“Kenapa disini? Harusnya tempat keluarga sana.”
“Kamu lihat cowok kemarin nggak di hotel?” Lita bertanya tanpa peduli dengan pertanyaan yang diberikan Dara. Dara mengerutkan keningnya “Ngapain aku cari dia? Kamu penasaran banget, nggak bagus tahu.” “Penasaran aja siapa dia, secara tempat ini sudah disiapkan khusus buat acara jadi nggak ada orang luar masuk.” “Kakak iparmu kaya juga ternyata.” Dara menaik turunkan alisnya dengan mengalihkan pembicaraan. Lita tidak mendengarkan kalimat dengan nada godaan sahabatnya tentang kekayaan sang kakak ipar, pikirannya sudah fokus pada kejadian di dekat pantai kemarin. Sepanjang mata memandang tidak menemukan sosok pria tersebut, mengingat tamu yang ada di hotel tersebut dan artinya tempat itu khusus teman-teman kakaknya. “Sialan ni anak, diajak ngomong malah nggak di dengar. Kamu cari cowok itu? Nggak ada dari tadi, aku juga nggak lihat dia sarapan.” Dara memukul lengan Lita kesal “Benar?” Lita menjawab tanpa menatap kearah Dara. “Ya, buat apa aku bohong. Memang mau kamu apakan? Cerita sama Kang Fandi atau Kang Seno?” “Aku kesana dulu.” Lita menepuk bahu Dara pelan yang lagi-lagi tidak mendengarkannya. “Anak itu kebiasaan.” Dara hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat sikap Lita yang baginya sudah sangat biasa. Lita tahu Dara sudah terbiasa sendiri, jadi pastinya tidak masalah jika Dara tidak bersama dengannya. Langkah kaki Lita mendekati teman dekat kakaknya, tanpa peduli dengan tamu lainnya yang memang tidak dikenalnya. “Lita.” “Mbak Wima dan Mas Reno.” Wima memeluk Lita dengan mencium pipinya “Sendirian? Mana pacarnya?” “Aku bawa pacar kesini bisa digantung sama mereka semua,” jawab Lita yang membuat mereka berdua tertawa “Mbak sama mas nginap disini, kan?” “Kenapa? Kita baru datang kemarin sore sih, tapi langsung ke hotel. Fandi sempat datangi kita, biasa kakak kamu itu minta kado di awal.” Reno sedikit mengadu kelakukan kakaknya, tapi Lita tidak peduli. “Memang kenapa?” tanya Wima memberikan tatapan lembut saat melihat sikap Lita yang malas mendengar jawaban suaminya. “Nggak, mbak. Kalau gitu aku duluan, selamat menikmati hidangannya.” Lita tidak mungkin menceritakan pada kedua orang dihadapannya yang pastinya tidak akan aman. Melangkahkan kakinya menuju bibir pantai, acara sudah bebas dengan menikmati hidangan yang sudah disiapkan sambil memandangi hamparan pasir dengan air yang ada dihadapan. Melangkah sedikit menjauh dari tempat acara, menemukan kursi yang tidak ada orangnya dan memutuskan menikmati pemandangan dari kursi. “Apa pengantin yang lari atau salah satu bagian dari keluarga?” Lita menatap sang sumber yang sudah berbaring di kursi panjanga sampingnya, hampir saja melompat saat menyadari siapa. Pria yang dicarinya sedang menggunakan pakaian yang tidak digunakan untuk pesta, mengerutkan keningnya dengan bermacam pertanyaan didalam kepalanya. “Rendra.” Lita mengerutkan keningnya “Nama aku itu, kamu?” “Lita,” jawabnya singkat dan langsung mengalihkan pandangan kearah pantai lagi. Rendra duduk di kursi samping yang kosong, Lita sangat tahu jika pria itu sedang menatapnya penuh selidik dan mencoba untuk tidak peduli. “Apa kamu yang