“Aku sudah kirim sepuluh juta ke rekeningmu, Ya.”
Ibu jari Hana menekan tombol pesawat warna hijau. Pesan pendeknya meluncur menyusul sebuah screenshoot bukti transfer yang sudah lebih dulu berangkat. Kulit ibu jarinya mengambang di atas permukaan layar digital, ada banyak yang isi kepala Hana ingin sampaikan. Tapi ibu jarinya tak lantas mengetikkan apa pun.
Sempat ia menuliskan beberapa kata seperti;
“Tolong dihemat, Ya.”
“Uang itu sangat berharga buat aku. Aku sampai harus bohong pakai nama ibuku. Jangan dihambur-hamburkan seenaknya, Ya.’
&n
Waktu yang membeku mendobrak batas tebal yang selama ini terpasang di antara Hana dan Pak Robert. Batas tak kasat mata yang membedakan mereka. Atasan dan bawahan, laki-laki paruh baya dan wanita kemarin sore, Hana yang egois tapi cengeng, Pak Robert yang kesepian di balik pribadinya yang serba mandiri. Dua detik rasanya seperti dua jam, Hana terjebak di dalam teduh tatap mata Pak Robert. Pria dewasa yang hanya dengan menatapnya saja bisa merasakan rasa aman, jauh dari semua hal yang mengkhawatirkan. Dua detik yang juga rasanya seperti dua jam untuk Pak Robert sebab tersesat di bening nan biru bola mata Hana. Parasnya yang cantik meski tanpa make up. Bibirnya yang tipis, bulu matanya yang lentik serta deretan gigi yang rapi. Tingkah menyebalkannya sanggup jadi pelipur sepi
“Kalau ditanya kenapa, jawabannya cuma satu, Han.” Suara berat Pak Robert menarik perhatian Hana. Sudah, lupakan soal kejadian memalukan barusan. Toh apa istimewanya juga? Cuma mengelap sisa anggur doang. Hana berharap kejadian memalukan tadi tidak terulang lagi. Sebab hubungannya dengan Arya yang sebelumnya memanas baru saja dingin. “Karena… ??” Hana mengerutkan dahi, sedikit menyipitkan matanya saat angin kering Perairan Dumadi menerbangkan rambutnya, menjuntai hingga mata. “Ya karena profesionalitas. Apa ya bahasanya, formalitas mungkin.” Tangan Pak Robert bergerak lagi. Kali ini bukan untuk menyentuh wajah Hana tapi un
“P-Pak Robert??” tergagap suara Hana terbata. “Pak Robert pecat Krisna? Ke-kenapa, Pak?” Helaan napas panjang Pak Robert terlihat dari dadanya yang mengembang. Ponsel canggih berpindah tangan, menyelinap di antara mulut sakunya sebelum diam di dalam sana. “Huh…. Emang masih belum jelas apa yang dilakuin Krisna sampai kamu masih tanya kenapa?” Pertanyaan balik Pak Robert mencekat tenggorokan Hana. Membuat perempuan satu ini refleks menelan ludah. “Dia menyepelekan tempat kerjanya, Han.” Kalimat yang keluar dari mulut Pak Robert selanjutnya bernada beda. Dingin, kaku, tajam
Jarum pendek jam dinding berwarna serba emas masih berhenti di angka 8. Jarum panjangnya pelan-pelan merambat tak terasa mengikuti detik demi detik yang terlewat. Masih jam 8 lewat lima belas menut. Jelas belum bisa dikatakan malam untuk ukuran Hana yang sering keluar dugem. Malam ini ia resah, bukan karena tidak bisa dugem, melainkan karena tawaran Pak Robert terakhir tadi. “M-ma-maksudnya, Pak?” Ludah Hana menggumpal, terpaksa ia telan bulat-bulat demi menyeka tenggorokannya yang mendadak tercekat. “Iya ke sini.” Pak Robert menepuk-nepuk ranjangnya lagi. “Masa masih belum jelas sih?” Jelas? Oh tentu jelas, Hana tahu kalau Pak Robert mau dia pindah jadi satu ranj
Hangat kasur dan kamar mewah Hotel Mahakarya mendadak lenyap. Angin Perairan Dumadi yang sebelumnya terdengar di kejauhan disekat tembok besar dan dinding kaca tebal tiba-tiba terasa mencengkeram seisi ruangan dengan sepinya. Sepi yang mendobrak masuk mencekik leher Hana. Membelalakkan matanya, terkunci menatap Pak Robert tak percaya. “K-Kok… Kok Pak Rob—” “Bisa tahu?” Pria bertubuh kekar itu memotong. Tersenyum menyeringai menyeramkan memamerkan gigi rapinya namun dengan sorot mata yang tajam. Kegeraman tak lagi bisa disembunyikan Pak Robert, atau mungkin sengaja ia tunjukkan untuk menggetarkan hati Hana. Terbukti lawan bicaranya cuma bisa termangu, tenggorokan
Akhirnya permintaan yang terasa sungguh ganjil itu keluar juga dari mulut Hana. Ia bingung, Hana kalut sampai tak lagi bisa membendung semua kekacauan di dalam hatinya. Ia butuh tempat bersandar. Di saat-saat seperti ini seharusnya Arya yang ada di sini. Kalau tidak ada Arya, Hana akan langsung mencari sang ibu. Menangis pijar sampai lega sembari mendengarkan omelan ibunya soal kesalahan-kesalahan Hana. Namun malam ini malam yang tak pernah Hana rasakan sebelumnya. Tak ada Arya, jauh dari kedua orang tuanya. Hanya ada Pak Robert di depannya. Orang yang tadinya Hana merasa jijik jadi pilihan orang terakhir. “Bo-boleh kan, Pak?” tanya Hana di sela-sela desis tangisnya yang semakin menjadi.
Hana tak mengira kejadian di antara dirinya dan Pak Robert akan sejauh ini. Lebih dari itu, Hana bahkan sebelumnya tak sadar kalau yang hinggap di bibirnya adalah bibir Pak Robert. Matanya tertutup, cahaya lampu terhalang bayang-bayang kepala Pak Robert. Hana baru sadar apa yang hinggap di bibirnya adalah bibir Pak Robert saat dengus napas lembut terasa meniup hidungnya. Sontak Hana membuka matanya lebar-lebar. Ia menemukan wajah Pak Robert berada di depan mukanya persis. Berselimut bayang-bayang hitam dan rambut yang biasanya disisr rapi. Awalnya semua terasa membingungkan. Ya, Hana cuma bisa diam terpaku tak tahu harus berbuat apa. Tubuhnya terkunci, untuk beberapa detik mulutnya tak terbuka atau mengatup. Diam kaku seperti patung manekin di depan pintu toko paka
Padahal sebelumnya hubungan antara Hana dan Pak Robert baik-baik saja. Mereka berdua sudah akrab, tidak lagi kaku seperti bos dan anak buah di kantor. Sebelumnya baik Pak Robert maupun Hana bersyukur hubungan mereka bisa cair tidak seperti saat mereka bertemu beberapa hari yang lalu. Tapi lihat sekarang, malam yang sudah jalan setengah mereka habiskan dengan saling mendiamkan. Hana tidur membelakangi, sedang Pak Robert hampir sampai subuh datang tak bisa memejamkan matanya. “Aku salah, Han. Harusnya aku bisa mengendalikan egoku sendiri,” gumam Pak Robert dalam hati, merasa geram pada dirinya sendiri.Pak kecewa karena gara-gara tak bisa mengendalikan dirinya sendiri. Rasa yang semakin kuat seiring matanya terkunci menatap punggung Hana. Di l