis makin hebat.[Cia, tolong kasih gue waktu buat memikirkan ini. Gue pun syok banget. Kita ketemu besok di Kopi Om
NAHASNYA, INI BUKAN MIMPI. “Selama ini gue sudah terlalu banyak menyusahkan lo ya, Bang? Sampai lo memutuskan buat meninggalkan gue di masa sulit begini. Mungkin gue nggak sadar sudah bikin lo sesak karena harus menjamin nama gue selalu ada di setiap tempat. Itu karena gue cuma percaya sama lo. Nggak ada satu orang pun yang sabar kalau ambisi gue lagi memuncak,” ungkap Star. Tangannya yang menggantung di lengan Johnny setara dengan harapan agar manajernya itu berubah pikiran. “Gue mohon, Bang Johnny. Temani sampai gue nggak sanggup buat berkarya lagi,” pintanya dengan sangat. Johnny termangu, dia merasakan ketulusan Star menjalar hingga ke inti jantung hatinya. Bagi Johnny, sebelas tahun mendampingi Star bukan hanya membuktikan pencapaian sebagai manajer, tetapi juga menjadi saudara yang selalu ada tiap saat. Namun sekarang, Johnny sendiri tidak yakin bisa membuktikan hal itu. Dia masih mengunci mulutnya, membiarkan Star mendapat jawaban dari bola ma
ZEEANA MENGAMBIL POSISI di samping Stacya, tangannya yang agak berotot terulur mendekap tubuh perempuan itu. “Walau gue nggak dekat sama Star, gue percaya dia anak baik dan nggak mungkin berbuat kayak gitu. Jangan khawatir, Cia. Star punya manajer yang bisa menguatkan dia buat melewati masalah ini.” Kemudian, mata Zee tersalur pada Johnny. “Iya, kan, John?”Johnny terbatuk-batuk dan menghindari kontak mata dengan Zee. Mujurnya, Stacya menarik diri dari pundak Zee. Setidaknya, sekarang titik fokus bukan tertuju pada lelaki yang sedang salah tingkah itu. Meski untuk beberapa waktu, Stacya membuat Zee bingung dengan gerakan tubuh yang melambangkan kegugupan.Stacya berhenti memainkan cincin tunangannya yang bermodel solitaire. Dia menegakkan badan dan mengangkat dagunya. “Johnny bukan manajer Aa lagi. Dia berhenti karena diminta mertuanya buat urus restoran keluarga mereka.”Zee mendongkol, dia mengerucutkan bibi
“PAK WILLEM YANG TERHORMAT, kira-kira apa solusi untuk mengatasi masalah artis yang bernaung di agensi milik Bapak?” tembak Star, berusaha bersikap tenang dan tegas.[Keep silent, don’t make any statement. We should not feel stressed. Masalah ini akan tenggelam seiring berjalannya waktu. Get it, Staryan Kohler?]Bukan perkara dalam satu kalimat dicampur oleh kosakata dua bahasa yang berbeda. Sumpah, Star sudah kenyang dengan aksen Amerika dari lidah Presiden Direktur ONE Entertainment itu. Huh, Star mengacak-acak rambut yang tertata seadanya. Dia hampir gila mendengar jawaban seseorang yang selama ini jadi panutan para entertainer. Sesalnya, dia jadi salah satu entertainer itu. Dulu. Sekarang? Ogah!Star bangkit dari duduk, memindai tingkah Bi Inah yang berlagak kerja padahal sedang menguping. Kaki dengan betis berbulu cukup lebat itu melangkah menuju kamar. “Sorry not sorry, itu sama saja membenarkan tuduhan Maresha terh
ENERGI STACYA seperti terisi penuh dalam waktu satu menit. Perempuan itu tidak pikir panjang untuk membebaskan diri dari pelukan Zee, ketika dia mendengar ucapan sahabatnya yang mengandung makna positif. Bibir tebalnya gemetar, hanya binar matanya yang kian menyala.Zee mengulas senyum ikhlas. “Iya, gue setuju.”“Terima kasih, Tuhan. Akhirnya hati Zee luluh juga.” Johnny menyatukan kedua telapak tangannya sambil memejamkan mata. Dahsyat suaranya tidak ada beda dengan halilintar yang berpotensi membuat orang lain terkena serangan jantung.Setelah mengucapkan kata terima kasih dengan amat tulus tanpa menunjukkan gestur yang berlebihan seperti Johnny, dering ponsel Stacya berbunyi. Dia berdecak lidah saat melihat nama Bi Inah terpampang di layar ponselnya. Sementara Zee, orang yang dia anggap sebagai dewi penolong, mengamatinya dengan banyak arti dan siap melontarkan sesuatu.“Kapan kita mau kabarin Star?