kemarin?” Lita mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan Rendra “Maksudnya?” “Kamu yang beberapa kali melihat kearah aku saat berciuman.” Lita membelalakkan matanya mendengar kalimat Rendra “Aku lihat kamu, kenapa penasaran? Mau coba?” “Percaya diri sekali dan kaya nggak ada tempat aja.” Lita berkata sarkas. “Bagaimana tidak percaya diri karena kamu beberapa kali berhenti dan melihat apa yang aku lakukan, kemarin kamu bersama teman dan beberapa kali menarik agar tidak melihatnya. Jadi apa salah percaya diri? Apa yang kamu lakukan terlihat sangat jelas dan satu lagi kita di Bali pastinya lebih bebas melakukan sesuatu ditambah tempat ini sangat jauh dari keramaian,” jawab Rendra dengan secara detail. Lita seketika bergidik ngeri membayangkan kembali ciuman yang dilihatnya kemarin, beranjak dari tempat duduknya tanpa mau menjawab pertanyaan pria aneh yang duduk bersamanya, gerakanmya terhenti saat mengingat sesuatu dengan tatapan penuh selidik. “Kamu tamu undangan siapa? Pernikahan ini sangat private, bagaimana bisa kamu ada disini?” Lita teringat dengan tujuannya ketika bertemu pria dihadapannya. Rendra tersenyum mendengarnya “Apa penting? Aku nggak ada kewajiban menjawab pertanyaan kamu.” “Tentu penting, kamu sudah merusak pemandangan.” Rendra mengangkat alisnya “Pemandangan yang mana? Melihat aku berciuman? Kamu belum pernah ciuman? Jangan lupa disini itu bebas seperti yang aku katakan tadi, kamu bisa melihat yang lebih dari ciuman. Aku yakin pengantin didalam sana pasti sudah pernah berciuman sebelum pernikahan, jadi...” “Aku tanya sama kamu itu artinya penting.” Lita menatap tajam Rendra setelah memotong kalimatnya. “Memang kamu siapa? Apa kamu keluarga mempelai didalam?” Hembusan napas panjang dikeluarkan agar bisa sedikit tenang, rasanya percuma berbicara dengan pria yang ada dihapannya. Memalingkan wajahnya dengan menatap hamparan pantai, menenangkan diri agar tidak terpancing sama sekali. “Mau kemana? Kembali? Bukankah lebih enak disini menikmati pemandangan.” Rendra berkata sedikit menyindir. “Kalau ada disini yang ada bisa rusak mataku melihat pemandangan.” Lita memberikan beberapa penekanan dari setiap kata yang dikatakannya. Langkah kakinya menuju ke area acara tanpa mendengar kembali kata-kata pria itu, menggunakan sepatunya lagi dan melangkah semakin masuk kedalam, dilihatnya jika kakaknya sudah melalui banyak proses dalam pernikahan. Memandang seluruh orang yang ada di acara, pandangannya terhenti pada pasangan yang membuat Lita mengerutkan keningnya. “Kamu kemana aja?” Lita memutar bola matanya malas mendengar pertanyaan Dara. “Sudah dapat?” sindir Lita yang hanya ditanggapi tawa oleh Dara “Bukankah itu wanita yang ciuman kemarin? Kenapa bukan sama pria itu?” “Berhenti ikut campur urusan orang!” tegur Dara yang membuat Lita terdiam “Kota ini bebas, siapa tahu itu kekasihnya dan mereka melakukan disini.” Lita membelalakkan matanya “Memang nggak bisa lakuinnya di tempat tertutup? Apa harus selingkuh untuk melakukan hal gila, bukannya melakukan di tempat terbuka bisa besar resikonya?” Dara mengangkat bahunya “Aku nggak tahu, nggak peduli. Semua itu bukan urusanku, lagian kamu kenapa sih jadi begini? Kamu suka sama cowoknya?” Lita seketika memukul Dara “Aku nggak suka, apalagi kalau dia perebut istri orang.” Dara membelai tangannya yang dipukul Lita “Nggak usah dipukul juga, lagian apa hubungannya sama kamu? Mau dia perebut bini orang juga nggak ada kaitannya sama kamu, semua punya cerita dan hidup sendiri-sendiri jadi jangan terlalu masuk kedalam hidup orang yang nggak dikenal.” Lita mengerucutkan bibirnya mendengar perkataan Dara yang selalu benar, rasa penasaran tentang pria tersebut semakin membuatnya ingin tahu. Lita tahu jika tidak sopan ingin tahu tentang tamu kakaknya, dimana kakaknya hanya punya beberapa teman dekat dan pria itu bukan masuk diantaranya. “Kamu jangan bilang suka sama dia,” tebak Dara yang langsung mendapatkan tatapan tajam dari Lita “Habisnya rasa penasaran kamu nggak wajar.” “Nggak usah ngarang jadi orang, udah sana novel kamu selesaikan biar cepat dapat duit.” Dara memutar bola matanya tajam tapi memilih diam. Seorang pria tampak tidak lepas tatapannya pada satu objek yang ditemuinya tadi dengan senyum lebar, seseorang yang sedikit lancang melihat adegan intimnya dengan sang wanita tua dan ternyata wanita itu tampak Masih sangat polos tidak seperti wanita yang selama ini dikenalnya. Memperkenalkan namanya sebagai Rendra bukan Pras, salah satu cara agar bisa mengenal cewek tersebut. Rendra nama yang diberikan bukan nama kesehariannya, melainkan nama panggilan saat berada di rumah. “Cewek menarik, sekali-sekali sama yang seumuran atau lebih muda boleh juga.”“Udah sampai mana?”“Udah ACC, besok mau daftar sidang.” “Nggak percuma dekatin dan hangatin ranjang dia.” Pras tertawa mendengar kata-kata Bram, sahabatnya. Hal yang tidak diketahui sama sekali oleh orang terdekatnya, hubungan intim dengan salah satu dosen demi mendapatkan nilai. Perbuatannya itu semua hanya agar segera lulus, terlalu asyik bekerja sampai melupakan pendidikan dan secara kebetulan bertemu dosen yang kurang perhatian dari suaminya, mereka membuat kesepakatan gila tersebut.“Kamu kemarin datang ke pernikahannya Pak Fandi? Katanya dapat istri konglomerat, benar? Kamu datang karena undangannya Bu Tita, kan?” suara Bram menghentikan ingatan masa lalunya.“Ya, lebih tepatnya karena Pak Slamet bawa Vania jadinya aku juga dibawa.”“Kamu tidur sama Vania?” Bram menatap tidak percaya.“Satu kamar, kita nggak ngapa-ngapain! Nggak tertarik juga lakuin itu sama dia, bayangin bekasnya Pak Slamet ogah. Udah nggak usah tanya-tanya lagi.” Pras memberikan tatapan tajam.“Bokap lo gim
“Dara, tahu nggak sih yang tinggal depan unit kamu itu....”“Depan unit aku? Itu kan kosong? Mana ada orang yang tinggal disana? Apa sudah ada orangnya?” Lita mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan Dara, tapi dirinya yakin jika pria itu keluar dari sana dengan wanita tua dan mereka berciuman.“Dar, kalau kamu lihat ada cowok ciuman sama cewek tua gitu pandangan kamu gimana?” tanya Lita penasaran.“Dia suka sama cewek yang lebih tua, bisa jadi cewek yang masih muda itu merepotkan. Memang kenapa?” Dara memberikan tatapan penuh selidik.“Cuman tanya aja,” jawab Lita sambil menggelengkan kepalanya.Lita malah berpikir jika cowok itu pria panggilan, tapi tidak mungkin ketika melihat wajahnya. Pria itu memiliki wajah yang biasa-biasa saja, biasanya pria panggilan itu wajah dan bodynya bisa langsung terlihat dari tatapan biasa, tapi pria itu sama sekali tidak.“Kamu keterima di event organizer?” tanya Dara membuyarkan lamunan Lita.“Ya, besok sudah mulai kerja.”“Bakal sibuk nanti? Nant
“Ikut!”“Kemana?”“Lihat tempat buat minggu ini, belum buka email?” Lita menggelengkan kepalanya “Lo baca di jalan, buruan beresin barang-barangm gue tunggu di depan.”Lita menghembuskan napas panjang, mengikuti ritme kerja Pras sangat melelahkan. Terhitung sudah satu minggu, semua yang berhubungan dengan pekerjaan melalui email dan terlambat membaca seperti tadi artinya wassalam.“Kita kemana, mas?” tanya Lita saat memasuki mobil Pras.“Lihat tempat buat pameran, memang lo nggak buka email?” Lita menggelengkan kepalanya “Belum sempat, mas. Kemarin masih merapikan laporan yang dikumpulkan besok.”Pras sangat tahu apa yang dilakukan Lita, semenjak kehadiran Lita setidaknya pekerjaan yang biasa di pegangnya berkurang, terutama pekerjaan yang berhubungan dengan laporan dan terdapat angka. Pras akan mengangkat tangan dan meminta anak-anak lain mengerjakan, tapi mereka sudah memiliki pekerjaan lain yang lebih banyak tidak bisa diganggu sama sekali.Fokus dalam mengendarai membuat suasana
“Mas nggak salah? Bagaimana bisa melamar? Kita nggak ada hubungan apapun loh, memang nggak bisa ajak salah satu wanita itu?”Pras hanya diam membiarkan Lita berbicara setelah apa yang dilakukannya dihadapan sang ayah, tindakan yang bisa dikatakan secara tiba-tiba. Kehidupan pria disampingnya saja tidak tahu, kecuali saat bekerja. Lita hanya tahu dia bersama dengan wanita-wanita yang usianya lebih tua, tidak tahu hubungan lebih lanjut.“Ayahku tahunya kamu calon istriku, bagaimana? Kamu bilang aja sama orang tuamu bisa-bisa dalam waktu dekat ada lamaran.”“Mas, kita nggak saling kenal loh. Aku bahkan nggak tahu nama kamu yang mana? Pras atau Rendra.”“Kamu nggak tahu nama atasanmu? Kamu nggak pernah baca namaku?”“Nggak, lagian mana ada waktu baca begituan. Lagian tinggal jawab apa susahnya!” Lita menjawab tanpa dosa.Pras hanya menggelengkan kepalanya mendengar kata-kata Lita, keputusannya memang gila. Menikah sama se
“Ada apa diantara kalian?” “Kalian lagi debat masalah apa? Konsep? Kenapa kita pada nggak tahu?” “Bukan deh, lo ketemu mantannya Pras? Terus Pras ngaku lo sebagai ceweknya?” “Ini lebih masuk akal daripada debat, tapi Pras nggak pernah bawa cewek memang punya?” “Benar juga, selama ini kita nggak pernah tahu ceweknya Pras. Lita, kasih tahu gimana ceweknya Pras.” Lita memilih diam mendengar pertanyaan atau perdebatan teman-teman dari tim, keputusannya menjaga jarak dengan Pras sudah dilakukan sejak kemarin tapi tampaknya Pras tidak ingin Lita menjaga jarak dan selalu memberikan pekerjaan yang berkaitan dengan dirinya, padahal bisa meminta teman yang lain melakukannya dan semua itu dilakukan agar Lita tidak jauh dari Pras, tindakan yang membuat siapa saja curiga. “Lo benar nggak buat salah? Apa lo nolak Pras?” “Nggak.” Lita berdiri meninggalkan mereka yang masih penasaran.
“Ngapain sih? Daritadi diajak bicara fokus di laptop aja, lagi deadline? Memang mau ada cerita baru lagi?”“Bentar! Aku fokus ini dulu.” Lita menatap malas pada Dara yang masih fokus pada laptopnya, kedatangannya memang tanpa direncanakan sama sekali. Bisa saja memang meminta Dara datang ke tempatnya, tapi sahabatnya bilang tidak bisa kemana-mana dan hasilnya Lita yang mendatangi tempatnya dengan beberapa kemungkinan bertemu Pras.“Jadi pria yang kita lihat ciuman itu di Bali atasanmu?” Lita menganggukkan kepalanya “Ngakuin kamu sebagai calon istrinya?” Lita kembali menganggukkan kepalanya “Kamu bilang pernah lihat dia depan sini? Tinggal depan sini keluar sama wanita berbeda dan tampak usianya lebih tua, benar?” Lita lagi-lagi menganggukkan kepalanya “Aku nggak pernah lihat penghuni depan.”Lita mengangkat bahunya “Apa dia cowok panggilan?”“Kenapa kamu penasaran? Kamu suka sama dia?”“Ih...ogah! Kamu itu tanya kaya
“Lit, mending istirahat dulu sana. Lo belum makan daritadi, kan?”“Nggak papa, mas.” “Jangan, nanti kalau lo tumbang bisa berabe semuanya. Pekerjaan kita masih panjang, jadi kalau ada waktu buat makan buruan lakuin jangan ditunda.”“Belum lapar, mas.” Lita tetap dengan pendiriannya.“Bukan masalah lapar atau nggak, tapi waktu. Kerjasamanya biar berjalan lancar, jangan ngikutin diri sendiri.” Fadil sudah mulai kesal mendenhar jawaban Lita.Malas mendengarkan suara mereka yang meminta dirinya untuk makan padahal belum terlalu merasakan lapar sama sekali, kondisinya saat ini memastikan acara yang mereka buat berjalan dengan lancar. Melibatkan banyak pihak dan menggunakan banyak tenaga untuk interaksi dengan mereka semua yang berada di acara, posisi Lita sendiri adalah asisten Pras yang artinya harus memastikan semua pada tempatnya agar Pras bisa sedikit santai bekerja.“Baru makan?”Lita menganggukkan kepalan
“Kedua orang tua aku tahu kamu sebagai calon istri.” Pras mengatakannya setelah pembicaraan dengan sang mama selesai.“Hanya orang tua mas dan jangan membuat ini kesebar, aku nggak akan diam saja dengan semua yang mas lakukan.” “Maksudmu?” “Aku akan membuka semua wanita itu.”Pras mengangkat sudut bibirnya “Kamu nggak ada bukti.”Lita memaki didalam hati, jelas saja dirinya tidak memiliki bukti. Perbuatan Pras tidak akan membuat Lita mengambil gambar dihadapannya langsung, mengalihkan pandangan kearah samping tanpa ada niatan berbicara kembali dengan Pras yang sudah merusak moodnya dari awal masuk kerja. Harapan Lita bekerja dalam suasana nyaman dan tenang sebelum memulai tesnya di perusahaan besar H&D Group.Pertemuan yang sangat tidak di prediksi, bahkan Pras juga sama terkejutnya dengan dirinya. Kedatangan mamanya membuat Pras mau tidak mau menjawab dengan lagi-lagi mengenalkan Lita sebagai kekasihnya, Pras tidak
“Cantik, Pras pasti terpesona.”“Pras atau Rendra sih?” “Pras nama buat teman-temannya, Rendra khusus keluarga.” Lita menjawab Berry yang disampingnya.“Kita manggilnya Pras, Teh.” Laras memberitahu Berry yang menganggukkan kepalanya.“Rombongan pengantin pria sudah datang.” Dona memberitahukan setelah membuka ponselnya.Mendengar informasi jantungnya kembali berdetak kencang, perasaannya sangat tidak menentu. Tepukan di bahu pelan membuyarkan semua pikiran Lita, menatap ketiga kakak iparnya yang tersenyum lebar. Lita hanya bisa membalas dengan senyum lebar, menghilangkan perasaan gugupnya dengan meremas satu sama lain.“Kamu nggak keluar?” tanya Dara yang dijawab Lita dengan gelengan kepalanya.“Nunggu kata sah baru keluar, biar Pras fokus.” Berry memberikan informasi yang diangguki Dara.Ruangan hanya mereka berlima, suara yang mendominasi adalah televisi menampilkan ke
“Kamu tahu kenapa kita ajak ketemuan, kan?” Rendra menganggukkan kepalanya sebagai jawaban dari pertanyaan Seno, tatapannya pada ketiga pria yang sedang menatap kearahnya dengan tatapan sama. Rendra sangat tahu apa yang akan mereka bertiga bicarakan, semua pasti berkaitan dengan hubungannya bersama adik mereka yang tidak lain calon istrinya.“Lita nggak tahu kita ketemuan? Kamu nggak kasih tahu, kan?” tanya Hardian yang dijawab Rendra dengan gelengan kepala.“Aku udah bilang kalau dia lembur,” sahut Fandi memutar bola matanya malas “Kamu tahu alasan ini, kan?” “Tahu, Kang.” Rendra menganggukkan kepalanya.“Masih mau lanjut?” tanya Hardian terlebih dahulu.“Mau mundur juga uang udah keluar, jadi apa yakin?” sambung Seno yang diangguki Rendra tanpa ragu “Apa sih yang kamu suka dari Lita? Manja gitu.”“Semua dari Lita, Kang.” Rendra mengatakan tanpa keraguan.“Halah...sekarang aja begini, nanti ka
“Sudah yakin? Kamu nggak akan menyesal nantinya? Kamu tahu masa lalu Pras, yakin dia benar berubah? Kalau dia nanti balik lagi gimana? Kamu siap?” Lita menatap tidak percaya mendengar pertanyaan Dara, pertanyaan yang keluar setiap kali membahas tentang Rendra dan sudah dijawabnya berulang kali dengan jawaban yang sama, tapi tampaknya sang sahabat memang tidak ingin dirinya menyesal nantinya.“Pertanyaan kamu sudah aku jawab berulang kali, apa nggak bosan? Aku harus yakin kalau dia berubah, lagian taruhannya besar kalau sampai dia nggak berubah dan asal kamu tahu aku bukan wanita lemah.” Lita menatap malas pada Dara, mengatakan tujuannya datang ke tempat sang sahabat “Aku kesini mau minta bantuan.” “Bantuan apa?” tanya Dara penasaran.“Bantu aku menyiapkan proses pernikahan.” Lita menatap penuh harap kearah Dara.“Memang kapan? Masih lama, kan? Kaya diburu apa aja, kebiasaan semua serba dadakan.” Lita menggelengkan
“Akhirnya! Kita akan menjadi keluarga.” “Ya, Pak.”“Masa masih panggil begituan? Bentar lagi jadi keluarga loh.” Rendra menatap tidak enak pada Fandi mendengar nada protes dari Berry yang diangguki lainnya, Fandi sendiri memilih diam tidak menghiraukan kalimat godaan tersebut.“Grogi tadi?” tanya Dona yang duduk disamping Fandi, Rendra memilih menganggukkan kepala sambil tersenyum “Aku dengar mau lanjut kuliah? Kerja di rumah sakit juga jadi staf GA, benar?” “Nggak usah tarik dia.” Seno memberikan peringatan.“Aku hanya tanya, Kang. Nggak ada niat begitu.” Dona mengerucutkan bibirnya.“Aku udah punya perjanjian sama Pras, sayang.” Fandi memberikan informasi yang membuat semua tertarik “Masalah kantor lawyer yang aku buat, aku butuh orang yang bisa dipercaya dan karena hubungan Pras dan Lita akhirnya kepikiran itu.”“Lita panggil Rendra, Fandi panggil Pras. Memang nama yang benar siapa? Kita ma
“Malah ketawa! Aku itu kesal sama papa dan mama yang malah mau ikut campur rencana lamaran, malah hubungi keluarga besar buat datang ke acara lamaran. Aku udah bilang kalau acaranya sederhana.” Rendra melupakan rasa kesal pada kedua orang tuanya “Mama katanya udah hubungi mama kamu?” Lita menghentikan tawanya sambil menganggukkan kepalanya ketika melihat ekspresi Rendra yang mengerucutkan bibirnya “Papanya mas memang benar, aku tahu kalau mas sedang menahan diri selama sama aku. Makasih, sayang sudah bisa bertahan selama ini. Mama memang hubungi mama aku, mereka bicara banyak hal dan kayaknya bakal berubah dalam lamaran besok.” Lita membelai pipi Rendra pelan dengan tatapan lembut sambil menjelaskan apa yang terjadi “Jadi sekarang sudah yakin melamar? Kang Fandi datang jumat malam, aku langsung ke Bandung sama mereka.”“Jadilah, mama udah booking hotel dekat rumah kamu. Mama bilang karena hanya keluarga jadinya nggak enak kalau nggak buka kamar, pantas bookin
“Uang itu uang kamu, mau dipakai apa terserah. Lagian kenapa dulu nggak dipakai? Sekarang terserah mau dipakai buat apa, kami mempersiapkan semua kebutuhan kamu selama kuliah. Papa tahu kalau kamu memang nggak ada minat di kedokteran, tapi bukan berarti kami nggak memberikan kamu uang untuk kuliah. Memang kamu pakai buat apa? Lamaran?.”Rendra menggelengkan kepalanya “Aku mau lanjutin kuliah, pa.”Suasana seketika hening ketika Rendra mengatakan niatnya, melanjutkan kuliah dengan jam kerja yang dirasa sudah lebih baik dibandingkan sebelumnya. Mengambil jam kuliah malam, sedangkan paginya akan kerja. Lita sudah tahu dan membantunya memilih kampus, awalnya akan kembali ke kampus lamanya tapi kakak kedua Lita yang tidak lain mantan dosennya memberikan saran kampus lain.“Kamu tetap melamar Lita, kan?” tanya Amelia memecah keheningan.Rendra tersenyum mendengar nada suara sang mama khawatir “Ya, ma. Minggu depan kita lamar Lita, kakaknya bisa
“Beneran, mas?” Lita memicingkan matanya menatap Rendra yang duduk dihadapannya, informasi yang diberikan menurut penilaiannya adalah lampu hijau, hanya saja Lita tidak percaya begitu saja apa yang dikatakan pria dihadapannya.“Kamu nggak percaya sama aku?” Rendra menatap penuh selidik.“Bukan nggak percaya, mungkin memang nggak percaya.” Lita memutuskan terus terang “Kang Seno ini termasuk sulit dalam percaya sama orang, pastinya Kang Seno sudah tahu mas bagaimana dari Kang Fandi, walaupun nggak akan percaya penuh. Kang Seno beranggapan apa yang dikatakan orang lain adalah informasi berharga dan akan menjadi penilaian sendiri ketika bertemu nantinya.” Rendra mengangguk menyetujui kalimat yang keluar dari Lita, sepanjang mereka berbicara tadi semua yang dikatakan Lita memang benar adanya. Sebenarnya kalimat terakhir bukan sebuah restu, melainkan keseriusan dirinya dengan Lita dan semua rencana masa depan yang sudah dibuat ketika bertemu
“Kesana sama teteh! Akang mau bicara sama pacarmu, urusan pria.”Lita menghentakkan kakinya menatap tajam pada Seno, kakak pertamanya. Kedatangan tiba-tiba ke apartemen ditambah keinginannya bertemu dengan Rendra, setidaknya tidak mengganggu kegiatan walaupun sekarang sedang weekend. Melihat Rendra yang tampak tenang, walaupun Lita tahu jika kekasihnya dalam keadaan tidak baik-baik saja.“Akang jangan aneh-aneh! Aku kasih tahu papa dan mama!” Lita memberikan ancaman.“Siapa lagi? Fandi dan Hardian? Semua akan dukung aku.” Seno mengatakan dengan sangat santai.“Aku nggak papa,” ucap Rendra menenangkan Lita yang langsung mengalihkan pandangannya.“Mas nggak tahu gimana Kang Seno.” Lita mengerucutkan bibirnya.“Mau ke tempat Berry atau nggak restui hubungan kalian?” Lita membelalakkan matanya menatap tajam Seno “Makanya kalau dibilang nurut, nggak aku apa-apain cowok ini.” Lita menghentakkan kakinya melangkah
“Segar sekali.” Rendra hanya tersenyum mendengar kalimat rekan kerjanya, Danu. Memilih tidak menghiraukan kalimat godaannya dengan fokus pada pekerjaan. Suasana ruangannya seketika hening, semua sibuk pada pekerjaan masing-masing, bahkan mereka tidak menyadari waktu istirahat jika sang bos menegur mereka bertiga.“Kalian itu memang fokus sekali, sampai-sampai istirahat nggak tahu. Makan siang dimana?” Gani menatap mereka bertiga gantian.Rendra membuka ponselnya dimana Lita sedang istirahat dengan teman-temannya, mungkin lebih baik istirahat di kantin atau keluar dari rumah sakit mencari tempat makan yang enak dan murah. “Pras, kamu mau makan dimana?” suara Danu membuyarkan lamunannya “Pak Gani tanya itu.” “Sekitar sini, Pak.” Rendra menjawab tidak enak.“Kita makan siang bareng, gimana?” ajak Gani menatap mereka bertiga.“Pak, saya ajak anak HRD ya? Rina.” Amel membuka suaranya.“Rina yang jo